07.

Tidak ada perkembangan apa pun. Setelah dua hari dilewati dengan mengurung diri dan bertransformasi menjadi seorang lelaki yang jauh lebih pendiam dari sebelumnya, suasana hati Jimin tetap sama. Tidak ada yang berubah, padahal biasanya mengembalikan mood-nya yang rusak tidak sesulit ini. Terlebih saat kemarin malam ia tidak sengaja menemukan secarik kertas dari laci meja belajar ketika berniat mencari jurnal hariannya yang mendadak hilang.

Kertas usang dengan warna ungu yang mulai pudar. Jimin sendiri heran bagaimana pamflet itu masih ada di sana dengan kondisi utuh, padahal usianya sudah hampir enam tahun lebih.

"Kenapa harus kutemukan di situasi seperti ini?"

Jimin yang memang sejak semalam tidak bisa tidur akhirnya memilih menyerah. Menyingkap selimut lantas mengusak rambut kasar, beranjak dari tempat tidur untuk kembali melihat pamflet yang ia letakkan di atas meja belajar.

"Apa mungkin sekarang aku akan berada di tempat yang sama denganmu jika aku tidak memilih pergi?"

Jimin membenci dirinya sendiri lebih dari rasa benci yang dia berikan pada Taehyung. Seiring waktu berjalan, di tengah keheningan malam ia selalu berkontemplasi dengan dirinya sendiri. Menggelikan sekali ketika lambat laun mulai menyadari apa yang ia rasakan saat ini. Ia benci pada dirinya sendiri yang belum bisa berdamai dengan keadaan. Bahkan sejak pertama kali mereka bertemu Jimin sudah menaruh kebencian pada  sulung keluarga Kim tersebut.

Pertengkarannya dengan Hoseok sedikit demi sedikit membuat Jimin sadar jika selama ini yang ia lakukan memang tidak benar. Hoseok benar saat berbisik padanya dan mengatainya seorang pecundang.

"Kenapa kau membenci kehidupan orang lain yang terlihat jauh lebih bahagia darimu, disaat kau tahu jika apa yang dilihat tidak selalu sama dengan keadaan yang sebenarnya terjadi?"

Jimin memijat pelipis dengan ibu jari ketika kata-kata Hoseok kembali berputar dalam benak. Bingung dengan apa yang selama ini ia lakukan. Terkadang pemuda Park itu membenarkan apa yang Jung Hoseok katakan tapi sisi lain dalam dirinya selalu menolak saat hatinya berontak dan ingin mengakhiri semuanya.

Jimin tidak sepenuhnya salah.

Sebaris kalimat itu selalu berhasil membenamkan niatan Jimin untuk mengakhiri rasa benci yang ia miliki.

"Aku tidak akan seperti ini jika kau tidak selalu menghalangi jalanku. Bajingan!"

.

Jimin berjalan dengan hidung tersumbat, kepalanya masih terasa berat bahkan setelah tiga hari ia istirahat di rumah. Kalau dipikir kembali, aneh rasanya bagaimana ia rela menghabiskan waktu berjam-jam dengan kondisi tubuh basah diguyur hujan hanya untuk mencari Taehyung yang dikira hilang. Padahal berkali-kali ia mengatakan pada dirinya sendiri jika ia sangat membenci sosok Kim itu.

"Kau sudah sembuh?"

Jimin menoleh ke samping kiri, ada seorang siswi dengan rambut digerai sebahu yang tiba-tiba menyapanya. Pertama kali dalam sejarah ada seseorang yang mau mengajaknya bicara seperti ini---selain Taehyung tentunya. Terasa canggung hingga ia memilih mengangguk saja tanpa bicara.

"O, syukurlah," katanya dengan senyum mengembang.

Gadis itu menarik-narik kedua ujung tali ransel yang menjuntai, seperti ragu untuk melontarkan tanya selanjutnya. Takut sosok di sebelahnya melabeli dirinya sebagai orang asing yang aneh---walaupun tidak sepenuhnya asing, well, nyatanya Jimin teman sekelas yang duduk tepat di belakang mejanya hanya saja lelaki itu tidak tahu.  Tapi karena Terlalu penasaran akhirnya ia memilih tak peduli dengan anggapan Jimin padanya.

"Hm, boleh tanya sesuatu tidak?"

"Tentu."

"Kau tahu bagaimana kondisi Taehyung?"

