26
"Aku tidak membawamu ke sini untuk melamun, kau tahu?"
Jimin hanya tersenyum tipis mendengar ocehan Hoseok di sampingnya. Sementara ia sendiri masih asik memerhatikan pemandangan di luar jendela kereta. Di atas rel yang kecokelatan, melintas bayang-bayang hijaunya pepohonan yang bergerak cepat. Seakan diburu waktu jika diam di tempat.
Langit di atasnya menampakkan biru dengan aksen putih tak terlalu banyak. Awan seolah lelah berarak di bawahnya, membiarkan terik matahari langsung menyentuh kulit. Awan-awan itu mungkin lelah memberi gambaran sesuai dengan bayangan orang-orang. Hingga memilih rehat, dibiarkan mereka mengeluh karena panas sang surya menyengat kulit.
Semuanya berjalan begitu cepat. Warna-warna yang menenangkan itu membuat Jimin terus menatap ke luar. Sesekali berkedip ketika matanya dirasa kering.
Sama seperti hidupnya yang juga pernah berwarna.
Lantas ketika sampai pada sebuah terowongan, tak ada yang bisa ia lihat selain kegelapan. Di balik jendela semua hitam pekat, hingga terasa tidak ada perbedaan saat kelopak mata itu tertutup maupun terbuka.
Jendela itu tidak lagi menggambarkan keadaan di luar, kini berganti tugas layaknya cermin yang menjadi refleksi keadaan di dalam kereta. Di sana Jimin dapat menemukan wajahnya. Lesu, pucat, kehilangan warna. Hal terburuk lainnya yang bisa ditangkap oleh retina adalah hilangnya gairah untuk hidup. Kendati ada, hanya sedikit sekali yang tersisa.
"Masih panjang sekali."
"Apanya?"
Hoseok tengah memejamkan mata dengan tangan ditekuk di atas kepala saat mendengar Jimin bersuara. Melirik Jimin sekilas, kemudian mengambil bantal leher guna menggantikan tangannya yang mulai terasa pegal.
"Gelapnya masih lama. Terowongannya masih panjang."
"Memang, tapi tenang saja. Gelapnya tidak akan terasa selama itu. Sebentar lagi juga terlewati."
Jimin menyunggingkan senyum, pikirnya bagaimana bisa orang seperti Jung Hoseok itu eksis di dunia? Hidup seolah sudah berjabat tangan dengan pemuda itu sejak lama. Tidak pernah ia temukan ketegangan dalam hidup si lelaki. Seakan semua yang terjadi padanya, sudah sesuai dengan apa yang ia harapkan.
Terlampau tenang, hingga Jimin ingin sekali meski hanya sehari menjadi seorang Jung Hoseok.
"Bagaimana rasanya jadi dirimu, Hyung? Pasti menyenangkan ya, jika aku sepertimu."
"Tidak semenyenangkan menjadi dirimu sendiri."
"Aku serius."
"Kau pikir aku tidak?"
Jimin menengok sekilas, mengalihkan pandang dari refleksi dirinya sendiri. Hoseok masih di sana, menutup mata. Semua yang dikatakan olehnya terasa asing di telinga Jimin.
Penghiburan yang terasa seperti lelucon konyol.
"Berhenti menyesali semua yang telah kau lakukan, kau tidak pernah tahu seperti apa, dan bagaimana masa depan berjalan. Kalau kau pikir semua yang terjadi saat ini karena kejujuranmu tiga tahun lalu, dan mulai menyesalinya, kuminta jangan. Jangan berpikir begitu, karena semua kemungkinan memiliki peluang yang sama. Hanya jika. Semua yang sudah terjadi, maka itulah yang harus kau jalani. Kurasa akan jauh lebih buruk saat kebenaran itu tidak keluar dari bibirmu sendiri, Jim. Dampaknya mungkin akan jauh lebih mengerikan dari ini."
