3-11 | Ladybug [Part 2]

"Ceritakan salah satu petualangan terbaikmu!"

Sekitar empat puluh sembilan jam yang lalu

Davis dan Chloe sampai di rumah susun setelah makan malam. Meskipun harus menjalani prosedur kesehatan terlebih dahulu, seperti mensterilkan tubuh dari partikel radioaktif, keduanya masih bisa menyantap makan malam dengan lauk yang tersisa di kafetaria.

Kepik yang dibawa Davis tidak lagi tinggal di botol kaca berkerak, melainkan sudah ditempatkan di sebuah toples yang telah diberi ventilasi. Davis juga memasukkan dedaunan, bebatuan, dan ranting untuk habitat si kepik. Toples tersebut disimpan di nakas sebelah tempat tidurnya. Ketika lampu kamar dimatikan, Chloe dan Davis dapat melihat dua titik cahaya putih kebiruan dari dalam sana. Keduanya tersenyum, takjub akan keindahan binatang kecil itu.

"Jika saja kita menangkap lebih banyak kepik, mungkin kau bisa menjadikannya sebagai lampu tidur," ujar Chloe.

"Yeah. Aku seperti mempunyai lampu tidur hemat energi," respons Davis.

Tentara muda itu menyalakan lampu, membuat tubuh si kepik terlihat redup. Chloe menyesuaikan matanya dengan cahaya sekitar. Kamar Davis luasnya sama seperti kamar Quentin. Hanya saja, perabotan di kamar ini lebih lengkap. Aroma kamar Davis juga lebih maskulin.

"Kau tahu bagaimana cara merawat seekor kepik?" tanya Chloe.

Davis mengangguk. "Mudah. Kepik makan kismis dan madu, juga sedikit air."

"Bagaimana kau tahu?"

"Google." Davis tersenyum simpul, membuat Chloe terkekeh. "Kau mau aku menangkap kepik juga untukmu?"

"What?" Chloe tertawa, mengayunkan tangan seperti menepis udara beberapa kali. "Tidak usah. Aku tidak suka merawat hewan dan tidak ingin mengambil risiko." Lagi pula jika mau, gadis itu tinggal meminta Dylan untuk mengeluarkan Partikel 201X dari tangannya.

Keduanya berdiri bersebelahan di depan nakas. Pandangan mereka bertemu, tetapi keadaan seketika canggung karena tidak ada lagi topik obrolan. Davis tersenyum, kemudian mengalihkan pandangan dan mengusap tengkuk leher ketika kedua pipinya terasa menghangat. Dengan cepat Chloe menunduk, memainkan kuku-kuku jari tangannya sambil tersenyum kecil.

"Hari ini cukup menyenangkan." Davis memecah kecanggungan.

Chloe melebarkan senyum. "Yeah! Aku benar-benar menikmatinya! Ini pengalaman baru untukku."

Davis terkekeh. "Pengalaman baru? Kita pergi ke tempat asalmu. Maksudku, sebelum nuklir dijatuhkan, kau memang tinggal di sana."

"Tapi aku sudah menetap di fasilitas ini lebih dari sebulan dan tidak pergi ke mana pun. Membosankan!" kata Chloe, "kau seorang tentara, kau memang bertugas di luar rumah susun, tapi aku? Ke mana lagi seorang penyintas bisa pergi?"

"Kau benar." Davis mengangguk. "Aku tidak bisa membayangkan sebosan apa dirimu."

"Yeah, dan aku saaangat suka berpetualang," ujar Chloe ceria sambil mendaratkan bokong di ranjang.

Tentu saja, selama belasan tahun, Theo Wilder selalu memonitor segala kegiatan Chloe dan pria itu tidak membiarkan putrinya bepergian secara bebas seperti remaja lainnya. Portland adalah petualangan pertama Chloe, meskipun meninggalkan luka yang mendalam pada akhirnya. Hari ini. Davis mengajaknya keluar kota dengan mengendarai Rover. Itulah petualangan kedua Chloe, Davis juga membebaskannya dari rasa bosan. Bagaimana mungkin ia tidak merasa senang?

