3-10 | Ladybug [Part 1]
"Apa kau percaya mutan itu ada?"
Sekitar lima puluh lima jam yang lalu
Davis dan Chloe sampai di Moorevale lebih cepat dari perkiraan. Matahari tepat berada di puncak, tidak terlalu menyilaukan akibat gumpalan kapas kelabu yang menutupinya. Kota ini tidak banyak berubah sejak Chloe kembali dari dunia portal, masih terbengkalai dan tampak suram. Bangunan kantor dan pertokoan masih berdiri kokoh, hanya saja cat dindingnya sudah mengelupas dan besi di beberapa bagiannya sudah ditelan karat. Dedaunan kering kecokelatan berserakan di jalanan beraspal. Angin berembus sedikit kencang, membawa partikel-partikel debu.
Rover yang dikendarai Davis berhenti di depan gang kecil tempat di mana anak kucing bermata tiga berada. Chloe membuka pintu, lalu melompat keluar dari kendaraan dan berjalan memasuki gang, diikuti oleh Davis yang membawa senapan di tangan kanannya. Tubuh mereka dilindungi oleh hazmat. Terdengar decitan halus dari alas boots berbahan karet ketika keduanya melangkah dan gemericik dari kubangan air ketika mereka menginjaknya.
Chloe berhenti berjalan dan menunjuk sebuah area di samping bak sampah besar yang terbuka. "Di sinilah aku dan Dylan melihat anak kucing itu."
Davis tidak menjawab. Ia menyingkirkan tumpukan sampah elektronik dan dus-dus kosong yang berserakan di sana dengan kakinya. Tidak ada pergerakan dari makhluk hidup apa pun, bahkan tikus atau kecoak sekali pun. Kemudian ia melangkah maju sambil menyisir setiap sudut gang. Hening, tidak terdengar apa pun kecuali langkah kakinya.
"Tidak ada apa-apa di sini." Davis menarik kesimpulan. Ia berbalik, melangkah menuju Chloe yang masih berdiri di dekat bak sampah. "Sepertinya kita harus pergi ke Rosewood Forest."
Chloe mengangguk. Keduanya kembali masuk ke dalam Rover. Hanya memakan waktu dua puluh menit, mereka sudah sampai di Rosewood Forest. Sebagai penunjuk jalan, Chloe melangkah lebih dulu untuk masuk ke dalam hutan. Davis mengekorinya, mengedarkan pandangan ke setiap sudut, siap siaga dengan senapan berburunya. Terdengar ranting kering yang patah ketika boots karet menginjak tanah, dedaunan di semak belukar saling bergesekan ketika tubuh mereka tidak sengaja menyentuhnya. Rosewood Forest begitu hening. Tidak terdengar kicauan atau kepakan sayap dari burung yang tinggal di sana.
"Kau pernah menjelajahi tempat ini?" Davis memecah keheningan.
"Sekali," jawab Chloe. Kemudian ia sadar bahwa dirinya sedang menjadi Chloe Ryouta, bukan Chloe Wilder. Namun, ia merasa itu bukan masalah besar. Berita mengenai dirinya yang sempat koma setelah menjadi korban ledakan tidak terendus media. Identitasnya aman. "Kemudian berita di TV mengatakan bahwa laboratorium yang terletak di sekitar sini meledak dan banyak memakan korban jiwa. Satu remaja sempat terluka dan menghilang selama menjalani perawatan. Sejak saat itu, aku tidak mau pergi ke tempat ini lagi."
"Dan remaja itu adalah ...?"
"Dylan." Chloe menyelesakan ucapan Davis. "Dia anak pemilik Vortex Laboratory yang meninggal di tahun 2019."
"Aku tahu soal itu, dan aku penasaran, bagaimana awal mulanya kalian bertemu?" tanya Davis.
"Aku dan Dylan satu sekolah. Kami mengambil beberapa kelas yang sama." Chloe bercerita.
"Dan kemudian kalian berpacaran."
Chloe tertawa. "Yeah."
Davis tersenyum tipis. Hening untuk beberapa menit ke depan. Pemuda itu masih menyisir hutan, menajamkan indra penglihatan dan pendengarannya, mencari pergerakan ataupun suara-suara kecil.
Akibat kurang berkonsentrasi, Chloe terperosok ketika menginjak tanah yang menjorok ke bawah. Sebelum gadis itu terjatuh, Davis dengan sigap meraih lengan gadis itu dari belakang, kemudian menariknya.
"Hati-hati dengan lubangnya!" ujar Davis.
