BAB 15


~***~

"Ayo Wa." Naufall menarik lengan Nazwa melewati beberapa orang yang tampak memadati pintu utama.

"Gue 'kan udah bilang kalau gue gak tertarik buat dateng ke acara-acara kayak ginian." elak Nazwa sambil melepaskan genggaman tangan Naufall padanya.

Saat ini mereka sedang berada di sebuah acara ulang tahun ketua osis. Acara yang lumayan mewah untuk seorang ketua osis yang berparas tampan. Sebenarnya Nazwa tidak terlalu mengenal dengan pasti sosok ketua osis di sekolahnya. Bisa dikatakan Nazwa hanya sekedar tahu saja. Dan selebihnya ketua osis itu adalah orang asing baginya.

Tetapi entah kenapa undangan ulang tahun itu melayang kepadanya. Padahal mereka tidak saling mengenal. Tapi, bisa saja ketua osis itu yang mengetahui tentang dirinya dan sangat ingin mengundangnya. Tapi, yasudahlah. Pria ini sudah terlanjut menyeretnya ke acara ini.

"Udah ikut aja, sekalian refreshing sebelum ujian." ujar Naufall sambil memandangnya lembut lalu melanjutkan menarik lengannya menuju tempat yang nyaman. "Tenang aja, gue pasti nganterin lo pulang sebelum jam 9 kok. Sesuai yang gue janjiin sama mama lo."

"Gak boleh lebih yah." Nazwa memperingatkan.

Naufall tertawa kecil. "Emangnya gue kelihatan kayak cowo yang suka ngumbar janji manis gitu? Emang gue kelihatan kayak cowok yang suka manfaatin kesempatan buat dapetin sesuatu yang menguntungkan buat gue, gitu?"

"Ya siapa tahu aja 'kan?" timpal Nazwa.

Naufall mendecih sebal. "Apa itu yang selama ini ada di fikiran lo tentang gue."

"Mmmm...." Nazwa mengangguk-angguk. "Bisa jadi itu alasan gue terus menghindar dari lo."

"Jadi lo berfikir kalau gue cowok bajingan yang suka manfaatin keadaan gitu." Naufall mendecih lagi. "Apa lo gak pernah nyari tahu seberapa tulusnya perasaan gue sama lo selama ini. Alasan gue terus ada di deket lo walaupun lo gak pernah lihat gue sama sekali."

Nazwa terdiam beberapa saat mendengar apa yang Naufall katakan padanya. Ia tahu, sangat tahu bagaimana perasaan Naufall kepadanya selama ini. Tetapi dirinya yang egois ini yang terus mengharapkan Awan yang menyuruhnya untuk tidak menyukai dan membuka hati untuk siapapun. Dan sekarang ia tidak tahu apa yang harus ia katakana pada Naufall, apa yang harus ia jawab untuk pertanyaan Naufall yang barusan itu.

"Lihat, bukannya itu cewek yang katanya tergila-gila sama ketua osis itu yah?" Nazwa menunjuk seorang gadis bergaun merah muda yang baru saja naik ke atas panggung dengan percaya dirinya.

Naufall tahu betul bahwa saat ini Nazwa sedang berusaha untuk menghindar dari pertanyaannya sebelumnya. "Jangan ngalihin pembicaraan." Ia memperingatkan.

"Siapa juga yang ngalihin pembicaraan?"

"Elo, emang siapa lagi."

"Emang apa yang harus gue bilang sama lo sebelumnya. Apa yang lo inginkan dari gue buat lo denger?"

Naufall mendesah frustasi. "Udahlah, lupain."

~Hai bianglala?

Ku kira setelah hujan reda kau akan kembali

Tapi nyatanya kau tetap saja berlari

Langkahmu begitu meragukan

Dan mungkin tanpa tujuan

Mengapa dulu sebelum turun hujan

Kau begitu membingungkan

Tiba-tiba saja memuji senja

Lalu kemudian mengabaikannya

Saat senja menghilang

Hatimu seperti tak karuan

Tapi tak juga memberi kepastian~

"Selamat ulang tahun kak." ucap gadis itu sambil membentuk dua jarinya menjadi love.

Sebelumnya terjadi keheningan yang luar biasa saat gadis bergaun merah muda itu membacakan puisi yang ia khususkan untuk ketua osis itu—pria yang saat ini sedang berdiri di depan panggung sambil memegangi minuman di tangannya. Pria itu juga sama diamnya seperti yang lainnya.

