BAB 12

Maaf banget gue jarang update cerita ini. Maaf banget, dari hatiku yang paling dalam...awww



~***~

"Jadi jaga diri baik-baik yah." sebelum pergi perempuan itu sempat mengusap wajah Awan lembut namun Awan segera menepisnya dengan kasar.

Pandangan Nazwa lalu tertuju pada Awan yang berada dipelukannya. Wajah lebamnya yang sebelumnya sekarang bertambah membuat wajah Awan terlihat lebih memprihatinkan dari sebelumnya.

Nazwa meringis melihatnya. Dan kenapa pula pria ini tidak melawan.

"Jangan lihatin gue kayak gitu. Bikin gue ngerasa gue jelek banget." Awan terkekeh pelan. Lalu meringis kesakitan detik berikutnya.

"Kenapa lo gak laporin ke polisi sih! Kenapa lo juga harus terus nyiksa diri lo sendiri kayak gini." Nazwa menyentuhkan tangannya pada sudut bibir Awan.

Pria itu meringis kesakitan begitu lukanya Nazwa sentuh. Secara naluriah Awan memegangi tangan Nazwa. Menyuruhnya untuk tidak menyentuh bagian wajahnya yang sakit.

Namun justru perlakuan Awan, memegangi tangannya seperti itu membuat debaran jantung Nazwa kembali berindak brutal di dalam sana. Sensasinya sangat menyenangkan saat seseorang yang disukai memegang tangan kita seperti ini.

"Lo jago bohong juga yah." Awan terkekeh. "Orang disana gak ada CCTV."

Nazwa menarik tangannya. Menoyor kepala Awan pelan. "Apa aja bisa kali kalau lagi dalam kesempitan kayak tadi."

Awan hanya mengangguk-angguk.

"Sini gue obatin. Pasti sakit banget." Nazwa menarik wajah Awan mendekat padanya untuk memudahkannya mengobati luka pria itu. "Tahan yah."

"Ah... awww..." Awan berteriak keras saat Nazwa tanpa sengaja menekan sudut bibir Awan keras-keras.

Nazwa yang kaget dengan teriakan Awan itu segera menjauhkan tangannya dari sana. Meringis melihat Awan yang saat ini sedang menatapnya dengan tatapan tajam.

"Maaf, gak sengaja." Nazwa meringis. Tidak sengaja ia menekan memar di wajah Awan. "Pasti sakit yah."

Terlihat Awan mengerlingkan kedua bola matanya bersikap tidak peduli lalu menghembuskan nafasnya keras-keras. Tanpa disangka-sangka Awan merebut kapas di tangan Nazwa. "Gue bisa urus diri gue sendiri."

Nazwa merebut kembali kapas itu dari tangan Awan. "Urus diri sendiri apaan orang tadi lo ambil air aja gue bantuin. Emang lo yakin bisa sendiri? Udahlah, sekali-kali terima aja kebaikan gue dan gak pake protes apapun, oke?"

Tidak ada sahutan apa-apa lagi dari Awan. Sepertinya pria itu sudah pasrah saja membuat Nazwa bisa tersenyum senang karenanya.

"Emang bener dia kakak lo? Tapi kok gak mirip?" tanya Nazwa sambil terus melanjutkan pengobatannya.

Awan terdiam. Lagi-lagi menatap Nazwa tajam membuat Nazwa mengerucutkan bibirnya. "Emang apanya yang salah sih dari pertanyaan gue. Gue cuma pengen tahu aja."

"Gak, gak ada yang salah." Awan bersikap tidak peduli lalu menghela napasnya.

"Terus kenapa barusan lo lihat gue kayak gitu, ha?" Nazwa melemparkan kapas bekas pada wajah Awan.

Hening. Setelahnya tidak ada lagi yang membuka suara diantara mereka berdua. Awan sibuk dengan fikirannya sendiri sementara Nazwa sibuk dengan apa yang sedang dilakukannya. Sampai kemudian Awan membuka mulutnya.

"Soal yang waktu itu..." Awan menggantung kalimatnya. Nazwa mengernyitkan alisnya menunggu kelanjutan dari apa yang akan Awan katakan itu.

"Soal yang waktu itu? Yang...kapan?" ulang Nazwa karena Awan tidak kunjung melanjutkan.

"Lo beneran suka sama gue?" tanya Awan membuat gerakan tangan Nazwa melayang diudara saat akan menempelkan kapas pada siku Awan.

"Gue bisa selsain ini dulu 'kan sebelum jawab pertanyaan lo?" Nazwa berusaha menunda. Sungguh, ia tidak ingin membahas tentang hal itu sekarang. Ia malu karena waktu itu pernah mengatakan tentang perasaannya pada Awan secara terang-terangan.

"Ya."

Dengan sengaja Nazwa memperlambat perkerjaannya mencoba mengulur waktu sehingga ia bisa menyiapkan apa-apa saja yang akan ia katakan pada Awan selanjutnya. Matanya sama sekali tidak melirik wajah Awan bahkan sengaja menghindari tatapan pria itu, hanya terfokus pada luka di lengan Awan. Sampai akhirnya Nazwa pun menempelkan merekatkan perban terakhirnya lalu menggungtingnya.

Trek.

Kotak P3K sudah tertutup rapat. Sekarang Nazwa harus sudah siap menghadapi pertanyaan-pertanyaan Awan tentang perasaannya itu. Kenapa pula Awan harus menanyakannya. Apa pria ini sengaja ingin menjatuhkan harga dirinya dengan membuat Nazwa mengatakan tentang perasaannya untuk yang kedua kalinya. Membuat Nazwa malu untuk yang kedua kalinya.

