3-4 | Harold [Part 2]

"Jika mereka tidak memberiku kuncinya, maka aku harus menggunakan kunci yang lain."

Setelah menyaksikan keributan di klinik siang ini, Quentin melanjutkan rutinitas bersih-bersihnya. Ujung matanya menangkap presensi seseorang dengan pakaian yang sama dengannya. Ia menoleh ke kanan, melihat seorang pria berambut coklat yang sedikit gempal berjalan di area lobi. Pria itu juga membawa peralatan kebersihan, sama sepertinya. Quentin tentu mengenalnya. Namun, ada yang tidak lazim dengan kehadiran si petugas kebersihan itu.

Bukankah Harold hanya bekerja di malam hari? batinnya.

Seketika rasa penasaran menjalar di otak Quentin. Pandangan pemuda berambut pirang itu mengikuti Harold hingga pria itu membuka pintu klinik, kemudian masuk dan menghilang dari pandangan. Dengan cepat Quentin merapikan alat-alat kebersihannya dan meletakkannya di atas troli, kemudian mendorongnya ke tepi tembok. Setelahnya, Quentin berjalan cepat untuk mengejar. Ribuan pertanyaan berkecamuk di benaknya. Ia ingin sekali bertanya, mengapa pria itu harus repot-repot bangun di siang hari untuk bersih-bersih?

Quentin sudah berada di dalam klinik. Ia berjalan santai sambil melirik kanan kiri, mencari-cari keberadaan Harold di tengah para tenaga kesehatan yang sedang berlalu-lalang di area unit gawat darurat. Ketika menoleh ke lorong sebelah kanan, Quentin melihat Harold berjalan menjauh, masih mendorong troli berisi alat-alat kebersihan. Langsung saja Quentin berbelok, berjalan sesantai mungkin untuk membuntutinya.

"Permisi," ucapnya pelan ketika seorang perawat wanita menghalangi jalannya. Kedua tungkainya terus bergerak hingga Harold berbelok dan menghilang di persimpangan lorong, membuat Quentin harus mempercepat langkah.

Sambil menjaga jarak dengan Harold, Quentin membaca setiap papan nama ruangan yang ada di pintu kanan kiri lorong, sedikit kagum bahwa klinik yang dari luar terlihat sempit ternyata memiliki cukup banyak ruang praktik dokter. Area unit gawat daruratnya pun terlihat luas, dilengkapi dengan peralatan yang cukup mutakhir.

Setelah berjalan cukup jauh, Quentin sampai di ujung lorong yang sepi. Sayangnya, pemuda itu kehilangan Harold. Setelah mengamati keadaan sekitar, tidak ada akses keluar masuk kecuali lift yang berada di ujung jalan buntu.

Pemuda keturunan Jepang itu berjalan mendekat, mengamati fitur-fitur pintu otomatis berbahan stainless steel di hadapannya. Sekilas, lift tersebut tidak ada bedanya dengan lift-lift di lantai lain, kecuali tidak adanya tombol panah ke atas atau ke bawah. Akses untuk naik turun dilakukan dengan pemindaian kartu. Dengan santai, pemuda itu melepas ID tag yang menempel di seragamnya, kemudian mendekatkan kartu tersebut ke mesin pemindai.

Kening Quentin berkerut ketika mesin pemindai ID mengeluarkan cahaya berwarna merah. Ia membalik kartu identitasnya, kemudian kembali memindai. Nihil, lift tetap tidak terbuka meskipun Quentin sudah mencoba berbagai posisi.

Pemuda itu mengamati benda pipih di tangannya sambil berdecak. Merepotkan, pikirnya. Di hari pertamanya bekerja, petugas yang memberi ID tersebut mengatakan ia bisa menggunakan kartu tersebut untuk membersihkan seluruh area rumah susun. Namun, tampaknya benda ini rusak dan Quentin harus mengunjungi bagian office sekarang juga. Bagaimana ia bisa membersihkan fasilitas ini jika dirinya tidak bisa menggunakan lift?

*****

"Teknisi kami sudah memeriksanya. ID-mu bekerja dengan baik, tidak ada yang rusak." Wanita yang duduk di front office lantai satu mengembalikan benda pipih itu pada pemuda yang berdiri tepat di depan meja counter panjang berbahan granit.

Quentin bergeming sejenak, kemudian mengambil ID tag tersebut. "Apa kau yakin mereka sudah memeriksanya? Aku tidak bisa menggunakan lift dengan kartu ini."

Wanita berpakaian rapi itu mengangguk. "Tentu saja, mereka sudah memeriksanya dengan benar."

"Mungkin lift di gedung ini yang bermasalah?" Quentin bersikeras.

