12 - Angin itu Berembus Lagi
"Sepatu yang sempurna."
Padma tersenyum lebar sambil melihat sepatu yang akan dimasukkan ke dalam box berwarna salem.
"Ibu benar-benar detail dalam memilih bahan dan juga setiap sudut sepatu ini." Seorang pria berumur 30 tahunan itu terkekeh. "Sepertinya ibu berpengalaman ya."
Padma kembali tersenyum. "Saya dulu kerja sebagai desainer sepatu, Mang."
Pria itu membentuk bulatan di bibir. "Pantes. Jujur, Bu, saya sedikit kewalahan ngikutin kemauan ibu."
Kini Padma tertawa. Sudah lama dia tidak mendengar orang yang mengkritiknya, seperti yang dilakukan Bu Siska dulu. "Aduh, saya minta maaf ya."
Pria itu mengangsurkan paper bag yang sudah berisi box sepatu. "Nggak apa-apa, Ibu. Saya mah orangnya santai, lagi pula ini juga bisa jadi bahan belajar saya."
Padma menerima paper bag itu dengan perasaan berbunga-bunga. Dia berharap bisa memperbaiki hubungannya denga Lembayung melalui sepatu ini.
"Terima kasih. Mungkin lain kali saya akan ke sini lagi."
"Dengan senang hati, Ibu."
Padma melenggang keluar. Otaknya berputar pada peristiwa itu. Masih basah di ingatan Padma pada peristiwa siang itu. Peristiwa di mana dia melihat mata teduh itu untuk pertama kali setelah sekian lama. Dia tidak pernah berharap ingin bertemu dengan Bayu, tetapi sepertinya takdir menginginkan hal yang lain. Pertemuannya dengan Bayu saat itu langsung merenggangkan hubungannya dengan Lembayung.
Saat itu, Lembayung hanya terdiam dan bersandar di depan pintu. Air mata Padma sudah mengalir bak anak sungai. Bibirnya bungkam karena tidak tahu harus berkata apa.
"Ini mimpi, kan, Bun?"
Kepala Padma mendongak dan tangisnya masih terisak. "Maafkan Bunda."
Lembayung melangkah gontai, lalu duduk di depan Padma. Matanya yang mirip dengan Bayu itu menatap nanar ke arah Padma. "Kenapa ini semua terjadi pada Bayung?" Suaranya begitu serak.
Padma menggenggam tangan Lembayung. "Maafkan, Bunda."
"Bayung ingin sekali punya kehidupan selayaknya manusia yang lain. Bayung ingin punya Ayah yang selalu mendampingi, Bayung ingin punya Bunda dan Ayah yang selalu bersama," tenggorokannya tercekat, "Bayung juga ingin mempunyai suami."
Tangis Padma semakin menggugu. Kepalanya menggeleng berkali-kali.
"Tapi kenapa?" Kali ini air mata Lembayung meluncur dengan sempurna.
"Maafkan Bunda, Bayung. Maaf."
"Bunda nggak perlu seperti itu. Bayung paham sekali posisi Bunda saat itu. Bayung hanya menyayangkan keadaan yang nggak pernah berpihak."
Padma berdiri lalu memeluk Lembayung. "Bunda yang salah ... seharusnya bunda menuruti omongan Om Radit. Seharusnya bunda bisa melupakan sakit hati itu. Saat itu bunda nggak berpikir panjang sehingga semua penderitaan ini jatuh kepadamu."
Lembayung membalas pelukan Padma, dia berusaha tegar. "Bunda nggak perlu merasa seperti itu. Bayung paham kondisi, Bunda. Bayung nggak nyalahin Bunda." Dia menarik napas dalam-dalam. "Bayung sayang Bunda."
***
Bayu menatap rumah yang begitu sederhana di kompleks perumahan yang sepi. Rumah tak berpagar itu tertutup rapat. Sudah hampir 30 menit dia berdiri di sana. Tangannya mengetuk pintu kaca yang tertutup gorden putih itu, tetapi tidak ada respons sama sekali dari si pemilik. Dia berulang kali melihat foto yang ada di ponsel untuk memastikan bahwa tujuannya benar. Apa mungkin pemilik rumah ini sedang keluar?
Bayu memutuskan untuk beristirahat sejenak. Dia duduk di kursi hitam yang ada di teras. Matanya melihat jalanan kompleks perumahan yang sepi di siang hari. Semoga dia ada kesempatan untuk bertemu dengannya. Hampir dua bulan dia tinggal di apartemen penuh kenanangan itu demi menyelesaikan segala kerumitan di perusahaan. Kekuatan Aruna dalam melobi beberapa pemilik saham hampir membuatnya tertahan di sana.
