04.

Tidak peduli rupanya bukan kata yang tepat untuk diucapkan ketika pada akhirnya harus memilih berlari menyusuri jalanan di kala hujan. Harusnya Jimin terbebas dari segala pemikiran buruk tentang Taehyung. Dia tidak menyukainya yang berisik. Dia tidak menyukainya yang memiliki segala sesuatu yang Jimin inginkan. Jadi atas dasar apa ia melakukan pencarian ini sekarang?

Peduli?

O, tentu saja bukan. Jangan salah paham, seseorang yang mencari keberadaanmu bukan berarti memedulikanmu sebesar itu. Mungkin saja dia merasa jengkel karena keghilangan seonggok daging yang bisa dijadikan bahan pelampiasan. Begitu pun dengan Jimin. Ia membutuhkan seseorang untuk menyalurkan segala kebencian dalam dirinya. Ia membutuhkan seseorang untuk disalahkan ketika kehidupan yang ia miliki tidak menyenangkan dan berpihak padanya. Maka dari itu ia membutuhkan Kim Taehyung.

"Ke mana perginya anak itu?"

Jimin merasa dirinya luar biasa bodoh ketika menyadari baju yang ia kenakan sudah basah seluruhnya. Mengusap wajah dengan kasar dan menggeram tertahan, kenapa juga ia harus keluar tanpa membawa payung padahal jelas-jelas ia keluar rumah di saat mendung. Bahkan sudah gerimis. Pemuda itu juga mengabaikan ibunya yang bertanya kenapa ia terlihat cemas dan mendadak keluar tanpa mengganti seragam lebih dulu.

Kau benar-benar tampak konyol, Park Jimin!

Baru saja ia memutuskan untuk berteduh sambil menunggu hujan berhenti dan menyudahi pencarian paling tolol yang pernah ia lakukan, sebuah getaran dari dalam saku celana membuatnya menahan napas sejenak ketika berhasil membaca deretan nama yang berjalan pelan di layar ponselnya. Keraguan kembali datang, apakah ia harus mengangkat atau mengabaikannya? Lagi pula jika diabaikan pun, si pemanggil tidak akan curiga sama sekali. Jimin bisa memberi alasan jika ia ketiduran selama hujan berlangsung hingga tidak menyadari jika ponselnya berbunyi, terdengar masuk akal bukan?

Namun sepertinya hari ini pikiran dan tubuhnya mengkhianati Jimin dengan sangat baik. Karena ibu jarinya menggeser ikon hijau di atas layar sedetik setelah Jimin memutuskan untuk mengabaikan panggilan.

.

"Sial! Kenapa juga aku harus mengangkatnya?"

Seandainya tadi ia teguh pada pendirian dan mengabaikan panggilan dari orang tua Taehyung, mungkin sekarang pemuda itu sudah duduk manis di kamar sambil bermain games ditemani beberapa snack dan secangkir cokelat panas. Bayangkan betapa bahagianya ia sekarang.

Tapi nyatanya sekarang ia berada di sini, berlari ke sana-sini di tengah guyuran hujan yang semakin lebat. Bisa dipastikan besok ia akan menggigil karena demam dan menyiapkan telinga untuk mendengarkan segala macam omelan dari ibunya. Jika dihitung, sudah dua jam Jimin berlari dari tempat satu ke tempat lainnya. Mendatangi semua tempat yang ia dengar dari orang tua Taehyung.

Jimin memang membenci Kim Taehyung dari hati yang paling dalam. Tapi dia tidak bisa membiarkan suara di seberang telepon yang terdengar luar biasa panik dan terisak hebat. Taehyung adalah anak pertama dari keluarga Kim---yang ternyata sang ayah merupakan sahabat dekat dari ibu Jimin. Lihatlah betapa sempitnya dunia ini diciptakan. Taehyung bukan bungsu di keluarganya, tapi sejauh yang Jimin lihat selama ini anak itu mendapatkan perhatian layaknya anak bungsu. Bahkan jika dilihat-lihat Kim Taehyung itu selalu dimanja oleh kedua orang tuanya.