Melihat Davis yang tidak memberikan respons, Chloe tertawa canggung. "Maaf, mungkin ini terkesan kekanak-kanakan untukmu."

"No, no, no." Buru-buru Davis menyanggah, kemudian turut duduk di samping Chloe. "Semua orang suka petualangan, 'kan?" Lalu, Davis tersenyum. "Kalau begitu ... kau adalah tipe gadis petualang. Ceritakan salah satu petualangan terbaikmu!"

"Road trip ke luar kota bersama Dylan dan Quentin." Chloe diam sejenak. "Aku sedikit malu mengatakan ini, tapi yang tadi itu ... adalah petualangan keduaku. Meskipun aku menyukai hal-hal seperti ini, bukan berarti aku bisa bepergian sesukaku."

"Aku mengerti. Kalau begitu aku harus sering mengajakmu jalan-jalan," ujar Davis.

Chloe mendongak, tersenyum tipis. Sayangnya, setelah malam ini ia tidak berniat menemui Davis lagi. Itulah janji Chloe pada dirinya sendiri. Segalanya tentang Davis harus berakhir malam ini juga. Gadis itu memalingkan pandangan dan mengalihkan pembicaraan. "Kita juga beruntung tidak menemukan satu pun hewan besar yang bermutasi. Moorevale aman. Untuk saat ini, kau dan tentara lainnya tidak perlu berburu di sana."

"Yeah" Davis mengangguk lagi. "Terima kasih sudah menemaniku berpatroli di Moorevale, by the way."

"Yeah, bukan masalah. Kau sudah membantuku mencari Quentin."

"Kau merasa berutang padaku?"

Dengan cepat Chloe menggeleng. "No! Maksudku ... aku membantumu memang karena ingin, bukan karena harus."

"Hanya karena ingin? Any other particular reason?" tanya Davis lagi. Mendadak, suaranya memelan, menjadi lebih berat.

Chloe membuka mulut, hendak menjawab, tetapi ia mengurungkannya. Davis memandangnya tanpa berkedip, membuat kedua pipi gadis itu memanas. Ia terperangkap oleh sepasang mata cokelat terang itu. Chloe tahu dirinya harus mundur dan memalingkan pandangan, tetapi seluruh tubuhnya mendadak sulit diajak bekerja sama. Ia membeku di tempat ketika Davis mengikis jarak. Kini, Chloe dapat merasakan hangat napas tentara muda itu. Debaran jantungnya semakin menggila, aroma maskulin dari shampoo milik Davis mematikan akal sehatnya.

Davis memiringkan sedikit kepalanya. Helaian rambut hitam pemuda itu jatuh menggelitik kening Chloe, begitu pula ujung hidung mereka yang sudah saling bersentuhan. Chloe berkedip, akal sehatnya kembali. Gadis itu menjauh sebelum bibir mereka bersentuhan. Davis turut menarik mundur tubuhnya. Pandangan mereka masih bertemu. Keheningan yang canggung meliputi mereka selama beberapa detik.

"Oh, no. I'm so sorry ...," bisik Chloe.

Davis panik. "S-sorry, I ...." Pemuda itu menghentikan ucapannya sesaat. "I didn't mean to ...."

"I ... I can't do this. Kau tahu apa alasannya." Gadis itu menggeleng pelan.

Atmosfer yang begitu canggung menyiksa keduanya. Chloe menunduk sambil mengembuskan napas berat. Gadis itu memejamkan mata, merutuki diri sendiri. Davis turut memalingkan pandangan. Rahangnya mengeras, wajahnya terasa memanas. Seisi kepalanya berkecamuk, berbagai emosi meliputinya. Ia tidak marah pada Chloe, melainkan marah pada dirinya sendiri. Satu kali saja ia melakukan kesalahan, segalanya tidak akan lagi sama. Davis tahu akhirnya akan seperti apa, tetapi ia tetap gegabah mengikuti kata hatinya. Seharusnya ia tidak perlu beralasan mengajak Chloe untuk menemaninya berpatroli dan mencuri-curi kesempatan.