"Kalau kau tetap keras kepala, kau bisa mengeceknya sendiri." Wanita itu mengangkat kedua alis, kemudian beranjak dari kursi kerjanya. "Follow me!"

Quentin menurut. Ia mengekori wanita berpakaian rapi itu ke back office. Sepasang heels wanita itu beradu dengan lantai ketika melangkah pergi, menghasilkan bunyi seperti tapal kuda, tetapi lebih halus.

Pintu otomatis terbuka, Quentin dan wanita itu masuk ke dalam kantor pengelola rumah susun lantai satu, menelusuri lorong yang cukup sepi dengan dinding bercat putih. Keduanya berhenti di sebuah lift yang sama persis seperti lift yang ada di dalam klinik. Tidak ada tombol ke atas dan ke bawah, hanya ada mesin pemindai kartu ID.

"Ini adalah lift khusus untuk pengelola dan pekerja di fasilitas ini, hanya bisa diakses oleh orang-orang yang memiliki ID." Wanita itu menunjuk mesin pemindai ID dengan dagunya. "Kau bisa mencobanya sekarang."

Quentin melekatkan kartu ID-nya ke mesin. Lampu berwarna hijau menyala dan pintu lift langsung terbuka.

"See?" tanya wanita itu singkat.

Alis Quentin bertaut. "That doesn't make any sense. Kartu ini benar-benar rusak tadi siang."

"Mungkin kau salah memposisikan kartunya."

"Aku mencoba berbagai posisi. Aku membalik kartunya beberapa kali ketika lampu berwarna merah menyala," protes Quentin.

"Kartumu tidak rusak, itu yang terpenting." Wanita itu tersenyum simpul, sedikit dipaksakan akibat sudah merasa jengkel dengan ocehan petugas kebersihan di hadapannya. "Sekarang, ada lagi yang bisa kubantu?"

Quentin mendesah pelan. Alisnya bertaut, hal ini benar-benar mengganggunya. Namun, dengan cepat ia menyembunyikan kekesalannya dengan tersenyum paksa. "Tidak ada. Terima kasih atas bantuannya."

Wanita itu mengangguk, ia melangkah keluar dari kantor pengelola bersama Quentin yang mengekorinya. Setelah wanita berpakaian rapi tadi kembali bekerja, Quentin berjalan menuju lobi, tempat di mana ia meninggalkan peralatan kebersihannya.

Sambil berjalan, pemuda bermata sipit itu mengamati ID tag di tangannya. Ribuan pertanyaan memenuhi benaknya. Mengapa wanita tadi harus berbohong? Mengapa tidak mengatakan hal yang sejujurnya saja bahwa kartu ini rusak, dan mereka baru saja memperbaikinya? Apa mereka takut dianggap tidak kredibel?

Quentin kembali memasang ID tag di seragamnya ketika sampai di lobi. Tiba-tiba saja, kedua netranya membola. Ia berhenti berjalan ketika menyadari sesuatu. "Atau kartu ini memang tidak pernah rusak sejak awal?"

*****

Ya, Quentin yakin sekali ID tag-nya memang tidak pernah rusak.

Pikiran Quentin kembali ke masa kini. Pemuda berambut pirang itu berdiri di dalam lift yang sedang bergerak turun. Ia diapit oleh dua pasang remaja yang hampir berciuman di kamarnya. Untung saja ia bercukur lebih cepat dan keluar kamar mandi sebelum hal itu terjadi.

"Apa yang ingin kau pastikan?" tanya Chloe.

"Aku tidak bisa menjelaskannya di sini, ceritanya panjang. Aku akan mengabari kalian jika aku sudah memiliki waktu luang," jawab Quentin.

Dylan mencibir, "Selalu datang dan pergi sesuka hati, as usual."

"I'm an extremely busy janitor, Grayson." Quentin menyeringai tepat ketika lift berhenti di lantai satu. "Sekarang, pergilah sarapan, berbaur dengan semua orang, jalani rutinitas kalian seperti biasa dan berpura-puralah tidak mengenalku."

Dylan dan Chloe mengangguk. Terdengar bunyi TING, disusul oleh pintu otomatis yang terbuka. Dua remaja itu berbelok menuju kafetaria, sedangkan Quentin berjalan ke arah berlawanan. Pemuda berambut pirang itu masuk ke dalam ruang petugas kebersihan untuk mengambil pel dan ember.

