02.

Sensasi dingin mulai menjalar pada setiap bagian wajah yang bersentuhan dengan kapas basah berisi cairan antiseptik. Mengantarkan berbagai rasa di sekitar permukaan kulit yang sobek atau pun lecet, perih masih mendominasi tiap kali cairan itu mulai meresap pada pori-pori kulit yang terbuka.

Kim Taehyung masih di sana, dengan setia mengobati luka-luka pada tubuh Jimin. Suara gemuruh napas tak beraturan menyapa gendang telinga pemuda Park itu dengan jahat. Seakan mengingatkan padanya betapa besar perjuangan yang harus dilakukan hanya untuk mengambil sebuah kotak P3K tanpa sepengetahuan dokter jaga. Taehyung harus berlari dengan cepat jika tidak ingin tertangkap pihak UKS karena sudah membawa semua perlengkapan pertolongan pertama pada kecelakaan tanpa meninggalkan apa pun di sana.

"Kau gila?" tanya Jimin mengudara saat menyadari betapa banyak peralatan di bawah kaki Taehyung. "Sebanyak ini mana boleh dibawa semua," lanjutnya dengan tangan memegang gulungan plester berukuran sedang.

Melirik sepintas sosok yang masih tersenyum sambil membereskan perban, betadin, gunting dan semua peralatan kesehatan yang berceceran ke dalam kotak asalnya. "Aku hanya meminjam sebentar, nanti juga akan kukembalikan." Mengibaskan lengan di depan wajah Jimin, Taehyung lantas kembali bersuara, "Jangan khawatir, oke!"

Bibir Jimin berjungkit naik pada salah satu sisinya, memandang tak suka pada Taehyung yang sama sekali tidak peka. Normalnya pada keadaan seperti ini, lelaki itu akan menghabiskan waktunya seorang diri. Kembali ke rumah saat malam telah larut, mengendap-ngendap menaiki tangga, lalu membenamkan diri dalam selimut hingga pagi. Lalu, mendadak bertransformasi menjadi siswa paling rajin yang berangkat di pagi buta guna menghindar dari tatap menyelidik keluarga--terutama ibunya.

Jimin tidak pernah mau memperlihatkan kondisinya yang buruk pada siapa pun. Telinganya terlalu panas untuk di suguhi suara-suara sarkas. Sejauh yang ia ingat, tiap kali tubuhnya babak belur maka hal pertama yang akan ditanyakan padanya adalah: kenapa kau bisa seperti ini? Apa yang kau lakukan selama di luar? Bisa tidak sehari saja tidak membuat masalah?

Dia yang jadi korban tapi dia juga yang disalahkan. Hebat!

Tidak ada yang tahu bagaimana kehidupan sosial yang Jimin kecil alami. Dalam pandangan Jimin, kedua orang tuanya tidak pernah bisa mengerti apa yang ia rasakan. Bagi Jimin keluarga kecilnya hanya memiliki satu anak tunggal dan itu bukanlah dirinya. Melainkan sang kakak.

"Kenapa diam saja, sih! "

"Apa?"

"Iya, kenapa kau diam saja seperti ini padahal kau sedang diperlakukan tidak adil," ucap Taehyung menggebu. Ia mengambil tempat di samping Jimin, duduk bersila sembari memainkan jemari di pangkuan. "Kau harus melawan mereka."

Menghela napas kasar, Jimin segera meraih air mineral dari dalam tas yang ia biarkan tergeletak. Beberapa bagiannya kotor terkena debu, tapi lelaki itu tidak peduli. Toh bajunya terlihat jauh lebih mengenaskan dibandingkan tasnya. Ada noda merah di mana-mana, beberapa bagian malah terlihat sobek; berarti lagi-lagi Jimin harus menyisihkan sebagian uang bulanannya untuk membeli seragam baru.

Taehyung terlihat mengerutkan kening saat Jimin menarik tangannya, mengalirkan air dari dalam botol untuk membasuh tangan penuh betadin milik Taehyung. "Apa kau tidak jijik melihat tanganmu seperti ini?"

"Tidak."

Jawaban pemuda Kim itu sontak membuat Jimin mendelik dan berdecak, setelah semuanya beres bungsu keluarga Park itu segera bergegas pergi. Meninggalkan Taehyung sendiri yang masih tersenyum melihat telapak tangan yang masih basah.

Kotak tisu berukuran sedang tiba-tiba terjatuh tepat di depannya, "Bersihkan sendiri lukamu. Aku sama sekali tidak berniat membantumu, dan ... aku juga tidak akan berterima kasih untuk bantuanmu hari ini."

"Luka?"

Taehyung segera mencari luka yang dimaksud Jimin. Sedangkan anak itu entah sudah berada di mana, setelah merampungkan kalimatnya ia memilih pergi tanpa berbalik lagi. "Aah, bagaimana bisa aku tidak menyadarinya?" tanya Taehyung saat melihat lubang di bagian lutut seragamnya, dia juga sempat jatuh sebelum menolong Jimin.

"Dasar bodoh--akh! Wah ternyata memang perih, tapi kenapa Jimin tidak mengeluh ya? Tidak mau berterima kasih, tapi dia malah membantuku, dasar aneh."

Jika Jimin tahu akhirnya akan seperti ini, mungkin sejak dulu ia akan memperkuat dinding di sekitarnya. Bagaimana bisa manusia sepertinya menerima begitu banyak kepedulian dari hal yang begitu ia benci?

Jimin tersenyum simpul.




































Kebohongan memang memancing kebencian, bukan?



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top