Cukup lama keduanya tidak saling melempar kata, terjebak dalam pikiran masing-masing. Malam itu terasa semakin dingin, tidak ada lagi canda dan tawa seperti beberapa saat yang lalu.

"I'm really sorry ...," lirih Davis penuh penyesalan. Pemuda itu menoleh, menatap lekat iris hazel Chloe.

Chloe menekuk wajah, lalu mengangguk, kemudian memalingkan wajah ke arah lain. "Yeah ... we good."

"We good?" Davis mengulangi.

Chloe mengangguk lagi, memaksakan diri untuk tersenyum simpul. "Unexpected things happened. So, yeah, don't worry about that."

Kamar Davis kembali hening. Keduanya menerawang jauh ke depan, berusaha menghindari kontak mata. Di tengah kecanggungan, Chloe beranjak. "I should go. Hari sudah larut, jadi ...."

"Yeah." Davis mengangguk cepat, ia turut beranjak dari ranjang. "Aku mengerti."

Chloe tersenyum singkat. Tanpa ucapan selamat tinggal ataupun selamat malam, gadis itu membuka pintu dan pergi dari sana. Ketika mendengar suara pintu tertutup, Davis mendengkus kesal, mengacak-acak rambutnya kasar.

"Shit!" umpatnya pelan.

Dengan lesu, ia kembali mendaratkan bokong di ranjang. Davis menatap lantai di bawah kakinya dengan pandangan kosong, pikirannya semakin kusut. Kemudian, sudut matanya menangkap dua titik cahaya kebiruan di atas nakas yang perlahan meredup dan hilang. Ia menoleh, kemudian terkejut ketika melihat sesuatu yang ganjil. Davis mengulurkan tangan untuk mengambil toples berisi dua peliharaannya.

Alisnya bertaut ketika mengamati isi toples. Sebelum Chloe pergi, sepasang kepik itu masih berjalan-jalan di atas ranting dan dedaunan. Namun, kini binatang kecil itu tergeletak di dasar toples dalam posisi terbalik. Tubuhnya kembali berwarna merah dengan bintik hitam dikarenakan cahaya putih kebiruan dari dalam tubuhnya sudah padam. Dibandingkan rasa kecewa karena hewan peliharaannya mati, Davis merasa ada sesuatu yang lain, sebuah perasaan yang ia sendiri tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya.

*****

Dengan napas yang memburu, Chloe berjalan cepat menelusuri lorong yang sepi. Setelah sampai di depan lift, ia menekan tombol ke bawah. Tidak membutuhkan waktu lama pintu otomatis terbuka. Gadis itu masuk, menekan tombol angka empat dan bersandar pada salah satu sisi lift. Chloe merasakan tubuhnya bergerak turun, ia mengusap wajah kasar, mengucapkan berbagai sumpah serapah di dalam hati untuk dirinya sendiri.

Beberapa detik kemudian, lift sudah sampai di lantai empat. Chloe keluar dari dalam sana, berjalan pelan menuju kamar. Langkahnya semakin pelan dan pada akhirnya berhenti. Disandarkanlah punggungnya ke salah satu sisi dinding.

"Bodoh! Bodoh! Bodoh! Bodoh! Bodoh!" Chloe memaki diri sendiri sambil mengusap wajahnya kasar. Gadis itu menunduk, pandangannya kosong. Potongan kejadian beberapa saat yang lalu berputar berkali-kali di benaknya, mengundang perasaan malu dan jijik terhadap diri. Chloe bahkan masih bisa merasakan aroma shampoo dan helaan napas Davis.

Semua ini adalah kesalahan. Seharusnya ia tidak perlu menanggapi ketika Davis memintanya untuk menjadi penunjuk jalan ke Kota Moorevale. Seharusnya ia tidak lagi berhubungan dengan Davis setelah Quentin ditemukan. Seharusnya dirinya belajar untuk mengatakan 'tidak' dan lebih bijak untuk memilih seseorang yang pantas untuk dipedulikan. Kepalanya dipenuhi oleh sang pacar. Bagaimana bisa ia melakukan hal seburuk ini pada Dylan?

