2 - Bunda

Mata itu menatap sebuah kotak yang bertuliskan nama Lembayung. Tangannya menelusuri setiap tulisan yang terketik dengan rapi. Kira-kira apa isi dari paket ini? Wanita paruh baya itu mengembuskan napas berat. Dia mengangkat pandangan, menatap lurus ke cermin berbingkai kayu di ruang tamu. Pandangannya kosong, melamunkan seseorang yang amat ia rindukan.

Padma. Wanita berumur empat puluh tahun lebih itu masih terlihat cantik. Kulit wajahnya masih kencang, hanya ada beberapa kerut halus di sudut mata. Rambutnya tetap ia gerai hingga ke punggung. Waktu tidak mempengaruhi kecantikan wanita ini.

Apakah Bayu masih merindukannya? Setiap kali pertanyaan itu berkelindan, hatinya begitu sesak. Rindu dan rasa bersalah bergumul. Waktu tidak pernah mengizinkannya untuk memperbaiki ini semua. Tapi, untuk apa juga dia memperbaiki? Karena Bayu harusnya untuk Aruna, bukan untuknya.

Padma membawa paket yang datang tadi sore itu ke kamar Lembayung. Sebuah pesan berdenting di ponsel saat dia membuka pintu.

Damar: Sudah terima kiriman dari Pak Bayu?

Padma berhenti sejenak, menatap lekat ponsel itu. Damar adalah nama dari asisten Bayu. Lelaki itu adalah penghubung antara Lembayung dan Bayu. Setiap kali Bayu ingin bertemu Lembayung, Damar menjemput anaknya dan mengantarkannya kepada sang ayah. Selain Lembayung, Bayu tidak ingin tahu menahu tentang Padma. Pria itu sepertinya sangat sakit hati dengan Padma. Memang inilah yang harus diterima untuk seorang pencuri sepertinya.

Padma: Sudah. Terima kasih. Akan aku berikan kepada Lembayung.

Begitu juga dengan Padma, dia juga tidak ingin tahu tentang Bayu. Dia tidak pernah menanyakan Bayu ataupun mengirim salam untuk Bayu. Sudah cukup tingkah nakalnya, dia tidak mau karma itu jatuh kepada Lembayung. Biarlah dia menyimpan rindu dan cinta ini rapat-rapat.

Padma meletakkan kotak itu di atas kasur. Terdengar deru mobil memasuki pekarangan rumah. Dia langsung berjalan menuju ruang tamu untuk menyambut kedatangan anaknya. Pintu rumah ia buka lebar-lebar. Senyum indahnya merekah sempurna saat melihat Lembayung berjalan ke arahnya.

"Malam banget pulangnya."

Padma dibuat terkejut karena Lembayung langsung bergelayut memeluk bundanya.

"Wah... ada yang istimewa kelihatannya."

Lembayung melepas pelukan lalu menunjukkan jari manis.

Padma langsung menutup mulut, matanya membulat. "Kamu dilamar?"

Lembayung mengangguk senang.

"Adimas? Dia serius?"

"Iya.... " Lembayung kembali memeluk Padma. "Bayung kira ini cuma mimpi, tapi ini benar-benar kenyataan kan, Bun?"

Padma mengusap pelan punggung anaknya. "Ini kenyataan, Nak. Bunda benar-benar ngelihat cincin itu." Dia melepas pelukan, lalu menangkup tangan Lembayung. "Selamat, ya. Bunda senang kamu udah dapat kepastian. Kapan kamu kenalin Adimas ke Bunda?"

"Bunda maunya kapan? Adimas yang nyuruh aku ngatur semuanya."

"Seminggu lagi gimana? Bunda mau nyiapin untuk menyambut calon besan."

Lembayung hanya mengangguk antusias.

"Kok jadi ngobrol di depan pintu. Ayo masuk, Bunda siapin makanan." Padma melangkah masuk.

"Bunda sengaja bikin aku gendut." Lembayung mengekor, lalu meletakkan tas di sofa ruang tamu.

"Kamu enggak gendut, cuma montok."

"Bunda ih.... Dimas sering banget uyel-uyel nih pipi." Lembayung memasang wajah cemberut.

"Tapi seneng, kan?"

"Bunda...." Dia menutup wajah. "Udah ah, Bayung mau ke kamar."

"Yakin nggak mau makan?"

"Udah kenyang, Bun. Tadi udah diajak dinner sama Dimas." Lembayung melangkah ke kamar.

