Segmen 7

Kevin menggulir tetikus dengan cepat. Keningnya berkerut, pertanda ada suatu hal yang dipikirkannya. Begitu seriusnya dia menghadap komputer hingga tak menyadari kehadiran Sebastian.

"Halo, Kawan." Sebastian menepuk bahu sahabatnya.

Kevin menoleh, "Yo, Sebas!"

"Apa yang kamu dapatkan?"

Kevin mencetak dokumen yang terpampang di layar komputer, "Aku meretas surel Gerritsen, juga mengunduh percakapan ponselnya."

"Mengunduh?" Sebastian menyela kalimat Kevin.

Kevin mendecih kesal. "Oke, aku mencuri. Itu ilegal. Tapi pengacara Rossier pasti siap membelaku nantinya."

"Tak ada bantuan hukum untukmu jika ketahuan." Sebastian berkata santai.

Kevin melempar nachos ke kepala Sebastian. Yang dilempari tergelak keras. Sebastian lantas membaca hasil cetak yang disodorkan Kevin.

Sama seperti Kevin, makin lama kerut di dahi Sebastian makin tebal. Matanya menyipit dan sekejap siulannya terdengar nyaring.

"Wow. Ini menarik." Sebastian terkekeh.

"Anggie memasukkan vampir baru." Kevin geleng-geleng kepala.

"Dan kita punya banyak stok darah segar." Sebastian meringis.

"Menurutmu apa yang akan dilakukan Big Boss?"

Sebastian mencubit-cubit bibir. Dia termenung memikirkan sesuatu.

"Sebas?"

Sebastian mengembuskan napas, "Entah kenapa aku lebih tertarik pada bagaimana Maia menghadapi hal ini nanti."

"Maia?" Kevin keheranan.

"Ya, Maia. Dia sudah mengejutkan kita semua dengan sikapnya pada Zulaykha. Aku ingin melihat kejutan apalagi yang akan dia berikan pada kita soal Gerritsen ini."

Seringai Kevin terkembang lebar. Kepalanya manggut-manggut serupa burung tekukur.

"Seperti dejavu." Kevin menyeringai senang. "Dulu aku sangsi Princess bisa menjadi pendamping yang sepadan untuk Big Boss. Tapi sekarang aku yakin Princess memang pasangan paling tepat untuk Big Boss."

"Betul, betul, aku setuju." Sebastian menjentikkan jari. "Sekarang pun dia bisa jadi penyemangat Big Boss lagi. Bahkan Anggie dan Andrew mulai tertular optimisme Maia."

"Semangat hidupnya sudah pulih lagi." Kevin berkata dengan nada takjub. "Wanita mungil itu mengerikan juga."

"Pasti menyenangkan melihat dua cakar wanita saling bertemu." Seseorang berkata dari arah belakang.

Sebastian dan Kevin spontan menoleh. Di sana berdiri Kathleen dengan raut muka masam.

"Aku sudah pernah kena "cakar" Princess." Kathleen menghempaskan pantat di sofa samping Sebastian.

"Oh ya? Kapan?" Sebastian penasaran.

"Waktu pertama kali bertemu dia. Saat dia terbangun dari mode sleeping beauty-nya."

"Oh waktu itu." Kevin tak tahan untuk tidak tertawa. "Princess benar-benar lawan yang menyebalkan untuk Kathleen."

"Tapi sekarang kamu jatuh sayang padanya?" Sebastian mengulum senyum.

"Tentu saja! Siapa yang tidak sayang pada gadis mungil itu? Dia terkadang menyebalkan, tapi perhatiannya membuat gunung es sekalipun meleleh terpesona padanya."

Tawa membahana terdengar dari duo Sebastian dan Kevin. Kathleen mengerucutkan bibir.

"Dan kenapa pula dengan wajahmu itu?" Sebastian mengernyit melihat raut masam di wajah cantik Kathleen.

"Aku harus mencekikmu karena menyuruhku menjemput Gerritsen itu, Sebas." Kathleen merengut.

"Hei, aku hanya minta tolong padamu."

"Dengan memaksa." Kathleen bersungut.

"Kath, aku tidak memaksa. Aku hanya menyogokmu saja."

"Kamu disogok apa, Kath?" Kevin terperangah. Jelas topik sogokan lebih menarik untuk Kevin dibandingkan hasil pertemuan Kathleen dengan Venus Gerritsen.

"Huracan biru metalik di garasiku." Sebastian menelengkan kepala.

"Kapan kamu suka Lamborghini?" Kevin keheranan, "Biasanya kamu pakai Porsche?"

"Aku ingin merasakan punya 'mobil besar'," jelas Kathleen merujuk pada bodi Lamborghini Huracan yang memang lebih besar dibanding Porsche Turbo Cabriolet miliknya.

"Jadi, bagaimana dengan Gerritsen?" Sebastian kembali ke topik.

"Ambisius." Kathleen termangu.

Sebenarnya dia hendak menceritakan bagaimana Venus Gerritsen tanpa sungkan menanyakan letak apartemen David. Namun, Kathleen masih menahan diri. Belum waktunya Kathleen mengutarakan kecurigaannya.

Sebastian mengangguk. Bukan tanpa alasan khusus dia meminta Kathleen sendiri yang menjemput Venus, alih-alih menyuruh orang lain untuk melakukannya.

Kathleen dikenal pandai membaca karakter orang, sama seperti Sebastian. Mereka berdua fisiognomis yang mumpuni. Jika David memiliki insting yang kuat, maka Sebastian dan Kathleen memiliki keahlian secara akademis memetakan karakter seseorang berdasarkan struktur wajah dan suasana hati. Ilmu yang dipelajarinya secara khusus di Yunani beberapa tahun silam dan ditularkan pada Kathleen karena wanita itu menginginkannya.