Ya, mungkin saja akan lebih mengerikan, tapi mungkin juga lebih baik, bukan?
"Berandai-andai tidak akan mengubah banyak hal." Hoseok melanjutkan.
Jimin tidak pernah menduga jika Taehyung akan berubah dengan cepat. Dia tidak bisa menyalahkanya secara sepihak, karena dia juga punya andil besar dalam setiap perubahan anak itu.
Jimin tidak tahu seperti apa kondisi Taehyung saat keluar dari rumah kaca. Dia sendiri hanya duduk sambil menangis selama berjam-jam. Ketika langit berubah menjadi jingga, Park Jimin dengan kakinya yang keram berjalan tertatih ke dalam rumah.
Wajah yang pucat pasi, mata yang bengkak, seketika menarik perhatian Nyonya Park. Wanita itu merajut langkah, mengikis spasi di antara dirinya dan si bungsu. Tanpa banyak membuang waktu, segera ia tarik tubuh itu ke dalam pelukan. Menepuk-nepuk pelan punggung yang kini bergetar, lantas berkata, "Tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja."
Kendati ujung matanya perih bukan main.
Jimin menangis, hingga sesenggukan. Bahunya terasa basah oleh air mata. Tanpa diberitahu pun, ia sudah mengerti hal apa yang membuat anaknya seperti ini. Sekelebat ingatan kembali datang, keluar dari ceruk lipatan otak. Tentang sosok pemuda yang siang tadi masuk dengan pandangan kosong.
"Taehyung? Ada apa, Nak?"
Jalannya terhuyung, sebelum jatuh ibu Jimin dengan sigap menahan tangan si pemuda Kim. Ada sisa air mata yang mengering di pipinya. Kemudian, mata yang mirip anak anjing itu kembali dilapisi selubung bening.
"Bi, katakan jika Jimin bohong. Semuanya tidak benar kan, Bi? Pasti aku sedang bermimpi. Iya, kan? Aku bersumpah Bi, aku bukan pecandu. Jika tidak percaya, Bibi bisa membawaku ke lab, ambil darahku. Aku yakin hasilnya pasti bersih, tapi kenapa aku berhalusinasi hari ini? Bahkan saat mataku benar-benar terbuka."
"Taehyung...."
Nyonya Park kembali memeluk Taehyung dengan erat. Ia tidak tahu harus berkata apa.
Ketika keheningan menjadi satu-satunya jawaban atas segala pertanyaan yang dilontarkan si bocah Kim, dalam sekejap ada sekelumit rasa yang merangsek masuk ke dalam hatinya. Inginnya ia enyahkan jauh-jauh, tapi semakin ia menolak untuk percaya, semakin besar keyakinan yang ia punya.
Taehyung mencoba menatap mata wanita di depannya, lantas bertanya dengan suara bergetar. "Jangan bilang Bibi sudah mengetahuinya sejak awal."
Lagi, yang ia dapati adalah sepasang obsidian cantik yang dilapisi selaput air. Bibir wanita itu bergetar, seolah ingin mengatakan sesuatu tetapi begitu sulit untuk keluar.
Tanpa menunggu jawaban, Taehyung segera melepaskan pelukan itu dengan pelan. Kemudian menaiki tangga dengan perasaan hancur. Dalam hening ia merutuki kebodohannya. Jadi, selama ini hanya ia sendiri yang tidak tahu apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Di mana ia sendiri yang menjadi si tokoh utama.
Taehyung tidak pernah merasa semarah dan sekecewa ini dalam hidupnya. Tidak pernah.
"T-taehyung, a-aku sudah mengaku, Bu."
"Ibu tahu, semuanya akan baik-baik saja. Kau hebat, Nak. Ibu bangga padamu."
Tidak ada yang bisa ia katakan selain serangkaian kalimat penghiburan seperti itu. Dia lebih dari tahu bagaimana perasaan anaknya sekarang. Hancur, pasti rasanya seperti itu.