Chloe tahu dirinya tidak akan bisa tidur nyenyak malam ini sebelum mengenyahkan perasaan bersalahnya. Maka, ia memutuskan untuk mengeluarkan ponselnya dari dalam saku, membuka daftar kontak dan menghubungi Dylan, menceritakan segalanya tanpa ada yang ditutup-tutupi. Ya, pemuda itu pasti marah. Lebih buruknya lagi kecewa. Namun, gadis itu siap menanggung apa pun risikonya, asalkan perasaan bersalahnya pergi dan ia tidak perlu lagi menanggung beban karena menyembunyikan rahasia dari pemuda itu.

Sebelum mengetuk opsi call, terdengar pergerakan dari arah depan. Chloe dengan refleks mendongak, mengalihkan pandangan dari ponsel dan mengamati setiap sudut lorong.

"Halo?" ucapnya setengah berteriak.

Lorong ini begitu sunyi. Di jam sekarang, bisa dipastikan seluruh penyintas telah terlelap. Bulu-bulu halus di leher belakang Chloe berdiri. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Dengan instingnya yang tersisa, gadis itu mengetuk opsi call, melekatkan ponsel ke telinga, lalu berjalan cepat menuju kamar. Setidaknya, nada sambung dari speaker ponsel dapat meredam sedikit ketakutannya.

Ketika sampai di pertigaan koridor, Chloe merasa ada seseorang yang menarik tubuhnya dari belakang. Dengan refleks ia berteriak, tetapi suaranya teredam oleh kain yang membekap mulutnya. Ponsel dalam genggamannya terjatuh ke lantai, masih terhubung dengan milik Dylan melalui panggilan telepon. Nada sambung berdering, pemuda itu masih belum menjawab.

Chloe berontak. Ia mengayunkan kepalanya ke belakang dengan cukup kencang dan sepertinya berhasil menyakiti orang yang membekapnya. Cengkeraman itu melonggar. Chloe merunduk, hendak mengambil ponselnya.

"Dyla–" Chloe berteriak, tetapi mulutnya kembali dibekap dan seseorang itu menyeret tubuh Chloe menjauh dari ponsel. Kini, tubuh Chloe tidak bisa digerakkan karena terkunci oleh tangan kekar yang melingkar di tubuhnya. Selanjutnya, seseorang yang lain membungkus wajah Chloe dengan semacam kain berwarna gelap, membuat gadis itu semakin panik karena tidak bisa melihat apa-apa.

Chloe mengayunkan kedua kakinya sekuat tenaga. Ia juga menggeliat, berusaha menggerakan kedua tangan untuk melepaskan diri. Sayangnya, cengkeraman yang mengunci tubuhnya terlalu kuat, begitu pula tenaga yang menariknya. Bahkan, kekuatan Quentin pun tidak sebesar ini. Chloe kesulitan melihat siapa orang yang menangkapnya. Lagi pula, jika mendengar dari derap langkah kaki, gadis itu kalah jumlah. Siapa pun itu, mereka bukanlah tandingan Chloe, bahkan Quentin sekali pun.

Tubuh gadis itu terseret semakin jauh dari ponsel. Nada sambung berakhir, seorang pemuda berbicara dari seberang telepon. "Chloe! Ke mana kau dan Hannah pergi tadi siang? Sebelum tidur aku pergi ke kamarmu, tetapi ruangan itu masih kosong. Sekarang kau sudah pulang, 'kan?"

"...."

"Halo? Chloe?"

"...."

"Kau masih di sana?"

"...."

Dukung Avenir: Redemption dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

25 April 2022

*****

Buat yang masih bingung kenapa kepik peliharaan Davis mati, coba buka lagi Avenir book pertama, chapter 1-1. Siapa tau kalian langsung ngeh🤭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top