Sampai kemudian terdengar tepuk tangan yang meriah saat gadis itu menuruni tangga. Diam-diam Nazwa mengagumi kegigihan dan keberanian gadis itu dalam menyatakan perasaannya pada ketua osis itu walaupun pria itu tidak pernah memandangnya sama sekali. Sama seperti dirinya yang menyukai Awan habis-habisan dan pada akhirnya mengungkapkan perasaannya tanpa perasaan malu.

***

"Besok ada acara?" tanya Naufall saat ia dan Nazwa sedang berjalan menelusuri pinggiran rumah si ketua osis. Berjalan berdua sambil menikmati udara malam.

"Acara..." gumam Nazwa. "Pagi-pagi sekolah, sore pulang, malemnya gue belajar terus tidur." jawab Nazwa diakhiri dengan menatap Naufall yang ada disampingnya sambil mengulum senyumnya. "Jadwal gue padet banget besok."

Naufall tertawa mendengarnya. "Kalau gitu jadwal lo sama gue sama. Besok malem... belajar bareng gimana?"

"Belajar bareng sama lo?"

"Oke sip! Besok jam 7 gue kerumah lo." Teriak Naufall tanpa mendengar persetujuan dari Nazwa terlebih dahulu apakah ia mau atau tidak. Dan seperti biasa Naufall bisa menghiburnya dengan cara seperti ini.

Pria itu selalu saja bisa menghadirkan senyuman diwajahnya.

"Eh, kok lo gitu sih. 'kan gue belum bilang gue mau atau enggak."

"Lagian lo gak bakal nolak."

"Kata siapa. Gue bisa nolak. Setiap detik gue selalu punya alasan buat nolak apa yang lo mau dari gue."

"Kalau gue udah minta izin sama mama lo, apa lo bakal nolak?"

"Mama gue!" Nazwa meninju pangkal lengan Naufall. "Lo udah bilang sama mama gue."

"Ya. Dan dia bilang gue tinggal dateng aja kalau gue mau."

"Ish, dasar licik." desis Nazwa.

"Itu Jully, 'kan?" tanya Naufall sambil menunjuk gadis yang berdiri sendirian di sudut yang lumayan gelap.

"Dia diundang juga?" gumam Nazwa pelan. "Tapi, kok dia gak bilang sama gue dia dateng."

"Mungkin dia lupa."

"Tapi biasanya dia bilang sama gue. Apa-apa dia bilang sama gue."

"Emangnya lo mamanya sampai-sampai dia harus terus lapor 24 jam sama lo." sindir Naufall.

"Bukannya gitu." Nazwa meninju pelan pangkal lengan Naufall.

"Terus apa?" Naufall meringis sambil memegangi lengannya.

Nazwa berdecak lidah kesal. Sungguh, ia sudah tidak suka jika sudah berdebat seperti ini dengan Naufall. "Udahlah."

"Gue haus." ucap Naufall. "Debat sama lo bikin gue haus."

"Kalau gitu gue ambil minum dulu." Nazwa menawarkan diri.

"Gitu dong. Calon istri yang baik." kekeh Naufall sambil mengacak-ngacak rambut Nazwa gemas.

Nazwa terkekeh mendengarnya. Apa-apaan Naufall ini?

Baru saja dua langkah Naufall akan menghampiri Jully, seseorang yang entah dari mana sudah terlebih dahulu menghampiri Jully. Dari jaraknya yang sekarang dan posisi Jully yang berada di satu sudut yang gelap membuat Naufall tidak bisa melihat dengan jelas siapa pria itu. Yang bisa ia lihat hanyalah wajah senang Jully saat pria itu menghampirinya.

Siapa pria itu? Kenapa rasanya ia sangat ingin tahu sekali siapa pria itu.

"Mereka pacaran?" gumam Naufall saat melihat Jully tiba-tiba saja memeluk pria itu dan pria itu pun balas memeluk Jully.

Naufall tersenyum melihatnya. "Apa gue bisa juga yah pacaran sama Nazwa." tiba-tiba saja ia merasa geli membayangkannya. Ia tidak tahu akan sebahagia apa ia nanti jika apa yang ada dalam bayangannya benar-benar terjadi padanya.

