3-13 | Team Up [Part 1]

Bab ini dan bab selanjutnya nyambung, jadi sebaiknya dibaca bareng-bareng. Siapin waktu luang supaya bacanya nggak keganggu 😋

*****

"Aku bersumpah, setelah Chloe ditemukan aku akan membunuhmu."

Sang surya telah tenggelam di cakrawala tiga jam yang lalu, membuat langit kehilangan sumber cahayanya. Gumpalan kapas keruh menutupi ribuan benda langit berkilauan, hanya terlihat kehadiran bulan yang samar-samar memberikan cahayanya. Tetesan air tipis-tipis jatuh membasahi jendela kamar Quentin. Hari kelima Chloe menghilang, Quentin masih sibuk dengan laptopnya. Sif kerja pemuda bermata sipit itu sudah selesai, penyintas yang tinggal di rumah susun pun mulai berhenti beraktivitas dan kembali ke kamar untuk tidur.

Laptopnya menampilkan tayangan CCTV tempo hari. Sudah sejam lamanya Quentin fokus pada layar. Berbeda dengan sebelumnya, kini pemuda itu lebih teliti lagi mengamati satu per satu penyintas yang ada di dalam rekaman, berharap mendapatkan petunjuk ke mana Chloe pergi setelah bersama Davis.

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka, kemudian terdengar suara langkah kaki. Quentin sudah tahu seseorang yang mendatangi kamarnya adalah Dylan, jadi ia tidak perlu repot-repot membukanya, bahkan menoleh ke belakang untuk menyambut pemuda itu. Memangnya siapa lagi yang akan masuk ke kamarnya tanpa mengetuk terlebih dahulu?

"Find anything?" tanya Quentin, masih mengamati satu per satu penyintas di dalam rekaman.

"No." Dylan mendesah pelan. Ia duduk di tepi ranjang. "Aku kembali bertanya pada semua orang, lalu mengunjungi tempat-tempat yang biasa Chloe kunjungi, tapi tidak ada yang membantu."

"Ponselnya?"

Dylan menggeleng. "Masih tidak aktif. Bagaimana denganmu?"

"Ini kedua kalinya aku mengecek CCTV," jawab Quentin. "Aku melihatmu berlalu-lalang, lalu tentara yang bernama Davis, bahkan semua orang yang kutahu, tetapi tidak ada Chloe, seolah-olah ia ... menghilang begitu saja."

Dylan merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang empuk, kemudian menatap kosong langit-langit kamar dengan cat putih. Air mukanya kini nyaris sekeruh awan mendung di luar sana. Ketika Chloe menghilang tanpa petunjuk apa pun, rasanya lebih menyebalkan jika dibandingkan saat mereka berkelahi. Tentu saja, karena saat mereka bertengkar, Dylan tahu di mana Chloe berada, tetapi gadis itu memang tidak mau bertemu dengannya. Namun saat ini, keadaan sulit ditebak. Dylan tidak tahu apa yang Chloe rasakan terakhir kali, dan apa alasan gadis itu memilih untuk menghilang tanpa mengatakan apa pun.

Quentin yang asalnya bertampang masam sambil menopangkan dagu, tiba-tiba duduk tegak ketika melihat keanehan di dalam rekaman, kedua matanya melebar. Ia memutar balik tayangan CCTV kembali ke tiga detik yang lalu, lalu diputarnya lagi rekaman tersebut. Pemuda berambut pirang itu melakukannya hingga tiga kali. Setelahnya, ia mengecek rekaman lain di jam yang sama, tetapi dengan tempat yang berbeda.

"Grayson, kurasa kau harus melihat ini," ujarnya.

Mendengarnya, Dylan buru-buru bangun dan melompat dari ranjang, kemudian berjalan menghampiri Quentin. Ia merunduk untuk melihat tayangan CCTV lebih jelas. "Kau menemukan sesuatu?"

Quentin memutar ulang tayangan CCTV yang tadi dilihatnya. "Kau tahu di mana ini?" tanyanya.

Dylan mengamati pertigaan lorong yang cukup familier. Meskipun sedikit gelap, Dylan masih bisa melihat keadaan di sana. Belasan pintu berjejer di tembok, semuanya tampak seragam. Sepi, tidak ada siapa pun yang melintas.

"Ini lantai empat, pertigaan lorong dekat kamarku," jawabnya.

"Rekaman ini diambil saat kau menerima telepon dari Chloe. Coba kau amati keterangan menit dan detiknya!" perintah Quentin.

Dylan menurut. Ia fokus pada enam angka yang berjejer di pojok kiri atas. Angka tersebut menunjukkan 10:55:40, menandakan bahwa rekaman diambil pada pukul sebelas malam kurang lima menit. Sedetik kemudian, angka tersebut berubah menjadi 10:58:12. Pemuda berambut cokelat itu mengernyit.

