BAB 2
~***~
"Ayo dong pa, anterin aku ya ke sekolah. Kaki aku suka pegel-pegel karena tiap hari jalan kaki terus." rengek Nazwa pada papanya yang sedang membaca koran di beranda rumahnya.
"Lagian sekolahnya gak jauh kenapa harus di anterin sih." balas papanya tanpa mengalihkan pandangannya dari koran di tangannya.
"Yah papa." Nazwa merajuk. "Ayolah."
"Enggak. Buang-buang bensin tahu gak. Sekarang bensin mahal."
"Yudah Nazwa gak akan sarapan hari ini." ucap Nazwa kesal sambil berlalu memasuki rumah. Beberapa detik kemudian ia keluar lagi membawa sepatunya. Membantingnya dengan sengaja supaya papanya itu tahu bahwa sekarang ia sedang kesal.
"Nazwa ini rotinya dimakan dulu." teriak mamanya dari dalam rumah.
"Gak!" balas Nazwa. Memakai sepatunya dengan gerakan cepat.
"Nanti kamu pingsan. Ini kan hari senin." Mamanya sekarang sudah berada di ambang pintu dengan piring kecil dengan roti isi di atasnya.
"Emang kenapa kalau hari ini hari senin. Sama aja hari biasanya kok."
"Nanti kamu pingsan."
"Biarin!"
Papanya menggeram sambil melipat korannya dan meletakkannya di atas meja. "Yaudah papa anterin kamu." Putus papanya langsung membuat Nazwa menoleh padanya.
"Serius?" tanya Nazwa tidak percaya.
"Seriburius." jawab papanya ketus.
"Nah gitu dong dari tadi bilang kayak gitunya." Nazwa bersorak ria di dalam hatinya.
"Ini ambil rotinya." Mama menyodorkan kembali roti yang sempat Nazwa tolak tadi.
"Nanti aja. Aku makannya nanti di mobil." kata Nazwa disertai cengirannya.
"Bentar papa ambil kunci mobil dulu." ucap papanya sebelum menghilang di balik dinding rumah.
Sementara menunggu papanya mengambil kunci mobil Nazwa melihat seseorang yang amat ia kenali berjalan melewati rumahnya. Itu Awan.
"Awan!" teriak Nazwa.
Awan menoleh.
"Jalan kaki?" tanya Nazwa. Seperti biasa seperti saat di kelas pria itu hanya menggunakan isyarat tubuhnya—menganggukkan kepala.
"Ma, Nazwa berangkat bareng Awan aja." ujar Nazwa sambil menyerobot tangan mamanya untuk ia salami.
"Ini rotinya gak mau di ambil?" teriak mamanya pada Nazwa yang sudah dekat dengan gerbang.
Nazwa menepuk pelan dahinya. Lalu berlari menghampiri mamanya dan mengambil roti. Setelah itu ia berlari lagi mengejar ketinggalannya dari Awan.
"Kok lo lewat sini?" tanya Nazwa pada Awan sesaat setelah ia berhasil menyenyajarkan langkahnya dengan pria itu.
"Gue baru pindah." jawabnya singkat.
"Oh, rumah lo yang di sebelah mana?"
"Yang deket warung Bu Sehun."
"Oh, berarti kita tetanggaan dong. Beda beberapa rumah sih. Tapi tetep tentanggaan 'kan?"
Awan hanya berdehem membalas perkatannya.
Nazwa memanyumkan bibirnya. Lama-lama ia berbicara dengan Awan ia semakin merasa berbicara dengan mayat hidup yang hanya menjawab "iya", "tidak", "oh" saja.
"Lo emangnya kayak gini yah tiap ngomong sama orang. Iya, enggak, gak tahu, mungkin, oh aja." Nazwa meniru perkataan Awan. "Singkat banget. Pantes aja temen-temen waspada dan ngira lo itu psikopat." lanjut Nazwa lebih terdengar seperti gumaman.
