3-8 | One Missed Call [Part 3]

"Dengar, mungkin Chloe sedang butuh waktu menyendiri."

Di hari ketiga Chloe menghilang, matahari di luar sana tidak terasa terik, seperti akan turun hujan. Waktu makan siang sudah berjalan sekitar empat puluh lima menit, sebagian besar penyintas sudah pergi meninggalkan kafetaria. Di meja makan panjang hanya terisi beberapa orang yang masih menikmati hidangan prasmanan, dan sebagian besar adalah tentara atau pekerja rumah susun. Davis duduk sendirian, membuka mulut lebar-lebar untuk menggigit roti isi besar di genggamannya. Pandangannya menerawang jauh ke seberang ruangan. Kunyahannya begitu lambat. Tentara muda itu memang sedang makan siang, tetapi pikirannya tidak berada di kafetaria.

Davis mendongak ketika mendengar obrolan dua arah. Seseorang meletakkan nampan makan siang tepat di depannya, membuat lamunan pemuda gondrong itu buyar.

"Ada kabar soal gadis itu?" ucap seorang pemuda yang usianya tidak jauh dari Davis. Rambutnya ikal dengan kulit eksotis, janggut tipis memenuhi rahangnya. Ia berbicara pada pemuda di sampingnya, kemudian duduk.

"Masih belum. Astaga, aku nyaris frustrasi!" keluh pemuda yang satunya. Itu Dylan. Ia turut mendaratkan bokong di kursi, tepat di sebelah Sam. Lalu pandangannya bertemu dengan Davis yang duduk di seberangnya.

"Uh ... hai?" sapa Davis canggung. Alisnya terangkat satu, merasa heran mengapa pemuda yang membencinya setengah mati harus duduk di hadapannya. Terlebih lagi, Dylan turut membawa pemuda yang tidak dikenalnya. Padahal, puluhan kursi kosong masih tersedia untuk mereka berdua. Siang ini, suasana hati Davis sedang buruk. Ketika melihat Dylan, pemuda yang selalu berada di sekitar Chloe, suasana hatinya kian memburuk.

Berbeda dengan Davis, Dylan justru terlihat santai. "Hai," sapanya.

Dylan mengambil roti isi di atas nampan, lalu memakannya. Ketiganya sibuk menikmati hidangan makan siang. Dylan dan Sam kembali mengobrol, Davis mencuri dengar percakapan dua pemuda di hadapannya. Secara garis besar, obrolan itu didominasi dengan seharusnya-kau-tidak-tertidur-dan-langsung-meneleponnya-lagi, lalu iya-aku-tahu-ini-salahku-jadi-sekarang-aku-harus-bagaimana, dan aku-tidak-tahu-seharusnya-kau-yang-lebih-tahu. Di satu titik, Dylan dan Sam berhenti berbicara, membuat keadaan kembali hening.

Pada akhirnya, keheningan yang canggung itu pecah. Dylan menoleh ke arah Davis tepat setelah ia menelan roti isi, kemudian bertanya, "Ah, ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu."

"Shoot," respons Davis cuek.

"Ini soal Chloe," kata Dylan serius.

Mendengarnya, Davis nyaris tersedak. Ia berdeham, lalu buru-buru menelan roti isi di mulutnya. Kini, dirinya menatap sepasang iris cokelat tua milik Dylan yang entah mengapa berhasil mengintimidasinya. Mengapa pemuda itu harus menanyakan soal Chloe?

"Yeah, go ahead," jawab Davis sesantai mungkin.

"Apa kau tahu di mana Chloe berada?" tanya Dylan.

"Mengapa kau tanyakan hal itu padaku?" Davis balik bertanya dengan ketus. Entah perasaannya saja atau bukan, pemuda itu merasa Dylan sedang mengejeknya. Tentu saja, Dylan adalah sang pemenang mutlak yang tidak akan memberinya kesempatan untuk bersama Chloe.

Dylan membuka mulut, hendak berucap sesuatu, tetapi ia urungkan. Namun pada akhrnya, ia menjawab, "Aku benar-benar tidak tahu di mana ia berada. Itu sebabnya aku bertanya."

