23
Saat Jimin keluar, mata Taehyung kembali terbuka. Dengan segera ia mengambil surat yang diletakkan di atas nakas. Membawanya ke balkon kamar. Ditemani cahaya bulan, lelaki Kim mulai membaca kata demi kata yang tertera. Tulisan tangan Jimin memang terkenal bagus, jauh berbeda dengan tulisannya. Hanya saja ada satu hal yang masih mengganjal dalam hati serta berputar tanpa henti dalam ruang kepala. Kata maaf.
"Kenapa kau banyak meminta maaf?"
Bahkan di dalam surat pun, Jimin berulang kali menuliskannya. Taehyung pikir sahabatnya itu terlalu berlebihan. Dia memang terlihat dingin diluar, terkesan angkuh dan tidak mau tahu. Meski sesungguhnya, jika dilihat lebih jauh sifatnya yang perasa tidak bisa diabaikan begitu saja. Mungkin Jimin merasa bersalah, tapi atas dasar apa? Dan kenapa?
Surat yang ditulis terdiri dari dua lembar kertas hvs, Taehyung sempat ingin mengumpat saking panjangnya. Setelah membaca beberapa bagian, Taehyung tidak bisa lagi menahan bibirnya untuk mengatakan seuntai kalimat. Ada getar pada suara yang keluar.
"Kenapa tidak dikatakan langsung saja, sih."
Taehyung berucap sambil mengusap air mata. Hatinya berdesir tiap kali membaca deret kalimat dalam kertas. Beberapa tetesnya jatuh membentuk pola lingkaran serta mengubah warna kertas menjadi lebih tua sebab basah. Bahkan ada sebagian kata yang tidak jelas lantaran warna tinta yang pudar.
Taehyung selalu menganggap Jimin sebagai sahabat terbaik yang ia miliki. Meski sempat hilang total dalam hidupnya beberapa tahun terakhir, toh pada akhirnya anak itu tetap kembali. Dia bahkan menolongnya di waktu yang tepat. Singkat cerita, jika Jimin tidak datang hari itu... mungkin saat ini Taehyung tidak lagi bisa merasakan hangat sinar matahari menari di kulit tangannya. Jadi, jika anak itu menganggap dirinya begitu buruk hanya karena diam dan tidak memberi masukan apapun ketika dia membongkar rahasia, itu salah besar. Karena justru Taehyung sangat berterimakasih akan hal tersebut. Dengan didengarkan saja ia merasa beban yang ia miliki sedikit terangkat.
Tapi, setelah melihat betapa panjang isi surat yang si Park sialan itu buat, rasanya akan jauh lebih baik jika Jimin mengatakan semua secara langsung. Saling bertatap muka. Karena walau bagaimana pun bercengkrama dengannya merupakan hal lama yang paling Taehyung rindukan. Setidaknya kali ini dia ingin berbincang dengan benar, tanpa menyinggung segala hal tentang kematian. Hanya obrolan ringan yang meninggalkan senyum ketika menjadi kenangan. Seperti dulu.
.
"Oh, Taehyung. Baru saja bibi ingin membangunkanmu untuk sarapan bersama. Pagi-pagi begini habis dari mana?"
Taehyung tersenyum sambil menggaruk area belakang kepala. Ia merasa canggung saat berpapasan dengan bibi Park ketika hendak kembali ke kamar. Kebetulan sekali wanita itu sedang menata makanan di atas meja, lantas secara tidak sengaja melihatnya datang dari arah luar. Pasti mengherankan, tentu saja. Biasanya pada jam seperti ini dia tidak pernah keluar. Nyaris seminggu berada di sini dan hampir seluruh waktunya ia habiskan di kamar, lengkap dengan wajah muram.
Bibi Park kerap kali masuk ke kamar untuk mengantarkan makanan atau sekadar mengusap puncak kepala. Rasanya seperti memiliki ibu kedua dengan kasih sayang yang melimpah ruah. Tinggal bersama Jimin membuat hidupnya terasa diberkati. Mereka seakan-akan tengah bekerja keras guna menutup tiap lubang dalam diri Taehyung. Mungkin tidak semuanya tertutup, tapi sebagian besar sudah kembali seperti semula. Ibarat sebuah luka yang sedang melalui proses penyembuhan. Masih terasa sedikit perih tapi tidak lagi terasa sakit seperti dulu.
