BAB 16
~***~
Jika dengan menjauh bisa membuat dia senang. Maka Nazwa akan melakukannya. Meskipun hal itu sangat berat untuknya. Ini bukanlah hal yang biasa, perasaannya pada Awan bukanlah hal yang biasa. Bukan, bukan cinta pertama. Mungkin kedengarannya gila. Tapi, Nazwa tidak bisa berbohong bahwa ia pernah memikirkan untuk hidup berdua bersama Awan. Bahwa ia membayangkan mempunyai keluarga bahagia bersama Awan.
Nazwa tahu apa yang dibayangkannya itu terlalu berlebihan. Nazwa tahu bahwa ia tidak akan bisa mewujudkan mimpinya itu. Mimpi hanyalah mimpi tidak akan menjadi kenyataan apalagi perasaannya dan Awan yang bertolak belakang ini. Nazwa sangat menyukai Awan berlainan dengan perasaan Awan padanya. Bahkan pria itu secara terang-terangan menyuruhnya untuk menjauhi pria itu.
Rasa sakit ini bukan masalah pengkhianatan atau semacamnya. Rasa sakit ini tidak ada hubungannya dengan persahabatan. Rasa sakit ini juga tidak ada hubungannya dengan kepercayaan yang telah Nazwa berikan. Tapi, karena Nazwa tahu bahwa alasan Awan menolaknya karena orang lain yang sangat Nazwa kenal. Alasan dan kenyataan yang tidak pernah Nazwa bayangkan sebelumnya.
Jika sebelumnya sangat berat bagi Nazwa untuk menjauhi pria yang selama sudah sekian lama mengisi hatinya itu. Sekarang Nazwa akan melakukannya tanpa ragu-ragu.
Samar-samar Nazwa mendengar suara langkah kaki mendekat ke kamarnya. Segera Nazwa menyembunyikan tubuhnya ke dalam selimut—berpura-pura tidur.
"Tumben jam segini udah tidur. Biasanya masih melek main game." dari dalam selimutnya Nazwa mendengar suara mamanya. Namun, ia perpura-pura tidak mendengarnya.
Mamanya tidak tahu apa yang terjadi pada Nazwa. Tidak tahu bahwa anaknya sekarang sedang mengalami sesuatu yang paling menyakitkan yang pernah dirasakannya selama 17 tahun hidupnya. Tidak, Nazwa tidak berniat untuk menceritakannya pada mamanya. Ia terlalu malu untuk menceritakannya. Biarlah Nazwa yang menyimpan rasa sakitnya sendiri.
Beberapa detik kemudian terdengar suara pintu ditutup. Perlahan Nazwa membalikkan tubuhnya melihat apakah mamanya sudah keluar atau tidak. Mamanya sudah tidak ada di kamarnya. Nazwa menyingkirkan selimutnya dan menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang.
"Kenapa harus kayak gini." Lirihnya sambil menenggelamkan kepalanya. Tangisnya pecah saat itu juga. Rasanya sangat pedih dan tidak bisa ditahan-tahan.
~***~
Nazwa bangun pada pagi harinya dengan kepala yang terasa sedikit pusing. Bukan hanya itu matanya juga terlihat sembab karena menangis semalaman. Seharusnya Nazwa tidak kaget saat bangun dan mendapati keadaan dirinya yang seperti ini. Tapi tetap saja tadi ia hampir saja berteriak. Kedua matanya bengkak lengkap dengan bibirnya yang pucat kering pecah-pecah.
Sekarang ia sedang menuruni tangga rumahnya menuju ruang makan. Disana sudah duduk papanya sambil membaca koran paginya sementara mamanya masih berada di dapur menyiapkan nasi goreng untuk sarapan mereka bertiga. Nazwa menyimpan tasnya pada kursi yang akan di dudukinya. Ia sempat melirik papanya sejenak sebelum melangkahkan kakinya ke dapur. Dan benar saja mamanya masih sedang memasak nasi goreng.