"Oh ...." Kemudian Davis tertawa canggung. Otaknya benar-benar sudah rusak, dirinya merasa malu setengah mati. Ah, seandainya saja ia tidak terbawa suasana hatinya yang sedang buruk. Lalu, ia berucap sesantai mungkin untuk memperbaiki keadaan. "Tidak, aku tidak tahu di mana Chloe berada. Bukankah seharusnya kau tahu? Kau 'kan pacarnya."

"Yeah, that's the problem." Dylan mendesah pelan, meletakkan roti isinya di atas nampan. "Aku tidak bersama Chloe beberapa hari ini."

"Apa kalian sedang bertengkar?" tanya Davis.

Dylan tertawa sarkastik untuk mempertahankan harga dirinya. "Tentu saja tidak! Kami tidak pernah bertengkar."

"Oh, please," cibir Sam. Pemuda itu menahan tawa.

"Sam." Dylan memelototi pemuda itu, membuat Davis ingin tertawa juga, tetapi ia menahannya.

"Kau punya ponsel, 'kan? Just call her!" ujar Davis.

"Ponsel Chloe tidak aktif. Apa kau melihat Chloe? Apa ia bersamamu akhir-akhir ini?"

"Tidak," ucap Davis cepat. "Aku bahkan tidak melihatnya sejak ... hampir seminggu yang lalu. Yah, kau tahulah, ketika aku mengajaknya mengobrol setelah bekerja dan kau bersikap ketus padaku."

Dylan menunduk, mengembuskan napas kecewa. Davis melihat keputusasaan di wajah pemuda berambut cokelat itu. Pemuda berambut ikal yang duduk di sebelah Dylan juga diam, wajahnya terlihat serius. Setelahnya, tidak ada lagi yang berbicara. Tiga pemuda itu kembali fokus pada makan siangnya. Davis sudah lebih dulu menghabiskan seluruh makanannya, kecuali puding cokelat cup yang masih ada di atas nampan.

"Dengar, mungkin Chloe sedang butuh waktu menyendiri. Orang-orang terkadang melakukan hal semacam itu. Aku akan mengabarimu jika bertemu dengannya." Davis berdiri, kemudian menyerahkan puding cokelat miliknya untuk Dylan. "Untukmu. Makan saja."

"Wow, thanks!" Dylan tersenyum tipis sambil mengunyah. "Tolong kabari aku secepatnya. Kau tahu di mana kamarku, 'kan?"

Davis tersenyum tipis, kemudian mengangguk. Ia mengangkat nampan makan siangnya, kemudian berlalu pergi meninggalkan Dylan dan temannya. Dengan memberikan puding cokelat itu, setidaknya ia bisa sedikit menghibur Dylan.

*****

Di sisi lain rumah susun, tempatnya di kantor bagian pengelola, Quentin berdiri di depan sebuah pintu, mengetuk pelan hingga seseorang dengan seragam yang mirip pakaiannya-hanya saja berwarna abu-abu terang-membuka pintu. Pria berpipi tirus dengan rambut hitam tipis itu tersenyum. "Oh, sudah waktunya pembersihan ruangan, ya?"

Quentin tersenyum, lalu mengangguk. "Yeah. Kuharap aku tidak mengganggu pekerjaan kalian."

Pria kurus itu terkekeh. "Tidak masalah. Kami kebetulan mau turun ke bawah untuk makan siang." Ia mundur sedikit sambil membuka pintu lebih lebar lagi, membuat Quentin bisa melihat isi dari ruangan kecil di depannya.

Ruangan sebesar 4 x 4 meter persegi itu dipenuhi oleh sekitar selusin layar komputer, seluruhnya menampilkan tayangan hitam-putih yang terbagi menjadi empat bagian. Di hadapan komputer, terdapat satu kursi yang kosong dan satu kursi yang diduduki pria yang lebih gemuk.

"Ah, akhirnya waktu makan siang tiba! Aku sudah lapar." Pria yang lebih gemuk berdiri, kemudian berjalan menghampiri si kurus dan menepuk pundaknya. "Ayo!"

