BAB 13






~***~

Suasana pagi ini sama seperti pagi biasanya. Siswa/i berdatangan memasuki gerbang utama sekolah yang bercat biru tua. Seorang siswa anggota PKS tampak sedang menertibkan jalanan ketika ada puluhan orang bregerombol di seberang jalan. Kemudian gerombolan itu pun menyebrang berkat bantuan anak PKS itu. Semetara itu dua pria tinggi besar berseragam satpam berdiri di kedua sisi gerbang sambil memperhatikan siswa/i yang masuk. Sesekali kedua satpam itu menegur siswa yang mengenakan jaket dan menyuruhnya untuk melepaskannya. Karena sesuai dengan peraturan sekolah, tidak boleh ada yang mengenakan jaket saat berada di dalam sekolah apalagi saat pelajaran berlangsung.

Beberapa saat kemudian beberapa siswa tampak menyingkir membiarkan ninja hitam memasuki pekarangan sekolah. Pria yang mengendarainnya memarkirkannya di parkiran yang sudah sekolah sediakan bagi siswa yang membawa kendaraan ke sekolah.

Naufall melepaskan helm merahnya lalu menggantungkannya pada kaca spion. Tubuhnya membungkuk mendekati kaca spion lalu merapikan rambutnya yang sedikit berantakkan.

Dari arah gerbang terlihat Nazwa berjalan sendirian. Sesegera mungkin Naufall turun dari motornya untuk mengejar Nazwa.

"Selamat pagi." sapa Naufall setelah ia berhasil menyenyajarkan langkahnya dengan Nazwa.

Gadis itu meliriknya sejenak. "Pagi." sahut Nazwa terdengar lemas.

Naufall yang berada di sampingnya mengernyitkan alisnya sambil bertanya-tanya di dalam hati. Kenapa Nazwa yang biasanya terlihat bersemangat dan ceria hari ini malah terlihat sebaliknya.

"Lo kenapa?" tanya Naufall tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

"Gak apa-apa. Gue cuma agak gak enak badan aja." elak Nazwa.

Naufall yang mendengarnya tersenyum sendiri. Ia sadar bahwa ini kali pertamanya Nazwa membalas perkataannya dengan nada suara yang bersahabat tidak seperti biasanya yang ketus malah terlihat marah saat melihatnya.

"Coba gue cek." Naufall menghentikan langkah Nazwa. Berdiri di hadapannya dan menempelkan punggung tangannya pada kening Nazwa.

Kening Naufall mengerut seolah sedang berfikir keras. Tingkahnya saat ini terlihat sangat konyol. Bahkan ada beberapa siswa tertawa melihat tingkah Naufall terhadap Nazwa ini.

"Tapi gak panas kok." gumam Naufall masih mempertahankan posisi tangannya. "Bentar, gue bandingin sama panas tubuh gue."

Naufall melakukannya. Melakukan hal yang paling konyol yang ada di dunia ini. Sebelah tangannya berada di kening Nazwa dan sebelah tangannya berada di keningnya sendiri. Sedang membandingkan panas tubuhnya dengan Nazwa sambil berpura-pura berfikir keras.

"Lo hangat tapi kenapa yah gue dingin banget? Atau gue sebenernya udah mati dan sekarang gentayangan? Atau jangan-jangan...gue ini vampir?" gumam Naufall makin ngawur.

Nazwa yang melihat kekonyolan Naufall hanya bisa tertawa kecil melihatnya. Sadarkan Nazwa bahwa ternyata Naufall tidak seburuk yang ia kira. Malah Naufall sangat menyenangkan. Ya... meskipun sangat konyol dan terlihat bodoh.

"Udah sih, malu tahu." Nazwa menepis tangan Naufall lalu melirik beberapa siswa yang tertawa-tawa melihat kekonyolan Naufall terhadapnya.

Mata Naufall berbinar melihat senyuman yang ada di wajah Nazwa. Setelah sekian lama mencoba akhirnya ia berhasil juga membuat Nazwa merasa nyaman bersamanya dan membuatnya tersenyum juga. Tanpa sadar Naufall pun ikut tersenyum. "Ya biarin aja. Abaikan saja orang-orang itu."

