4 - Kita Menua

Seorang anak remaja bertopi tengah memainkan game dan duduk di kursi paling pojok. Sepasang mata di balik frame hitam itu berputar jengah. Lelaki itu berjalan cepat menghampiri, kemudian memukul ujung topi remaja itu.

"Papa!"

Lelaki itu bertolak pinggang sambil mengulurkan tangan. "Mana handphone-nya."

Remaja itu beringsut sambil menyembunyikan handphone di balik badannnya. "Apaan, sih, Pa."

Sedangkan segerombolan wanita di balik meja pantry sebuah toko kue menoleh ke arah mereka. Wanita berambut pendek sebahu itu menggeleng, kemudian cepat-cepat keluar dari pantry.

"Kamu tahu ini di mana?"

"Tahulah."

"Terus?"

"Ah elah, Pa. Aku nggak ada temen!"

Radit menoleh ke belakang dan melihat Una menghampiri. Dia memberi isyarat agar Una berhenti di sana. Dia menoleh lagi ke arah Rama, anaknya. "Kakakmu sama Kak Bayung ada di sana. Kenapa nggak ikut nimbrung di sana? Kamu tahu, kan, kalau hari Minggu nggak boleh ada yang pegang gadget. Bandel banget jadi anak!"

Rama melepas topi, kemudian mengacak-acak rambutnya. "Tapi, Pa. Mereka cewek! Radit cuma bisa bengong kalau yang dibahas krim wajah, eye shadow, foundation, lip matte--"

"Nah, tuh alat tempur cewek aja udah hafal," sahut suara perempuan sambil cekikikan di belakang Radit.

Rama melemparkan delikan ke arah Sinta, kakaknya. "Gimana nggak hafal, tiap ke sini itu-itu aja yang dibahas!"

"Rama!"

"Sayang...." Una menghampiri, lalu memeluk suaminya dari belakang.

Kepala Radit sudah nyut-nyutan. Mengatur bocah beranjak dewasa susah setengah mati, lalu sekarang ditambah senyuman maut sang istri.

"Please, Sayang. Ini teritorial aku."

"Sayang...."

Radit mengusap wajah. "Papa mau kamu masukkan handphone itu kalau enggak mau Papa sita."

"Gitu, dong." Una mengeratkan pelukan.

Sinta dan Lembayung hanya cekikikan melihat pasangan itu.

"Tapi, Pa...."

"Rama, Papa bilang apa tadi? Masih banyak yang bisa kamu lakukan." Una mengedikkan dagu ke arah meja yang masih terdapat piring kotor. "Kamu bisa bantuin pegawainya Tante Padma buat bersihin meja, kan?"

Wajah Rama langsung cemberut mendengar perkataan Una yang bernada memerintah. Dia paling tidak bisa membantah satu pun perkataan sang mama. Dengan wajah ditekuk, dia berjalan lunglai menuju meja kotor.

Radit hanya tersenyum kecut, sedangkan Lembayung dan Sinta cekikikan melihat pemuda itu menderita. Padma yang masih ada di pantry hanya memandang kejadian itu dengan senyum bahagia. Memang bahagia itu sederhana sekali. Bisa melihat orang yang dicintai sehat dan berkumpul sudah membuat hati bahagia. Pertanyaan yang dulu terlintas tentang sebuah kebahagiaan terjawab sudah: melihat Lembayung tumbuh dewasa, melihat Radit bahagia bersama keluarga kecilnya dan melihat dirinya yang terlepas dari rasa dendam. Semua itu adalah kebahagiaan yang sebenarnya.

Padma melangkah--melewati beberapa karyawan yang sibuk membuat adonan--dari pantry, mendekati anaknya yang masih cekikikan bersama Sinta.

"Duh duh duh... yang cewek-cewek paling suka lihat cowok menderita."

"Habis Radit bandel sih, Tante."

"Bukan bandel, tapi kesepian."

"Iya juga, ya." Lembayung menarik lengan Sinta sambil menaikkan satu alis.

"Enggak, deh, Kak."

"Bantuin adek sendiri nggak ada salahnya, Ta."

"Tapi, Kak."

"Ayuk, ah." Lembayung menarik Sinta untuk membantu Rama.

Mereka bertiga saling pandang, lalu melempar senyum lebar. Padma menghampiri Radit dan Una, mereka duduk di sudut ruangan ini.

