BAB 11

Makasih buat dua teman baikku Dea Murtisari dan Thia Cahya Utami yang udah bikinin cover ini. Yaa...meskipun masih jauh dari harapan tapi lebih mendingan dari bikinan gue sendiri Hahaha :D


~***~

"Nazwa kamu mau kemana bawa makanan sebanyak itu?" tanya mamanya pada Nazwa yang sedang menata makanan yang baru saja dimasaknya ke dalam rantang plastik.

"Mau makan bareng sama temen, ma." Jawab Nazwa tanpa menoleh pada mamanya yang sedang menyiapkan makan malam untuk papanya.

"Makan bareng? Maksud kamu kayak piknik gitu?" tanya mamanya.

Nazwa menoleh sambil mengernyitkan alisnya. Piknik? Kenapa mamanya berpikiran ia akan piknik malam-malam seperti ini?

"Piknik kok malem-malem." Gumam mamanya pelan namun masih mampu Nazwa dengar.

Nazwa tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Makanya sekali-kali mama sama papa ngajak Nazwa piknik. Anaknya jadi kurang piknik kayak gini, 'kan?"

"Iya iya entar mama bilangin sama papa. Difikir-fikir juga kita udah jarang banget ngabisin waktu bareng."

Nazwa tertawa lagi. Tak lama terdengar bunyi klik yang berasal dari rantang plastiknya. Nazwa menoleh pada mamanya. "Ma, Nazwa berangkat sekarang yah."

"Eh, iya." Mama mencuci tangannya melalui keran cuci piring lalu mengelapkannya pada clemek merah muda yang sedang dipakainya. "Hati-hati. Telepon mama kalau ada sesuatu."

Nazwa mengangguk sebelum berlalu meninggalkan mamanya.

Apa Awan sendirian di rumahnya sekarang? Ia harap Awan belum makan apa-apa sambil menatap rantang plastik berisi makanan yang baru saja ia buat sambil mencium baunya.

"Semoga aja enak." gumamnya.

Tak sampai lima menit Nazwa sudah berada di depan pintu rumah Awan. Apa benar selama ini Awan tinggal sendirian di rumah ini? Tapi, bukannya rumah ini terlalu luas untuk dia tempati sendirian. Bukannya Awan bilang dia punya kakak perempuan. Mungkin Awan tinggal dengan kakak perempuannya. Tapi, kalau tidak salah juga Awan pernah mengatakan bahwa kakaknya jarang pulang kerumah.

Nazwa mengetuk pintu itu. Beberapa detik menunggu namun belum terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah pintu. Nazwa pun mengetuk pintu itu lagi dan seperti sebelumnya tidak ada yang membuka bahkan tidak terdengar sahutan apapun dari dalam. Ia mengintip ke dalam rumah. Lampu di dalam rumah tidak menyala entah mati atau pemiliknya lupa untuk menyalakannya.

Ada sebuah gerakkan. Nazwa melihat sesuatu yang menggeliat di sela-sela sofa. Sesuatu yang hidup. Nazwa memicingkan matanya untuk memperjelas penglihatannya. Beberapa detik kemudian matanya membulat. Itu Awan.

"Awan!" teriak Nazwa panik melihatnya. Ia mencoba membuka pintu dan ternyata pintu tidak terkunci langsung saja ia masuk dan menyalakan lampu di ruangan tersebut.

Ternyata itu benar Awan. Awan sedang menggeliat di sela-sela sofa dengan memar-memar disekitar wajahnya dan mungkin di tubuhnya juga. Bukan hanya itu terlihat ada darah yang mengering di sudut bibirnya dan dari lubang hidungnya. Pelipis Awan bengkak dan berwarna keunguan. Sekitar mata Awan menghitam dan bengkak sehingga membuat matanya tidak terlihat. Nazwa yang melihatnya merasa seperti melihat seorang korban yang habis dipukuli gangster di film-film drama korea.

"Siapa yang lakuin ini sama lo?" tanya Nazwa khawatir sambil membantu Awan untuk berbaring di sofa yang agak panjang.

"Lo ngapain kesini?" bukannya menjawab, Awan malah balik bertanya padanya.

"Jawab pertanyaan gue dulu, Awan!" Nazwa membentaknya. "Siapa yang lakuin ini? Siapa yang buat lo kayak gini, Awan!"

Awan memalingkan mukanya tidak mau berhadapan dengan Nazwa. "Ini gak ada urusannya sama lo."

Nazwa memutar bola matanya. "Oke, gue gak akan nanya apa-apa sama lo." Yasudahlah mungkin Awan butuh waktu untuk menceritakan apa yang terjadi padanya pada Nazwa dan Nazwa akan menunggu sampai Awan mau menceritakannya.

"Apa sakit?" tanya Nazwa bodoh. Ia meringis sendiri melihat betapa mengenaskannya Awan saat ini.

"Menurut lo?"

Nazwa nyengir memperlihatkan jajaran giginya. "Pasti sakit banget yah?"

Awan tertawa. Menertawakan kebodohan yang baru saja Nazwa lakukan.

"Mmm...lo ada kotak P3K gak?" tanya Nazwa sambil mengedarkan pandangannya kesekeliling. Untuk ukuran rumah seorang pria rumah ini lumayan rapi bahkan sangat rapi.

"Di kamar gue. Ada di laci ketiga meja belajar gue." jelas Awan.

"Dan kamar lo..."

Awan menudingkan telunjuknya pada sebuah kamar dengan lampu temaran tak jauh dari mereka.

