20
Jimin masih duduk di rumah kaca. Sudah tiga puluh menit sejak Taehyung meninggalkan tempat itu dengan seulas senyum tipis dan ucapan terima kasih. Entah bocah Kim itu berterima kasih untuh hal apa, karena yang Jimin tahu selama sesi pengungkapan rahasia tadi, dia tidak banyak memberikan kontribusi. Tidak ada kata-kata yang ia ucapkan sekadar untuk memberikan ketenangan bagi sahabatnya. Dia bisu, seperti batu---yang bahkan untuk menggerakan tubuh saja sulit bukan main.
Dia tidak tahu, apa persoalan mati rasa itu memang benar ada. Atau hanya akal-akalan Taehyung saja. Mungkin saja dia sudah tidak tahan dengan rasa sakit yang ia terima. Hingga memutuskan memberi sugesti pada dirinya sendiri, agar berhenti merasakan. Semuanya berjalan, tapi tidak seperti yang Taehyung harapkan. Dia tidak bahagia dengan hilangnya kemampuan merasa yang ia punya. Karena dengan begitu, ia juga tidak bisa merasakan apa yang dinamakan bahagia.
Dia kehilangan emosi, yang mana sama saja dengan mati. Seperti mayat hidup. Jimin tidak bisa membayangkan sebanyak apa kepura-puraan yang Taehyung bangun.
Jimin mengacak-ngacak surainya yang hitam. Hingga yang tadinya rapih berubah kusut, sama seperti wajahnya. Lalu, apa yang harus ia lakukan sekarang? Bagaimana cara memberitahukan semuanya pada Taehyung. Jimin sudah buntu. Dia tidak bisa lagi berpikir. Ia butuh dibantu oleh sosok Hoseok. Sembari melangkah menuju ke kediamannya, Jimin merogoh ponsel dalam saku dan mulai melakukan panggilan.
Cukup lama menunggu, bahkan harus mencoba sampai tiga kali; barulah sosok di seberang sana menerima panggilannya.
"Ada apa, Jimin? Aku masih bekerja, hubungi aku satu jam kedepan. Oke?"
"Tu-tunggu."
"Apa lagi?"
"Tunggu dulu, Hyung. Ini tentang Taehyung."
"Oh, ada apa dengan anak itu? Jangan bilang dia melakukan percobaan bu---"
"Tidak!"
"Hei, kenapa aku jadi dibentak begitu?! Maumu apa, bocah?!"
"Aaah, mianhae Hyung. Tadi, Taehyung menceritakan semua hal yang ia sembunyikan selama ini. Dia terlihat sangat sedih dan terpukul. Tapi aku malah diam saja, aku harus bagaimana, Hoseok hyung? A-aku bingung sekali, ba-bagaimana kalau dia akhirnya ... kalau s-sampai---"
"Jangan panik. Datang ke apartemenku satu jam dari sekarang. Kita bicarakan semuanya di sana sampai kau merasa lega, mengerti?"
.
"Detachment?"
Hoseok mengangguk. "Iya, secara medis hal itu dinamakan detachment; emotional numbness. Mati rasa."
"Jadi hal seperti itu memang ada? Bukan suatu hal yang sengaja diada-adakan?"
Lelaki yang duduk di depannya mengambil cangkir berisi kopi panas di atas meja. Meneguk cairan hitam pahit, hingga mengaliri kerongkongan. "Tentu saja tidak."
Hoseok sengaja pulang lebih cepat demi menemui Jimin di apartemen. Keadaan anak itu jauh dari kata baik, rambut berantakan, kelopak mata bengkak, dan hidung yang merah seperti badut. Kalau benar apa yang ia pikirkan, bisa jadi Jimin memang menangis selama dalam perjalanan. Apalagi saat tahu dia berangkat naik bus. Jimin yang memang dasarnya melankolis, dengan senang hati akan menyandarkan kepala pada jendela bus sambil menangis.
Melihat raut bingung dari sosok si lawan bicara, Hoseok menghela napas. Dengan tubuh condong ke depan, dan kedua siku yang bertumpu pada lutut; ia mulai menjelaskan.
"Kalau kau bertanya-tanya apa penyebabnya. Jawaban yang kau terima akan terdengar klise, tapi yaah setahuku, sih; mati rasa terjadi karena seseorang mengalami depresi."
"Depresi? Apa---"
"Parah?"
Jimin mengangguk .
"Tergantung sih, tapi kalau dia menyadari keanehan dalam dirinya sendiri kemungkinannya ada dua. Efek tumpul atau tidak bisa memberi respons pada kesedihan terjadi pada depresi sedang sampai berat. Untuk tahu pasti orang itu berada pada depresi yang mana, kita hanya bisa mengetahuinya melalui pemeriksaan."
"Tapi, tadi dia menangis."
"Hm, bisa jadi dia mulai merasa lagi."