"Menurutmu kenapa Anggie malah memilih dia daripada empat kandidat lainnya?" Kevin melemparkan pertanyaan.

"Karena otak Anggie sedang bermasalah." Kathleen nyeletuk. "Andrew benar-benar menghantamkan kepala Anggie ke dasbor dengan kuat. Kuharap Anggie tak kehilangan kemampuan manajerialnya," keluh Kathleen.

"Lucu sekali." Kevin tertawa garing.

"Karena Venus Gerritsen punya latar belakang terbaik dibanding empat kandidat lain." Sebastian memberikan jawaban yang lebih masuk akal.

"Lulus Cumlaude dari Cambridge, mendapat gelar Magister dari Harvard, bekerja di Departemen Pengembangan Bisnis Google, dan punya koneksi dengan banyak orang hebat di Amerika."

"She's totally a monster!" Kathleen menggeleng-geleng.

"Ternyata di dunia ini ada juga orang yang sangat sempurna." Kevin bersiul pelan.

"Aku cenderung berkata mood Tuhan pasti sedang sangat bagus saat menciptakan Gerritsen." Sebastian nyengir.

"Well, pasti karena latar belakangnya itu yang membuat Anggie memilih dia. Anggie memang brilian untuk menjadi kepala divisi kepegawaian." Kevin memuji setengah hati.."Itu jika kita mengabaikan faktor psikologis dalam proses rekrutmennya."

"Besok dia resmi bergabung dengan kita." Kathleen bangkit dari sofa. Sebelum keluar ruangan, dia sempat memberikan nasihat bijak pada dua sahabatnya.

"Guys, kuharap besok kalian bisa merantai mata kalian agar tak copot dari tempatnya."

"Kenapa?"

"Karena Venus Gerritsen adalah The Goddes of sex."

"Kamu makin membuatku tak sabar bertemu dia, Kath," kata Sebastian.

"Lebih seksi darimu?" Kevin bertanya.

Kathleen melayangkan pandangan ke arah Kevin. Mereka berdua seolah berkomunikasi dengan mata batin. Sebastian memutar mata sebal. Dia bisa melihat dengan jelas percik gairah di antara dua orang itu.

"Astaga, cepat cari kamar sana! Kalian membuatku ingin muntah."

Kathleen nyengir lebar. Kevin menendang sofa di mana Sebastian duduk.

"Kuharap hubunganmu dengan Freya semembara kami, Sebas," sindir Kevin.

Wajah Sebastian memerah. Buru-buru dia bangkit dan pergi keluar ruangan. Melewati begitu saja Kathleen yang masih berdiri di ambang pintu.

"Nah, dia sudah pergi." Kevin berkata penuh arti.

Kathleen melirik Kevin. Gelengan kepalanya tegas. "Tidak sekarang, Kev. Kamu membuatku tak tidur semalaman."

"Oh ayolah, Kath. Sebentar saja."

"Cuci otakmu dengan air dingin," gerutu Kathleen sebal, "aku ingin bertemu Maia sekarang."

"Princess tak bisa menunggu?"

"Tidak! Kami punya jadwal khusus wanita sore ini. Good bye, Kev."

Dan Kathleen berlalu dari hadapan Kevin. Meninggalkan pria itu bengong sendirian di kursi.

***

Maia benar-benar punya rencana yang hebat sore ini. Dia mengumpulkan para ladies Tim Sembilan di restoran yakiniku tak jauh dari apartemen. Sejak pagi dia sudah mewanti-wanti trio Zooey, Freya, dan Kathleen agar membebaskan jadwal mereka sore ini agar mereka dapat makan malam bersama.

Trio itu sudah duduk manis di kursi saat Maia datang. Wajahnya semringah. Di belakangnya ada dua orang baru yang belum pernah dilihat Zooey, Freya, maupun Kathleen.

"Hai. Maaf lama menunggu." Suara cempreng Maia sudah kembali normal.

Freya melirik dua tamu di belakang wanita itu.

"Halo, Princess. Siapa mereka?"

Maia tersenyum cerah. "Coba tebak?"

Alis Freya terangkat. Kathleen mempersilakan dua tamu Maia duduk. Dengan cepat dia merekam sosok dua orang itu dalam ingatannya.

Yang satu wanita bertubuh mungil, semungil Maia. Sorot matanya yang tajam menarik minat Kathleen. Dia yakin di balik tatapan tajam itu ada otak brilian dan segepok komentar pedas yang siap meluncur kapan saja wanita itu inginkan.

Sementara satunya lagi berpostur kontras. Tubuhnya tinggi semampai, langsing bak model. Tingginya bahkan sama dengan Zooey yang sejangkung jerapah.

"Freya, Zooey, Kathleen kenalkan saudara-saudaraku."

"Saudara?" kening Zooey, Freya, dan Kathleen spontan berkerut.

"Yup! Yang kecil mungil petite ...."

Maia langsung mengerang kesakitan. "Aduh, Trea please deh, lo jitak kepala gue terus?"

"Lo bilang gue petite?"

"Lah, emang iya."

"Gue petite lo bantet. Kita kan, samaan Mai."

"Enak aja! Lo aja yang petite bantet, gue nggak!"

Dua wanita mungil itu masih melanjutkan debat sengit mereka. Freya dan Zooey melongo. Kathleen tersenyum lebar.

"Maafkan tingkah mereka. Mereka berdua selalu seperti itu tiap kali bertemu," wanita bertubuh tinggi semampai meminta maaf.

"Perkenalkan namaku Mauri. Yang itu namanya Trea. Kami teman Maia di Indonesia."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top