Dan lagi-lagi Park Jimin sangat marah mengetahuinya. Jimin tidak memiliki masalah kepada anggota keluarga Taehyung yang lain, karena mereka memang memperlakukannya dengan baik. Ia hanya menbenci Taehyung, itu saja. Dengan beribu alasan yang siap keluar kapan saja jika anak itu memaksanya bicara. Sayangnya Kim Taehyung terlalu polos untuk menyadari kebencian yang terpancar dari mata Jimin.

Kedua obsidian miliknya melebar ketika mendapati seorang anak lelaki sedang duduk di sudut toko. Tanpa ia sadari, Park Jimin menarik kedua sudut bibirnya. Tipis sekali disertai perasaan lega yang entah karena apa.

"O, Jimin-ah."  Taehyung melambaikan tangan, Jimin pun segera berlari ke arahnya. Setelah sampai dan berdiri tepat di depan tubuh Taehyung, Jimin dapat melihat kerutan di kening pemuda itu. Ia memperhatikannya dari atas sampai bawah, "Kenapa hujan-hujanan? Lihat, bajumu basah wajahmu sepucat mayat. Kau mau sakit?"

"Aku mencarimu bodoh."

Taehyung menelengkan kepala, berusaha mencerna kata-kata Jimin sebaik mungkin. "Untuk apa?"

Decakan kesal terdengar, lantas pemuda dengan garis Park itu tidak lagi menahan nada suaranya yang semakin meninggi di akhir kalimat. "Kau tidak pulang tepat waktu, ibumu mengkhawatirkanmu setengah mati hingga menelponku dan meminta bantuan sambil terisak. Maka dari itu aku menghabiskan waktu berhaga milikku untuk mencarimu!"

Jimin tidak tahu lagi harus berkata apa. Mati-matian ia mencari seseorang yang keadaannya bahkan jauh lebih baik dari dirinya sendiri. Taehyung berdiri di sudut toko dengan seragam yang kering, hanya saja rambutnya memang terlihat sedikit basah. Ia menyesal setengah mati telah mencarinya.

"Kau punya ponsel bukan? Apa susahnya menghubungi ibumu!?"

"Jim, dengarkan aku---"

"Diam! Aku tidak ingin mendengar suaramu," kata Jimin pelan disertai pandangan tajam. Lantas mengambil ponsel dari dalam saku dan menghubungi salah satu kontak di dalamnya. Mengabaikan Taehyung yang menatapnya penuh rasa bersalah, biarkan saja karena memang seharusnya anak itu merasakannya bukan? Setidaknya kalimat itu terus berputar dalam kepalanya hingga terdengar suara dari seberang telepon.

"Halo, bibi aku Jimin. Aku sudah menemukan Taehyung," ujarnya tanpa berniat melepaskan tatapan dari pemuda di depannya. Lalu berjalan mundur, mendongak untuk mencari alamat yang mungkin saja tertera di papan atau apa saja yang sekiranya dapat membuat kedua orang tua Taehyung datang lebih cepat.

"Baik, aku akan segera mengirimkan alamatnya ... sama-sama bi, tidak perlu sungkan."

Panggilan telepon di akhiri dan Jimin masih merasa dadanya bergejolak tiap kali menatap mata Taehyung. Dia ingin menumpahkan segala amarahnya sekarang atau mungkin melayangkan satu-dua pukulan di wajah atau pun tubuh pemuda itu. Tapi yang ia lakukan malah berbalik pergi, mengabaikan teriakan Taehyung yang memanggilnya untuk menunggu ibu dan ayahnya sampai lalu pulang bersama.

Jimin tidak mendengar langkah Taehyung, yang ia tahu tangannya sudah ditahan oleh genggagam bocah Kim sialan yang menyebalkan. "Tunggulah dulu, lalu pulang bersamaku."

"Tidak terima kasih."

Menatap Taehyung dari atas sampai bawah yang kini keadaannya tidak berbeda jauh dengannya. Tersenyum sinis kemudian menghentakkan tangan dengan keras hingga genggaman Taehyung terlepas. "Aku bisa pulang sendiri. Sebaiknya kau kembali berteduh dan jangan pergi ke mana pun sampai jemputanmu datang. Mengerti!"
































Apakah rasa khawatir dan benci dapat berjalan beriringan? 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top