"Menurutmu, apa artinya ini?" tanya Quentin.

"Rekaman ini rusak ketika kau menyalinnya?" tebak Dylan.

"Tidak mungkin hanya bagian ini saja yang rusak."

"Kalau begitu ... rekaman ini sengaja dihilangkan? Dihapus?"

Quentin mengangguk sambil menjentikkan jari. "Dan lagi, yang terhapus hanya di lorong ini saja. Aku mengecek rekaman dari kamera lain di waktu yang sama, dan semuanya lengkap."

"Tempat ini dekat sekali dengan kamar Chloe." Dylan menoleh ke arah Quentin. "Mungkinkah ...."

"Kau penasaran mengapa Chloe tidak terlihat di dalam rekaman, seolah-olah gadis itu menghilang begitu saja setelah pergi bersama Davis? Inilah jawabannya. Karena seseorang yang menghapus rekaman ini tidak ingin siapa pun melihat Chloe."

Dylan kembali menatap layar, kemudian bergeming, menggigit dan membasahi bibir keringnya dengan saliva. Apa yang Chloe lakukan di sana, sampai-sampai sang pelaku tidak ingin siapa pun melihatnya?

"Kembalikan rekaman tiga menit yang hilang itu dengan kekuatan supermu!" perintah Quentin.

"I can't."

"Why?"

"Bukan begitu cara kerja Partikel 201X," terang Dylan, "aku hanya bisa mengembalikan yang hilang dengan cara memutar balik waktu. Kalaupun mau, aku harus melakukannya di tempat rekaman ini berasal. Kemampuanku tidak akan berfungsi jika dilakukan di laptopmu."

"Dan sif kerjaku membersihkan ruang CCTV baru dua minggu lagi." Frustrasi, Quentin bersandar di kursi dan mengacak-acak rambut pirangnya kasar. "Aku tidak bisa masuk ke sana lagi dalam waktu dekat."

"Kalau begitu masuk saja secara diam-diam!" Dylan menimpali.

"Tidak bisa. Ruangan CCTV dijaga dua puluh empat jam."

"Damn it!" umpat Dylan pelan.

Kemudian hening selama beberapa saat. Dua pemuda itu sibuk dengan pikiran masing-masing, tidak ada yang berbicara hingga Dylan bertanya. "Quentin?"

"What?"

Dylan menoleh, menatap pemuda bermata sipit itu serius. "Buang airmu lancar beberapa hari ini?"

*****

"Aku butuh obat sembelit," ucap Quentin pelan pada wanita berjas putih yang wajahnya ditutupi oleh masker medis di meja kounter.

"Maaf? Aku tidak bisa mendengarmu," balas lawan bicaranya.

"Obat sembelit." Quentin menaikkan sedikit volume bicaranya.

"Sudah berapa lama Anda susah buang air besar?" tanya wanita itu.

"Um ... tiga hari." Suara Quentin memelan, mukanya memelas. Berengsek! Aku malu sekali! "Perutku rasanya benar-benar tidak nyaman."

"Oke. Kami punya yang tablet, sirup, dan serbuk."

"Serbuk," ujar Quentin cepat. "Bisakah aku mencampur obat ini dengan kopi di pagi hari? Aku benci minum obat secara langsung."

"Saya tidak merekomendasikannya," ujar apoteker wanita itu. "Anda tahu kalau kopi adalah pencahar alami? Anda tidak ingin diare berkepanjangan, 'kan? Saya lebih merekomendasikan dicampur dengan air mineral atau jus buah di malam hari."

"Right! Aku akan mencampurnya dengan jus buah," kata Quentin tidak sabar. Kakinya mengetuk-ngetuk lantai, terlihat jelas bahwa ia sedang gelisah. Sesekali, ia melirik orang yang berlalu lalang di sekitar. Sel-sel otaknya seperti memerintahkan seluruh badan untuk bergerak, pergi dari sana secepat mungkin.

Wanita itu pergi meninggalkan meja konter dan berjalan masuk ke dalam ruang penyimpanan obat. Pagi ini, Quentin yang mengenakan seragam petugas kebersihan mengunjungi klinik untuk membeli obat pencahar. Semua ini karena Dylan dan ide bodohnya, membuat Quentin memasang wajah masam sejak kemarin malam.

Tidak membutuhkan waktu lama, wanita itu kembali dengan satu botol kecil obat pencahar serbuk, lalu diletakkannya di atas meja. "Tujuh belas gram per hari, tidak boleh melebihi dosis. Lalu, minumlah delapan gelas per hari. Jika keadaan tidak membaik tiga hari dari sekarang, temui dokter di sini."

"Noted." Quentin melirik kanan kiri, buru-buru memasukkan botol itu ke saku celananya dan melakukan pembayaran.

