1 - Langit Saksinya
Perempuan itu terlihat malu-malu ketika sorot kamera membidiknya. Dia menutup wajahnya dengan tawa bahagia. Rambutnya melambai tertiup angin malam.
Lelaki yang membidikkan kamera itu tertawa. "Bayung...."
Bayung atau Lembayung, nama perempuan itu, mengibaskan tangannya. "Setop, Mas."
Lelaki itu menurunkan kamera. Matanya berputar ke atas. "Udah berapa tahun kamu jadi model tetap aku?"
Mulut Lembayung mencebik.
Lelaki itu berjongkok, lalu menopang dagu. Sudah hampir delapan tahun mereka bersama--sejak zaman kuliah hingga sekarang, tetapi hati Adimas tetap jatuh pada wanita berlesung pipi ini. Tak terhitung berapa kali kameranya mengabadikan wajah yang membuatnya jatuh berkali-kali.
"Masih malu aku foto?"
Lembayung menyibak rambutnya, lalu melipat tangan. "Udah aku bilang kalau aku nggak suka difoto tahu!"
Adimas menarik pelan pipi itu. "Kamu cantik kalau difoto tahu!"
"Oh... jadi kalau enggak difoto, enggak cantik gitu?"
Tawa Adimas berderai. Dia merasa geli sendiri karena adegan sok remaja begini. Mau bagaimana lagi, dia benar-benar gemas dengan Lembayung yang sok centil ini.
"Nggak lucu! Udah ah, jangan jongkok di situ." Lembayung menepuk sofa. "Duduk sini gih. Aku kedinginan. Malam-malam diajak nongkrong di atas atap." Dia mengusap lengan yang hanya berbalut blouse tipis.
Saat ini mereka berada di atap ruko, tempat studio foto milik Adimas. Pria itu sengaja mengajak Lembayung untuk menikmati malam istimewa ini.
"Tanganmu mana?"
Dahi Lembayung berkerut.
"Iya... mana tanganmu."
"Maksudnya?"
"Udah... sini mana tanganmu."
Dengan ragu Lembayung mengulurkan tangannya. Adimas merogoh sesuatu di saku celana, lalu menggenggamkan sesuatu di tangan Lembayung.
"Disimpan, ya."
Tanpa berpikir panjang, Lembayung membuka genggamannya. Matanya membulat seketika saat melihat cincin bertahta sebutir berlian berada di genggaman.
"Dengan ini, aku ingin mengenal bunda-mu lebih jauh. Aku ingin hubungan kita lebih jauh dari ini."
Mulut Lembayung sukses terkunci. Dia hanya menatap Adimas dengan rasa tak percaya. Seriuskah pria di hadapannya saat ini?
"Aku akan mengenalkanmu dengan keluargaku, lalu kita akan menjadi suami-istri. Hidup bersama hingga maut." Senyum lebar tercetak di wajah Adimas.
Suasana begitu hening. Mereka saling menatap dengan perasaan yang berbeda. Angin malam berembus lembut, memainkan rambut Lembayung. Semua ini seperti sebuah mimpi.
"Will you marry me, Lembayung?"
Seluruh tubuh Lembayung meremang ketika kata itu meluncur mulus. Pelan tapi pasti, senyum indahnya tercetak, lalu dia mengangguk berkali-kali.
"I do, Adimas."
Sontak, Adimas mengangkat kedua tangan dan berkata yes, seperti melihat kemenangan di laga sepak bola. Lembayung cekikikan melihatnya. Adimas meraih cincin yang masih berdiam di telapak Lembayung. Perlahan, dia menyematkan cincin itu di jari manis perempuan yang ia cintai.
"Kamu... habis mimpi apa?" tanya Lembayung setelah cincin itu berhasil disematkan.
"Mimpi basah sama kamu."
Sebuah pukulan mendarat di lengan Adimas. Lelaki satu ini memang susah diprediksi. Hubungan yang berlangsung selama 8 tahun ini dilakukan secara diam-diam. Lembayung hampir ragu dengan Adimas karena lelaki itu tidak mau berkenalan dengan bundanya dan dia juga belum dikenalkan dengan orang tua lelaki ini. Namun, rasa yang ia punya begitu kuat hingga mampu bertahan selama delapan tahun. Bayangkan... perempuan mana yang mau berpacaran selama delapan tahun tanpa mengenal masing-masing keluarga. Lembayung terlalu terlena dengan lelaki ini.
Adimas duduk di samping Lembayung. Dia melingkarkan tangannya ke pundak Lembayung. "Sini aku angetin."
Lembayung tertawa dan melingkarkan kedua tangannya ke pinggang kekasihnya. Adimas menciumi pucuk kepala Lembayung berkali-kali. Dia begitu beruntung memiliki kekasih yang begitu mengerti dan sabar seperti Lembayung.
"Besok aku akan ngobrol sama orang tuaku."
Lembayung mendongak, menatap Adimas.
"Kamu rencanakan kapan keluarga kita bisa bertemu."
Lembayung mengangguk.
Satu tangan Adimas membelai lembut pipi Lembayung. Perlahan, dia mendekatkan wajahnya. "Kalau dilamar begini boleh berbuat lebih jauh selain ciuman?"
Wajah Lembayung memerah. "Dimas!"
Adimas langsung mengecup bibir berbalut lipstik itu. Lembayung memukul pelan dada Adimas. Entah apa yang merasuki Lembayung, dia menarik baju bagian depan Adimas dan mencium lelaki itu. Melihat respons itu, Adimas melumat perlahan bibir kekasihnya.
Malam ini, di bawah langit yang tak berbintang, cinta sehidup-semati mereka terikrar. Langit menyaksikan awal mula kisah mereka yang pelik.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top