Hal yang selama ini menghalangi seseorang dari kejujuran setelah menumpuk begitu banyak kebohongan. Mereka tidak siap, selalu tidak siap menerima konsekuensi yang mereka buat sendiri.
"Aku menghancurkannya sekali lagi, aku benar-benar sudah kehilangan. Kenapa rasanya sesakit ini? Aku tahu, aku salah. Tapi kenapa aku masih saja tidak rela ditinggalkan begini?"
"Waktu. Semuanya butuh waktu, beri Taehyung spasi untuknya berpikir. Ini semua tidak mudah, baik bagimu maupun bagi Taehyung. Kalau kau saja sehancur ini, coba bayangkan bagaimana perasaan anak itu? Tidak apa, Jimin. Mungkin ini akan terasa berat di awal, tapi akan berujung manis. Terima kasih karena sudah mau berkata jujur, setidaknya sekarang kau terlepas dari belenggu kebohongan itu sendiri. Kau bebas, jadi berbahagialah."
Jimin masih ingat dengan kata-kata sang ibu. Dia bilang pada akhirnya semua akan berbuah manis. Jimin ingin percaya. Namun, kepergian Taehyung pagi itu merusak semua keyakinan yang ia bangun, hingga sekarang. Ketika waktu terus berjalan meninggalkan masa itu hingga menyentuh tahun ketiga.
Selama itu, Tuhan seperti sengaja menggantikan posisi Taehyung ketika dulu dengan dirinya. Segalanya terasa ditukar. Mungkin, sengaja. Supaya Jimin bisa merasakan apa yang dulu dirasakan si pemuda Kim.
Dimulai dari minuman bersoda, entah sejak kapan awal mulanya.
Lemari es di rumah Jimin dipenuhi minuman bersoda kalengan dengan beragam rasa, setiap kali pergi ke minimarket dan melihat minuman tersebut, Jimin selalu punya keinginan untuk membelinya. Dia ingat jika Taehyung sangat menyukai minuman seperti itu, pemuda Park pikir, suatu saat nanti saat Taehyung berkunjung ke rumahnya lagi; mereka bisa minum bersama.
Jika saat itu tiba, Jimin akan mengalah dan meninggalkan kopinya untuk sementara.
Nyaris setiap hari ia mengirim surel, menelpon, mengunjungi akun jejaring sosial pribadi milik Taehyung, dan mengiriminya pesan. Dan semuanya tidak mendapat jawaban. Yang ia tanyakan hanya bagaimana kabar Taehyung hari itu, apa saja kegiatan yang ia lalui, bagaimana hari itu ia lewati.
Terkadang ia juga menceritakan kisahnya, tentang Hoseok yang semakin sering mengajaknya keluar. Tentang Doha yang kini sering berada di rumah dan mengajaknya bicara dari hati ke hati. Banyak hal yang baru ia ketahui tentang kakaknya, begitu pula sebaliknya.
Terdengar konyol memang, tapi ternyata selama ini mereka berdua memiliki prasangka yang sama. Sesuatu yang membuatnya dan sang kakak saling berjauhan, bahkan seperti ada dinding tak kasat mata yang memisahkan keduanya kendati duduk berdampingan. Tembok itu bernama kecanggungan.
Jimin menceritakan segalanya, meski tanpa jawaban.
Lantas, pada satu waktu ia berkunjung ke apartemen Hoseok. Seperti biasa, dia harus menunggu lama di luar karena tidak memberitahukan kedatangannya lebih awal. Menunggu sudah jadi sahabat terbaik bagi Jimin.
"Sudah lama?"
Begitu mendapatkan gelengan kepala, Hoseok segera membuka pintu dan mengajak sosok yang lebih muda untuk masuk. "Selalu saja tidak memberi kabar jika ingin datang. Padahal aku bisa pulang lebih cepat kalau kau bilang sejak awal."