Langkah keduanya terhenti saat nama Taehyung berada di antara obrolan mereka. Mengerutkan dahi, secara tidak sadar Jimin kembali mengulang nama Taehyung dengan intonasi bertanya. Memastikan jika Taehyung yang di maksud adalah Kim Taehyung yang ia kenal.

"Kim Taehyung. Teman yang selalu menempel denganmu itu, loh. Dia juga sampai sekarang belum masuk, mungkin kau tahu bagaimana keadaannya jadi---"

"Tidak, aku tidak tahu. Permisi."

Jimin langsung melengos pergi, memotong kalimat dari gadis tadi. "Bagaimana bisa Taehyung tahan dengan orang sepertinya?"

Jam pelajaran berlalu begitu saja tanpa meninggalkan satu materi baru di kepala pemuda Park itu. Penjelasan yang diberikan oleh sang guru hanya sekadar masuk telinga kiri kemudian keluar telinga kanan. Dia ingin segera pulang, berada di sekolah hanya membuat rasa pusingnya semakin menjadi-jadi.

Sebenarnya mereka yang menanyakan kabar Taehyung pada Jimin tidak bisa dibilang sepenuhnya salah karena walau bagaimana pun, faktanya Jimin dan Taehyung memang sering menghabiskan waktu bersama ketika berada di lingkungan sekolah. Terlepas dari apa yang sebenarnya Jimin sembunyikan, dari luar keduanya memang terlihat begitu dekat.

Hanya saja rasanya sangat menjengkelkan saat orang-orang memanggilnya dengan sebutan "Temannya Taehyung", Jimin memiliki nama.

Memang, dia tidak seterkenal itu untuk diketahui namanya oleh murid di sekolah. Tapi dia memakai nametag yang disematkan pada dada sebelah kiri, membacanya tidak memakan waktu lama.

"Temannya Taehyung. Keberadaannya benar-benar menghilangkan eksistensiku." Jimin merotasikan mata, lantas bergegas menggendong tas ransel setelah bel sekolah berdering.

Langkahnya dipacu begitu cepat melewati gerbang. Jimin terlalu malas untuk menghadiri club menari kontemporer dan beberapa jam tambahan yang akan berlangsung satu jam kedepan. Jimin pikir, bolos sehari tidak akan menimbulkan masalah serius. Terlebih kondisi tubuhnya memang sedang tidak fit.

Bel di atas pintu berbunyi saat Jimin mendorong pintu kaca di depannya. Ucapan "selamat datang" langsung memasuki telinga ketika ia melangkah masuk. Pemuda Park itu segera memesan makanan yang biasa ia makan di tempat itu. Entah mengapa tempat makan ini sangat Jimin rindukan. Selagi menunggu makanannya diantar, Jimin terus memerhatikan interior tempat itu.

"Masih sama," ia menempelkan kepala pada meja dan memainkan sumpit di sampingnya, "tapi rasanya seperti ada yang hilang. Suasananya berbeda sekali."

Ia memejamkan mata, kembali memanggil ingatan beberapa hari yang lalu. Sejak saat itu dia tidak pernah tahu lagi keadaan Taehyung. Mengetahui anak itu tidak hadir sejak saat itu bahkan hingga hari ini, membuat Jimin merasa sedikit khawatir.

"Ke mana dia?"

Jimin segera membenarkan posisi duduknya saat seorang pelayan mengantarkan pesanan. Ia mengucapkan terima kasih sambil membantu meletakkan makanan yang pemuda itu bawa.

"Dia?" ucapnya dengan dahi beekerut.

"Temanmu itu loh, siapa ya namanya? Pemuda dengan senyum kotak."

"Taehyung?"

Pelayan tadi menjentikkan jari, "Nah, iya dia! Ke mana anak itu? Apa dia sakit?"

Jimin terdiam begitu menyadari sesuatu yang sejak tadi ia pikirkan. Diamnya Jimin membuat si pelayan merasa tak enak hati. Hingga ia segera meletakkan semua makanan yang pemuda itu pesan, kemudian pergi kembali ke dapur untuk mengambil pesanan lainnya.

"Selamat menikmati."

Masih tidak ada jawaban. Bahkan Jimin semakin terkejut saat ia melihat semua pesanannya di atas meja. Ia memesan semuanya sebanyak dua porsi, bahkan ia memesan dua jenis minuman. Satu gelas minuman bersoda dan segelas kopi. Senyum asimetris menghiasi wajahnya.

"Ini gila!"

Tempat itu terasa berbeda bukan karena perubahan interior, tapi karena kehadiran seseorang.









Kenapa aku merasa kehilangan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top