Si pria kurus mengangguk. Quentin mundur, mempersilakan dua petugas CCTV itu untuk keluar ruangan. Setelah Quentin sendirian, ia masuk ke dalam sambil mendorong troli alat-alat kebersihannya, menutup pintu, lalu bergegas menempati salah satu kursi di hadapan monitor.

"God, I love this job," bisiknya sambil menyeringai. Segalanya terasa sangat mudah! Menjadi petugas kebersihan adalah pekerjaan kedua yang menjadi favoritnya setelah private investigstor. Meskipun gajinya tidak seberapa, tetapi pekerjaan ini memberinya kebebasan.

Kedua tangannya sibuk dengan keyboard dan mouse, sedangkan pandangannya tertuju pada tayangan CCTV. Cukup sulit untuk menemukan Chloe, berhubung tidak semua area yang biasa ditempati penyintas dilengkapi dengan CCTV. Kalaupun ada, mungkin saja gadis itu berada di titik butanya.

Di hari pertama Chloe menghilang, Quentin melihat Chloe sarapan bersama Dylan dan satu pemuda yang tidak dikenalnya di kafetaria. Itulah saat Chloe masih belum meninggalkan rumah susun. Pemuda itu mengikuti ke mana Chloe pergi, meskipun sulit karena ia harus berpindah mengamati layar satu ke layar yang lain. Belum lagi ketika Chloe berada di titik buta, atau berada di tempat yang tidak ada CCTV sama sekali.

Sekitar satu jam kemudian, terlihat Chloe berjalan di lobi dan keluar dari rumah susun bersama seorang pemuda atletis nan jangkung, dengan cepat Quentin menjeda tayangan CCTV di salah satu layar. Pemuda itu mencondongkan tubuh dengan mata yang menyipit, mengidentifikasi dengan siapa Chloe pergi. Itu bukan Dylan, bukan juga pemuda berkulit eksotis yang sarapan bersama mereka. Quentin kesulitan untuk mengenalinya karena CCTV menangkap gambar keduanya dari belakang, sehingga hanya punggungnya saja yang terlihat, terlebih lagi dengan resolusinya yang cukup buruk.

Pemuda berambut pirang itu tidak menyerah begitu saja. Ia mempercepat tayangan CCTV hingga malam hari, yaitu perkiraan waktu Chloe kembali ke rumah susun. Quentin tersenyum penuh kemenangan ketika melihat Chloe kembali masuk ke lobi bersama orang yang sama, dan kali ini diambil dari depan sehingga ia bisa melihat wajahnya. Namun, tetap saja Quentin tidak mengenalinya. Siapa sebenarnya pemuda yang pergi bersama Chloe?

Quentin berdecak kesal. Ia melanjutkan pencarian, tetapi tidak menemukan petunjuk lagi. Entah ke mana Chloe pergi setelah itu, tidak ada kamera CCTV yang merekamnya. Penyelidikannya kali ini terasa sia-sia. Quentin tetap tidak menemukan jawaban ke mana Chloe pergi setelah ponselnya tidak terlacak.

Pemuda itu mengusap kedua matanya yang terasa perih. Kuota kesabarannya tidak cukup banyak untuk mengamati CCTV selama puluhan menit. Jika saja dirinya tidak sepeduli itu pada Chloe, ia tidak akan mau repot-repot melakukan hal ini.

"Aku tidak akan sempat mengecek semuanya sebelum dua petugas itu kembali," gumamnya.

Quentin menghentikan penyelidikan, mengeluarkan flashdisk dari dalam saku dan menduplikat semua rekaman rumah susun selama tiga hari terakhir. Untuk menghindari kecurigaan, ia juga mengatur tayangan CCTV di monitor kembali seperti semula, lalu mulai berkutat dengan alat-alat kebersihan. Akan berbahaya jika dua petugas tadi kembali dan Quentin belum membersihkan ruangan, mereka tentu akan mencurigainya.

Menit demi menit berlalu, notification bar di layar monitor sudah menyentuh angka sembilan puluh delapan persen, beberapa detik lagi pemindahan data selesai. Quentin berhenti bersih-bersih dan berjalan menuju komputer. Belum genap seratus persen data yang dipindahkan ke flashdisk, pintu ruang CCTV terbuka. Quentin menoleh, melihat si pria kurus dan gemuk telah kembali.