Klinik adalah lokasi yang harus dibersihkannya pagi ini. Kebetulan sekali, tidak banyak pasien yang datang, area unit gawat darurat pun lengang, sehingga Quentin bisa lebih leluasa melakukan tugasnya. Ia mulai mengepel area praktik dokter, sebuah lorong dengan pintu yang berjejer di kanan kiri. Di sana pun sepi, tidak banyak pasien yang berobat pagi ini. Kursi-kursi di ruang tunggu pasien kosong, hanya diisi oleh satu pria tua dan sejoli berusia sekitar tiga puluh tahunan.

Kini, Quentin menaruh atensi pada petugas yang bekerja di bagian farmasi. Dari balik kaca konter obat, pemuda itu dapat melihat apoteker mondar-mandir di dalam sana, menyiapkan obat untuk pasien. Tanpa disadari, tangannya berhenti menggerakan gagang pel. Quentin merasa kagum dengan rumah susun ini. Fasilitas kesehatan di tempat ini bisa dibilang cukup memadai. Siapa pun yang mengelola tempat ini, pasti sangat memikirkan kesejahteraan penyintas yang menetap. Jumlah penyintas yang sakit mungkin tidak terlalu banyak. Namun, fasilitas dan tenaga kesehatan di klinik ini sudah hampir sama kualitasnya seperti rumah sakit.

Berbarengan dengan rasa kagum, Quentin tetap merasa ada yang ganjil dengan rumah susun ini. Keningnya berkerut, sel-sel otaknya berpikir cukup keras. Jika fasilitas kesehatan di tempat ini begitu peduli pada penyintas, lalu mengapa mereka tidak memperhatikan akses keluar masuknya, seperti lift yang rusak di ujung lorong klinik?

Ah, ya, lift itu. Apa mereka sudah memperbaikinya?

Quentin berhenti mengepel, mendorong troli alat-alat kebersihannya ke ujung lorong yang sepi, tempat di mana ia kehilangan Harold sekitar satu minggu yang lalu. Pemuda itu kembali mencoba mendekatkan ID tag-nya ke mesin pemindai kartu. Nihil, lampu berwarna merah masih menyala. Tidak peduli berapa kali ia mencoba mengubah posisi kartunya, lift tetap tidak mau terbuka.

Quentin berdecak kesal. "Damn it!"

Ia melipat kedua tangan di dada, meneliti detail-detail lift menyebalkan di hadapannya. Selama bekerja, Quentin selalu keluar dan masuk melalui lift, dan sejauh ini semuanya berfungsi dengan baik. Tidak mungkin jika kartunya kembali rusak. Lagi pula, jika lift di dalam klinik rusak, ke mana Harold pergi? Lorong ini jalan buntu, tidak ada tangga darurat atau sejenisnya.

"Jika lift dan kartunya tidak rusak, lalu Harold bisa memakai lift ini untuk keluar dari klinik tanpa harus pergi ke pintu depan, itu artinya ...." Ya, memang aku yang tidak memiliki akses menggunakan lift ini. "Tapi kenapa? Aku dan Harold sama-sama petugas kebersihan."

Kata menyerah tidak pernah ada dalam kamus hidup Quentin. Pemuda itu berbalik, membawa alat-alat kebersihannya kembali ke area depan klinik yang lebih ramai. Sayang sekali Quentin tidak pernah bertemu lagi dengan Harold. Bertanya pada pria gempal itu bukan opsi yang dapat ia pertimbangkan.

Quentin melanjutkan rutinitas bersih-bersihnya hingga satu jam ke depan. Pemuda itu menyeka peluh di dahinya ketika area tunggu pasien selesai ia bersihkan. Pemuda itu tersenyum, mendorong ember dan pel yang berada di atas troli dengan tangan kanannya, kemudian berjalan dan sengaja menabrak seorang perawat pria yang berjalan di sebelah kiri, berlawanan arah dengannya.

"Maaf, saya akan lebih berhati-hati lain kali," ucapnya sambil sedikit membungkuk.

Perawat pria yang ditabraknya tersenyum. "It's okay."

Setelahnya, pemuda berambut pirang itu berjalan kembali ke ujung lorong di mana lift menyebalkan itu berada. Quentin mengembuskan napas lega sambil tersenyum simpul, merogoh saku celananya, meraih benda persegi panjang yang sangat pipih, ukurannya sedikit lebih besar dari kartu ATM.

Sambil berjalan, Quentin mengamati benda pipih yang ada di tangannya; sebuah ID tag dengan foto perawat pria yang ditabraknya beberapa menit lalu. Seringai tampak di wajahnya. Quentin berbelok di persimpangan, lalu segera memasukkan benda itu ke saku ketika ada orang lain yang melintas.

"Jika mereka tidak memberiku kuncinya, maka aku harus menggunakan kunci yang lain."

Dukung Avenir: Redemption dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

27 Februari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top