Berbagai argumen dan alasan ia ajukan, bahkan dia sampai membuat pernyataan palsu tentang kondisi kesehatannya. Hanya dengan cara itu dia bisa terlepas menjadi direktur utama perusahaan karena alasan umur tidak cukup kuat untuk meloloskan pengundurandirinya.
Tubuh Bayu menegang saat sebuah mobil berhenti di depan rumah. Dia langsung berdiri dan menunggu dengan dada yang bergemuruh. Ternyata benar dugaannya, wanita yang ia harapkan keluar dari mobil itu.
Padma yang masih belum menyadari kehadiran Bayu di sana menutup pintu mobil dan menunggu taksi online yang ditumpanginya melaju pergi. Dia memutar tubuh dan langsung terpaku saat melihat Bayu berdiri di sana.
Mereka saling memandang.
Waktu seperti terhenti.
Kenangan itu mulai menguar.
Rindu yang terkungkung mulai menggeliat.
Dan debar itu terasa kembali.
Bayu melangkah maju, menghampiri Padma yang masih berdiri di sana. Segaris senyum mengembang di bibir itu membuat Padma hampir menahan napas ketika melihat lesung pipi itu. "Hai."
Suara bas itu langsung membuatnya tersadar. Dia mengangkat kepala angkuh, dia harus bisa mengontrol dirinya. "Permisi."
Bayu menghalangi jalan Padma. "Seperti ini sambutanmu."
Padma memasang tatapan angkuh yang sudah lama tidak pernah ia lakukan. "Untuk apa kamu ke sini?"
Bayu memasukkan kedua tangannya di saku celana. "Bertemu denganmu."
Padma mendengkus. "Atas alasan apa?"
Bayu masih memasang wajah ramah nan menggoda itu. "Menyelesaikan yang belum terselesaikan."
Padma menarik napas dalam-dalam. Bukan saatnya dia terhanyut oleh wajah itu. "Semuanya sudah selesai dan jelas un--"
"Apa kamu masih mencintaiku?"
"Bukan saatnya kita bicara seperti itu."
"Lalu seperti apa?"
"Kita sudah tidak muda lagi."
"Aku selalu merasa muda ketika di hadapanmu."
Mulut Padma dibuat menganga oleh ucapan itu. Bayu benar-benar gila!
"Padma, sebaiknya kita duduk di sana?" Bayu menunjuk kursi di depan teras dengan dagunya.
Padma menggeleng untuk mengembalikan kesadarannya. Dia mulai melangkah. "Bukannya kamu yang menghalangiku."
"Aku hanya takut kamu kunci di depan rumah."
"Kekanak-kanakkan."
Bayu mengikuti dari belakang dengan mengangkat satu alis. Sepertinya dia menemukan Padma dalam versi lain.
"Silakan duduk."
Bayu duduk dengan embusan napas. "Seperti yang kamu bilang, kita memang sudah tua."
Padma melengos ketika senyuman itu terlempar lagi. "Apa yang ingin kamu bicarakan?"
"Tentang kita."
Kepala Padma menoleh lagi ke arah Bayu. "Are you okay?"
"Yes I'am."
"Bukan saatnya kita bicarakan hal itu. Semua sudah berlalu, Bayu. Kamu bahkan tahu dengan jelas alasanku mendekatimu. Terima kasih atas semua perhatianmu kepada Lembayung," dia terdiam sejenak, "kamu paham, kan? Ini soal Lembayung, bukan kita. Seharusnya kamu datang kepadanya dan menenangkan hatinya."
"Lalu kenapa kalian terpisah?"
"Bayu, aku dan Lembayung hanya ingin meredakan ketegangan ini. Bisakah kamu sebagai ayah bersikap bijaksana?"
"Ini sudah cukup bijaksana, Padma. Aku ingin bahagia."
"Bahagia di atas penderitaan anakmu? Kedua anakmu! Ingat itu!"
"Bisakah kita berhenti bicara hal itu? Mereka sudah dewasa."
"Iya aku tahu, mereka masih dalam proses melupakan dan mereka butuh kita, terutama kamu ayah mereka!"
"Stop, Padma. Yang kamu lihat hanya cangkangnya. Bisakah kamu mendengarkan aku sebentar? Aku akan menjelaskannya."
Ketegangan Padma mulai menurun. "Baiklah, aku akan diam."
Bayu tersenyum dan meraih tangan itu tanpa penolakan dari si pemilik tangan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top