"Habis dari rumah kaca, Bi. Mencari Jimin."
Taehyung menjawab sekenanya dibarengi senyum yang telah lama hilang. Bahkan Nyonya Park saja dibuat berjengit melihatnya, lantas memangkas jarak diantara mereka berdua.
"Jimin?" tanya wanita itu sambil mengernyit.
Dalam hati ada secuil rasa gelisah, takut jika pemuda di depannya tahu kesalahan fatal yang sudah si bungsu lakukan. Persahabatan mereka terlalu indah, jika harus terpisah dengan cara tidak menyenangkan seperti ini rasanya kejam sekali.
Setelah membaca surat, Taehyung terdiam cukup lama sebelum akhirnya memutuskan untuk bertemu Jimin. Saat itu waktu sudah menunjukkan tengah malam nyaris dini hari. Walaupun tidak sabar ingin segera bertatapan dan mengucapkan kalimat yang selama ini Jimin harapkan keluar dari bilah bibirnya, dia tetap harus tahu diri untuk tidak mengganggu waktu istirahat anak itu. Meski berakhir dengan Taehyung yang tidak bisa kembali tidur, cepatlah pagi. Begitu harapnya dalam hati sembari memaksa diri agar pergi ke alam mimpi. Sebab dia harus terlihat segar besok pagi.
Melihat gerak-gerik si pemilik rumah, bisa Taehyung simpulkan jika sosok di depannya saat ini meminta sebuah penjelasan.
"Ada sesuatu yang ingin kusampaikan padanya, Bi. Penting sekali," ucapnya sumringah.
"Oh, begitu. Semalam Jimin tidak pamit padamu rupanya."
"Memangnya anak itu ke mana?"
"Semalam dia pergi ke tempat tinggal Hoseok."
Mata Taehyung berkedip dua kali dengan kepala yang ia miringkan ke kiri. Nama itu tidak asing. Dia sering mendengarnya dulu, tapi apa benar Hoseok hyung yang itu? Kalau iya benar, bagaimana bisa? Sejak kapan mereka dekat?
"Bibi kira, kau juga mengenalnya, Taehyung-ie."
"Masa sih, Bi. Aku hanya mengenal satu nama Hoseok dalam hidupku. Apa dia anak lelaki yang biasa melayani pesanan kami semasa sekolah dulu, ya?"
Bibi Park memberi senyum disertai anggukan. Detik berikutnya kedua manik Taehyung melebar dengan sempurna. Dulu Jimin itu cuek sekali, dia seperti manekin hidup. Diajak bicara bagaimana pun oleh Hoseok jawabannya hanya berupa bahasa isyarat saja. Hanya gelengan dan anggukan.
"Wah, bagaimana bisa?"
Mengangkat bahu, "Tidak tahu. Nanti kau bisa tanyakan langsung pada anak itu saat pulang. Nah, sekarang ayo kita sarapan dulu."
"Baik, bi."
Taehyung mengekor di belakang, setelah merampungkan kalimatnya Bibi Park langsung berbalik ke arah meja makan. Taehyung mengikuti dengan wajah paling cerah yang pernah ia miliki selama tinggal di sini, semangatnya semakin bertambah. Keinginan untuk berjumpa dengan Jimin juga semakin menggebu. Kali ini, setelah mengatakan hal penting itu selanjutnya mereka akan saling menceritakan kisah mereka hingga larut. Anak itu penasaran setengah mati tentang asal muasal sahabat terbaiknya---yang menurutnya secara ajaib---bisa akrab dengan Hoseok. Ada satu hal yang tidak disadari pemuda Kim, ketika sosok wanita di depannya mengusap air mata dengan ujung jari.
Bibi Park sendiri tidak kuasa menahan laju cairan bening dari sudut matanya yang mulai dihiasi beberapa kerutan halus. Senyum Taehyung yang berharga itu mungkin tidak akan bertahan lama, lalu tiba-tiba saja wajah sendu Jimin muncul dalam pandangannya. Ditemani hela napas yang begitu berat, wanita itu hanya bisa mengharapkan yang terbaik bagi mereka berdua.