"Ketawa kenapa?" tanya Nazwa yang entah sejak kapan sudah berdiri disamping Naufall.

"Apa gue bisa jadi pacar lo." kata Naufall membuat tubuh Nazwa yang mendengarnya menegang seketika. "Itu alasan kenapa gue ketawa barusan."

"Jangan mulai lagi Naufall. Gue bisa aja pulang sekarang juga kalau lo bahas soal itu lagi." Nazwa mengancam membuat Naufall mengangguk-anggukan kepalanya.

"Hey, lo kesini juga." seorang gadis menepuk pundak Nazwa, Nindy, teman sekelasnya. "Gue fikir lo gak suka pergi ke acara-acara kayak ginian."

"Dia dateng sama gue. Gue yang maksa dia buat dateng." jawab Naufall mewakili Nazwa.

"Lo diundang juga?" tanya Nazwa.

Pertanyaan yang dilontarkannya entah kenapa membuat Nindy tertawa. Nazwa mengernyitkan alisnya heran. "Kenapa ketawa? Apa ada yang lucu?"

"Ya ampun Nazwa, semua orang di undang kali. Jangan bersikap seolah-olah lo istimewa karena lo diundang padahal lo gak kenal sama ketua osis itu." ujar Nindy.

Nazwa mengangguk-angguk. "Pantesan aja Jully juga dateng." Nazwa mengarahkan tatapannya pada Jully sampai kemudian ia menyadari sesuatu. Jully bersama dengan seorang pria. "Dia sama siapa ya?"

"Pacarnya." jawab Nindy.

"Pacarnya?" gumam Nazwa.

"Pantesan aja tadi Jully berani banget peluk cowok itu." ujar Naufall. Membuat Nazwa dan Nindy menoleh padanya.

"Ya ampun Nazwa, lo gak tahu? Kalau Jully udah jadian?" kata Nindy seperti biasa perkataannya selalu menusuk ke dalam relung hatinya. Ia memang tidak terlalu dekat dengan Nindy, yah, bisa dibilang tidak dekat sama sekali.

"Jadian?" Nazwa kaget. Setahunya Jully belum pernah mengatakan apapun padanya mengenai hal itu.

"Yap jadian." Setuju Nindy. "Dan lo pasti gak nyangka siapa yang jadi pacarnya Jully."

"Yang lebih gue gak nyangka dia bisa punya pacar padahal sebelumnya dia gak pernah cerita apapun sama gue tentang cowok manapun yang dia suka. Gue fikir dia gak punya ketertarikan sama cowok."

"Tapi, sekarang dia udah punya pacar." kata Naufall. "Cowok yang sekarang lagi sama Jully di sudut gelap. Cowok misterius yang gak bisa kita lihat wajahnya dari sini." mata Naufall menyipit berusaha untuk melihat siapa yang sedang bersama dengan Jully itu.

"Apa bener itu pacarnya? Mungkin temennya atau saudaranya."

Entah kenapa Nazwa merasa iri mengetahui bahwa Jully sudah mempunyai pacar. Perasaan yang tidak seharusnya ia rasakan. Yah, seharusnya ia merasa senang mengetahui hal itu bukannya merasa seperti ini. Nazwa merasa menjadi teman yang buruk saat ini.

"Ternyata lo gak sedeket itu yah sama Jully." gumam Nindy. "Sampai-sampai lo gak tahu kalau sahabat lo sendiri udah punya pacar."

Jelas sekali bahwa sekarang gadis bernama Nindy ini sedang berusaha untuk memojokkan Nazwa dengan kata-katanya. Naufall bukan orang bodoh yang tidak mengetahui hal itu. Dan sekarang Nazwa pun sepertinya sudah mulai terpancing dengan apa yang Nindy katakan padanya.

"Jully mungkin nunggu waktu yang tepat buat bilang sama lo atau dia lupa." Naufall menengahi. Nindy mendelik sebal padanya sedangkan Nazwa hanya menghela nafasnya.

"Temen deket pastinya gak bakalan khianatin temen deketnya 'kan? Gue cuma bisa saranin supaya lo gak terlalu percaya sama orang lain, apalagi sama orang yang deket banget sama lo. Karena ngasih kepercayaan sama orang lain itu sama artinya dengan kita berjalan diatas seutas tali panjang diatas bukit. Lo gak tahu apa lo bakalan selamet atau justru lo bakalan jatuh karena tergelincir di tali itu. Siapa yang tahu." Nindy mengangkat kedua bahunya.

