08.
Disadari atau tidak ketika berada dalam sebuah lingkup pertemanan, akan selalu ada salah satu sifat yang saling memengaruhi satu sama lain. Begitu pula dengan pertemanan Jimin dan Taehyung. Biasanya Jimin akan memilih langsung pulang ke rumah setelah jadwalnya di sekolah selesai. Jika terlampau malas maka anak itu akan memilih menghabiskan waktunya di ruang latihan menari hingga dini hari.
Lain halnya dengan Taehyung yang selalu menyempatkan diri berkunjung ke tempat makan bibi Jung saat pulang sekolah. Makanan dan minuman yang dijual di sana tidak terlalu mahal untuk ukuran kantong pelajar sepertinya, selain itu rasa makanan yang dibuat bibi Jung sangat enak. Saking seringnya berkunjung sang pemilik dan semua pegawai di tempat itu sudah hapal dengan pesanan Taehyung, dia juga diijinkan untuk masuk ke dapur dan ikut membantu kegiatan di sana.
Taehyung mendapat bayaran berupa makanan gratis dari tempat itu.
Jimin masih memandangi lapangan olahraga melalui jendela tepat disampingnya. Hari keempat Jimin masuk dan anak itu belum menunjukkan batang hidungnya sama sekali. Kalau dihitung-hitung berarti sudah satu minggu lebih Taehyung tidak masuk.
"Sakit apa sih, dia?"
Jimin masih betah memutar-mutar pensil diantara ibu jari dan telunjuk. Guru Song berhalangan hadir jadi ia dan teman-temannya hanya diberi tugas untuk merangkum materi. "Seharusnya dipulangkan saja, dari pada seperti ini. Membosankan."
Saat bel berbunyi, Jimin segera menenteng tas dan melangkah ke luar dengan cepat. Ketika berada di depan sebuah bangunan, ia mendadak berhenti. Menatap lamat pada kedai makanan tempatnya berdiri.
"Kenapa aku jadi sering ke sini?"
Lambat laun kebiasaan Jimin mulai berubah. Hal itu kadang membuatnya bertanya dan heran, bagaimana bisa ia melakukan hal-hal yang biasa Taehyung lakukan. Kedai makanan ini contohnya, meskipun tempat ini masih sama nyatanya duduk sendiri dengan beberapa makanan dan minuman yang telah di pesan tetap terasa berbeda.
Mejanya terlalu sepi, tidak ada yang berceloteh sepanjang waktu dengan mulut penuh makanan. Tidak ada yang mengambil daging di piringnya sesuka hati, tidak ada yang membuatnya kesal, tidak ada obrolan aneh mengenai kebencian dan kematian. Seharusnya Jimin menyukainya, dari awal bocah Park itu selalu merasa jika kehadiran Taehyung mengganggu hidupnya.
Jimin hanya berpura-pura menjadi teman bagi anak itu, bertahan untuk diam walaupun hatinya ramai meminta untuk mengeluarkan makian bagi si ceria yang menorehkan luka. Kehidupan Taehyung membuat hati kecilnya menangis, merasa tidak adil. Sosok itu terlalu terlihat bahagia dan Jimin tidak menyukainya.
Yang seharusnya dimaki habis-habisan di sini adalah Park Jimin sendiri. Anak lelaki yang dipenuhi kepalsuan, hatinya yang kerdil kini berwarna hitam pekat. Tak ada lagi yang bisa ia lihat selain kebencian, tidak ada lagi yang bisa ia lihat selain cacat dari seluruh hidup miliknya.
Karena ia selalu menutup mata.
.
Jimin kembali menatap layar ponsel di samping, nama itu kembali muncul. Tidak seperti biasanya, setelah sekian tahun baru sekarang Taehyung menghubunginya terus-menerus. Ditambah ibunya sempat menanyakan kondisi sulung keluarga Kim itu. Jika mengenai keluarganya, Jimin bisa pastikan mereka tidak mengetahui bagaimana buruknya hubungan dia dan Taehyung.
Tapi, apa mungkin Taehyung juga menutupi renggangnya pertemanan mereka dari kedua orang tuanya? Mengingat kepribadian anak itu, seharusnya ibu Taehyung sudah tahu. Hampir tiga tahun mereka tidak saling menghubungi---Jimin tidak pernah merespons lebih tepatnya. Pertemuan terakhir mereka ketika Jimin memutuskan untuk keluar dari agensi tiga bulan sebelum mereka berdua melakukan debut.