"Aneh tahu."

"Aneh apanya. Gue gak peduli mereka bilang gue aneh atau apaan yang terpenting gue udah buat lo senyum. Itu udah lebih dari cukup buat gue." ucap Naufall bersungguh-sungguh.

"Apa lo seseneng itu yah lihat gue senyum."

"Ya." Kata Naufall dengan bangganya sambil membusungkan dadanya. "Apa gue jadi komedian aja ya?" tanya Naufall lebih pada dirinya sendiri.

Nazwa meninju pelan pangkal lengan Naufall. "Apaan sih. Komedian apaan? Baru buat gue senyum aja ngehayalnya udah kemana-mana, gimana kalau lo lihat gue ketawa sambil jungkir balik."

Naufall tidak segera menjawab. Untuk beberapa saat ia ingin menikmati tawa lebar Nazwa yang berada di hadapannya. Rasanya seperti mimpi.

"Apa lo sepede itu buat jadi komedian?"

"Kenapa enggak? Cewe sejutek dan sedingin lo aja udah bisa gue buat ketawa, masa yang lain gak bisa?" ucap Naufall penuh percaya diri.

"Nazwa." Panggil seseorang yang entah siapa itu sambil meletakkan tangannya pada pundak Nazwa.

Naufall menoleh bersamaan dengan Nazwa. Bola matanya berputar tidak suka melihat pria ini. Pria yang sama yang membuat Nazwa harus tidak sekolah karena mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan pria ini.

"Lo lagi." Naufall tersenyum miring sambil mengerlingkan matanya.

"Gue gak ada urusan sama lo." Awan sejenak menoleh pada Naufall lalu kembali pada Nazwa.

"Ada apa lagi? Apa waktu itu belum cukup?" tanya Nazwa. Melipat kedua tangannya di depan dada.

Apa yang Awan katakan padanya waktu itu tentang ia yang harus menjauhi pria itu belum cukup? Apakah ada hal lain lagi yang ingin Awan katakan padanya untuk menambah rasa sakitnya?

Nazwa semakin merasa lemas. Tadinya ia harap tidak akan bertemu dengan Awan seperti ini selain di kelas. Sia-sia saja ia berangkat ke sekolah lebih siang dari biasanya hanya karena ia tidak ingin bertemu dengan Awan di jalan.

Kedua tangan Naufall sudah mengepal kuat membentuk sarung tinju yang siap ia hantamkan ke wajah Awan saat ini juga. Ia tidak suka dengan kedekatan Nazwa dengan pria ini. Selebihnya tidak ada yang ia lakukan selain menjadi penonton yang menonton apa yang Nazwa dan pria ini lakukan di hadapannya.

"Iya lo salah. Lo salah karena udah nyuruh gue menjauh dari lo dan sekarang lo nyesel 'kan dengan apa yang lo ucapin itu. Maaf, tapi lo udah terlambat dan lo gak usah khawatir lagi karena gue gak bakalan deketin lo lagi."

Awan masih diam. Tidak mengeluarkan kata-kata apapun.

Naufall yang melihatnya di buat heran. Kenapa pria ini tidak mengatakan apa-apa. Dan apa maksud Nazwa dengan menjauh? Apa pria idiot ini menyuruh Nazwa untuk menjauhinya? Ah, bodohnya. Saat Naufall mati-matian mendekati Nazwa, pria ini malah dengan mudahnya menyuruh Nazwa untuk menjauhinya. Apa ada pria yang lebih bodoh lagi dari si Awan idiot ini?

"Lo juga gak usah khawatir lagi. Gue juga gak bakalan suka lagi sama lo kok." ujar Nazwa penuh percaya diri. Tak tahukah bahwa di dalam lubuk hatinya yang paling dalam rasanya sakit sekali mengatakan hal yang berlainan dengan keinginannya itu.

Awan menghela napasnya.