Jimin mengikuti di belakang, melempar senyum kendati tahu Hoseok tidak bisa melihatnya.
"Tidak apa-apa Hyung. Aku terbiasa menunggu. Lagi pula berkunjung ke apartemenmu merupakan spontanitas, tidak direncanakan sebelumnya. Tadinya aku sedang jalan-jalan saja, kemudian tanpa sadar langkahku membawa pemiliknya ke apartemenmu. Entahlah, berkunjung ke sini sudah seperti keharusan bagiku."
Hoseok berjalan ke arah dapur, sedangkan Jimin sendiri berhenti di ruang tengah. Menjatuhkan diri ke atas sofa sambil menyalakan televisi, dengan harapan suara ramai yang keluar dari televisi itu bisa menggantikan kebisingan dalam kepalanya yang tak kunjung berhenti.
Matanya menatap lurus ke depan, saat ini saluran yang ia pilih adalah National Geographic. Tapi yang ia lihat bukanlah seekor singa yang sedang berlari di savana berburu rusa. Melainkan sosok Taehyung yang menggelengkan kepala sambil meracau jika semua yang ia dengar merupakan kebohongan.
"Jimin."
Tidak tahu itu panggilan ke berapa yang Hoseok berikan, yang jelas Jimin baru melihat ke arah pemuda itu saat nada suaranya meninggi. Hanya sebuah keyakinan jika Hoseok tidak sekali memanggilnya.
"Ini, tadinya aku ingin membuat kopi tapi ternyata persediaanku sudah habis. Kudengar teh bisa membuatmu lebih tenang, jadi kubuatkan satu untukmu, spesial campur perasan lemon."
Senyum simpul menghiasi wajah saat tangannya menerima segelas teh hangat, "Terima kasih. Maaf karena sering merepotkan. Apa aku yang menghabiskan persediaan kopimu, Hyung?"
"Jangan bercanda, ya meskipun iya. Hehe"
Jimin ikut terkekeh. Saat ia minum, Hoseok memindahkan saluran televisi pada acara perlombaan tari. Lantas, sebuah iklan ayam goreng muncul. Jimin terbatuk, menatap sosok sang sahabat yang menjadi model dalam iklan tersebut.
"Hyung itu iklan terbaru kan?"
"Entahlah, tapi sepertinya memang begitu. Kenapa?"
"Aku senang dia masih hidup, setahun belakangan dia seperti hilang ditelan bumi."
"Kudengar dia juga punya proyek drama dan film baru."
"Benarkah?" tanya Jimin tak percaya.
Ada binar bahagia terpancar dari matanya, ketika Hoseok mengangguk dan menjawabnya dengan bergumam, Jimin mendesah lega. "Hah, syukurlah. Dia semakin sukses, aku senang melihatnya."
"Omong-omong, Jim, apa kau benar-benar tidak tahu kabarnya setahun belakangan ini?"
"Begitulah, dia menutup semua akses untukku. Ternyata seperti ini ya rasanya diabaikan. Mungkin dulu anak itu juga merasakan hal yang sama seperti yang sedang kurasakan sekarang."
Hoseok menepuk pundak Jimin sebelum merangkulnya, "Kau tahu? Kau sangat hebat, aku bangga padamu."
Tahun pertama setelah kepergian Taehyung, Jimin masih dilanda rasa bersalah yang teramat sangat. Memasuki tahun kedua, perasaan itu masih ada tapi tidak separah sebelumnya. Jika ia seorang narapidana, maka dua tahun terakhir ia sedang menjalani masa hukuman untuk menebus kesalahan yang ia perbuat.
Ya, dia sedang dihukum.
Dan Hoseok selalu mengulang-ngulang kalimatnya.
"Kau hebat, Jim. Aku bangga padamu."
Hingga tahun ketiga, saat perjalanan pulang mereka dari Busan ke Seoul di dalam kereta.