"Relax, sembelit bukan hal yang memalukan," ujar apoteker itu ketika menyerahkan uang kembalian, "banyak pasien di sini yang juga mengalami sembelit."

Quentin tidak menjawab lagi. Ia hanya tersenyum sambil mengambil uang kembalian, kemudian bergegas pergi dari klinik. Berhubung pagi-pagi tempat ini masih sepi, harga dirinya terselamatkan. Lagi pula, mengapa apoteker itu harus berbicara keras-keras soal sembelit?

Pemuda berambut pirang itu berjalan menuju kamarnya, kemudian bertemu Dylan tepat di depan lift. Ketika pintu otomatis terbuka, keduanya masuk. Setelah Quentin menekan tombol angka empat, pintu tertutup, dua pemuda itu merasakan tubuhnya bergerak naik. Dylan sedang membawa segelas kopi yang diambilnya dari kafetaria, lalu melirik pemuda di sampingnya, kemudian terkekeh ketika melihat tampang masam Quentin. Telinga pemuda itu merah padam, alisnya bertaut, tidak ada senyum di wajahnya.

"Sudah dapat obatnya, Tuan Susah Buang Air Besar?" goda Dylan.

"Aku bersumpah, setelah Chloe ditemukan aku akan membunuhmu," ancam Quentin tanpa memalingkan pandangan ke arah Dylan.

"Yeah, bunuh saja aku, kemudian Chloe akan membunuhmu," balas Dylan penuh percaya diri.

Setelah lift sampai di lantai empat, keduanya kembali ke kamar Quentin. Diletakkannya gelas kertas berisi americano dan sebotol obat pencahar bubuk di atas meja.

Quentin membuka botol obat pencahar, kemudian menuangkannya sedikit demi sedikit ke alat penakar. "Kita hanya butuh tujuh belas gram. Karena kopi adalah pencahar alami, kurasa kita tidak perlu menaikkan dosisnya," ucapnya.

"Double the dosage!" perintah Dylan.

"What?" Quentin mengernyit, berhenti menakar dan menoleh ke arah Dylan. "Kau ingin membunuh orang?"

"Paling-paling hanya diare seharian!" seru Dylan.

"Dehidrasi bisa membunuh seseorang!" balas Quentin.

"Tidak jika dia minum banyak larutan elektrolit. Kemarikan! Kita tidak punya banyak waktu!" Dylan buru-buru merebut botol dan alat penakar di tangan Quentin, tetapi pemuda berambut pirang itu menahannya.

"Minggir!" Quentin menarik botol pencahar di tangannya sambil berusaha melepas cengkeraman Dylan.

Quentin tidak menyangka bahwa Dylan bisa sekuat ini, ia membutuhkan tenaga ekstra. Ketika pemuda itu menariknya lebih keras lagi, guncangan terjadi. Obat pencahar yang ada di alat penakar tumpah ke dalam larutan americano, ditambah dengan obat yang ada di dalam botol, meskipun tidak terlalu banyak. Melihatnya, dua pemuda itu berhenti saling menarik. Mereka membeku akibat syok. Kedua mata Dylan membola, mulutnya membentuk huruf O besar, sedangkan Quentin menatap horor gelas kertas tersebut dengan mulut tertutup rapat.

Keduanya mematung selama beberapa detik, lalu saling melirik.

"Well ... secara teknis kau yang menuangkannya. Jadi ...," ucap Dylan pelan.

"Putar balik waktu dengan kekuatan supermu!" desak Quentin.

"No!" Dylan mundur sambil menyembunyikan kedua tangan di balik punggung.

"Grayson, you piece of shit!" desis Quentin sambil melangkah ke arah Dylan.

"No!" Dylan berjalan cepat untuk menghindar.

"Cepat lakukan atau aku akan mengambil kopi baru di kafetaria!" Quentin mengejar Dylan hingga ke sudut ruangan.

"Tidak! I-itu kopi terakhir yang tersedia!" seru Dylan ketika dirinya sudah terpojok.

"Okay then, aku akan ambil jus buah," ucap Quentin santai sambil berbalik badan.

Dengan segera Dylan menahan lengan Quentin. "Semua akan baik-baik saja, percayalah padaku!"

Quentin berhenti berjalan. Ia memejamkan mata sambil menghela napas dalam-dalam. Meskipun ingin mengamuk, ia tidak lagi memiliki tenaga untuk itu. Dylan sungguh keras kepala. Jika ia mengambil minuman baru pun, pemuda berambut cokelat itu tetap akan menambah dosisnya. Maka, Quentin kembali ke meja, meletakkan alat penakar di atas sana dan menutup botol obat pencahar. Ia mendesah pelan. "Kita akan membunuh seseorang hari ini."

Dukung Avenir: Redemption dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

16 Mei 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top