3-2 | Reunion [Part 2]
"Get a room, you two!"
*****
Dylan Grayson menghabiskan sekitar tujuh puluh dua jamnya tanpa Chloe--tanpa bertatap muka, tanpa obrolan, bahkan tanpa pesan teks--dan rasanya lebih menyebalkan daripada yang pemuda itu duga. Ia mengecek ponselnya dua kali lebih sering, berharap gadis itu mengiriminya pesan yang berisi permohonan maaf, atau hanya sekadar 'hai' pun cukup untuknya. Namun nihil, tidak ada pesan apa pun di notifikasi.
Pagi ini, pemuda berambut cokelat itu berbaring di ranjang atas, menjadikan kedua lengan sebagai bantal. Pandangannya menatap kosong langit-langit ruangan. Terdengar pancuran air yang menyala dari balik pintu kamar mandi, pertanda Nancy masih melakukan rutinitas mandi paginya.
Karena bosan menunggu sang ibu, ia meraba-raba seprai, mencari sebuah benda elektronik pipih. Ketika Dylan menemukannya, ia mengecek notifikasi ponselnya sekali lagi, lalu mendengkus kesal karena Chloe tidak kunjung menghubunginya. Meskipun Dylan sudah mengetahui jawabannya, entah mengapa ia tetap merasa kesal. Dylan bisa saja menghubungi gadis itu duluan, tetapi ego di dalam dirinya terlalu besar.
Ketukan yang berasal dari luar kamar membuat Dylan sedikit terlonjak. Pemuda itu tersenyum penuh kemenangan, Chloe pasti datang untuk meminta maaf dan mengajaknya untuk sarapan bersama, begitulah pikirnya. Ia bergegas menuruni tangga besi dan berjalan menuju pintu kamar. Sebelum membuka pintu, langkahnya terhenti. Ia bergeming sesaat, bukan karena gugup, tetapi memang karena ingin. Sekali lagi, semua itu karena egonya yang terlalu besar.
Ketika pintu sudah terbuka, senyum di wajah Dylan pudar, tergantikan oleh kedua alisnya yang bertautan. Untuk sesaat, ia merasa asing dengan pemuda jangkung berambut pirang yang berdiri di depan pintunya, terlebih lagi dengan janggut tipis dan seragam petugas kebersihan yang dikenakannya. Dylan tidak fokus meneliti wajahnya terlebih dahulu akibat warna rambut yang terlalu mencolok. Namun, ketika kedua netra cokelat tuanya tertuju pada fitur-fitur wajah sosok itu, ia membelalak.
Ya, Dylan sangat mengenal pemuda itu.
Jantungnya berpacu lebih cepat, rasa panik dan ngeri bercampur menjadi satu. Terakhir kali mereka menghabiskan waktu di ruangan yang sama, sosok itu menghajarnya tanpa ampun, bahkan menginginkan dirinya untuk mati. Bagai kaset yang diputar balik, Dylan mengingat erangan frustrasi itu, serta hantaman bertubi-tubi yang diterima tubuhnya. Tanpa sadar, kedua tungkainya melangkah mundur.
Jantungnya seakan berhenti berdetak ketika sosok itu berjalan mendekat, membuka kedua lengannya dan menariknya ke dalam pelukan. Bukan pelukan yang erat dan hangat, tetapi terasa cukup emosional. Sosok itu menepuk pelan punggungnya dua kali.
"Senang melihatmu lagi," ucap Quentin singkat.
Sel-sel otak Dylan masih berusaha memproses apa yang terjadi padanya saat ini. Di balik bahu Quentin, ia melihat pucuk kepala seseorang dengan rambut merah. Ketika Quentin melepas pelukannya, barulah Dylan dapat melihat Chloe dengan jelas; rambut panjangnya tergerai rapi dengan dress hitam selutut dan oversized cardigan berwarna putih.
"Yeah, senang melihatmu juga," ucap Dylan pada Quentin. Sebenarnya, pemuda itu pun tidak tahu apa yang ia rasakan. Sekilas, pandangannya bertemu dengan Chloe, tetapi dengan cepat gadis itu memalingkan wajah.
Momen pagi ini begitu canggung sekaligus mencengangkan, sampai-sampai Dylan tidak menyadari bahwa pancuran air di kamar mandinya tidak terdengar lagi. Pintu kamar mandi terbuka, membuat ketiganya menoleh. Nancy keluar dari dalam sana dengan blus bunga-bunga berwarna peach dan jeans berwarna gelap, sudah bersih dan wangi.
"Wow, kita kedatangan tamu sepagi ini," ujar Nancy sambil tersenyum, lalu Chloe dan Quentin membalasnya.