Kedua netranya membola. Rasanya bagaikan terkena serangan jantung mendadak. Sial! Notification bar-nya! Quentin berbalik dan menghalangi layar dengan tubuhnya. Debaran jantungnya kian menggila.

"Hei, kau sadar tidak kalau bacon yang mereka masak tadi agak gosong?" tanya pria gemuk pada yang kurus.

"Gosong?" tanya si kurus. "Bacon-ku tidak gosong, tetapi alot karena terlalu lama dimasak!"

"Yeah, dan kulihat koki yang memasak pun berbeda dari biasanya," balas si gemuk. "Ke mana perginya koki yang masakannya enak itu?"

Dua petugas itu sibuk mengobrol, tidak melirik Quentin atau monitor sama sekali. Peluh mengalir di dahi pemuda pirang itu. Quentin melirik notification bar yang ditampilkan di layar, lalu buru-buru mencabut flashdisk ketika angka seratus persen tertera di sana dan menggenggam benda kecil itu erat. Bersamaan dengan itu, notification bar hilang dari layar dan si pria gemuk menoleh ke arah Quentin, kemudian bertanya, "Kau sudah selesai?"

"Yeah." Quentin mengangguk dan menjawab sesantai mungkin, meskipun jantungnya sama sekali tidak bisa diajak kerja sama.

Si pria gemuk tidak berkata lagi, ia menatap petugas kebersihan di hadapannya tanpa berkedip. Meskipun jantungnya berdegup tidak karuan, Quentin berusaha sekeras mungkin mempertahankan raut wajah datarnya. Pria gemuk itu lalu membersihkan sisa-sisa makanan di giginya dengan jari kelingking, membuat Quentin ingin meringis karena jijik.

Si pria kurus mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, kemudian tersenyum dan berkacak pinggang ketika melihat hasil kerja keras Quentin. "Baiklah, terima kasih. Kami akan kembali bekerja."

"Sebaiknya kau segera makan siang sebelum lauknya habis dilahap petugas lain," kata si pria gemuk pada Quentin setelah berhasil mengambil potongan kecil bacon di sela-sela giginya, kemudian membuangnya ke lantai.

"Baiklah, aku makan siang sekarang." Quentin tersenyum simpul sambil mengangguk. Tanpa sepengetahuan dua petugas CCTV itu, ia memasukkan flashdisk dalam genggamannya ke saku. Setelah itu, Quentin membawa troli alat-alat kebersihannya dan melangkah keluar ruangan.

*****

Malam hari, di jam yang sama seperti sebelumnya, Dylan kembali mengunjungi Quentin di kamarnya. Dua pemuda itu menceritakan apa yang mereka temukan hari ini. Dylan bertanya ke beberapa orang yang mengenal Chloe, termasuk Sam dan Davis, tetapi mereka mengaku tidak melihat Chloe hari ini. Pemuda berambut cokelat itu juga kembali mencari ke tempat-tempat yang mungkin Chloe kunjungi, tetapi nihil.

Quentin menceritakan penyelidikannya di ruang CCTV. Ia menghubungkan flashdisk-nya ke laptop agar Dylan bisa melihat seluruh rekaman yang diambilnya. Layar benda itu menampilkan Chloe dan seorang pemuda yang cukup asing bagi Quentin. Sambil menyipit, Dylan memperhatikan fitur-fitur pemuda di dalam laptop.

"Kau mengenalnya?" tanya Quentin.

Dylan tidak langsung menjawab. Rahangnya mengeras, tanpa sadar ia mengepalkan tangannya lebih erat. Dadanya terasa memanas, ribuan emosi berkecamuk di benaknya ketika melihat pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahunan dengan rompi antipeluru dan pakaian tentara. Rambut hitam gondrong dengan janggut tipis itu, Dylan sangat mengenalnya. Ia mendongak ke arah Quentin. "Itu tentara yang bernama Davis," geram Dylan, "he lied to me."

Dukung Avenir: Redemption dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

1 April 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top