Jimin tidak pernah menanyakan apa maksudnya, tapi kali ini ia benar-benar ingin tahu. Karena, memangnya pantas seorang penipu penuh kebencian seperti dirinya, menjadi kebanggaan beberapa orang.
"Hyung belum menjawab pertanyaanku."
"Nanti akan kujawab setelah konsernya selesai, sekarang cepat sedikit. Kau ini sudah seperti anak gadis saja, dandannya lama sekali. Aku hampir berjamur karena terlalu lama menunggu."
"Aish, Hyung demi apa pun kau berisik sekali. Seperti ahjuma penjual tteokbeokki di persimpangan jalan depan perumahan."
Setelah sampai di Jamsil Baseball Stadium, Jimin dan Hoseok segera ikut mengantre untuk menukar tiket yang mereka miliki. Jimin memandang takjub stadium di depannya, dengan kapasitas 25.000 lebih penonton sahabatnya akan bernyanyi.
Pencapaian yang luar biasa untuk seorang penyanyi solo sepertinya. Dari tiga hari pertunjukkan semua tiketnya terjual habis. Saat Jimin kembali melihat tiketnya, ia mendesah, rasanya pasti akan lebih baik lagi jika tulisan "The last" itu tidak ada.
Sebelum masuk ke arena pertunjukkan, Jimin menyempatkan diri untuk kembali bertanya pada Hoseok. "Hyung, apa ini semua karena ulahku?"
"Apa maksudmu?"
"Aku rasa dia memutuskan untuk hengkang dari dunia yang telah membesarkan namanya karena perbuatanku."
"Sepertinya tidak."
Setelah mereka masuk dan menempati tempat duduk yang letaknya saling berdampingan, Hoseok kembali melanjutkan percakapan mereka yang sempat terhenti.
"Taehyung berhenti karena keinginannya sendiri. Kontraknya sudah habis, bukan? Jadi semua yang ia putuskan bukan buah dari perbuatanmu. Lagi pula anak itu sudah dewasa, dia tahu mana yang terbaik untuknya."
Seharusnya, apa yang diucapkan oleh Hoseok bisa menenangkan Jimin. Seharusnya. Tapi, rasa tenang itu tidak ada. Takut, cemas, perasaan-perasaan seperti itu malah semakin terpupuk. Mungkin, Jimin memang diharuskan bernapas dalam rasa bersalah seumur hidup. Hingga, sosok yang ia rindukan muncul melalui layar-layar besar.
Dia tersenyum, kendati palsu atau tulusnya tidak ada yang tahu.
"Halo! Aku Kim Taehyung," katanya sambil menatap takjub lautan manusia di depan. Dengan mata berkaca-kaca dan napas terengah---setelah menampilkan tiga lagu berturut-turut---dia kembali melanjutkan, "Terima kasih untuk semua dukungan dan cinta yang telah kalian berikan untukku. Tanpa kalian aku bukanlah apa-apa. Dari kalian aku banyak belajar arti dari sebuah kebersamaan, bangkit dari keterpurukan, memeluk segala kekurangan dan menggali potensi yang kumiliki. Secara tidak langsung kalian telah membantuku menjadi dewasa, dan memandang dunia secara luas. Tidak selalu baik memang, tapi tidak semuanya buruk. Aku harap aku bisa memberikan kenangan yang manis untuk kalian semua, sekali lagi terima kasih. Aku cinta kaliaaaan."
Jimin tidak tahu ini hanya perasaannya saja ataukah memang benar, Taehyung mengatakan semua itu untuknya. Sedangkan di sekitarnya hampir semua penggemar wanita meneteskan air mata.