Semenjak Lembayung duduk di bangku SMP, Padma memutuskan untuk tinggal di kota yang memiliki banyak kenangan dengan Bayu. Dia merasa tidak perlu menghindar sebegitu jauhnya demi menutup keburukannya. Tidak ada masalah jika suatu saat dia bertemu dangan Bayu lagi. Toh, dia tidak punya niatan lagi untuk merebut atau kembali kepada Bayu.

Padma memiliki keyakinan kalau bisa sukses lagi di kota ini. Maka dari itu, melalui bantuan Radit sekali lagi, dia membangun toko kue sederhana dan telah memiliki beberapa karyawan.

"Tetep nggak bisa menang dari Una. Kalau dulu manggilnya 'Radit'!" Padma menirukan gaya Una waktu memergokinya masuk ke apartemen Radit. "Sekarang panggilannya pakai 'sayang', malah meleleh."

Una tertawa mendengarnya, lalu disusul Padma yang semakin lebar tawanya.

"Sepertinya semua wanita sama aja, suka lihat pria menderita," ketus Radit.

"Menderita itu kalau enggak dikasih jatah sama Una."

Una tertawa semakin lebar mendengar celetukan Padma.

"Gilanya masih akut!"

"Beda, dong. Kali ini gilanya lebih berkelas."

Tawa Radit muncrat begitu saja. Baru kali ini dia mendengar kalau ada orang gila, tapi gilanya berkelas. Mereka bertiga tertawa seolah-olah dunia milik mereka. Pengunjung yang keluar-masuk dan pegawai yang sibuk memberi pelayanan seperti sebuah latar yang menjadi saksi betapa bahagianya Padma.

"Nggak nyangka kalau kita udah tua," ucap Una setelah tawanya terhenti.

"Kamu aja yang tua, aku masih muda," sela Padma.

"Nggak apa-apa, pokoknya jangan balik ke Padma yang dulu."

Padma menggeleng mendengar perkataan Radit. "Enggak akan. Aku lebih tenang hidup seperti ini." Dia menggenggam kedua tangan sahabatnya. "Kalian adalah  orang terbaik kedua setelah keluargaku."

Una menepuk punggung tangan Padma. "Tapi, selamanya kamu nggak bisa hidup sendiri, Padma. Kamu butuh pendamping."

"Aku sudah enggak mikirin itu lagi."

"Someday you will think about this."

Padma memandang Radit. "Aku harap enggak." Dia menarik napas dalam-dalam. "Sekalipun aku dipertemukan dengan dia sekali lagi, aku akan berusaha untuk menutup hatiku."

"Meskipun dia sudah berpisah dengan istrinya?"

Padma tersenyum. "Dia nggak akan berpisah dengan wanita itu."

"Itu sesumbar," sela Radit.

Padma menarik tangannya, lalu menangkupkan keduanya. "Bukan sesumbar, tapi logika berbicara."

"Tapi logika bisa dipatahkan oleh kehendak Tuhan," sangkal Una.

Mata Padma menatap Una begitu dalam. "Kata-katamu selalu menggoyahkan pendirianku."

Radit hanya tersenyum tipis. Begitulah sosok Una, wanita yang membuat dunianya goyah dalam satu genggaman.

Una tersenyum. "Aku hanya berbicara sebuah kemungkinan. Bagaimana jika dia ingin kembali denganmu?"

Padma menghela napas panjang. "Aku ingin menua bersama dengan kalian, bukan dengannya."

Radit mengangkat kedua bahu. "Terserah kamu, yang jelas kami selalu ada buatmu."

Padma tersenyum tulus. Begitulah adanya. Sejak peristiwa itu, Padma sama sekali tidak punya hasrat untuk menjalin sebuah hubungan. Baik itu dengan Bayu ataupun dengan orang lain. Hatinya sudah cukup lelah untuk mengatasi rasa sakit dan kehilangan. Apalagi kehadiran Lembayung semakin memantapkan niatnya untuk selalu hidup seperti ini.

Seluruh hidupnya hanya ia dedikasikan untuk Lembayung dan kedamaian hatinya. Definisi kedamaian bagi Padma adalah tidak merasakan hati yang sakit selama bertahun-tahun. Sudah cukup tingkah jahatnya dan sudah cukup dia membagi hatinya. Menua dengan Lembayung dan keluarga kecil Radit adalah impiannya saat ini.

Bayu? Baginya telah melindap sunyi. Namun, dia tidak akan tahu kalau Angin itu akan mengusiknya sekali lagi. Sekali dan yang terakhir.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top