Beberapa detik kemudian Nazwa mendecih keras melihat Awan yang sedang menjejalkan headset ke telinganya.
Nazwa pun menarik nafasnya dalam-dalam. Ia tidak perlu memikirkannya lagi. Lagi pula itu dunia Awan. Ia tidak tahu sama sekali tentang dunia pria itu. Yang hanya ia tahu bahwa ia sangat berterimakasih karena Awan pernah menjadi penolongnya.
~***~
"Lo berangkat bareng sama Awan? Hati-hati dia 'kan psikopat." ucap Jully memberi peringatan saat ia bertemu dengan Nazwa di depan gerbang. Pandangannya mengarah pada Awan yang beberapa detik yang lalu berjalan melewati mereka.
"Enggak, tadi gue cuma ketemu sama dia di jalan. Ya.. dari pada gue sendirian mending bareng sama dia." ujar Nazwa kemudian berjalan mendahului Jully.
Jully masih tampak bertanya-tanya. Namun detik berikutnya ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Bersikap tidak mau ambil pusing lagi. Lagi pula kalau memang mereka berdua berangkat bersama bukan urusannya sama sekali.
"Wa, tungguin gue." Jully sambil berlari mengejar Nazwa.
~***~
Nazwa memunculkan kepalanya mencari-cari keberadaan Awan di perpustakaan ini. Ternyata selama ini Awan selalu bersembunyi disinni. Pantas saja ia tidak pernah bertemu dengan Awan dimana-mana saat jam istirahat. Melihat Awan yang duduk di bangku yang paling pojok, ia pun masuk ke dalamnya.
"Eh, de, isi dulu tanda kunjungannya." Bu Diana penjaga perpus di sekolahnya mengingatkan.
Nazwa tersenyum malu. Ia pun menuliskan nama dan kelas pada buku yang sebelumnya di sodorkan Bu Diana itu.
Hanya butuh beberapa detik Nazwa menelusurkan jemarinya pada deretan buku-buku. Sebelum akhirnya ia menarik salah satu buku yang entah buku apa itu, ia tidak melihatnya sama sekali. Tidak tertarik sama sekali.
"Tadi Bu Dewi nyariin lo." ujar Nazwa berhasil membuat Awan menoleh padanya.
"Katanya lo belum ngumpulin tugas yang minggu kemaren." Nazwa berbohong.
"Tugas apaan? Emang ada tugas?" tanya Awan.
"Gue bohong. Maaf." kata Nazwa sambil tertawa kecil.
"Gue udah tahu kok lo bohong." Ucap Awan sambil membuka halaman berikutnya dari buku yang sedang di bacanya itu.
"Yah... ketahuan. Padahal gue cuma pengen lihat ekpresi lo kalau kaget itu kayak gimana." Nazwa nyengir memperlihatkan jajaran giginya.
Canggung sekali rasanya hanya sekedar ingin mengakrabkan diri dengan pria ini. Terlalu dingin.
"Emang kenapa sama ekspresi gue?" tanya Awan.
"Lo flat. Gak ada ekspresinya sama sekali. Makanya gue penasaran gimana reaksi lo kalau kaget itu kayak. Ya seenggaknya lo nunjukkin ekpresi lo supaya kita gak nganggap lo gak normal, psiko."
"Oh." Awan hanya meng'oh' panjang.
"Ohhh." Nazwa meniru apa yang baru saja Awan lakukan. Dengan gaya dan nada yang lebih terdengar menyebalkan.
"Baca buku apa?" tanya Nazwa sambil melirik buku yang sedang di pegang Awan itu.
Awan tidak menjawab, ia hanya menutup bukunya menunjukkan judul bukunya lalu membukanya lagi.
"Wah, gue gak nyangka kalau buku hukum bisa setebal ini." ucap Nazwa kaget. "Lo baca ini sampai akhir?"