Hoseok menjelaskan semua yang ingin diketahui oleh Jimin. Dari sana juga pemuda Park itu tahu, apa penyebab Taehyung mati rasa. Anak itu terluka banyak. Ada beberapa kejadian yang pasti meninggalkan trauma yang cukup parah pada dirinya.
Taehyung hanya mencoba melindungi dirinya sendiri dengan menekan rasa sedih, guna mengurangi sakit hati. Namun, tanpa ia sadari hal itu malah semakin memperburuk keadaan.
"Hyung, dia juga bilang kalau dia kehilangan dirinya sendiri. Dia tidak bisa berkontemplasi lagi."
"Memang sulit sih, coba saja bayangkan. Seseorang yang mati rasa akan sulit melakukan perenungan. Karena suara hati yang ia dengar hanya berupa pertanyaan, bagian untuk menjawabnya seolah-olah hilang."
"Memangnya bisa seperti itu?"
"Tentu saja bisa."
Jimin masih sedikit bingung dengan penjelasan Hoseok. Bagian yang hilang itu, apakah diri Taehyung sendiri?
"Begini Jimin, biar kusederhanakan lagi. Anggap saja dalam dirimu ada dua pribadi lain. Yang satu negati, satu lagi positif. Bukankah kau pernah bilang, kalau Taehyung itu tidak lagi memiliki teman semenjak kau tinggal?"
Anggukan yang ia tangkap dari pergerakan Jimin, membuatnya menjentikkan jari.
"Nah, karena dia terbiasa sendiri. Ada waktu di mana Taehyung akan berdiskusi dengan dirinya sendiri. Berkontemplasi. Saat ia melontarkan sebuah tanya yang terus berputar dalam kepala, dia akan mendengarkan beberapa jawaban dalam kepalanya. Satu positif satu lagi negatif, dan dia akan memperhatikan lalu memutuskan untuk mempercayai yang mana. Seperti pemecahan masalah atau ... mencari solusi untuk dirinya sendiri. Eh, biar kutanya dulu. Taehyung ini anaknya pendiam tidak?"
Jimin memutar mata ke arah kanan, mengingat semua hari yang ia lalui bersama Taehyung.
"Setahuku, sih, tidak. Dia berisik sekali."
Hoseok mengetuk-ngetuk dagu dengan telunjuk, kenapa dia harus di kelilingi orang-orang yang rumit? Semua yang ia sebutkan tadi sebenarnya lebih condong untuk seseorang yang memikiki kepribadian introvert.
"Tapi dia tipe orang pemikir, dan mudah terpengaruh dengan kondisi orang-orang terdekatnya. Taehyung itu seperti membagi nyawanya hingga bagian terkecil, lalu menitipkannya pada orang-orang yang ia percaya dan dekat dengannya."
"Lalu, ketika orang-orang itu pergi---"
"Sebagian jiwanya ikut terbawa mati," ucap Jimin begitu lirih.
Mereka sama-sama memilih bungkan. Membiarkan sunyi menyelimuti keduanya. Sibuk dengan pemikiran masing-masing.
Jika apa yang dikatakan Hoseok benar, berarti Taehyung harus melakukan pengobatan. Jimin sedang memikirkan bagaimana cara terbaik untuk membujuk sosok sahabatnya itu. Dia tidak ingin, niat baiknya malah ditanggapi dengan salah. Dia tidak mau membuat Taehyung marah. Kalau sampai anak itu kabur dari rumahnya dan melakukan hal yang tidak-tidak, bisa jadi Jimin yang akan menggantikan posisi pengobatan bagi Taehyung.
Bisa gila dia nanti.
Sedangkan Hoseok terus memikirkan nasib sosok yang telah ia anggap adik sendiri. Dia senang melihat perubahan Jimin. Sejak awal dia memang sudah tahu jika anak itu memang baik. Hanya saja, sikap irinya menutup kebaikan yang ia punya.
Pemuda Park itu memiliki hati yang halus, dia sangat sensitif. Hoseok hanya tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Taehyung nanti. Saat tahu siapa dalang dari hari-harinya yang berubah seperti neraka di agensi tempatnya bekerja. Mungkin Kim Taehyung memang sosok yang baik, tapi dia tetap manusia yang memiliki hati. Belum lagi kalau apa yang ia duga memang benar. Depresi anak itu akan semakin parah. Atau, dia akan sangat marah pada Jimin.
Tapi, kalau terus-menerus disembunyikan, semuanya akan semakin rumit. Seperti sekumpulan benang kusut. Lagi pula, yang namanya bangkai; mau disembunyikan sebaik apa pun lama-lama bau busuknya akan tercium juga.
"Hyung, menurutmu apa yang harus kulakukan? Haruskah aku jujur?"
"Semua keputusan ada ditanganmu. Aku tidak akan memaksa. Kau sudah dewasa, Jim. Aku akan selalu mendukungmu, jangan takut. Tapi, tidak mungkin kan kalau kau akan terus hidup dalam bayang-bayang kebohongan?"
_AVERSION_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top