16.
"Sepertinya tidak ada."
Jimin tahu hal yang paling baik di muka bumi adalah sebuah kejujuran. Jadi ketika Hoseok mengajukan pertanyaan mengenai hal paling baik di dunia selain kejujuran itu sendiri, dia tidak tahu jawabannya apa. Karena sudah pasti tidak ada. Hoseok mengangguk, tangan kanan yang semula bersedekap kini memegang dagu. Lantas telunjuknya bergerak naik turun. Tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan. Jimin tidak mau tahu dan tidak punya hasrat untuk menebak juga.
Dia sedang gelisah, cemas, bingung, serta takut. Selama ini dia menanggung beban, berat dan besar. Setelah Taehyung kembali dan Jimin pelan-pelan melupakan kebenciannya, hasrat untuk mengakui kesalahan yang ia perbuat malah semakin tipis. Kalau dulu, sewaktu Hoseok pertama kali memberikan alamat apartemen Taehyung dan memintanya untuk mengaku di depan anak itu, Jimin masih berani meski sempat ragu karena memikirkan harga diri---sebatas itu. Selebihnya, ia merasa santai. Mengenai respons Taehyung nanti setelah mengetahui segala kebenarannya, itu semua masalah belakangan.
Toh, dia juga sudah tidak peduli bagaimana hubungan mereka kedepannya. Kalau masih tetap sama, oke. Kalau semakin dekat, tidak apa-apa. Jika harus pecah dan saling menjauh malah lebih baik lagi.
Tapi sekarang kasusnya berbeda. Jimin cenderung takut kehilangan momentum seperti ini dalam hidupnya yang mungkin tidak akan datang lagi untuk kedua kali. Ada sebuah hasrat yang mendorongnya untuk berubah. Dia ingin peduli dan memulai semuanya dari awal. Hoseok benar, selama ini dia tidak menderita. Pemuda Jung itu benar jika selama ini Jimin iri pada kehidupan Taehyung yang sebenarnya tidak jauh lebih baik dari hidupnya. Karena selama ini ia hanya melihat luarnya saja, enggan menelisik lebih jauh.
Begitu pula caranya memandang hidup yang ia jalani. Dia terlalu fokus pada hal-hal yang tidak menyenangkan dan segala sesuatu yang tidak ia miliki. Melupakan segala bentuk kelebihan yang telah Tuhan berikan hingga lupa bagaimana caranya bersyukur. Yang bisa ia lakukan hanya memaki dan meratapi nasibnya, seakan-akan ia adalah makhluk Tuhan yang paling menderita di muka bumi. Kalau ingat hal itu Jimin malu sekali, seperti tidak memiliki muka ketika harus berhadapan dengan Hoseok. Karena pemuda itu yang tahu banyak tentang dirinya.
"Tidak ada pilihan lain. Kau harus mengatakannya, cepat atau lambat."
"Tapi, keadaan Taehyung tidak memungkinkan untuk menerima hal mengejutkan seperti ini."
"Cepat atau lambat, Jim. Tidak harus sekarang."
Jimin mendesah kasar, pusing sekali kepalanya memikirkan hal semacam ini. Seharusnya dia memang tidak berpura-pura sejak awal. Seharusnya dia lebih berani dan bersikap jujur saja. Seharusnya dulu dia mengabaikan Taehyung, bilang secara langsung kalau dia tidak mau berteman dengan anak itu serta memintanya pergi jauh dan tidak perlu lagi membela maupun menolongnya.
Karena sejak awal Jimin tidak pernah meminta. Dia hanya menerima.
Jimin mengerjap ketika menyadari alasan yang membuatnya membangun benteng kepalsuan dalam ikatan persahabatan mereka berdua. Jimin tidak bisa berkata jujur, dia memang harus berbohong. Karena dia sadar, pada dasarnya ia tidak ingin sendirian.
.
Taehyung tahu dia merepotkan, setelah menangis semalam suntuk dia tidak berani untuk melangkah keluar. Matanya pasti bengkak sekali, hidungnya juga pasti merah dan terasa perih karena berkali-kali diusap dengan kasar guna menghalau lendir yang keluar. Ponselnya sejak tadi berbunyi, dia berharap seseorang menghubunginya. Tapi, tiap kali ia melihat nama yang muncul pada layar ponsel seketika ia mematikan panggilan itu.