Ketika atensi Dylan kembali pada Quentin, pemuda keturunan Jepang itu melakukan gestur mematahkan lehernya ke kanan, mengisyaratkannya untuk ikut bersama dirinya dan Chloe. Pemuda berambut cokelat itu kembali menoleh ke arah sang ibu.
Bagai membaca pikiran anaknya, Nancy berkata, "Kau boleh sarapan duluan, Mom akan menyusul."
*****
"Rambut pirang, janggut tipis, seragam petugas kebersihan?" Dylan menatap Chloe dan Quentin bergantian. "What's going on here? Apa kalian sedang berusaha mengerjaiku?" Pemuda berambut cokelat itu duduk di tepian ranjang, tepat di sebelah Chloe, sedangkan Quentin duduk di bangku kayu seberang mereka.
"Well ... waktu itu aku pun sama terkejutnya seperti kau," jawab Chloe seadanya.
Sebelum sarapan, Quentin mengajak dua remaja itu mengobrol di kamarnya. Ruangan tempat di mana ia tinggal lebih sempit jika dibandingkan dengan kamar penyintas lainnya. Di dalamnya hanya berisi ranjang yang tidak bertingkat, kursi kayu, dan lemari pakaian kecil. Para pekerja juga tidak memiliki kamar mandi sendiri, melainkan berbagi dengan pekerja yang tinggal di kamar sebelahnya.
Dylan yang tidak sabaran terus mendesak Quentin untuk menjelaskan apa yang terjadi. Maka, selama beberapa menit ke depan, pemuda bermata sipit itu harus kembali menceritakan apa yang terjadi selama mereka terpisah.
"I don't understand. Mengapa kau harus mengganti namamu dan membuat identitas palsu?" tanya Dylan lagi. "Wajar saja kami kesulitan mencarimu."
"Aku bahkan punya tiga identitas palsu untuk keperluan pekerjaan," jawab Quentin santai, "well, pacarmu juga menggunakan nama margaku dan itu sama sekali tidak cocok untuknya."
Dylan melirik rambut pirang pemuda itu. "And why are you blonde?"
Quentin mengernyit. "Sorry?"
"Mengapa kau mengubah warna rambutmu menjadi pirang?" Dylan mengulangi.
"Kita punya sedikit waktu sebelum sarapan di kafetaria habis dilahap penyintas lain dan kau malah bertanya mengapa Quentin berambut pirang?" desis Chloe.
"Oh come on! Apa kau tidak penasaran dengan alasannya?" balas Dylan.
"Apa yang aneh dengan rambut pirang?" Quentin bertanya balik.
"Tidak ada. Mungkin aku bisa sedikit mentolerir rambut pirangmu, tapi janggut dan kumis tipis? Seriously?" cibir Dylan.
Quentin mengelus bulu-bulu halus di dagunya. "Apa yang salah dengan janggut dan kumisku?"
"Sebenarnya tidak ada, tapi ... aku hampir tidak bisa mengenalimu karena itu. Entah mengapa aku merasa kau seperti orang lain," ujar Chloe jujur.
Quentin bergeming, tidak merespons lagi. Entah mengapa perkataan Chloe terasa begitu mengganggunya. Sedangkan Chloe, ia kesulitan membaca raut wajah pemuda itu. Apakah perkataannya dan Dylan sudah membuat Quentin tersinggung?
"Um ... maaf, tidak perlu pikirkan perkataan kami. Kau punya hak untuk mengubah penampilanmu," lirih gadis berambut merah itu.
"Aku bisa mencukurnya jika itu mengganggu kalian berdua." Quentin mengedikkan bahu. "Tidak ada alasan apa-apa, aku hanya ingin coba memanjangkan janggut dan kumis."
Dylan dan Chloe terdiam, kemudian menoleh, menatap satu sama lain. Sebenarnya itu bukan jawaban yang mereka harapkan, keduanya masih memiliki pertanyaan lain yang terasa begitu mengganjal.
Kamar Quentin lengang untuk sejenak sebelum sang empu beranjak dan berkata, "Kita masih punya waktu sekitar sepuluh menit sebelum sifku dimulai. Aku akan bercukur terlebih dahulu."
Dua remaja itu tidak menjawab, pandangan mereka mengikuti ke mana Quentin melangkah. Terdengar decitan engsel yang saling bergesekan, lalu suara pintu tertutup, pertanda pemuda berambut pirang itu sudah masuk ke dalam kamar mandi.
Pemuda bermata sipit itu berdiri berhadapan dengan cermin yang digantung di dinding kamar mandi, mengamati pantulan dirinya di sana. Tangan kirinya diletakkan di permukan wastafel untuk menopang bobot tubuh, sedangkan jemari tangan kanannya meraba dagu dan rahangnya yang dipenuhi rambut-rambut tipis.