"Ya." lagi-lagi Awan menjawab dengan singkat.
Nazwa bertepuk tangan sendiri sambil berdecak kagum atas jawaban Awan. "Hebat...hebat..."
~***~
"Lo dari mana? Dari tadi gue cariin gak ketemu-ketemu." Jully heran melihat Nazwa yang baru saja masuk ke dalam kelas saat bel berakhirnya istirahat berbunyi.
Sejak tadi Jully tidak berhenti mencari keberadaan Nazwa. Di kantin, kelas, di toilet. Tidak menemukan Nazwa sama sekali. Perpustakaan? Jully segera menyingkirkan hal itu dari kepalanya. Tidak mungkin Nazwa mau repot-repot mengunjungi tempat membosankan itu.
"Dari perpus." jawab Nazwa riang.
"Wah... gue gak percaya lo ke perpus." pekik Jully.
Tidak percaya bahwa sahabatnya ini pergi ke perpustakaan karena setahunya sahabatnya ini anti yang namanya perpustakaan terlebih bau buku.
"Kenapa gak percaya?"
"Lo 'kan anti buku." Jully meringis karena ucapannya sendiri.
Alis Nazwa saling bertautan. "Ya... bagus dong kalau gitu. Berarti gak lama lagi gue bakalan susul peringkat lo. Lo harus siap-siap gue rebut posisinya ya..."
Jully tertawa mengejek. "Mustahil."
"Awas, nanti jangan nangis kalau peringkat gue ada di atas lo." kata Nazwa dengan sombongnya.
Jully yang mendengarnya hanya tertawa. Seperti inilah Nazwa. Selalu menyombongkan dirinya di saat ada kesempatan.
"Iya." Jawab Jully di sela-sela tawanya. Tak peduli dengan apa yang Nazwa katakan.
Tak lama guru ekonomi itu masuk ke dalam kelas. Pria tua berkaca mata. Dengan kaca mata yang tidak pernah berada di tempatnya yang seharusnya. Menggantung di ujung hidungnya.
Tidak memperdulikan guru ekonomi yang mulai menerangkan materi itu Nazwa menenggelamkan kepalanya pada tumpukkan tangannya di atas meja. Menghadapkan kepalanya kearah Awan. Menatap pria itu secara diam-diam. Hal yang selalu ia lakukan setiap waktu. Menatap wajah tenang Awan yang tidak pernah membuatnya bosan untuk melihatnya.
Sikap Awan yang pendiam dan jarang bergaul itu pastinya akan membuat orang-orang merasa segan untuk mendekatinya. Kenapa? Karena di dunia ini yang pendiam itu selalu banyak dicurigai. Katanya, orang pendiam itu banyak rahasia, punya sisi kegelapan yang selalu dia simpan di balik kedok pendiamnya itu.
Bahkan tak sedikit juga teman-teman satu kelas yang sering bergosip ria mengatakan bahwa Awan itu tidak normal, anti sosial, punya penyakit aneh, phobia dengan manusia, bahkan ada yang mengatakan bahwa Awan psikopat. Entah mereka mendapatkan bukti darimana sampai-sampai mereka menyimpulkan hal yang tidak-tidak seperti itu. Oleh sebab itu semua orang bersikap waspada saat bersama dengan Awan.
~***~
"Psikopat." Desis Nazwa pelan saat ia melihat Awan berjalan melewatinya tanpa menoleh padanya sama sekali. Headset terlihat menjejali telinganya seperti biasa.
Beberapa orang pria berlarian sambil bermain lempar tangkap tas salah satu temannya di koridor sekolah yang ramai ini. Satu diantara mereka—pria berkulit hitam pekat sedang berusaha meraih tasnya yang sedang di lempar-lempar itu. Namun, teman-temannya itu tidak mau memberikan tasnya meskipun ia sudah memohon-mohon sejak tadi. Tawa mereka mengiringi langkah mereka tidak memperdulikan satu temannya yang menjadi korban itu seperti akan menangis.
