14.
Setiap orang membangun dindingnya masing-masing. Tidak ada satu pun manusia yang mau wilayah pribadinya dimasuki. Sedekat apa pun hubungan yang dibangun, meski tipis celah itu akan selalu ada. Celah di mana hanya orang itu yang tahu betul bagaimana keadaan mereka yang sebenarnya. Jangankan hubungan persahabatan, antar keluarga saja pasti ada yang namanya rahasia. Akan selalu ada hal yang disembunyikan dan hanya diketahui oleh diri mereka sendiri.
Mungkin Hoseok memahaminya sedikit lebih baik dari Jimin.
Bukan tentang Taehyung yang merasa dirinya telah hilang, hal itu tidak membuat Hoseok terlalu terkejut. Karena dia cukup tahu risiko yang pemuda itu tanggung ketika memutuskan menjadi public figure. Dalam masalah ini Hoseok malah dibuat kaget dengan fakta lain mengenai Jimin. Anak itu terlalu naif ketika berasumsi seseorang tidak mungkin berubah. Apalagi jika sebelumnya terlihat bahagia. Anak itu seakan lupa jika bumi terus berputar berjalan sesuai porosnya, tidak ada yang stagnan di sini. Bahkan diri Jimin sendiri berubah, hanya saja dia tidak menyadarinya.
"Rasanya sakit sekali." Jimin menatap langit-langit apartemen, menahan genangan pada kelopak mata agar tidak jatuh ketika ia bicara. "Melihatnya seperti itu membuat hatiku sakit."
Tidak ada suara lain di ruangan itu selain suara Jimin. Hoseok memilih bungkam, memang ia ingin berbicara tapi sekuat tenaga ia tahan. Karena pemuda itu tahu saat ini Park Jimin hanya ingin didengar.
"Selama ini aku sibuk melihatnya dari layar kaca. Menutup seluruh akses untuk mencari tahu kebenarannya, dulu aku bahagia ketika melihatnya memiliki masalah. Tapi sekarang aku malah sekarat begini melihatnya menderita."
Jimin masih ingat bagaimana kata-kata Taehyung mampu membuat air matanya menetes. Dia hanya tidak menyangka, ketika ia memutar kembali kejadian yang terekam dalam kepalanya beberapa saat yang lalu akan tetap menimbulkan rasa yang sama ketika ia ceritakan.
"Dan sekarang aku meninggalkannya sendiri di kamar, aku hanya takut jika dia akan melakukan hal yang sama seperti pertama kali aku menemukannya beberapa hari yang lalu."
"Dia tidak sendiri, Jim. Di sana tidak sepi, bukankah ibumu ada di rumah?"
.
Taehyung bisa menangkap bagaimana keterkejutan yang Jimin rasakan. Ini tidak mudah, seandainya saja sahabatnya tahu. Untuk mengucapkan sederet kalimat itu dibutuhkan banyak sekali keberanian yang ia kumpulkan. Untuk menjawab pertanyaannya mengenai Taehyung yang mau menghilang, hal itu berat juga memalukan. Namun, ia sama sekali tidak mengira jika lelaki di depannya akan bereaksi seperti ini setelah mendapatkan jawaban darinya.
Anak lelaki yang ia kenal tidak pernah melawan ketika mendapat pukulan meski tidak melakukan kesalahan, kini malah menarik kerah kemejanya dengan kuat. Jimin tidak main-main, bahkan Taehyung sampai berjinjit akibat tarikannya. Lehernya sakit, sakit sekali. Dia susah bernapas, terbatuk beberapa kali tapi tidak berniat melepaskan tangan itu dari area lehernya.
Biar saja.
Jimin berhak marah pada manusia tidak berguna sepertinya. Taehyung hanya lelah merasakan kekosongan dalam dirinya. Kebas, tidak ada yang bisa ia rasakan. Berulang kali ia mengatakan pada dirinya sendiri jika dia manusia. Tapi yang dia tahu, tidak ada manusia yang tidak merasakan apa pun pada hatinya. Tidak ada perasaan senang, sedih, bahkan marah sekalipun. Hanya kekosongan, dan itu membuatnya tidak tahan.
"Brengsek! Maksudmu apa mengatakan hal itu Taehyung! MAKSUDMU APA!?"
Seperti orang yang kerasukan, Jimin seolah dibutakan dengan keadaan Taehyung sekarang. Jika sebelumnya ia marah ketika anak itu berniat bunuh diri sekarang keadaan malah terbalik. Kalau Jimin terus menarik kerah baju itu, bukan tidak mungkin jika Taehyung akan mati ditangannya karena kehabisan napas.
"Kalau kau merasa hilang, maka cari! Jangan pasrah dan mengorbankan perjuanganmu selama ini, cari bagian hilang itu, bodoh!"
Bodoh?
Mungkin apa yang dikatakan sosok di depannya ini memang benar, Taehyung bodoh. Hanya saja rasanya tidak adil dihakimi oleh seseorang yang bahkan kehadirannya patut dipertanyakan. Jimin benar-benar pergi, memutuskan segala macam bentuk komunikasi. Dia menghilang terlalu lama lantas ketika kembali dengan seenaknya ia menilai Taehyung seperti ini.
Bola mata itu kini terasa panas, selaput air memenuhi area sekitarnya hingga memburamkan pandangan. Bocah Park ini tidak tahu sekeras apa usaha yang dilakukan Taehyung selama ini. Selama ini anak itu sudah berupaya mencari, hanya saja semua usaha yang ia lakukan terasa percuma. Akhirnya akan selalu berhenti pada muara yang sama. Ketidakpastian, kehampaan, dan sosok yang hilang itu sama sekali tidak bisa ia temukan.
Dengan susah payah dan segenap keberanian, Taehyung tatap mata Jimin tepat pada iris kelamnya yang mengilat dilapisi amarah. Meski penglihatannya sedikit kabur serta pasokan oksigen yang kian menipis mengisi paru-paru, sulung pemilik marga Kim itu membuka bilah bibir dengan hati-hati. Suaranya yang serak dan bergetar hebat mengalun di udara, merambat hati-hati ketika mengetuk gendang telinga Jimin untuk kemudian menyusup dan menyentuh hatinya.
"Kemana? Kemana aku harus mencarinya, Jim? Kemana aku harus mencari diriku yang hilang?"
Mata sabit itu kini membola, Jimin mundur satu langkah dan melepaskan cengkramannya. Taehyung sendiri sekarang tengah meraup oksigen dengan rakus setelah beberapa kali terbatuk. Anak itu memegangi lehernya yang terasa sakit, beberapa bagian kulitnya memerah dan terasa sedikit perih.
Taehyung dapat melihat setetes air mata yang jatuh dari kelopak mata sahabatnya ketika namanya di sebut.
"Kim ... Kim Taehyung."
Jimin berkali-kali mengusak rambutnya hingga berantakan, sesuai dengan raut wajahnya yang tidak kalah kacau. Ia memilih memunggungi Taehyung, anak itu menangis. Terlihat dari getaran di bahunya. Seharusnya pemuda Kim ini bersyukur ketika sahabatnya kembali, hanya saja dia rasa ada yang aneh pada tatapan Jimin sebelum anak itu berbalik. Terlebih ketika ia menatap irisnya yang kelam dan menangkap sesuatu dari sorot mata yang entah karena apa terlihat begitu terluka. Juga suatu hal yang menimbulkan sebuah tanya dalam kepalanya.
Kenapa ada setitik rasa bersalah di matanya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top