Orang-orang dari agensinya terus-menerus mengirim email, sms, juga menghubungi nomornya tanpa henti. Taehyung sudah seperti buronan, masih untung mereka tidak melacak GPS nya yang menyala. Taehyung sedang menenangkan diri. Beberapa kali ia mencari kontak sang ibu, hendak memberi kabar agar tidak khawatir.
Lelaki dengan wajah rupawan itu yakin sekali kalau sekarang ini keluarganya sangat cemas memikirkan kondisinya. Pemberitaan di media bukan main ramainya, nyaris sembilan puluh persen isinya tidak bisa dipercaya. Taehyung tidak tahu, kenapa masih ada saja skandal yang menghampirinya kendati ia sudah berusaha keras untuk menutup celah bobrok pada dirinya. Hidupnya sudah seperti boneka, didikte harus melakukan hal ini dan tidak boleh melakukan hal itu. Tapi masih saja ia yang menjadi korban, sedangkan pihak perusahaan malah menyalahkannya karena dianggap tidak profesional ketika wajahnya terlihat marah karena perkataan seorang fans yang memang sudah sangat keterlaluan.
Taehyung sangat merindukan keluarganya. Terlebih ibunya. Saat ibu jarinya hendak menekan tombol berwarna hijau pada salah satu kontak yang telah ia cari, tiba-tiba ia dikejutkan oleh dering ponselnya lagi. Matanya melebar saat melihat siapa yang menghubunginya, seharusnya ia senang dan segera mengangkat panggilan itu. Namun tiba-tiba ia merasa takut. Jadi dengan sengaja ia menggeser ikon warna merah pada layar.
"Mian, aku belun siap mendengar suaramu, Bu."
Tadinya ia mau memanggil Jimin, kemudian diurungkan saat ada seorang wanita cantik yang masuk ke dalan kamar. Umurnya tiga tahun lebih tua dari usia sang ibu. Dia ibunya Jimin yang mengantarkan makanan pada anak manja sepertinya.
"Taehyung-ie, ada apa dengan wajahmu? Bibi dengar kau sedang sakit, ke mana saja selama ini? Bibi khawatir sekali padamu. Tadinya kami pikir mungkin kau sudah melupakan kami sekeluarga."
Setelah meletakkan bubur di atas meja, tangannya mendarat di kening kemudian berkata pelan jika tubuh Taehyung sudah tidak sehangat tadi.
"Tadi?"
"Hm, karena khawatir Bibi terus memeriksa keadaanmu. Apalagi semalam kau menangis sampai tersedu dengan mata terpejam."
"O, ya? Masa sih, Bi. Duh... aku malu sekali."
Wanita yang terlihat lebih muda dari usia sebenarnya itu kemudian terkekeh dan mengusap rambut Taehyung lembut. "Ya sudah, makan dulu buburnya dan jangan lupa diminum obatnya."
Taehyung mengangguk, ia merasa ada yang ganjil di rumah ini. Ke mana anak itu pergi? "Bi, kalau boleh tahu ... Jimin ada di mana?"
"Owh, anak itu sedang pergi keluar sebentar. Tadi Jimin menanyakan keadaanmu lewat telepon dia juga bilang akan pulang sebentar lagi. Kenapa?"
"Oh, tidak, Bi. Pantas saja sepi sekali."
.
Taehyung tidak tahu sudah tidur berapa lama. Setelah minum obat matanya terasa sangat berat, dia ragu itu memang berasal dari efek obat atau karena dia yang memang kurang tidur sebelumnya. Dia kembali memeriksa ponsel di atas nakas, mencari tahu apa seseorang yang ia tunggu sudah menghubunginya atau belum.
Ada perasaan kecewa saat ia melihat tidak ada nama orang tersebut di sana. Bagian paling menyenangkan dari kamar ini adalah balkonnya yang luas. Taehyung menghirup napas dalam-dalam sambil menutup mata, udaranya cukup segar. Suasanya yang tenang dan sepi membuat Taehyung terlena, hingga ia terkesiap saat mendengar seseorang berteriak di belakangnya.
"Demi Tuhan! Kim Taehyung aku sudah tidak tahan!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top