"Entah mengapa aku merasa kau seperti orang lain." Perkataan Chloe kembali terngiang di otaknya.
Pemuda itu mengamati fitur-fitur wajahnya di cermin, menyugar helaian rambut pirangnya. Benarkah dengan penampilan ini dirinya terlihat berbeda? Memang, jika dibandingkan dengan dirinya empat tahun lalu, massa ototnya terbentuk lebih sempurna. Namun, bukankah itu hal yang bagus? Quentin tidak ingin mengingat dirinya di masa lalu, hari di mana ia harus bertahan menjalani kehidupannya yang kelam.
Ya, ia tidak ingin kembali ke masa-masa itu.
Atensinya tertuju pada gelas kecil di dekat wastafel. Di sana terisi berbagai macam peralatan mandi, seperti sikat dan pasta gigi. Ia mengambil pisau cukur berwarna hitam, mengamati detail-detail benda itu.
Mungkin semua perubahan ini memang cukup berlebihan? batinnya.
Kamar Quentin menjadi semakin hening setelah sang empu pergi dari sana. Dua remaja itu terjebak dalam keheningan yang cukup canggung, terlebih lagi mereka sempat bertengkar tiga hari lalu. Chloe meremas-remas cardigan yang dikenakannya, sedangkan Dylan mengedarkan pandangan ke seisi kamar, menghindari kontak mata dengan sang pacar.
"Jadi ... menurutmu apakah itu benar-benar Quentin?" Pada akhirnya, Dylan bicara dengan suara lirih.
"Apa maksudmu?"
"Aku merasa ia sangat berbeda. Ia tidak bersarkasme sesering empat tahun lalu, dan rambut pirangnya terlihat terlalu mencolok untuk seorang Quentin," ujar Dylan. "Aku tidak berpikir ia tipikal pemuda yang sering berganti-ganti warna rambut."
Chloe mendesah pelan. "Yeah, aku juga berpikir begitu ...."
"Aku mulai berpikir itu adalah kloningan Quentin. Seorang ilmuwan menculiknya, membedah otaknya, dan membuat duplikat dirinya yang 95% mirip," ucap Dylan asal.
Mendengar teori asal-asalan Dylan, Chloe membelalak. "Jadi kau bilang Quentin sudah mati? That's horrible!" desisnya.
"Ah maaf, bercandaku kelewat batas." Dylan memalingkan wajah dari Chloe, mengulum bibir, merutuki diri sendiri ketika atmosfer menjadi semakin cangggung.
Chloe mencebik, rona wajahnya berubah keruh. "Siapa pun bisa berubah dalam jangka waktu empat tahun," ujar gadis itu.
Dylan bergeming sesaat. Ya, itulah yang terjadi pada Sam, 'kan? Sahabatnya itu sekarang sudah menjadi lebih tinggi dan sedikit kekar. Jangan lupakan janggut tipis yang ada di wajahnya. Namun tetap saja, hal itu mengganggunya. Pemuda berambut cokelat itu kembali menoleh ke arah Chloe dan berkata, "Tapi apa kau tidak merasa aneh dengan rambut pirangnya?"
"Kalau begitu, apa teorimu?" Chloe bertanya balik.
"Aku mulai berpikir kalau Quentin sempat berkunjung ke Korea Selatan untuk bekerja, menyamar menjadi seorang idol boyband atau apalah. Ia punya banyak identitas palsu, kau ingat? Atau ... justru ia tidak sedang menyamar, melainkan memang ingin menjadi penyanyi boyband, tetapi gagal debut."
Chloe sangat ingin tertawa, tetapi ia menahannya agar Quentin tidak dapat mendengar suaranya. "Teorimu soal idol boyband bahkan jauh lebih konyol. Mungkin ia memang ingin mengecat rambutnya?"
"Bagiku itu tetap saja aneh."
"Kau lihat ID tag di seragam kebersihannya? Foto yang tertera di sana juga berambut pirang. Mungkin itu hanya keperluan penyamaran."
Dylan mengangguk pelan. "Yeah, mungkin kau benar."
Chloe turut mengangguk. Kembali hening untuk beberapa saat. Quentin masih belum selesai dengan aktivitas mencukurnya, sedangkan dua remaja itu sudah mulai kehilangan topik obrolan. Dylan merasa tidak bisa bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
"Um ... aku minta maaf untuk yang waktu itu." Pemuda itu angkat bicara.
"Yeah. Aku juga minta maaf," lirih Chloe.
"Menyebalkan. Kita mencari-cari orang yang sebenarnya sudah ada di dekat kita, bahkan kita bertengkar karenanya."