"Oh itu." Nazwa berjalan memasuki kamar Awan. Tak butuh waktu lama Nazwa sudah mengambil kotak P3K dari laci ketiga meja belajar Awan sesuai petunjuk yang Awan katakan.

"Cantik." gumam Nazwa sambil tersenyum menatap foto perempuan yang sepertinya mamanya Awan yang berada di atas meja belajar Awan.

"Udah ketemu?" tanya Awan yang berada di ruang tamu.

"Udah." sahut Nazwa lalu berjalan meninggalkan kamar Awan.

"Oh ya foto yang ada di meja belajar lo...itu foto mama lo?"

Terlihat Awan menghela nafas lalu mengangguk.

"Dia cantik." puji Nazwa. Detik berikutnya ia membuka kotak P3K itu dan ia tercengang... tidak ada apapun di dalamnya selain gunting dan kapas. Tidak ada obat merah, alkohol, dan semacamnya. Lalu bagaimana ia akan mengobati Awan jika seperti ini?

"Kenapa?" tanya Awan keheranan melihat raut wajah Nazwa.

"Apa-apaan ini? Ini kotak P3K atau apaan." Kata Nazwa sambil membanting kotak itu ke atas meja kaca di samping sofa yang Awan duduki.

"Oh, gue lupa beli isinya."

Nazwa berdiri. "Yaudah gue ke rumah dulu bawa kotak P3K punya gue. Lo jangan kemana-mana." Nazwa memperingatkan. Menggantungkan jari telunjuk di depan wajah pria itu.

"Emangnya gue mau kemana dengan keadaan gue yang kayak gini." Awan menertawakan keadaannya sendiri.

Mendengar hal itu Nazwa merasa agak lega, setidaknya nanti saat ia kembali ia tidak akan mencari-cari Awan kemana-mana. Segera ia melesat menuju rumahnya yang berada tak jauh dari rumah Awan. Ia sempat ditanya mamanya kenapa Nazwa berlarian terburu-buru namun Nazwa tidak menjawabnya.

Langkah Nazwa terhenti begitu saja saat ia melihat sebuah mobil terparkir di depan rumah Awan. Seingatnya tadi tidak ada mobil terparkir disana. Apa papanya Awan datang menjenguk Awan? Atau kakak perempuannya?

Prang.

Nazwa bisa mendengar jelas suara itu karena posisinya sekarang yang hanya beberapa meter dari rumah Awan. Tak lama ia melihat seorang pria berbadan cukup besar yang mengenakan jaket kulit berwarna hitam mengangkat tubuh Awan dan menyandarkan Awan pada pintu rumah yang terbuka. Nazwa bisa melihat dengan jelas apa yang dilakukan pria itu pada Awan.

"Awan!!" teriak Nazwa sambil berlari ke arah Awan dan menyingkirkan tangan pria berbadan besar itu dari kerah baju Awan membuat Awan yang lemah meringsut dan terduduk disana.

"Apa yang kalian lakuin?" teriak Nazwa sambil memeluk kepala Awan dan menatap pria berbadan besar itu. Di belakang pria itu ada seorang perempuan cantik berdiri dengan angkuhnya sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya.

"Minggir. Ini urusan kita sama Awan." si pria berbadan besar itu mencoba menyingkirkan Nazwa.

"Sekarang ini jadi urusan aku karena Awan temen aku. Dan kalian bukan siapa-siapanya Awan."

Terlihat perempuan yang sebelumnya berdiri di belakang pria berbadan besar itu maju sambil menyunggingkan senyuman bak iblisnya. Nazwa sedikit takut namun ia balas memelototi perempuan itu dengan mata bulatnya. Bersikap so berani padahal ia sangat ketakutan.

"Bukan siapa-siapanya? Justru kamu yang bukan siapa-siapanya Awan." perempuan itu membungkukkan badannya. Sehingga pandangan matanya sejajar dengan Nazwa.

"Jelas-jelas kamu yang bukan siapa-siapanya Awan. Kalian orang asing!" teriak Nazwa sambil mengeratkan pelukannya pada Awan.

"Orang asing?" gumam perempuan itu diikuti dengan tawa meremehkannya. "Aku ini kakaknya Awan. Apa itu yang kamu maksud orang asing? Justru kamu orang asing bagi Awan. Sekarang minggir!"

"A...aku akan telpon polisi kalau kalian berani-beraninya menyentuh Awan lagi." Dengan tangannya yang gemetaran Nazwa merogoh ponselnya dan menekan tombol power.

"Po...po...polisi?" perempuan itu mengulangi apa yang Nazwa katakan dengan sambil gelagapan.

"Ya. Polisi!" Nazwa mengangkat kepalanya angkuh. "Kalian lihat di sana." Nazwa menunjuk tiang listrik yang jaraknya beberapa meter dari rumah Awan.

"Ada CCTV disana. Aku sekarang cuma tinggal panggil polisi kesini dan laporin kalian dengan tuduhan kekerasan. Buktinya sudah ada disana. Polisi akan percaya." Nazwa merutuki dirinya sendiri. Lagi-lagi ia bersikap so berani.

Perempuan itu membuang nafasnya kasar. "Awan ingat kakak bakalan datang lagi." ancam perempuan itu sebelum akhirnya menghilang dari pandangan Nazwa dan Awan.

~***~

Jangan lupa vomentnya ya buat menghargai dan penyemangat penulis. Satu klik bermanfaat banget buat penulis ;)


Akunya udah di follow belum?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #flowerflo