Saat mamanya hendak mengambil kecap Nazwa sudah terlebih dulu mengambilnya dan menyerahkannya pada mamanya. Disaat itu mamanya bisa melihat dengan jelas mata sembab Nazwa. Kernyitan halus terlihat di keningnya. Akan tetapi lama menunggu Nazwa tidak mendapati mamanya bertanya padanya.
"Kamu nangis semaleman yah? Kenapa?" tanya mama khawatir, namun tidak menunjukkan wajanya karena ia sedang sibuk memasak nasi goreng.
Nazwa menghela nafas, akan tetapi tidak menjawab pertanyaan dari mamanya sama sekali. Rasanya terlalu berat dan malu baginya untuk mengatakan pada mamanya tentang apa yang terjadi padanya.
Pagi ini dan kemarin masih sama beratnya. Masih sama menyakitkannya dirasa oleh Nazwa. Nazwa menghela nafas lalu memeluk mamanya dari belakang.
"Ma." Ucap Nazwa pelan. Pelukannya jelas-jelas membuat mamanya sedikit tersentak.
"Nazwa kamu kenapa sih. Mama lagi masak nih. Nanti gosong." Mama mencoba untuk melepaskan tangan Nazwa dari pinggangnya namun pelukan Nazwa lebih kuat dari yang dikira sehingga mama tidak bisa melepaskan pelukan Nazwa.
"Ma rasanya sakit banget." ucap Nazwa pelan.
Mama tersenyum tipis lalu mematikan kompornya. "Emang kamu kenapa?"
Mama membalikka badannya menghadap pada putrinya yang entah kenapa bersikap sangat aneh pagi-pagi seperti ini.
"Ma apa cinta itu bisa sesakit ini. Nazwa gak tahu kalau rasanya bakalan kayak gini." Ucap Nazwa.
"Woww... rupanya anak mama udah dewasa yah sekarang."
"Kenapa harus ada rasa cinta kalau masih ada rasa sakit yang harus kita rasain ma?"
"Justru dengan adanya rasa sakit cinta itu akan lebih berwarna, lebih bermakna, lebih indah, lebih menyenangkan, lebih terasa."
"Kenapa gak kayak mama sama papa yang gak pernah berantem. Itu lebih tenang 'kan, ma?"
Mama mengusap-ngusap rambut Nazwa dengan perasaan sayang. "Kamu fikir mama sama papa gak pernah berantem? Kamu fikir mama gak pernah ngerasain sakit karena papa kamu? Kamu harus tahu kalau orang yang rumah tangga itu gak semulus kulit Kim So Hyun, gak selurus jalan tol, gak semanis gula. Kalau cinta seumuran kamu itu rasa sakitnya masih biasa-biasa aja."
"Tapi mama sama papa gak pernah kelihatan berantem?" tanya Nazwa heran karena selama ini yang ia lihat mama dan papanya selalu terlihat biasa-biasa saja seolah tanpa masalah apapun.
"Karena mama sama papa gak mau buat pertengkaran mama sama papa jadi beban buat kamu. Kamu ngerti, 'kan?"
Nazwa mengangguk mengerti.
"Emangnya kamu nangis kayak gini gara-gara siapa? Apa...gara-gara cowok yang waktu itu dateng kerumah? Atau cowok yang akhir-akhir ini sering nganter kamu pulang ke rumah? Siapa sih namanya mama lupa."
"Naufall." jawab Nazwa sedikit enggan. "Bukan ma. Bukan Naufall yang buat Nazwa kayak gini, bukan." bantah Nazwa keras-keras. Naufall terlalu baik dan terlalu mencintainya untuk menyakiti Nazwa seperti ini.
"Lho kalau gitu siapa?" tanya mamanya heran karean setahu mamanya tidak pernah ada yang datang ke rumah atau mengantar Nazwa pulang selain Naufall.
"Mama inget 'kan cowok yang pernah nunggu aku di bawah jendela?" tanya Nazwa berusaha membuka memori mamanya tentang Awan yang pernah sekali datang ke rumahnya.
Mamanya tampak berfikir keras untuk beberapa saat. Sampai akhirnya ia membulatkan matanya. "Oh yang tinggal di deket warung Ibu Sehun itu?"
"Dia pacaran sama Jully."