Baik Naufall maupun Nazwa sama-sama menantikan apa yang akan Awan lakukan selanjutnya. Semakin dibuat bingung dengan Awan yang malah membuka tasnya dan mengeluarkan rantang plastik dari dalam tasnya.

"Lo ninggalin ini di rumah gue." Awan menyerahkan rantang itu pada Nazwa. Namun, Nazwa sama sekali belum menyambut apa yang Awan lakukan.

Mata Naufall terbelalak karenanya. Barusan Nazwa mati-matian mengatakan bahwa gadis itu akan menjauhi Awan sesuai permintaan pria itu karena menganggap Awan akan mengatakan mengenai hal yang sama.

Naufall bisa melihat dengan jelas wajah Nazwa yang merah padam menahan malu. Sebisa mungkin Naufall menahan dirinya untuk tidak tertawa terbahak-bahak saat ini juga.

Ah... Nazwa merasa malu sekali. Tidak bisakah Awan mengatakan maksudnya tadi memanggilnya untuk mengembalikan barang miliknya. Tidak bisakah Awan tidak membuatnya lebih malu lagi dibandingkan dengan saat ia mengakui perasaannya secara terang-terangan padanya.

"Gak mau diambil?" tanya Awan. Melihat Nazwa yang masih bergeming di tempatnya.

Nazwa mengambil rantang ia dari tangan Awan. Lalu tanpa mengatakan apa-apa membalikkan tubuhnya hendak pergi begitu saja. Akan tetapi beberapa langkah Nazwa membalikkan tubuhnya kembali dan berjalan mendekati Awan.

Awan yang melihatnya hanya menatap Nazwa dengan tatapan dingin seperti biasanya. Sementara itu Naufall mengerutkan keningnya menanti apa yang akan Nazwa lakukan pada Awan.

"Psikopat! Idiot!" umpatnya kemudian menendang tulang kering Awan membuat pria itu membungkuk untuk memegangi tulang keringnya.

Tak cukup dengan itu Nazwa mendaratkan sikunya pada punggung Awan keras-keras.

"Psikopat!" umpatnya lagi lalu menatap Naufall yang tampak sedang menahan tawanya.

"Jangan ketawa!" teriak Nazwa memperingatkan dengan jari telunjuk menuding tepat di depan hidung Naufall.

Naufall menggeleng. "Eng... enggak kok. Gue gak ketawa." tangannya ia letakkan di depan mulutnya supaya Nazwa tidak melihat dirinya yang sedang mati-matian menahan tawa.

Nazwa memutar bola matanya lalu menyurukkan rantang plastik miliknya pada dada Naufall. "Buat lo. Gue gak butuh! Sama kayak hati gue yang udah lo ambil."

Setelah itu gadis itu benar-benar pergi meninggalkan Naufall yang melongo sendiri dengan apa yang baru saja Nazwa lakukan padanya dan pada Awan.

"Wahh..." Naufall berdecak kagum. Masih tidak mempercayai apa yang baru saja Nazwa lakukan pada Awan.

"Wah?" Awan melotot. "Gue babak belur kayak gini wah buat lo!?"

"Wah...." Naufall bertepuk tangan. Tidak merespon apa yang Awan katakan sebelumnya.

"Wah apa lagi?!" Awan menatap Naufall dengan kesal.

"Wahh..." Naufall mengangkat kedua bahunya secara bersamaan. Lalu meninggalkan Awan yang masih meringis kesakitan tanpa memperdulikannya.

~***~

"Makasih." ujar Nazwa pada Jully seusai sahabatnya itu mengantarkannya ke ruang UKS.

Tadi di kelas Nazwa merasa malu sekali pada Awan. Merasa bahwa dirinya sudah melakukan hal yang sangat bodoh dan terbodoh di dunia ini. Dan ditambah lagi kejadian tadi pagi juga sudah menyebar. Teman-teman satu kelaspun tahu apa yang terjadi tadi pagi. Kejadian paling memalukan dari yang memalukan yang pernah Nazwa lakukan semasa hidupnya.