Saat itu, ada sedikit rasa bersalah yang mengisi hati Jimin. Meninggalkan Taehyung sendirian ketika dia tahu ada begitu banyak trainee yang membencinya. Mereka iri, tentu Jimin tahu bagaimana rasanya karena ia juga merasakan hal yang sama. Hingga ia memutuskan pergi agar anak-anak itu semakin membenci Taehyung.
Taehyung yang tega mendepak sahabat karibnya demi menjadi bintang di panggung.
Jimin berhasil membangun citra baik dan tertindas oleh sahabatnya sendiri. Jimin berhasil menghancurkan nama baik temannya.
"Park Jimin yang busuk," ucapnya lirih.
Pamflet ungu yang ia pegang kini berubah menjadi bola kertas, lantas melayang dan terjatuh ke dalam kotak sampah di ujung ruangan. Jimin kembali berbaring dengan tangan kanan yang menutup mata, ia lelah.
Bungsu keluarga Park itu ingin melupakan semua hal tentang Taehyung, ia ingin kegelapan mengambil alih dirinya. Mengantarkan Jimin ke dunia yang lebih baik, dunia di mana tidak ada kebencian di hatinya, dunia di mana ia bisa melihat banyak hal-hal kecil penuh kebahagiaan yang ia lewati, dunia di mana ia bisa melihat dengan jelas seperti apa kehidupan sosok yang ia benci.
Di dunia itu dia bisa berjalan beriringan tanpa adanya ganjalan di hati, dia bisa tertawa lepas bersama sang sahabat.
Mimpi, Jimin selalu memimpikan hal seperti itu setiap malam. Meski ketika pagi tiba, saat ia membuka mata, mimpi itu lenyap entah ke mana. Kebencian yang ia punya selalu mengalahkan segala niatan baik miliknya.
"Jika kau terus melakukannya, kau tahu betul bukan siapa orang yang menderita sesungguhnya."
Jimin pikir ia berhalusinasi, semalaman ia terus memikirkan perkataan Hoseok. Hingga pagi ini ia melihat sosok itu tengah duduk di meja makan bersama ibunya. Aku sudah mulai gila.
"Jimin, cepat turun. Hoseok sudah lama menunggu, tumben kau bangun lama sekali."
Tunggu, jadi dia benar-benar datang?
"Hyung? Kau---" kata-kata itu menggantung sesaat setelah Jimin mengingat kembali insiden beberapa hari yang lalu, rasanya berat sekali melangkah ke arah pemuda itu. Ia menarik kursi yang berhadapan dengan Hoseok, menggaruk tengkuk dan berucap canggung. "Maaf, sudah membuatmu menunggu."
"Bukan masalah," Hoseok terkekeh sembari mengibaskan tangan. "Bagaimana kabarmu? Kau tahu? Apartemenku sepi sekali tanpa kehadiranmu."
Jimin masih diam, mengambil sehelai roti tawar dan satu kaleng selai kacang. Ia bingung harus menjawab apa.
"Jim, ibu pergi keluar dulu. Sepertinya ada beberapa hal yang ingin kalian bicarakan ya?"
"Tidak perlu. Ibu bisa tetap di sini dan mendengarkan."
Jimin tidak mau ditinggal berdua dengan Hoseok, dia masih belum siap. Ia tidak mau lelaki di depannya kembali mengungkit masalah Taehyung. Setidaknya jika ibunya masih ada di sekitar mereka, Jimin yakin Hoseok tidak akan menyebut nama itu. Lain halnya jika sang ibu pergi, ia takut kejadian di apartemen kembali terulang.
"Kau ini, sudah ya ibu pergi...," kata ibunya sambil mengecup puncak kepala si bungsu. "Cepat selesaikan masalah kalian, jangan biarkan berlarut-larut. Hoseok, bibi titip Jimin ya. Kalau dia bandel, bibi ijinkan kau untuk memukulnya."
"Ibuuu, mana bisa begitu."
Hoseok kembali tertawa mendengar penuturan ibu Jimin. Setelah wanita itu pergi, keadaan semakin canggung. Hoseok sendiri tidak mau memulai pembicaraan, ia tahu jika Jimin mau bicara anak itu akan bicara. Dia hanya khawatir karena panggilannya terus-terusan ditolak.
"Aku."
"Hm? Kau? Kau kenapa?"
"Aku tahu siapa yang paling menderita di sini, Hyung. Aku harus bagaimana?"
a/n:
Udah sebulan ini aku ga update apapun, seriusan mood aku lagi ancur bgt. Alur cerita ini gimana siiih? Seriusan aku pengen tahu pendapat kalian...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top