Mendekati akhir pertunjukkan, Taehyung berjalan dengan cepat, mencoba mengitari seluruh area panggung. Supaya setiap orang yang duduk di barisan depan dapat melihat wajahnya secara langsung. Jimin dan Hoseok duduk tepat di samping panggung yang memanjang, saat Taehyung berjalan dan melambaikan tangan matanya bersirobok dengan manik hitam Jimin.
Taehyung tersenyum sekilas, kemudian melanjutkan aksinya sebelum berlari ke area panggung utama.
"Kau lihat tadi? Taehyung tersenyum padamu. Bukankah itu pertanda baik?"
Jimin terkekeh, "Kau berlebihan Hyung. Dia berada di atas panggung untuk menghibur ribuan penggemarnya. Senyum itu tidak ditujukan khusus padaku."
"Ah, baiklah. Terserah kau saja. Tapi kalau dia masih marah padamu, bagaimana mungkin dua tiket yang kita pegang tadi sampai dirumahmu?"
"Entahlah."
Jimin tidak pernah berani memikirkan jika tiket itu dikirim oleh Taehyung. Karena, jika semua yang dipikirkan olehnya tidak benar, maka ia akan kembali jatuh. Bahkan lebih buruk dari sebelumnya.
"Hm, Hyung, ada yang ingin kutanyakan padamu."
"Apa?"
"Kenapa kau bangga pada orang jahat sepertiku?" tanya si pemuda Park. Ia mengulangi pertanyaan yang sama seperti saat di rumah. Sekaligus mengingatkan Hoseok jika dia berjanji akan menjawabnya saat konser usai.
Tapi tetap saja, Jimin tidak mendapatkan jawaban. Bahkan hingga konser benar-benar selesai dan sosok Taehyung hilang dibalik layar.
Entah kapan ia akan kembali menemui Taehyung secara langsung. Kendati Hoseok sempat mengajaknya ke back stage, Jimin menolak. Meski Hoseok meyakinkannya jika ia mengenal salah satu staf di sana, dan dia sudah diberikan akses untuk langsung menemui Taehyung setelah pertunjukkan berakhir. Jimin tetap tidak mau, dia bilang pada Hoseok jika ia takut kehadirannya membuat hari-hari Taehyung menjadi buruk.
"Padahal kau bisa menemui Taehyung."
Hoseok terus menggerutu di balik kemudi. Sedangkan Jimin tetap pada posisinya. Duduk di samping Hoseok sambil tersenyum tipis. Terlihat seperti membuang-buang kesempatan memang. Namun, mau bagaimana lagi. Park Jimin terlalu pengecut, dia terlalu payah. Karena yang lebih ia takutkan bukanlah alasan yang ia ucapkan pada pemuda Jung pada akhir acara tadi.
Tidak ada yang lebih ia takutkan selain penolakan. Iya, Jimin belum siap jika kehadirannya ditolak secara langsung oleh Taehyung. Pemuda itu tidak siap dengan rasa sakit baru.
"Hyung, kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Kenapa kau bangga padaku?"
Kali ini giliran Hoseok yang tersenyum.
"Kau tahu bukan, hal termudah di dunia adalah menimpakan beban ke bahu orang lain. Kau selalu bisa menumpahkan rasa bersalahmu pada mereka, tapi akan sangat sulit untuk menampung tumpahannya dengan tanganmu sendiri. Akan sangat berat ketika rasa bersalah---atau tanggung jawab---itu kau ambil dan peluk seorang diri. Karena tidak semua orang mampu dan siap untuk menjadi satu-satunya yang bertanggungjawab atas kesalahan yang ia perbuat."
Jimin tertegun, kini pandangannya telah buram oleh air mata.
"Aku bangga padamu, karena meski butuh waktu yang lama pada akhirnya kau mau menengadahkan tanganmu dan menampung semua rasa bersalah itu. Jangan jadi pembenci lagi, Jim. Hidupmu sudah indah, jangan dirusak dengan hal-hal seperti itu lagi. Kau harus selalu ingat, aku-bangga-padamu."
End.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top