.
Taehyung menunggu Jimin di ruang tengah dengan tivi menyala. Tadi sebelum pergi ke rumah kaca, awalnya anak itu hendak mengetuk pintu disebelah kamar yang ia tempati. Niatnya diurungkan saat berada tepat di depan pintu. Mengingat kamar itu milik Doha, Taehyung jadi sangsi. Bagaiman kalau yang keluar bukan Jimin, melainkan kakaknya. Bisa mati kutu dia.
Baru tadi pagi dia tahu jika Doha sedang berlibur sambil belajar bisnis bersama ayahnya. Taehyung jadi rindu ayah, bagaimana ya kabarnya sekarang?
Suara knop pintu yang diputar mengalahkan atensi si pemuda dari channel yang ia tonton. Ketika kepala Jimin menyembul, Taehyung bergegas ke sana. Mendapati sosok yang ia tunggu tengah membuka sepatu dan menggantinya dengan sendal rumah. Jimin tidak menyadari presensi Taehyung saat itu. Kehadirannya baru diketahui ketika bocah itu mendongak dan berteriak sambil mengusap dada.
"Taehyung! Ya Tuhaaan, jantungku mau copot rasanya. Sejak kapan berdiri di situ? Sudah lama?"
Yang diteriaki hanya memberi respons berupa cengiran. "Tidak lama, tapi juga tidak sebentar sih. Hehe."
Jimin beranjak ke dapur, mengambil air dingin dari dalam kulkas kemudian meneguknya sampai kandas. Gugup akan membuat tenggorokannya kering. Dia tidak boleh menundanya lagi.
"Taehyung...."
"Ya?"
Jeda sejemang sebelum ia kembali melanjutkan di tengah keraguan. "Ada yang ingin kukatakan padamu."[]
_AVERSION_
a/n:
8 September 2018
Aku kehilangan salah satu dari sedikit orang yang paling baik dalam hidup aku. Dia udah pergi jauh sekarang, semoga ga ada lagi luka. Semoga dia bahagia, semoga Allah berkenan membuka pintu ampunan dan menyisakan sedikit tempat untuknya di surga. Dia orang paling baik, mengayomi, mengerti, dan rela berkorban buat anak-anaknya. Dia udah aku anggap sebagai ibu keduaku. Karena hampir tiap hari ketemu, ga akan ga ketawa kalau ada dia. Mampu banget bikin suasana jadi hangat. Tiap hari disela candaan dia juga suka ngasih masukan. Dia memulai karirnya dari titik nol, sampe bisa hebat kayak sekarang. Dia orang paling nekad yang pernah aku temui dalam hidup aku. Super ceria, lucu, tapi begitu dia buka sedikit tentang kisah hidupnya aku sadar, hidupku yang sering dikeluhkan ini ga ada apa2nya. Karena dia mulai dari nol, dari tahap yang sama seperti aku dan teman-teman, dia jadi lebih tahu apa arti dari sebuah perjuangan dan pengorbanan. Dia akan ikut sakit saat kami sakit, dia bakal pasang badan paling depan saat salah satu anaknya disalahkan atau dipojokkan. Kata-kata penenang dari dia buat aku dan teman-teman, mantra yang membuat kami merasa aman dan dilindungi serta punya seseorang untuk dijadikan sandaran.
"KITA HADEPIN BARENG-BARENG"
indah aja gitu rasanya saat ada beban bukan cuma kamu sendiri yang pegang. Bukan kamu sendiri yang nanggung sampe rasanya bisa bikin patah punggung. Seandainya semua pemimpin kayak dia, seandainya semua atasan kayak dia, seandainya dia masih ada. Aku pengen bilang, "Aku sayang sama ibu yang cantik, bawel, berani, juga baik. Makasih udah ngedidik aku dan jadi salah satu alasan aku buat bertahan di tempat yang sering aku sebut neraka. Makasih karena udah selalu ngingetin aku buat makan dan ga selalu ngurusin kerjaan." Ibu selalu bilang 'makan dulu, cepet. Tunda dulu kerjaannya, bisi mati kerja mulu. Kerjaan mah ga akan ada ujungnya' makasih bu.
Baik-baik di sana ya bu :")
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top