Chloe mendesah pelan. "Tidak ada yang tahu akhirnya akan seperti ini, 'kan?"
"So ... are we good?"
Gadis itu menoleh, mengangguk dan tersenyum. "Yeah."
"Ngomong-ngomong, bagaimana kau bisa bertahan tiga hari kemarin?" tanya Dylan.
Chloe mengangkat salah satu alisnya. "Dengan ... menghirup oksigen dan makan tiga kali sehari? Aku masih hidup hingga sekarang."
"No! I mean ...," cicit Dylan, "kita tidak berbicara sama sekali. Kau tidak merasa itu menyebalkan?"
Chloe menggeleng cuek. "Tidak sama sekali."
Merasa dikhianati, Dylan mencebik. Rupanya, hanya dirinya yang mati-matian menahan rindu. Ketika melihat ekspresi wajah Dylan yang mirip seperti anak anjing kehujanan, Chloe merasa gemas. Ia sekuat tenaga menahan tawa, tetapi gagal. Kemudian gadis itu mengacak-acak rambut Dylan. "Idiot. Of course I missed you!" kekehnya.
Dylan masih ingin mencebik, tetapi tidak kuasa menahan senyum. Pemuda itu merasa lega luar biasa ketika tahu dirinya dan Chloe sudah baik-baik saja. Kini, ia tidak perlu lagi mengikuti egonya, 'kan?
Dua remaja itu saling pandang, bahu dan paha mereka menempel ketika keduanya tanpa sadar bergerak untuk saling mendekat, seperti ada magnet yang tidak terlihat. Melewati tujuh puluh dua jam tanpa satu sama lain tentu terasa menyebalkan bagi Dylan dan Chloe.
Terdengar bunyi decitan engsel, pintu kamar mandi telah terbuka dan Quentin keluar dari dalam sana. Dengan sendirinya Chloe menjauh dari Dylan, entah mengapa. Padahal, tidak akan ada yang terjadi. Berbeda dengan gadis itu, Dylan justru terlihat santai. Keduanya menoleh ke arah Quentin secara bersamaan.
Melihat posisi duduk keduanya yang awalnya dekat, kemudian sikap canggung Chloe ketika menghindar, Quentin menyipitkan mata, langkahnya terhenti. Ia menatap mereka berdua secara bergantian.
"Jangan berani-berani berciuman di kamarku!" ketus pemuda berambut pirang itu sambil menunjuk Dylan dan Chloe bergantian. Kini, tidak ada lagi kumis dan janggut tipis di wajahnya. Tanpa bulu-bulu halus, wajah Quentin rupanya tidak banyak berubah.
"Kami tidak berciuman!" seru keduanya secara bersamaan.
"Tidak ada yang menjamin jika aku meninggalkan kalian lima menit lebih lama dari ini," ketus Quentin lagi, "get a room, you two!"
"Kau terlihat tampan dan jauh lebih muda," puji Dylan sebagai pengalihan topik.
"It doesn't work on me, Grayson." Quentin berucap datar, kemudian berjalan menuju pintu kamar. "Let's go! Sif kerjaku akan segera dimulai."
Tanpa berpikir lagi, dua remaja itu beranjak, mengekori Quentin keluar kamar. Ketiganya kini berjalan di koridor yang sepi menuju lift, hanya terdengar bunyi decitan halus dari sol sepatu petugas kebersihan milik Quentin.
"Aku dan Chloe punya sebuah teori," ucap Dylan pada Quentin, "kurasa kita bisa memperbaiki kekacauan ini. Maksudku ... perang nuklir itu, tapi kami tidak bisa melakukannya tanpamu."
Chloe mengangguk. "Yeah, mau bagaimanapun, kau ada di dunia nyata selama empat tahun ini. Kami memerlukan informasi darimu."
Quentin bergeming sejenak, menerawang jauh ke ujung koridor sambil memikirkan banyak hal, kemudian menjawab, "Apa pun yang kalian rencanakan, simpan saja dulu. Karena aku bekerja, kita hanya bisa bertemu pagi-pagi sekali atau di malam hari setelah semua penyintas tidur."
Ketiganya sampai di depan lift. Setelah menekan tombol panah ke bawah, pintu otomatis langsung terbuka dan ketiganya melangkah masuk.
"Oke, jadi kita akan bertemu lagi malam ini?" tanya Dylan.
"Not yet. Aku akan mengabari kalian nanti." Quentin menekan tombol berangka satu, kemudian pintu lift tertutup. "Ada sesuatu yang ingin kupastikan terlebih dahulu," ujarnya lagi.
Dukung Avenir: Redemption dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
10 Februari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top