7 - Awal
Entah sudah cangkir ke berapa teh yang dihabiskan Aruna di ruang tengah itu. Teko kecil yang berisi seduhan teh itu tak hentinya tertuang ke cangkir dan tandas dalam sekali teguk. Pandangan matanya kosong menatap ke depan seolah-olah dia tidak bisa berbuat apa pun. Semenjak semalam dia memikirkan langkah apa yang harus diambil. Akan tetapi, otaknya begitu tumpul, tidak setajam dulu.
Debaran dada Aruna semakin kencang ketika mendengar deru mobil Adimas memasuki pekarangan. Langkah lebar anaknyanya itu terdengar memantul-mantul dari ruang depan. Tangan Aruna perlahan meletakkan cangkir ke atas meja, matanya terpejam dan menarik napas dalam-dalam. Sepertinya ini akan menjadi akhir untuknya.
"Ma," sapa Adimas yang baru memasuki ruang tengah.
Aruna bergeming.
"Ayah sudah siap." Suara Bayu menggema dari ujung tangga. Dia menuruni tangga dengan langkah cepat. Kemeja biru berlengan pendek dan celana bahan itu semakin membuatnya terlihat gagah.
Adimas menghampiri ayahnya dan mereka berpelukan.
"Kayaknya Ayah yang nggak sabar ketemu Bayung," ujar Adimas setelah melepaskan pelukan.
Tenggorokan Aruna tercekat mendengar nama itu. Keringat dingin mulai keluar.
"Mama nggak ikut?"
Mamanya masih saja bergeming.
Adimas menoleh ke arah Bayu. Lelaki itu hanya memberi isyarat untuk segera pergi.
"Ayah ke mobil aja dulu," bisik Adimas. Dia kemudian berjalan ke hadapan Aruna, menatap raut mamanya yang tak biasa. Adimas berjongkok. "Ma." Posisi Aruna tidak berubah. "Lembayung adalah wanita yang baik. Adimas berani jamin kalau dia wanita yang baik dan dia nggak akan mengecewakan Mama. Harta bukan hal yang penting untuk Adimas, tapi hidup bersama orang yang dicinta adalah hal yang sangat penting." Dia mencium pucuk kepala Aruna. "Adimas berangkat dulu."
Sesaat setelah Adimas menjauh, air mata itu luruh tak terbendung. Aruna menangis terisak mendengar perkataan anaknya. Dia juga memiliki pemikiran yang sama dengan anaknya. Hidup bersama orang yang dicinta. Namun, kenapa bukan kebahagiaan yang ia dapat? Seperti inikah hidup bersama orang yang ia cintai? Sungguh, ini bukan hal yang adil baginya.
***
Suasana di dalam mobil begitu ceria. Mereka melupakan sejenak hal mengenai Aruna sambil mendengarkan musik yang mengalun. Mata Bayu terus memandangi anaknya. Waktu melesat cepat. Tidak terasa dia sudab beranjak tua dan memiliki dua anak yang sudah tumbuh dewasa. Dia teringat anak perempuannya. Damar sudah membuat jadwal pertemuannya dengan Lembayung. Ada satu hal yang menggebu di dadanya. Dia ingin menanyakan masalah percintaan anaknya.
Selama pertemuan mereka, Bayu tidak pernah membahas hal itu. Dia menganggap Lembayung masih anak seumur jagung. Tingkah Adimas-lah yang membuatnya sadar bahwa putrinya sudah beranjak dewasa. Ya... dia akan menjadi wali nikah putrinya, meskipun itu akan mempertamukannya dengan Padma.
"Udah ganteng belum, Yah?"
Bayu tersenyum lebar. "Lebih ganteng Ayah. Badanmu penuh lemak."
Adimas mencebik. "Ini tandanya aku bersyukur dengan hidup yang aku jalani."
Bayu mengangguk-angguk dengan tawa kecil. "Iya, benar. Setiap manusia punya cara tersendiri mensyukuri hidup. Dulu Ayah lebih senang berolahraga untuk menjaga tubuh yang diberi oleh Tuhan."
"Terus sekarang Ayah nggak bersyukur."
Bayu kembali tertawa. "Ya tetap bersyukur. Membesarkanmu adalah cara bersyukur Ayah atas karunia Tuhan."
Adimas berdecak. "Ngeles, nih."
Bayu kembali tertawa. Adimas sangat berbeda dengannya. Dia bisa memaklumi perbedaan itu karena Adimas tidak sepenuhnya miliknya.
"Omong-omong, apa dia benar-benar jutek waktu pertama kali ketemu?"