~***~
Rasanya berat sekali melangkahkan kaki menyusuri koridor sekolah ini. Nazwa merasa bahwa kakinya sangat berat sekali. Lebih berat lagi saat ia melihat Awan berjalan beberapa meter di depannya. Dadanya menjadi sakit.
Tidak. Nazwa tidak boleh terlihat sedih sekarang. Tidak boleh ia memperlihatkan bahwa saat ini hatinya sangat sakit seperti dicabik-cabik. Itu berlebihan mengingat Awan bukan siapa-siapanya. Awan berhak memilih siapa saja selain dirinya dan Nazwa tidak mempunyai hak apapun untuk marah, atau membenci Awan. Ya...meskipun rasa sakit itu pasti ada.
"Nazwa." panggil seseorang dari belakangnya.
Nazwa tahu siapa yang baru saja memanggilnya itu. Namun, ia sama sekali tidak berkeinginan untuk melihat wajah sahabatnya untuk saat ini. Entahlah apakah mereka masih bersahabat saat ini atau tidak. Yang pasti Nazwa merasa terkhianati sekali.
"Gue minta maaf soal kemaren." ucap Jully yang sudah berhasil menyenyajarkan langkahnya dengan Nazwa.
Nazwa menarik nafasnya sedikit enggan. Rasanya tidak ingin ia melihat Jully untuk saat ini.
"Gue gak bermaksud buat nyakitin lo. Gue..."
Tiba-tiba saja Nazwa menghentikan langkahnya dan menatap Jully dengan tatapan dingin namun begitu menusuk. Terlihat jelas sekali bahwa Nazwa marah melihat Jully.
"Gue gak apa-apa. Gak ada urusannya juga sama gue." jawab Nazwa tanpa menatap wajah Jully.
"Gue tahu gue salah. Gue minta maaf. Gue bisa jelasin kenapa gue sama Awan..." Jully meraih tangan Nazwa. Namun Nazwa menepisnya pelan.
"Gak ada yang haru lo jelasin." Nazwa menangguk-angguk bibirnya tersenyum paksa. "Seharusnya dari awal gue dengerin lo buat buang perasaan gue jauh-jauh sama Awan. Lo nyuruh gue karena lo udah suka yah sama Awan? Selamat yah, pergerakan lo lebih cepat dari gue."
"Nazwa gue..."
Nazwa tersenyum miring. "Bodoh yah gue. Seharusnya gue curiga sama lo waktu lo nyuruh gue jauhin Awan."
"Gue minta maaf. Gak ada maksud gue buat nyakitin lo." entah sejak kapan Jully sudah mengeluarkan air matanya.
"Jangan nangis gitu. Seharusnya lo bahagia. Lo kan udah jadian sama Awan."
Nazwa sama sekali tidak memperdulikan ucapannya yang semakin membuat hati sahabatnya sakit. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada kita yang sudah melakukan banyak hal demi mendapatkan seseorang yang kita inginkan tetapi pada akhirnya seseorang itu malah memilih teman dekat kita sendiri. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari itu.
Setelah meyakinkan dirinya sendiri bahwa perkataannya barusan pada Jully itu tidak salah, ia pun melangkahkan kakinya meninggalkan Jully yang masih menangis di tempatnya. Terserah apa kata orang lain melihat dirinya bersikap buruk pada Jully. Terserah jika persahabatan mereka berdua hancur seperti sekarang.
~***~
Nazwa merasa bahwa hari ini dan kemarin adalah hari terburuknya. Selama pelajaran berlangsung secara terpaksa Nazwa harus menghindari tatapan Awan padanya. Dan juga mengabaikan Jully yang berada disampingnya yang selama pelajaran berlangsung selalu terlihat ingin mengatakan sesuatu padanya. Tidak hanya itu sesekali Jully juga menenggelamkan kepalanya pada lipatan tangannya. Menangis selama pelajaran berlangsung.
Ini sungguh tidak nyaman. Jully adalah sabahatnya yang selama ini selalu bersamannya dan sekarang Nazwa dengan terpaksa harus mengabaikan Jully seperti ini. Tapi, orang mana yang tidak akan sakit hati jika mengetahui bahwa sahabatnya sendiri tega melakukan hal yang sama sekali tidak pernah terfikir dalam benak Nazwa. Bahwa Jully akan mengkhianatinya.