Ah, semoga saja Awan lupa dengan apa yang ditanyakannya beberapa menit yang lalu itu. Ya semoga saja.

Atau... sekarang Nazwa kabur saja. Kedengarannya itu bagus.

Nazwa sudah mengangkat kotak P3K miliknya dan bersiap untuk pergi. Namun, tangan Awan sudah lebih dulu mencekal pergelangan tangannya membuat Nazwa mau tidak mau menoleh padanya.

"Ada apa? Tugas gue udah selesai, 'kan?" tanya Nazwa. Sengaja berpura-pura lupa dengan pertanyaan Awan sebelumnya.

Beberapa detik menanti sambil berharap Awan lupa dengan pertanyaannya yang sebelumnya.

Awan masih diam. Dan Nazwa masih berharap apa yang menjadi keinginannya itu terkabul. Awan lupa dan tidak menanyakannya lagi padanya.

"Makasih." ucap Awan singkat.

Nazwa bernapas lega. Bagus, Awan lupa. Itu artinya ia tidak harus berpikir keras untuk merangkai kata-kata untuk menjelaskan tentang perasaannya. Ia malu sekali.

"Sama-sama. Jangan sungkan-sungkan buat minta bantuan sama gue kalau lo babak belur lagi kayak gini." ucap Nazwa terdengar seperti ledekan. Awan tertawa kecil mendengarnya.

"Kalau gitu gue pamit pulang, mama pasti nyariin gue karena gue belum pulang jam segini."

Tiba-tiba saja Awan mencekal pergelangan tangannya. Pandangannya seketika terarah pada jemari bergetar Awan di pergelangan tangannya. Ia gugup.

Sama halnya dengan Awan sekarang. Yang entah kenapa tiba-tiba saja lupa dengan apa yang ingin dikatakannya.

Keduanya menyadari bahwa suasana agak lain saat ini. Awan pun melepaskan cekalan tangannya dan memalingkan wajahnya. Nazwa pun sama gugupnya dengan Awan. Namun detik berikutnya ia tersenyum tanpa sebab.

"Hati-hati." ucap Awan pelan namun masih mampu Nazwa dengar.

Nazwa tersenyum. "Lo juga hati-hati. Kalau nanti kakak lo dateng lagi sembunyi aja di dalam lemari."

Perkataannya langsung mengundang tawa Awan. Ia sekarang sudah bisa bernapas dengan lega sekali. Karena ternyata Awan sudah benar-benar lupa dengan apa yang ditanyakannya sebelumnya.

"Soal perasaan lo...."

Nazwa yang sudah berada di ambang pintu terhenti karena mendengarnya. Ternyata... Awan tidak lupa.

"Lo bisa lupain tentang perasaan lo sama gue, 'kan? Lo bisa jauhin gue, 'kan?"

Nazwa mematung di tempatnya saat ini. Awan tidak lupa sama sekali. Berkali-kali ia mengatakan tentang hal itu pada dirinya sendiri. Dan barusan Awan menyuruh Nazwa untuk melupakan perasaannya dan mejauhi pria itu. Apa tidak ada yang lebih menyakitkan lagi dari ini?

Rasanya jantungnya dihujani dengan bebatuan besar. Sakit sekali.

"Tapi kenapa?" akhirnya setelah Nazwa berhasil juga meloloskan pertanyaan itu dari mulutnya. "Gue gak minta lo suka juga sama gue kok. Gue udah bilang kalau gue gapapa lo gak respon perasaan gue kan?"

"Justru karena itu. Meskipun lo gak minta gue suka juga sama lo tapi dalam hati lo, lo terus berharap sama gue. Cuma laki-laki brengsek yang terus ada di samping lo saat dia tahu kalau dia gak bisa bales perasaan lo. Plis, jangan buat gue jadi laki-laki jahat yang terus nyakitin perasaan lo."

"Justru apa yang lo bilang sama gue itu yang lebih nyakitin. Lo lebih jahat dari itu, Awan."

"Gue mohon jangan suka lagi sama gue."

"Jangan buat gue ngejauh dari lo. Gue cuma mau terus deket sama lo. Jangan usir gue dari hidup lo."

"Gue mohon jangan kayak gini, Nazwa. Gue mohon jangan suka lagi sama gue."

Nazwa menyeka air matanya lalu berjalan mendekati Awan dan berhenti tepat di hadapannya. Awan mendongak melihatnya.

"Jangan buat lo sakit karena terus suka sama gue, Nazwa."

"Selama ini gue gak ngerasa tersakitin apapun sejak pertama kali gue tahu kalau gue suka sama lo. Dan sekarang dengan lo nyuruh gue jauhin lo, ini pertama kalinya gue ngerasain sakit karena mencintai lo. Perasaan gue gak akan berubah dengan gampangnya."

Memutar tubuhnya hendak pergi meninggalkan Awan namun beberapa detik kemudian Nazwa menghentakkan kakinya lalu berbalik kembali.

"Jahat!" umpatnya sambil menghantamkan kepalan tangannya pada sudut bibir Awan membuat tempat yang sudah diobati sebelumnya itu mengeluarkan darah kembali.

Melihat darah yang menetes dari sudut bibir Awan sama sekali tidak ia perdulikan. Yang sangat ingin ia lakukan sekarang adalah menghilang dari pandangan Awan lebih cepat.

~***~

Jangan lupa vomentnya yaaa... biar aku semangat buat update lagi hahaha

Follow juga. Wajib!


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #flowerflo