Chloe berusaha berdiri tegak, kini punggungnya menempel dengan bagian depan tubuh tentara itu, hanya saja dipisahkan oleh hazmat. Untuk menghindari kecanggungan, ia maju untuk membuat jarak. Setelah Chloe mampu menyeimbangkan tubuhnya kembali, Davis melepas cengkeramannya.
"Apa kakimu baik-baik saja?" tanya pemuda itu.
Chloe menunduk, memutar pergelangan kakinya searah jarum jam, juga sebaliknya. Gadis itu merasa sendinya masih berfungsi normal tanpa ada rasa sakit. "Kurasa begitu."
"Biarkan aku yang jalan terlebih dahulu. Tetaplah di belakangku!" perintah Davis. Tentara muda itu melangkahkan kaki lebih dulu. Kini, posisi Chloe sudah berada di belakangnya.
Chloe mengekori Davis, kini keduanya kembali menelusuri hutan. Gadis itu menatap punggung bidang Davis yang entah mengapa membuatnya merasa dilindungi. Tanpa sadar, sudut bibirnya terangkat sedikit. Beberapa menit ke depan masih hening, hanya terdengar langkah kaki mereka yang menapaki tanah dan dedaunan kering. Tiba-tiba saja, Davis berhenti lalu mengangkat senapan. Chloe yang sedang asyik melihat-lihat sekitar tidak menyadari bahwa pemuda itu sedang berhenti. Alhasil, penutup kepala hazmat-nya beradu dengan punggung pemuda itu.
"Hei!" seru Chloe.
"Sttt! Jangan beri–nevermind," desis Davis, kemudian pasrah.
Sekitar lima meter di depan mereka terdapat semak belukar yang ditumbuhi buah beri kecil. Chloe berjinjit, mengintip melalui pundak Davis. Di sana, terlihat gumpalan bulu berwarna putih bergerak menjauh, lalu menghilang di balik dedaunan.
"Aku melihat kelinci hutan," ucap Davis pada akhirnya. Ia mendesah pelan sambil menurunkan senapannya.
"Bermutasi atau tidak?" tanya Chloe.
"Dari wujudnya terlihat normal."
"Kalaupun kelinci itu bermutasi, ia tidak akan bisa membahayakan siapa pun, 'kan? Maksudku, saat ini tidak ada yang tinggal di Moorevale. Binatang itu tidak akan membawa radiasi kepada siapa pun."
Davis mengangguk. "Yeah, tapi tetap saja, status kota ini masih berada dalam pengawasan. Ketika radiasi di sini sudah hilang dan orang-orang akan kembali ke kota, tentara harus memusnahkan semua hewan-hewan itu."
"Itu artinya ... kau akan tetap membunuh kelinci itu?" Chloe menekuk wajah.
Tentara itu mengedikkan bahu. "Mungkin bukan aku, tapi tentara lain, tergantung siapa yang ditugaskan."
Davis kembali menelusuri jalan setapak dengan Chloe yang mengekorinya. "Menurutmu, kapan kami bisa kembali ke sini?" Gadis itu bertanya.
"Kau tahu bencana nuklir Chernobyl yang terjadi tahun 1986?" Davis balik bertanya.
"Tidak."
"Saat itu, terjadi kebocoran reaktor nuklir di salah satu PLTN Chernobyl, kota di Ukraina itu jadi tidak bisa ditinggali sampai radius tiga puluh kilometer, bahkan hingga saat ini." Davis mulai bercerita. "Bahan bakar nuklir di tempat itu meleleh, mengeluarkan partikel-partikel yang jauh lebih berbahaya daripada bom Hiroshima dan Nagasaki. Jika kau bertanya padaku, aku tidak tahu, mungkin akan memakan waktu hingga puluhan tahun."
"Termasuk zona kuning seperti kota ini?" tanya Chloe. "Bom itu dijatuhkan di California, jauh sekali dari Moorevale."
Davis menggeleng. "Zona kuning seperti Kota Moorevale dan kota-kota di Nevada lainnya mungkin akan pulih lebih cepat. Tapi zona hitam dan merah seperti California? Entahlah."
Chloe menunduk, rona wajahnya berubah keruh. Meskipun semua ini bukan kesalahannya, ia merasa harus bertanggung jawab karena sang ayah secara tidak langsung ikut berperan menyebabkan semua bencana ini. Setelah kembali ke rumah susun, ia harus berbicara dengan Dylan dan Quentin untuk segera membereskan masalah ini.
