13.
Hoseok baru saja menyelesaikan shift terakhirnya untuk minggu ini, itu berarti saatnya mengucapkan selamat datang untuk waktu liburnya dua hari ke depan. Sejak di dalam lift dia terus-menerus memegangi area tengkuk dan pundak yang pegalnya bukan main. Namun, mengingat sebentar lagi ia akan segera bertemu dengan kasur di apartemen tercinta membuat seulas senyum mengembang.
Genap empat hari Jimin tidak menghubunginya, terhitung sejak Hoseok memberikan secarik kertas yang ia dapatkan susah payah dari Yoongi. Apa mungkin anak itu marah lagi? Park muda itu memang sering sekali uring-uringan beberapa waktu belakangan, heran. Sudah seperti anak perawan saja tingkahnya.
"Dia datang tidak yaa?"
Meski sering kali lelaki itu bilang jika dia tidak lagi peduli dengan segala sesuatu yang menyangkut Park Jimin dan juga Kim Taehyung, namun pada akhirnya Hoseok tetap saja dihantui rasa penasaran.
"Ah, sepertinya akhir-akhir ini aku terkena migrain karena terlalu banyak memikirkan masalah orang lain. Yang benar saja!"
Ketika pintu lift terbuka dan pemuda Jung itu melangkah sambil sesekali merenggangkan tubuh, dia dikejutkan dengan sepasang sepatu yang ia lihat di depan pintu. Saat mendongak ia menemukan sosok pemuda yang baru saja berkeliaran di dalam kepala.
Park Jimin ada di sana.
Bersandar pada dinding sembari mengetuk-ngetukkan ujung sepatu di kaki kiri pada lantai. Hoseok berjalan ke arahnya namun tidak disadari sama sekali oleh anak itu. Jimin masih memdongak dan memejamkan mata. Sweater merah dan beanie hitam yang dikenakan benar-benar terlihat pas di tubuhnya, meski tampak sedikit mencolok.
"Sudah lama berdiri di situ?"
Suara Hoseok membuat Jimin menoleh dan menghentikan ketukan kakinya pada lantai. Tangan yang sebelumnya bersedekap kini beralih ke belakang kepala. Hoseok sendiri sedang memasukkan password, pagi itu terlalu hening hingga Jimin bisa mendengar suara beberapa tombol yang ditekan oleh jemari sosok yang telah ia tunggu.
"Hyung!"
"Ayo, masuk! Akan kubuatkan kopi panas untukmu."
.
"Jim, aku ingin main ke rumahmu. Boleh 'kan?"
Jimin tidak pernah tahu jika kalimat itu akan kembali keluar dari bilah bibir Taehyung. Kalau dulu mungkin ia akan memilih mengabaikan permintaan anak itu dan berbalik pergi. Karena kehadirannya selalu menarik atensi dari semua orang di rumahnya. Terutama sang ibu.
Dia hanya tidak pernah mengira jika raut wajah yang senantiasa ceria itu akan ia rindukan, padahal Jimin ingat betul beberapa hari yang lalu dia masih merasa kesal mengingat ekspresi bodoh Taehyung. Namun dunia terkadang menjadi tempat paling lucu, karena sekarang ia justru merindukan rupa bahagia tersebut.
"Kau berubah Tae...."
Jimin yang telah berdiri lama di bibir pintu akhirnya mengeluarkan suara. Menarik perhatian Taehyung yang sejak tadi memegangi besi pembatas di balkon rumahnya. Anak itu hanya menoleh sekilas kemudian menghela napas. Pandang dilempar kembali ke depan. Entah apa yang Taehyung lihat.
"Banyak yang berubah, sudah berapa lama ya aku tidak ke sini? Ada banyak bangunan baru."
Mungkin Taehyung memang berniat mengalihkan pembicaraan, tapi Jimin tidak mau. Dia kadung penasaran dengan perubahan ekstrim sosok di depan sana. Dapat ia lihat seulas senyum tipis pada wajah sang sahabat meski samar. Lelaki itu kini memerhatikan Taehyung sambil bersandar pada kusen pintu dengan tangan dilipat di sekitar dada. Uap putih membumbung di udara ketika si pemuda Park kembali bersuara.
"Ada apa sebenarnya? Kenapa kau jadi begini?" Jimin menggigit bibir, ada gemuruh aneh dalam hatinya. Sampai mau menangis. "Oh, dan lagi ... kau ini masih sakit, jangan terlalu lama berdiri di luar."
"Di dalam membosankan."
"Aku tidak tahu apa yang telah terjadi padamu ... yang kutahu kau berubah, Tae. Sangat."
Dia benar-benar khawatir, seandainya saja Taehyung mau berbalik barang sebentar dan melihat bagaimana rupanya sekarang. Anak itu mungkin tidak akan tertawa. Sedikit banyak respons yang diberi menyulut emosi Jimin, mati-matian ia kepal jemari hingga ruasnya memutih. Tidak! Jangan marah, kau harus menahannya Park.
Saat ia hendak menanyakan kembali perihal perubahan sikap yang Taehyung alami, perkataan anak itu sukses membuat mulutnya terkunci.
"Jimin-a," katanya sambil menatap tepat ke dalam iris gelap Jimin kemudian melempar senyum yang kentara sekali jika itu dipaksakan, "... seiring berjalannya waktu manusia akan berubah atau diubah oleh keadaan."
Hening menjadi spasi di antara mereka berdua, Jimin tidak tahu harus memberi respons seperti apa sedangkan Taehyung tampak ragu untuk mengutarakan pendapatnya. "Dan aku juga manusia," ia berujar lirih.