Nazwa hendak melangkahkan kakinya saat salah satu dari anak nakal itu menabraknya. Membuat tubuh kecil Nazwa tejatuh seketika. Lagi-lagi posisi jatuhnya tidak menguntungnya. Lututnya sedikti robek.
"Aww...sialan!" desisnya sambil menatap nanar lututnya yang mengeluarkan darah. Ah, menyebalkan sekali. Terakhir ia jatuh dan melukai lututnya seperti ini saat umurnya 10 tahun. Sekarang usianya 16 tahun. Pasti akan sulit sekali menghilangkan bekas lukanya.
Pandangan Nazwa lalu beralih pada anak-anak nakal yang masih asyik menjahili temannya itu. Ia tidak menyadari bahwa salah satu dari anak-anak itu sedang menatapnya dari kejauhan.
"Sialan! Kalau nanti gue jadi presiden gue penggal juga kepala kalian." umpat Nazwa kemudian mengaduh kesakitan lagi. "Aduh, lutut gue."
"Sini gue bantuin." ujar seorang pria yang entah sejak kapan berdiri di hadapan Nazwa.
Nazwa mendongak menatap pria yang mengulurkan tangannya itu. Tak lama ia pun menepis tangan itu secara kasar. "Gak perlu!"
Setelah membersikan pasir dan kotoran yang menempel, Nazwa pun berdiri. Berjalan meninggalkan pria itu tanpa memperdulikan apa yang pria itu fikirkan.
"Bener yah. Terkadang niat baik itu gak selalu berbuah baik juga." keluh pria ini sok puitis.
Matanya lalu membulat melihat gadis yang baru saja temannya tabrak tadi hampir terjatuh. Dengan gerakan cepat ia menghampiri gadis itu dan memegangi pangkal lengannya.
"Mau gue anter pulang? Kayaknya lo gak bisa pulang sendiri dengan..." pria itu meringis melihat robekan kecil pada lutut Nazwa. "Lutut lo yang berdarah ini."
Nazwa bedecak lidah sebal sambil menepis tangan pria itu pelan. "Jangan modus ya." Nazwa memperingatkan. "Gue gak bakalan suka sama lo kalaupun lo bersikap manis sama gue kayak gini. Jangan goda gue!"
Pria itu tertawa mendengar apa yang baru saja Nazwa katakan padanya. "Modus apaan sih?!"
"Ya... itu, yang barusan, lo mau anter gue pulang itu bukan modus ya?"
"Gini ya, gue cuma mau bertanggung jawab karena temen gue yang udah bikin lo jatoh tadi." pria itu mencoba menjelaskan.
"Gak perlu. Gue bisa pulang sendiri. Lagian gue gak kenal sama lo. Kalau lo bawa gue ke tempat yang aneh gimana?"
Pria itu lagi-lagi tertawa. "Oke. Gue Naufall. Rumah gue gak jauh dari sini. Cukup? Sekarang lo mau kan gue anter pulang? Gue bawa sepeda kok."
"Terus lo mau nyuruh gue berdiri gitu di belakang?"
"Ya ampun. Bisa gak sih lo gak nyolot kalau ngomong." omel Naufall tidak habis fikir dengan gaya bicara gadis di hadapannya. "Sepeda gue ada boncengannya kok."
Nazwa menghembuskan nafasnya. "Yaudah." Putusnya pada akhirnya.
Nazwa fikir tidak salahnya menolak apa yang pria ini tawarkan. Lagipula temannya pria ini yang membuatnya seperti ini, jadi sudah sepantasnya pria bernama Naufall ini mewakili temannya itu untuk bertanggung jawab. Lagi pula lututnya terasa sangat sakit saat di gerakan.
~***~
Tambahan pemain. Sung Jae as Naufall
jangan lupa FVC nya yaa....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top