"Gak ada lagi yang harus lo jelasin. Semuanya udah jelas." ucap Nazwa menatap Jully yang berdiri di hadapannya. Seolah mengerti apa yang akan Jully katakan padanya.
Apalagi? Selain memintajnya untuk mendengarkan penjelasan darinya.
Tadi saat bel pelajaran berakhir Jully meletakkan sebuah memo ke hadapannya kemudian langsung pergi begitu saja. Memo yang bertuliskan bahwa Jully akan menunggunya di lorong menuju toilet wanita. Awalnya Nazwa tidak berniat untu memenuhi undangan Jully. Akan tetapi, entah kenapa Nazwa pada akhirnya melangkahkan kakinya kesana juga.
Dan sekarang disinilah ia berdiri dengan Jully yang berada di hadapannya. Sebelumnya sempat terjadi keheningan diantara mereka berdua sampai akhirnya Jullu membuka mulutnya mengatakan minta maaf telah melakukan hal itu pada Nazwa.
Tidak, Nazwa bukan orang bodoh yang mau-mau saja memaafkan kesalahan orang lain dengan gampangnya. Nazwa bukan pemaaf sejati. Ia merasa menjadi orang paling jahat. Sudahlah, apa pedulinya? Memangnya siapa disini yang jahat? Dirinya atau Jully?
Berkali-kali ia harus menarik ulur nafasnya mencoba untuk mengontrol emosinya. Ia memang marah, tapi Nazwa tidak boleh berfikiran melakukan hal-hal bodoh terhadap Jully. Karena seberapa sakitnya, seberapa marahnya, seberapa kecewanya ia pada Jully, ia harus bisa menahan emosinya.
"Gue mau jelasin yang kemaren. Lo salah faham, Wa." Jully mencoba meraih tangan Nazwa namun dengan cepat Nazwa menepis tangan Jully.
Jully memejamkan matanya. Air matanya keluar sejak tadi. Nazwa mengerti apa yang Jully rasakan dan ia pun merasakan hal yang sama. Sakit karena untuk pertama kalinya mereka berdua mempunyai masalah seperti ini. Mungkin ini salah satunya hal yang tidak pernah terfikirkan akan terjadi pada mereka berdua.
"Mau salah faham atau enggak itu bukan urusan gue. Hubungan kalian gak ada hubungannya sama gue. Dan gue gak berhak buat halangin hubungan lo sama Awan." ujar Nazwa setelah sebelumnya ia bersusah payah untuk mengeluarkan kata-kata itu. Tenggorokannya tercekat namun sebisa mungkin Nazwa menahan keinginannya untuk menangis saat ini juga.
"Maaf, Wa." Jully menunduk. "Gue gak ada maksud buat nyakitin lo."
"Terus kalau lo gak ada maksud nyakitin gue, kenapa lo jadian sama Awan di belakang gue? Itu yang lo bilang gak ada maksud buat nyakitin gue?" tanpa sadar Nazwa berteriak karena marah.
Nazwa menelan ludahnya dengan susah payah. Rasanya tenggorokanya ada yang menghalangi sehingga membuatnya sedikit kesulitan untuk bernapas. Namun ada satu hal yang sangat ingin ia ketahui. Dan semoga saja hal itu yang bisa membuatnya merasa bahwa hal itulah yang bisa membuatnya mundur untuk menyukai Awan. Yang bisa membuat Nazwa melupakan perasaannya pada Awan.
Sebelumnya Nazwa memejamkan matanya. "Sejak kapan?"
Pertanyaan barusan itu keluar dengan susah payah dari mulut Nazwa.
Kemudian Jully yang masih menunduk pun menjawab. "Seminggu yang lalu."
Jully mendongakkan kepalanya menatap Nazwa. "Gue minta maat gak bilang soal hal itu sama lo sejak awal. Gue cuma gak mau lo sakit hati. Karena gue tahu lo cinta banget sama..."
