9 - Berakhir

"Mbak Bayung."

Lembayung yang masih sibuk membuat laporan tagihan menoleh. Matanya masih begitu sembab setelah dua hari menangis.

"Ada yang cari."

"Bilang aku nggak masuk."

"Tapi bukan cowok biasanya."

Dahi Lembayung berkerut. "Siapa?"

"Ibu-ibu. Kelihatannya orang kaya."

"Orangnya di mana?"

"Ada di ruang tunggu depan HRD."

Lembayung mengangguk dan meletakkan seluruh pekerjaan karena sebuah rasa penasaran. Sejak dia mengetahui kebenaran yang pahit itu, dia enggan bertemu dengan siapa-siapa, termasuk Adimas. Hatinya masih belum kuat untuk melihat wajah itu. Dia masih belum bisa menerima kenyataan sesungguhnya.

Mata Lembayung melihat sosok wanita cantik berambut sebahu di depan ruang kaca. Otaknya mencoba menggali ingatan tentang wajah itu, tetapi tak satu pun ia temukan sebuah kecocokan. Wanita anggun itu menoleh ke arahnya dengan dagu yang angkuh.

"Kamu yang bernama Lembayung?" tanya wanita itu setelah Lembayung mendekat.

"Benar. Maaf, apa sebelumnya Ibu pernah bertemu dengan saya?"

"Ibumu dulu pernah berteman denganku."

Dahi Lembayung berkerut.

Wanita itu berdiri dan menatap lurus mata Lembayung. "Aku Ibu Adimas." Tangannya terulur."

Bibir Lembayung sukses terkatup. Tangannya menerima uluran itu dengan gugup. Ini adalah pertemuan pertamanya dengan wanita yang telah disakiti oleh bundanya. Lembayung masih menggenggam tangan wanita itu, meskipun mata Aruna memberi isyarat untuk melepaskan genggaman.

"Ma-maafkan Bunda saya." Suara Lembayung bergetar.

"Memaafkan seorang pencuri bukan hal yang mudah!"

"Saya tahu itu tidak mudah, Tante. Tapi... Bunda tidak pernah sekali pun meminta maaf kepada Tante, maka dari itu... saya mewakili Bunda untuk meminta maaf."

"Nggak semudah itu." Wajah Aruna begitu geram ketika ingatannya kembali ke masa lalu.

Lembayung menarik dan menciumi tangan itu. "Maafkan Bunda, Tante dan sungguh saya juga tidak bermaksud mengacaukan keluarga Tante. Saya tidak tahu kalau Adimas anak Ayah."

Aruna menarik tangannya dengan kasar. Kata Ayah yang meluncur dari bibir Lembayung, membuat hatinya semakin sakit. "Kamu dan ibumu sama saja!"

Kepala Lembayung menggeleng. "Tidak, Tante. Saya benar-benar tidak tahu?"

"Selama delapan tahun kamu nggak tahu?"

Lembayung menghapus air mata denga  kedua tangan. "Iya... selama delapan tahun itu Adimas enggan mengenalkan saya dengan orang tuanya dan saya pun juga melakukan hal yang sama."

"Hubungan yang aneh. Aku tahu kamu punya kesamaan dengan ibumu."

Ada sebuah amarah yang menyusup ketika mendengar perkataan itu, tapi Lembayung cukup tahu diri. "Saya terima Tante mengatakan hal itu. Posisi Bunda memang salah, tapi bukan berarti hal buruk itu turun temurun. Saya tahu Bunda di masa lalu begitu buruk, tetapi dia sudah berubah."

"Lalu, apa maksudmu mendekati anakku?"

Lembayung menggeleng. "Saya benar-benar tidak tahu."

"Apa buktinya."

Kedua tangan Lembayung mengepal kuat. "Saya akan mengakhiri hubungan ini."

Aruna melipat tangan. "Apa aku bisa memegang ucapanmu?"

Lembayung mengangguk. "Saya dan Bunda tidak akan menganggu keluarga Anda lagi. Mungkin... kami akan mencari tempat lain."

"Bagus. Aku pegang ucapanmu."

***

Suara dering ponsel terdengar nyaring dari kamar bernuansa putih itu, lalu disusul derap langkah berlarian. Adimas tergopoh-gopoh memasuki kamar demi mengangkat sebuah panggilan telepon. Sesampainya di kamar, wajah Adimas kembali kecewa setelah mengetahui siapa penelepon itu.

"Ya, Bro," jawab Adimas. "Oh, oke. Aku scedule-in lagi. Yoo...." Dia melempar ponsel ke atas ranjang dan disusul tubuhnya.