Akhirnya karena tidak tahan dengan godaan-godaan teman-temannya itu, Nazwa pun meminta Jully untuk mengantarnya ke ruangan UKS. Sesampainya disana Nazwa pun langsung membaringkan tubuhnya di kasur empuk yang ada disana. Sebuah bantal menyusul untuk menutupi wajahnya.

"Sekarang rahasia lo bukan cuma gue yang tahu." ucap Jully sambil ikut membaringkan tubuhnya pada ranjang lain. Berbaring miring menghadap Nazwa.

Nazwa mendesah keras. Ya. Nazwa tahu akan hal itu dan itu terjadi karena kecerobohan dan kebodohannya.

"Terus sekarang gue harus kayak gimana?" teriak Nazwa frustasi sambil menengakkan posisinya. Perkataannya itu lebih terdengar seperti pada dirinya sendiri. Bantal itu masih setia menjadi penghalang wajahnya.

"Gue harus gimana Jully kedepannya?" tanya Nazwa menoleh pada Jully yang berbaring di ranjang yang berbeda dengannya. "Gue malu banget."

Jully bangun dari berbaring dan duduk di tepian ranjang menatap Nazwa yang juga sedang menatapnya. Cukup lama Nazwa menantikan apa yang akan Jully katakan padanya. Sampai beberapa saat kemudian bibir Jully mengucapkan sesuatu yang tidak bisa ia percaya sama sekali.

"Lupain Awan."

Apa yang dikatakan Jully sangat singkat. Hanya dua kata itu saja dan Jully mengatakannya pun tanpa ekspresi sama sekali namun mampu membuat jantung Nazwa berhenti untuk beberapa detik.

"Jangan terus ngarepin cowok yang gak peka dan gak ngerti sama perasaan lo. Berhenti buat jatuh cinta sama dia, Nazwa." Kali ini Jully mengucapkan kalimatnya yang lumayan panjang dan penuh penekanan.

Nazwa diam seribu bahasa. Tubuhnya pun tidak bergerak sama sekali seakan terkunci di ranjangnya. Hanya menatap Jully tidak percaya atas perkatannya.

"Jangan nyuruh gue ngelakuin hal gila itu Jully." mata Nazwa berkaca-kaca.

"Ah, ya ampun Nazwa kenapa lo jadi lembek kayak gini sih." Jully melompat pada ranjang Nazwa lalu memeluk sahabatnya dari samping. "Gue bilang ini juga buat kebaikan lo. Bukan karena gue gak setuju sama perasaan lo sama Awan. Ya... cuma itu, Awan gak sebaik yang lo fikir dalam urusan cinta kayak gini."

"Tapi apa gue bisa? Walaupun Awan sendiri udah nyuruh gue buat jauhin dia. Buat jauhin dia itu susah banget buat gue, Jully. Dan itu yang buat gue sakit banget." keluh Nazwa. "Gue harus gimana sekarang Jully? Gue udah kepalang mau sama Awan. Andai aja gue lebih berfikir kritis buat gak ngakuin sama dia kalau gue suka sama dia. Dan gue, malu banget buat ketemu Awan apalagi sekarang anak-anak tahu."

"Dan... apa itu alasan lo nyuruh gue nganter lo ke UKS sekarang?" tanya Jully sarkasme.

Di dalam pelukan Jully, Nazwa mengangguk. Karena memang seperti itulah kenyataannya. "Gue malu. Sama Awan...sama semuanya."

Tak lama bel pertanda jam pelajaran akan dimulai berbunyi. Nazwa pun dengan berat hati membiarkan Jully untuk pergi ke kelas dan meninggalkannya sendiri. Ia tidak boleh egois meskipun Nazwa sangat ingin Jully menemaninya tapi ia juga tidak boleh mengorbankan nilai yang seharusnya Jully dapatkan menghilang karenanya.

Akhirnya Nazwa pun membaringkan tubuhnya. Matanya terpejam. Secara perlahan dan berangsur-angsur kesadarannya mulai hilang, hilang, hilang, dan hilang.

~***~

Vomentnya jangan lupaaaaaa..... No SILENT READERS!

Follow? Wajib!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #flowerflo