Nazwa melipat kedua tangannya di depan dada. Menatap Nindy dengan tatapan tidak suka. Ia heran kenapa gadis ini selalu saja mengganggunya dengan cara seperti ini. "Gue tahu hubungan kita sebelumnya emang gak baik, bahkan gue bisa bilang hubungan gue buruk banget sama lo. Tapi, lo gak bisa nilai temen gue seenak jidat lo kayak gitu."

"Terserahlah. Gue gak tahu nanti apa lo bakalan sepakat sama apa yang gue bilang saat lo tahu siapa yang jadi pacarnya Jully."

"Siapa yang jadi pacarnya Jully itu bukan hak gue untuk ikut campur. Itu masalah pribadi Jully." tegas Nazwa.

Naufall mengernyit melihatnya. Nazwa ternyata tidak sekuat yang ia kira. Gadis ini justru sangat mudah untuk dipengaruhi, sangat mudah untuk terasakiti. Itu yang ia tahu saat ini.

"Apa bakalan lain ceritanya kalau Awan yang jadi pacanya Jully!" teriak Nindy. Terdiam beberapa saat demi melihat reaksi apa yang akan ditimbulkan oleh Nazwa, senyumnya tersungging sinis. "Apa lo bakalan terus mikir kalau kalian deket banget? Apa lo bakalan masih mikir kalau Jully beneran temen lo? Apa lo masih anggap dia temen lo setelah lo tahu dia khianatin lo kayak gini? Gue kasihan sama lo."

Naufall melihat dada Nazwa naik turun, terpancing dengan apa yang Nindy katakan. Sampai tanpa disangka-sangka Nazwa melangkah menghampiri Jully. Dan Nindy yang berdiri di sampingnya tersenyum senang melihatnya.

Naufall menatap tajam gadis disampingnya. "Kalau sesuatu terjadi sama mereka gue bakalan nyalahin lo."

"Kenapa? Apa yang gue bilang itu salah?" tantang Nindy sambil memajukan tubuhnya menyudutkan Naufall.

***

"Jully,..." sangat ragu sekali saat Nazwa memanggil nama itu pada seseorang yang hanya berjarak beberapa langkah saja darinya.

Perasaan aneh menyelimutinya. Entah perasaan apa itu. Yang pasti ia merasa seperti ia sedang menantikan bom waktu yang tidak tahu kapan akan meledak. Bisa saja semenit kemudian, dua detik kemudian, atau bisa juga meledak sekarang.

Memakan sedikit waktu seseorang itu untuk menoleh padanya. Dan... rasanya dunia mendadak runtuh di bawah kakinya saat ia melihat Jully memutar tubuhnya. Dia tidak sendirian. Itu yang membuatnya merasa sangat takut beberapa detik yang lalu. Dan rasa takutnya terbukti sekarang.

"Awan, Jully?" Nazwa tidak bisa berkata apa-apa saat ia melihat pria yang bersama Jully ternyata adalah Awan. Samar-samar Nazwa melihat Jully melepaskan pegangan tangannya pada Awan perlahan-lahan.

Awan bersama Jully? Datang ke pesta ini tanpa memberitahukan terlebih dahulu padanya? Dan...mereka barusan saling berpegangan tangan?

"Nazwa..." ucap Jully tertahan sambil menatap Nazwa penuh rasa bersalah.

Nazwa memaksakan dirinya untuk tersenyum. "Lo...maksud gue kalian kesini juga?" tanya Nazwa. Berusaha untuk bersikap biasa saja melihat mereka berdua. Walaupun tidak bisa disembunyikan sama sekali bahwa ia merasa hancur saat itu juga.

"Nazwa, maaf, gue sama Awan..." Jully mencoba untuk menjelaskan.

"Gak perlu. Dengan gue lihat kalian berdua kayak gini aja udah jelas banget buat gue." Kata Nazwa sinis.

"Lo marah sama gue?" tanya Awan suaranya serak.

Nazwa menggeleng, menarik nafasnya, "Gak nyangka yah kalian kayak gini sama gue."

~***~


Keuriticks en komennya sangat sayah harapkhannn...


Fb: Iis Tazkiati N

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #flowerflo