Keduanya kembali berjalan dalam keheningan. Matahari mulai turun, tidak lagi menghasilkan cahaya yang menyilaukan. Chloe tidak sengaja menemukan area yang cukup familier. Gadis itu menyalip Davis, lalu mempercepat langkah sambil menyisir ranting dan dedaunan, hingga sampai di lahan hutan yang terbuka. Tidak ada lagi pepohonan maupun semak belukar di sekitar. Chloe berhenti di perbatasan hutan. Lima meter di depannya terdapat pagar kawat berduri dengan garis polisi yang sudah sangat usang.
Gadis itu mengedarkan pandangan, melihat reruntuhan bangunan tua lima tingkat yang tidak diurus sejak lima tahun lalu. Hampir seluruh sisi dinding menghitam karena hangus, kaca-kaca pecah, puing-puing dan abu berserakan di bawahnya. Tubuh Chloe seketika membeku. Di sinilah semuanya dimulai, tempat di mana ia nyaris kehilangan nyawa dan mulai mendapatkan penglihatan-penglihatan yang mengubah hidupnya.
Suara boots yang menginjak ranting mengalihkan atensinya. Kini, Davis sudah berada di samping Chloe. "Inikah Vortex Laboratory?" tanya tentara muda itu.
Chloe mengangguk. "Yeah."
"Astaga, tempat ini kacau sekali." Davis melangkah maju, kemudian berhenti tepat di depan pagar kawat berduri. Pandangannya mengedar, lalu menyentuh garis polisi berwarna kuning yang membentang di sepanjang pagar, entah di mana ujungnya. Tidak terlihat ada gerbang yang bisa dimasuki.
"Bagaimana cara masuk ke sini?" tanya Davis, setengah berteriak.
"Aku tidak tahu!" seru Chloe di kejauhan. "Tinggalkan saja bangunan itu! Tidak mungkin ada hewan yang bisa masuk ke sana!"
Davis berbalik. Ia kembali ke tempat di mana Chloe berdiri, kemudian mendaratkan bokongnya di tanah, lalu duduk bersila. Senapan berburunya disimpan di samping kiri. Chloe yang berada di kanannya ikut duduk dan beringsut mendekat ke arah Davis. Lengang untuk beberapa saat. Keduanya terjebak dalam pikiran masing-masing. Angin yang berembus tidak terlalu kencang, tetapi cukup untuk menerbangkan dedaunan kering di tanah.
"Apakah kau penasaran dengan apa yang mereka teliti di dalam sana?" Davis memecah keheningan. "Maksudku, apa yang mereka lakukan sampai terjadi ledakan?"
"Mereka meneliti mutan," jawab Chloe asal.
"What?" Davis terkejut.
"Just kidding." Chloe terkekeh.
Davis menyentuh dada sambil mengembuskan napas lega. "Kau tahu, aku hampir percaya dengan perkataanmu."
"Hanya eksperimen teknologi biasa. Saat itu keadaan sedang tidak stabil dan pada akhirnya ledakan terjadi. Dylan yang menceritakannya." Chloe tidak sepenuhnya berbohong.
"Apa kau percaya mutan itu ada?" Davis menoleh.
"Mutan manusia? Entahlah." Chloe mengedikkan bahu.
"Menurutku, mereka itu ada." Davis mengalihkan pandangan ke depan, menatap reruntuhan Vortex Laboratory di balik pagar berduri. "Karena radiasi nuklir, hewan-hewan saja bermutasi. Tidak menutup kemungkinan manusia juga bisa bermutasi karena partikel radioaktif."
Chloe menyeringai, menunduk, lalu terkekeh. "Untuk ukuran seorang tentara, you're too nerdy."
Davis tertawa. "Aku tidak bilang mereka bisa menembakkan laser dari matanya atau bisa mengendalikan cuaca. Tidak, bukan mutan yang itu."
"Lalu?"
"Maksudku, mereka bermutasi sesuai sains." Davis mengambil ranting kecil di dekat kakinya, kemudian mencoret-coret tanah dengan itu. "Tubuh mereka beradaptasi untuk tinggal di lingkungan yang baru."
Chloe tertegun mendengar ucapan Davis.
"Mengagumkan, bukan? Jika mutan benar-benar ada, ia tidak perlu memakai hazmat. Partikel radioaktif tidak akan bisa membunuhnya," ucap Davis lagi. Ranting yang ada di tangannya patah, membuat jantung Chloe berdebar cepat.
"Jika mereka benar-benar ada, pasti ada yang bisa tinggal di zona merah selama dua tahun. Tidak menutup kemungkinan orang itu juga akan diliput oleh media." Chloe berkilah.
"Bisa saja mereka hidup bersembunyi."
"Entahlah, itu terlalu konyol bagiku. Mereka pasti butuh makan, tidak mungkin bersembunyi selamanya." Chloe menoleh ke arah Davis. "Kalaupun mereka ada, wujud fisik mereka pasti buruk dan mudah dikenali. Maksudku, kau ingat anak kucing bermata tiga yang pernah kutemui?"