Sudah hampir seminggu Lembayung tidak menghubunginya. Dia sempat mendatangi tempat kerja kekasihnya itu, tetapi sepertinya Lembayung sengaja bersembunyi. Telepom dan pesan yang dikirim sama sekali tidak mendapat respons.

Dia menghela napas panjang, lalu melihat jendela yang telah terbuka gordennya. Sampai saat ini, dia tidak mengerti apa yang terjadi. Hidupnya seperti gorden yang digantung dan tertiup angin jendela. Adimas juga tidak menghubungi ayahnya sama sekali. Dia sudah terlalu kecewa dengan sikap ayahnya. Semua karena ayahnya.

"Oh... ya Tuhan! Bayung!" Dia mengacak rambut. Selera  bekerjanya menurun drastis.

Ponselnya berdering lagi. "Siapa lagi yang telepon," geramnya.

Matanya langsung terbelalak, ketika melihat sebuah nama yang dinanti tertera. Dia langsung bangkit.

"Bayung," ucapnya tanpa sebuah sapaan. "Jam?" tanyanya ketika Lembayung mengajaknya untuk bertemu. "Oke. Aku akan ke sana."

***

Mata kuyu dan sembab itu menatap keluar jendela kaca. Air mata yang keluar seminggu ini sukses membuat wajahnya bengkak. Setiap kali ingatannya terlempar pada peristiwa itu, air matanya tidak dapat dibendung lagi.

Kenapa takdir begitu kejam?

Dia dan kekasihnya memiliki satu darah. Sepanjang perjalanan hidupnya, dia tidak pernah diberi ruang oleh Bayu untuk mengenal Aruna dan keluarga besar lainnya. Lembayung sadar dengan posisinya. Asalkan dia masih bisa bertemu dan bercengkerama dengan ayahnya, maka dia tidak membutuhkan apa pun dan tak peduli apa pun. Sudah cukup dia dengan Bunda dan Ayah tanpa ingin menoleh ke belakang.

Namun, sekarang dia seolah terlempar lagi. Pertemuan tanpa disengaja itu sanggup menghancurkannya. Air mata Lembayung menetes sekali lagi, tetapi tangannya menyapu dengan sigap agar Adimas tidak melihatnya sedang terpuruk.

Hari ini dia akan mengutarakan keputusan yang telah dipikirkan matang-matang. Maka, dia harus terlihat tegar untuk sesaat, walaupun nantinya akan tergugu lagi di dalam kamar.

Dari luar kafe itu, Adimas berjalan tergopoh-gopoh memasuki kafe. Matanya  mencari keberadaan wanita yang ia cintai. Sebuah embusan napas lega meluncur ketika melihat rambut panjang itu tergerai. Perlahan dia menghampiri Lembayung yang duduk membelakanginya. Langkahnya terhenti sejenak karena perasaan yang tidak enak. Semoga hari ini berjalan dengan baik.

"Bayung." Dia menarik kursi di samping Lembayung. Betapa terkejutnya saat melihat wajah Lembayung. "Maafkan ayahku." Tangannya terulur hendak menyentuh wajah itu.

Lembayung menepis tangan itu dengan cepat.

"Dengar. Aku benar-benar nggak tahu kalau Ayah akan bersikap seperti itu."

Lembayung masih tetap diam. Giginya menggigit lidah untuk menahan tangis.

"A-aku... begini... sebelumnya aku sudah mendiskusikan ini dengan Ayah dan Ayah setuju akan menemuimu dan memintamu. Tapi... wajahnya ter--"

"Nggak ada yang perlu dijelasin, Mas," potongnya dengan suara bergetar.

Kepala Adimas menggeleng. "Nggak, aku nggak mau. Please." Dia tahu ke mana arah pembicaraan ini. "Bayung, aku nggak bisa hidup tanpamu. Aku akan memperjuangkan kamu. Bila perlu kita menikah tanpa persetujuan mereka!"

"Nggak perlu. Sudah cukup dan semuanya sudah jelas."

Adimas meraih tangan Lembayung, tetapi wanita itu berusaha melepaskan genggamannya. "Enggak, Bayung."

"Adimas.... "

"Bahkan kita belum berjuang."

"Belum berjuang katamu?" Mata Lembayung berkaca-kaca. "Jadi selama delapan tahun ini bukan sebuah perjuangan?"

"Bukan begitu, tapi...."

Lembayung berhasil meloloskan tangannya dari genggaman Adimas. Dia mengambil sebuah cincin yang tersimpan di dalam tas, lalu meletakkannya di hadapan Adimas. "Maaf. Aku berhenti." Air mata itu jatuh menderas. Sebelum tangis itu pecah, Lembayung segera berdiri dan meninggalkan Adimas.

Pria itu hanya bisa duduk terdiam sambil menatap nanar cincin di hadapannya. Seperti inikah akhir dari cintanya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top