Padma memandang nanar punggung anaknya. Bibirnya begitu kelu untuk menyampaikan bahwa sang ayah mengirimkan paket. Dia menggeleng dan berjalan ke dapur untuk merapikan piring yang telah dicuci.

Lembayung terpaku melihat kotak berwarna pastel tergeletak di atas kasur. Ayah, batin Lembayung. Di melangkah, meraih paket itu, lalu menatap pintu yang terbuka. Pasti bundanya bergumul dengan kesalahannya lagi. Dia melangkah keluar, menuju dapur. Dilihatnya sang bunda sibuk megelap dan merapikan piring.

"Bunda."

Tubuh Padma mematung. Dia tahu Lembayung akan membahas apa.

"Bayung tetap sayang Bunda, apa pun itu. Bagaimanapun Bunda di masa lalu, Bayung tetap sayang Bunda."

Dia melihat punggung kurus itu bergetar samar. Pasti bundanya menitikkan air mata.

"Maafkan Bunda, Nak. Maafkan Bunda."

Wanita itu tergugu. Air mata yang ia bendung sedari tadi berhasil lolos begitu mendengar Lembayung berbicara. Tanpa berpikir panjang, Lembayung memeluk sang bunda dari belakang.

"Andai saja Bunda--"

"Nggak ada kata andai, Bunda! Udah cukup kata andai. Lembayung nggak mau dengar Bunda menyesali semua." Dia mengusap wajahnya di punggung Padma. "Bunda yang selalu ada untuk Bayung. Bayung sakit, Bayung bahagia, Bunda selalu ada. Bukan berarti Bayung nggak sayang sama Ayah, tapi Bayung hanya ingin Bunda membuang masa lalu yang buruk itu."

Padma memutar tubuh. Dia memeluk anaknya dengan linangan air mata. Sejak Lembayung menginjak remaja, Padma menceritakan semua keburukannya di masa lalu. Hadiah ulang tahun Lembayung yang ke-17 adalah sebuah hal yang kelam. Lembayung terus memaksa Padma untuk menjelaskan hubungan keluarga yang rumit ini.

Kenapa ayahnya enggan bertemu sang bunda? Kenapa bundanya enggan menanyakan kabar ayahnya? Kenapa dia selalu dijemput Pak Damar untuk menemui ayahnya tanpa sang bunda? Kenapa dua insan itu membangun tembok pembatas?

Semua pertanyaan itu terjawab saat Lembayung remaja. Jangan ditanya betapa sedihnya Lembayung mendengar hal itu. Dia sempat enggan berbicara dengan Padma. Dia menganggap bundanya adalah orang paling hina. Namun, kebaikam tetap berpihak bagi orang yang ingin memperbaiki diri. Lembayung jatuh sakit memikirkan hal itu hingga harus rawat inap di rumah sakit. Padma seorang yang mengurus dan merawat Lembayung. Wanita itu tetap memperlakukan anaknya begitu lembut dan penuh kasih. Melihat wajah kelelahan sang bunda, membuat Lembayung luluh; bahwa budanya adalah satu-satunya orang yang selalu ada di sampingnya.

Lembayung melepas pelukan, lalu mengusap air mata Padma dengan lembut. "Kita buka paket dari Ayah, ya?"

Padma hanya tersenyum lembut dan melipat tangan. Lembayung membuka kotak itu dengan perlahan. Sebuah sepatu ber-heels rendah bersemayam di sana.

"Sepatu," guman Lembayung dengan senyuman.

Padma menelan ludah. Dia kembali teringat masa lalu.

"Ada kartu ucapannya." Lembayung membukanya, lalu membaca baris itu. Dia menatap Padma dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Kenapa?"

Lembayung menyodorkan kartu yang terlipat itu.

Ayah tidak tahu sepatu ini cocok untukmu atau tidak. Yang jelas, saat melihat sepatu ini di toko, ayah melihat wajahmu.

Mungkin, Bunda yang lebih tahu sepatu apa yang cocok untukmu.

Ayah merindukanmu, Lembayung.

Tangan Padma bergetar setelah rampung membaca kalimat itu.

"Setelah 26 tahun lamanya, baru kali ini ayah menyinggung soal Bunda."

Padma hanya terdiam, melihat tulisan 'Bunda' terpampang di sana. Entah kenapa dadanya berderu. Apakah Bayu juga merindukannya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top