"Baiklah, jika itu pendapatmu." Davis mengangguk.
Chloe tidak menjawab lagi. Keheningan kembali meliputi mereka. Ketika sedang mengedarkan pandangan, Chloe tidak sengaja menemukan sesuatu yang berkilauan di antara semak belukar sekitar tiga meter darinya. Kedua matanya menyipit. Ia berdiri, kemudian berjalan menghampiri.
"Where are you going?" tanya Davis.
Chloe tidak menjawab. Kedua netra hazel-nya berbinar ketika melihat binatang yang mengingatkannya pada partikel 201X.
Davis berdiri, kemudian berjalan menghampiri Chloe. Pemuda itu tersenyum. "Wow, kau menemukan salah satu dari mereka."
"Salah satu dari mereka?" Chloe mengulangi. Ia mengarahkan jarinya pada seekor kepik bercahaya biru. Serangga kecil itu mulai merayapi sarung tangan hazmat yang dipakai Chloe.
"Binatang cantik yang bermutasi. Kau ingat apa yang kukatakan beberapa hari lalu?" jawab Davis.
Chloe mengernyit. Bagai kaset yang diputar balik, ia berusaha menggali apa yang pernah Davis katakan. Kini ia mengingatnya, kemudian mengangguk antusias. "Kau bilang tidak semua hewan yang bermutasi memiliki wujud yang buruk."
"Yeah. Selain kepik, aku pernah melihat kupu-kupu dan jangkrik bercahaya. Biasanya mereka berwarna hangat, seperti kuning atau jingga. Tapi ... kepik berwarna biru? Aku baru pertama kali melihatnya," ucap Davis kagum.
"Kau dan tentara lainnya tidak membasmi mereka?" tanya Chloe.
Davis menggeleng. "Tidak ada perintah untuk memusnahkan serangga. Kami hanya mengurusi hewan-hewan besar, seperti anjing atau rusa. Lagi pula, serangga akan tetap berada di habitatnya dan tidak akan menimbulkan masalah bagi manusia. Yah, selama mereka tidak merusak ternak atau hasil tani."
Chloe mendekatkan jarinya, mengamati binatang kecil itu lebih dekat lagi. Senyumnya kian lebar. Jika diamati lebih jauh, kepik itu tetap berwarna merah dengan bintik-bintik hitam, tetapi cahaya putih kebiruan menutupinya. Dari jauh, binatang itu seperti memiliki tubuh berwarna biru.
"It's beautiful," ucap gadis itu.
"I know, right? Sudah kubilang, tidak semua mutan berwujud buruk. Mereka juga bisa bertampang cantik," balas Davis. Tentara muda itu berjalan menjauh sambil menunduk, seperti sedang mencari-cari sesuatu di tanah.
"Apa yang kau cari?" tanya Chloe.
"Apa saja yang bisa digunakan untuk ... ah, ini dia!" serunya. Davis merunduk, memungut botol kaca kecil yang sudah berkerak di antara semak-semak. Ia membersihkan sisa-sisa tanah yang menempel, kemudian berjalan menghampiri Chloe sambil menyodorkan botol kaca tersebut. "Masukkan kepik itu ke sini!"
Chloe mengarahkan jarinya ke mulut botol, lalu binatang kecil itu merayap masuk. Setelah berada di dalam, Davis menutupnya. Kini, keduanya mengamati kepik bercahaya itu di balik kaca yang sudah memburam.
"Aku akan membawanya," ujar Davis.
"Bukankah Henderson melarangmu membawa hewan ke rumah susun?" tanya Chloe.
Davis terkekeh. "Ini binatang kecil, mudah disembunyikan."
"Aku menemukan satu kepik lagi!" Chloe berseru sambil menunjuk salah satu daun di semak-semak. Davis mendekatkan mulut botol ke daun tersebut, membiarkan binatang kecil itu masuk ke dalam.
"Dan sekarang kita punya sepasang kepik!" seru Chloe ceria.
Pemuda gondrong itu tertawa pelan melihat tingkah Chloe. Lalu ia menoleh, mematahkan leher ke kanan, mengisyaratkan gadis itu untuk mengikutinya. "Ayo berkeliling hutan sekali lagi sebelum pulang!"
Chloe mengangguk, lalu berjalan mengikuti Davis. "Yeah. Semoga saja kita tidak bertemu hewan mutan lainnya, terlebih lagi yang bertampang buruk."
Dukung Avenir: Redemption dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
17 April 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top