"Gue baik-baik aja. Gak usah kasihanin gue." Potong Nazwa. Ia mendongakkan kepalanya karena lagi-lagi matanya terasa sangat panas melelehkan sesuatu sehingga cairan bening itu keluar dari matanya.
"Tapi..."
"Tapi apa! Gue 'kan udah bilang gue gak apa-apa! Hubungan lo sama Awan itu bukan urusan gue! Ngerti!"
"Maafin gue." Jully menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Maaf karena gue udah nusuk lo dari belakang. Gue akuin itu. Gue minta maaf." tubuh Jully merosot sampai akhirnya terduduk tak berdaya di lantai lorong ini.
Sementara itu Nazwa yang menatapnya hanya bisa terus menghela nafasnya berusaha untuk menegarkan dirinya. Rasanya sakit sekali. Rasanya lebih sakit dari sakit gigi. Kalau sakit gigi mungkin ada obatnya dan bisa diobati dalam waktu yang singkat. Tapi yang ini berbeda. Sekarang hatinyalah yang terasa sakit dan Nazwa tidak tahu apa yang harus ia perbuat untuk mengobati hatinya.
Tidak ada obat yang bisa mengobati sakit hati.
~***~
Naufall baru saja pulang karena harus menyelesaikan tugas kelompok. Suasana sekolah sudan sangat sepi. Hanya terlihat beberapa anak yang mengikuti club futsal saja yang sedang melakukan kegiatan di lapang basket yang di tutupi oleh pagar besi.
Tiba-tiba saja ia teringat dengan Nazwa. Bagaimana keadaan gadis itu hari ini? Apa dia bisa melewati harinya di sekolah dengan baik? Naufall harap seperti itu. Naufall berharap tidak ada yang terjadi pada Nazwa setelah apa yang terjadi padanya kemarin.
Baru saja ia memikirkan tentang Nazwa dan gadis itu saat ini berjalan kearahnya. Namun ada yang berbeda. Tatapan tajam namun cerianya saat ini tidak terlihat malah terlihat sangat sedih. Pikiran-pikiran buruk menghampirinya. Mungkin terjadi sesuatu pada Nazwa sampai membuat gadis itu seperti ini sekarang. Meskipun ia tidak tahu rasa sakitnya seperti apa, yang pasti itu akan sangat terasa sakit. Dan hal itu yang pasti sedang dirasakan Nazwa saat ini.
"Nazwa, kamu..." Naufall meletakkan kedua telapak tangannya di kedua sisi wajah Nazwa. Berfikir kemungkinan apa saja yang baru saja terjadi pada gadis itu.
Nazwa mendongak, menatap Naufall seperti sedang mencari pengaduan. Naufall mengerti.
"Sakit." Nazwa munduk.
"Sakit banget, Fall." punggung Nazwa naik turun tak beraturan. Air matanya mengalir dengan deras. Dadanya terasa sangat sakit membuat napasnya tercekat dan sesak.
"Gue gak tahu kalau rasanya...bak...bakal sesakit ini."
Naufall menghela nafasnya. Sebelumnya ia sudah ingin menyerang Nazwa dengan berbagai pertanyaan yang bermunculan. Akan tetapi melihat keadaan Nazwa yang seperti ini membuat Naufall mau tidak mau harus menahan dirinya untuk tidak bertanya.
Lengan Naufall secara nalurian meraih tubuh Nazwa dan memeluknya. Merasa bahwa saat ini Nazwa sangat butuh dada seseorang untuk di jadikan sandaran bukannya seseorang yang menyerangnya dengan banyak pertanyaan sekaligus.
Naufall menarik tubuh Nazwa ke dalam peukannya. Menyandarkan kepala gadis itu pada dadanya. Ia tidak pernah keberatan memeluk Nazwa yang seperti ini meskipun ia tahu bahwa alasan Nazwa seperti ini karena laki-laki lain.
Sadarkah bahwa hal itu juga membuatnya sakit.
Manghibur gadis yang ia cintai karena pria lain menyakitinya.
~***~
Hey yoww what's up gaisss!!
Mana suaranya buat si awannn????!!!
jangan lupa vote sama comentnyah yah gaisss
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top