.
Tanpa dijelaskan begitu pun Jimin sudah tahu, memangnya selama ini temannya itu apa kalau bukan manusia? Sejenis dedemit?
"Mungkin maksudnya bukan begitu."
"Hyung, lalu menurutmu aku harus bagaimana? Aku sendiri bingung harus memulai darimana."
Hoseok memijat pelipis yang terasa berdenyut nyeri, sejak tadi Jimin terus menceritakan perihal perubahan sikap Taehyung. Bagaimana sosoknya berubah jadi sedingin es, jarang tersenyum serta tatapan yang selalu kosong. Sampai anak itu lupa dengan kopi yang dibuat Hoseok untuknya, hingga uap putih di atas cangkir hilang minuman itu masih tetap utuh.
"O, iya! Masalah kopi, aku sudah menceritakannya belum, sih?"
Ada tiga kerutan di dahi Hoseok setelah mendengar suara Jimin yang begitu ceria. Sebenarnya ia merasa ada yang aneh dengan anak itu, karena tadi dia berbicara dengan raut wajah gundah. Tapi untuk binar cahaya pada irisnya, dia yakin sekali jika ini kali pertama ia melihat hal itu. Entah, kalau tebakan Hoseok benar si Park di depannya ini terlihat ... bahagia?
Kemudian ia menggeleng, "Sepertinya belum."
"Oke! Akan kuceritakan. Saat aku menunggu Taehyung siuman dan berusaha menahan kantuk, aku memutuskan untuk mencari air minum di dapur anak itu. Tapi kau tahu hyung? Di sana aku menemukan banyak sekali kopi siap minum yng dikemas dalam botol berbagai macam merk. Padahal Taehyung sendiri tidak pernah menyukai kafein, dia anti dengan rasa pahit yang dikecapnya dari minuman seperti itu. Dan kau tahu? Banyak sekali yang sudah expired mungkin karena dia memang tidak berniat meminumnya ketika membeli. Dia cuma mau mengoleksinya saja. Lalu saat aku membuka laci di counter dapurnya aku menemukan kopi instan dan toples berisi gula. Salah tidak, kalau aku sempat memikirkan suatu hal yang---seperti itulah pokoknya."
Hoseok semakin bingung melihat Jimin menggaruk belakang kepala, tampak ragu untuk mengucapkan dugaan yang bercokol dalam benaknya. Meski sebenarnya pemuda Jung itu sudah tahu tanpa dijelaskan sekali pun. Jadi hal ini yang membuatnya terlihat begitu senang?
"Dia menunggumu."
Jimin tidak mengelak, ia mengangguk berulang kali dengan bibir cemberut dan kaki yang diketukkan ke lantai dan juga meja. Mebimbulkan getar yang dapat dirasakan oleh Hoseok. "Aku tahu," tukasnya dengan wajah sedih.
Hari ini Park Jimin mengalami anomali. Mendadak ekspresif dengan mood jungkir-balik.
"Lalu?"
"Aku merasa bersalah saja. Bagaimana ya menjelaskannya, hmm..., aku tidak tahu apakah yang kurasakan ini benar atau tidak. Hanya saja aku merasa buruk tapi juga senang dalam satu waktu. Rasanya aku jahat sekali selama ini."
Hoseok rasa pengakuan dosa sosok di depannya ini cukup menggelitik, dia benar-benar berubah menjadi anak kecil dalam sekejap. Padahal masih jelas dalam ingatannya bagaimana kerasnya hati pemuda itu. Tiap hari diingatkan pun tidak ada efeknya. Tidak berguna sama sekali, jangankan mengerti ... seringkali dia malah memilih pergi. Melarikan diri.
Hati manusia memang suatu hal yang cukup menyeramkan di dunia. Gampang sekali berubah, seperti membalikkan telapak tangan.
"Baru sadar, ya? Selama ini ke mana memang?"
"Hyuuuung...."
Sungguh sudah terlalu lama Hoseok tidak mendengar Jimin merajuk seperti ini. Hingga membuat ia kembali tertawa setelah semalaman lelah bekerja. "Oke, oke! Aku minta maaf." Namun setelah mengatakannya pemilik marga Jung itu malah kembali tertawa, sulit sekali menahannya. "Jadi, apalagi sekarang masalahmu? Kenapa wajahmu ditekuk begitu?"
"Taehyung ada di rumahku sekarang dan aku tidak tahu harus berbuat apa?"
"Kenapa?"
"Aku masih kesal padanya, bahkan tadi aku hampir memberi bogem mentah di rahangnya."
Sebuah semburan kopi mendarat di tangan Jimin diikuti suara terbatuk dari Hoseok. "Euw, Hyung! Kau menjijikkan, aish!"
Hoseok masih tersedak, sesekali ia pukul dadanya pelan. Jimin sendiri berderap ke ruang tengah, mengambil kotak tisu untuk membersihkan kopi dari mulut Hoseok di tangannya.
"Apa kau gila? Mana boleh begitu!" sungut Hoseok sambil menunjuk Jimin tepat di depan hidungnya yang mungil. "Kalian baru saja bertemu, kenapa kau jadi kasar begitu."
"Ck, aku tidak melakukannya tanpa alasan. Siapa yang tidak emosi melihat temannya berniat meninggalkan dunia dengan alasan yang tidak masuk akal. Dia bilang...," Jimin menjeda kalimatnya. Lantas membasahi bagian bawah bibir sebelum kembali berucap dengan sorot mata penuh luka, "... dia sudah hilang."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top