Adimas tersenyum lebar. "Aku sendiri nggak nyangka bisa ngerebut hatinya. Lembayung orangnya selalu membangun tembok untuk pria yang baru ia kenal. Awalnya aku sempet kesel sama dia karena sukanya melengos. Tapi... sikap ramahnya sama temen cewek bikin makin penasaran."
"Terus kamu kejar dia sampai dapet."
Adimas tertawa sambil mengangguk. "Ternyata saran Om Damar untuk masuk universitas itu bener-bener mantap."
Mereka berdua tertawa. Sepanjang perjalanan mereka habiskan dengan berbincang dan tertawa. Bayu begitu menikmati perbincangan dengan anaknya hingga pada satu titik dia tersadar. Dahinya mengernyit ketika mobil Adimas memasuki parkiran ruko. Mata legamnya menatap tulisn Bayung's Bakery di ujung sana. Jakunnya naik turun saat mobil Adimas terparkir tepat di seberang toko roti itu.
"Kita udah sampai. Ini tempat Ibu Lembayung membuka usaha. Beliau membuka toko roti buatannya sendiri." Adimas menoleh ke ayahnya.
Pikiran Bayu begitu kalut, tetapi dia berusaha menentangnya. Bukan...ini bukan tempat Padma.
Adimas yang tidak menangkap gelagat aneh itu terus berbicara, "Ibu Lembayung membesarkan anaknya seorang diri. Semenjak perceraian dengan suaminya, beliau tidak menikah lagi hingga sekarang."
Kepala Bayu langsung menoleh.
"Lembayung bilang kalau dalam perceraian ini ibunya yang salah. Dia juga bilang kalau sebenarnya ibunya masih mencintai mantan suaminya."
Tangan Bayu mencengkeram handel pintu. Perkataan Adimas membuat otaknya semakin buntu.
"Sebentar, aku telepon Lembayung dulu."
Adimas mulai sibuk dengan percakapannya di telepon, sedangkan Bayu semakin kalut dengan perkataan anaknya. Tidak mungkin. Dia tidak percaya dengan semua kebetulan. Adimas mengenal Lembayung. Kedua anaknya yang dulu sempat berjauhan tempat tinggal, lalu sekarang bertemu dalam situasi seperti ini?
"Kita masuk aja, ya, Yah. Lembayung habis ini sampai." Gerakan Adimas melepas seat belt terhenti ketika melihat sosok yang ingin ia temui. "Itu ibunya Lembayung."
Habislah sudah semua penyangkalan yang ia agungkan. Bayu jatuh bertekuk lutut di hadapan kenyataan. Wanita yang tengah berdiri di depan toko roti itu menguras semua isi dalam otaknya.
"Yah, aku keluar dulu, ya."
Padma. Wanita itu masih sangat terlihat menawan di hadapannya. Raut tuanya masih memesona hati Bayu. Kenangan indah yang sempat ia lalui terlintas silih berganti; di mana ia habiskan malam indah dengan wanita itu, di mana ia habiskan hatinya untuk wanita itu dan di mana wanita itu memberi luka yang teramat mendalam.
Kejadian tidak terduga ini semakin beruntun ketika melihat putrinya turun dari sebuah taksi. Oh Ya Tuhan, Bayu sudah tidak sanggup lagi.
Adimas berlari mendekati pintunya dan membukanya. "Yah, ayo masuk."
Bayu hanya menatap kosong ke arah Adimas.
"Mereka yang akan kita temui."
Bayu hanya terdiam.
"Ayah?" Dahi Adimas berkerut. "Are you oke?"
Perlahan Bayu mengangguk dan keluar. Wajahnya yang terlihat lebih dahulu menghancurkan seluruh suasana yang indah ini. Adimas yang tak tahu menahu mencoba menarik sang Ayah yang tampak enggan.
"Ayah?" Kemudian dia menoleh ke arah Lembayung dan Padma. Raut wajah mereka begitu pias. Dia kembali menatap ayahnya. "Please, jangan kecewain Adimas."
Bayu mencengkeran tangan anaknya. "Maaf, ayah nggak bisa." Dia kembali masuk ke mobil.
"Hah?" Adimas yang panik menatap kedua wanita yang ada di seberang sana. Dia melihat ibu Lembayung masuk dengan lunglai. Tanpa berpikir panjang, Adimas berlari menghampiri. "Tante."
Lembayung menahan bahu Adimas.
"A-aku nggak tahu Ayah ke-"
"Kita batalkan pertemuan ini." Mata Lembayung berkaca-kaca, kemudian masuk meninggalkan Adimas dalam kebingungan.
Sebenarnya ada apa ini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top