2-7 | New Place, New Life [Part 1]

"Tapi kapan? Man, Amerika sudah kacau."

Dylan Grayson berdiri di sebuah lorong dengan tembok berlapis besi. Atapnya tidak memiliki plafon, sehingga pipa-pipa dan lubang ventilasinya terlihat jelas. Sedari tadi, banyak pria-pria berotot dengan rompi anti peluru dan senapan—yang sepertinya adalah tentara—berlalu lalang di sana.

Lamunannya buyar ketika pintu otomatis di hadapannya terbuka, menampilkan seorang gadis berambut merah yang sangat ia khawatirkan. Pandangannya bertemu dengan iris hazel milik Chloe. Pemuda itu dengan refleks mengukir senyum ketika melihat gadis kesayangannya lagi. Ia beranjak dari posisinya, lalu membuka kedua tangan lebar-lebar ketika Chloe berlari kecil ke arahnya.

"Thank God! Mereka bilang kau baik-baik saja!" seru Chloe sambil melompat ke pelukan Dylan. Keduanya melepas rindu dengan saling berdekapan erat.

"Kau juga!" seru Dylan sambil melepas pelukan. Sejak tadi, kurva lengkung di wajahnya tidak memudar sedikit pun. Ada perasaan lega sekaligus senang ketika bertemu kembali dengan gadis kesayangannya. Pemuda itu mengusap lembut pipi Chloe. "Senang bertemu denganmu lagi."

"How are you feeling?" tanya Chloe.

"Cukup baik dan tidak gegar otak," jawab Dylan sambil mengusap kepala belakangnya, "bagaimana keadaanmu? Apa yang dr. Valentine katakan?"

"Beliau bilang tubuhku benar-benar sehat, tetapi ia memberiku pil yodium untuk berjaga-jaga."

"Me too. Pil itu akan mencegah tubuhmu dari terjadinya ionisasi akibat partikel radiokatif," terang Dylan, "singkatnya, pil itu mencegah efek buruk dari paparan radiasi."

"Beliau juga mengatakan sesuatu yang aneh."

"And what was that?"

"dr. Valentine bilang, tubuhku sangat sehat, sesehat orang yang tidak pernah menginjakkan kaki di zona kuning."

"Yeah, dia mengatakan hal yang sama padaku."

"Apa kau tidak merasa aneh dengan itu?" tanya Chloe serius.

Dylan mengedikkan bahu. "I don't know. Mungkin ini ulah partikel di tubuh kita?"

"Bagaimana bisa?"

"Just my theory. Partikel 201X menyembuhkan kerusakan di tubuh kita. Kau ingat bagaimana kita selamat dari insiden ledakan Vortex Laboratory? Mungkin benda kecil itu melakukan hal yang sama ketika partikel radioaktif mencoba merusak tubuh kita?"

"Partikel itu melindungi kita," gumam Chloe, "kini, semuanya masuk akal."

Dylan mengernyit. "Apa maksudmu?"

"Ketika kita mencoba untuk pulang dari dunia portal, partikel itu menyakiti kita berdua. Benda kecil itu tidak ingin kita terpapar radiasi yang masih sangat tinggi," tebak Chloe, "namun, ketika kita berharap untuk kembali, partikel itu akhirnya mengabulkan keinginan kita. Kebetulan, kita berdua kembali dua tahun sesudah bom nuklir dijatuhkan. Ya, memang, level radiasi di Kota Moorevale masih lumayan tinggi, tetapi setidaknya, tidak setinggi ketika ledakan itu terjadi."

"Partikel 201X menahan kita di dunia portal karena sebuah alasan ...." gumam Dylan, "it saved us."

"Bagaimana dengan smart bracelet ayahmu? Kau punya teori mengapa ia tidak membiarkan kita kembali ke malam Homecoming?" tanya Chloe.

"No idea." Dylan menggeleng. "Aku tidak mengerti cara kerja benda ini. Hanya Dad dan Prof. Ryouta yang mengetahuinya."

"Dan Quentin," sambung Chloe, "ia menyimpan sebagian data ayahmu yang kita ambil di Portland, 'kan? Mungkin ia menyimpan blueprint alat ini juga?"

"Itu masuk akal. Kalau begitu kita harus—"

Derap langkah kaki mengalihkan atensi mereka. Dylan dan Chloe menoleh ke samping, melihat seorang pria dengan rambut hitam yang sedikit gondrong dan kumis tipis berhenti di hadapan mereka dengan senyum yang merekah. Tubuhnya cukup jangkung dan atletis, usianya sekitar dua puluh lima tahun, di lehernya terdapat dog tag berbahan stainless steel.

"Hai, Davis," sapa Chloe.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya pemuda asing itu.

"Tidak pernah sesegar ini sebelumnya," jawab Chloe.

Dylan mengernyit, kemudian bertanya pada Chloe. "You know him?"

Untuk menghindari kecanggungan, Chloe mengenalkan keduanya. "Dylan, kenalkan, ini Davis. Davis, ini Dylan."

Pemuda atletis dengan kaus berwarna hijau tentara dan rompi anti peluru itu mengulurkan tangannya. "Davis."

"Dylan." Dylan menyambut uluran tangan pemuda berambut hitam gondrong itu, kemudian berjabat tangan singkat. "Ah, aku merasa familier dengan suaramu."

"Yeah, dia salah satu tentara ber-hazmat yang menyelamatkan kita kemarin. Tadi pagi, Davis sempat mengunjungiku di ruang isolasi," ujar Chloe pada Dylan.

"Maaf jika aku memperlakukan kalian dengan kasar malam itu, tapi kami diharuskan membawa siapa pun yang masih berada di zona kuning, tanpa terkecuali, sekali pun mereka memberontak," ucap Davis.

"Well, terima kasih sudah memukul kepalaku dan membuatku tidak sadarkan diri," sindir Dylan.

"Ah, sebenarnya itu bukan aku," jawab Davis.

"Sudah selesai reuninya?" Suara bariton di dekat pintu otomatis berbentuk segi delapan mengalihkan perhatian mereka. Di sana, berdiri pria berambut pirang kecoklatan model undercut dengan tubuh yang lebih atletis sedang melipat kedua tangan di dada. Usianya mungkin sekitar tiga puluh tahunan. Pakaian yang dikenakannya serupa dengan milik Davis, dilengkapi dengan dog tag stainless steel melingkar di lehernya.

Davis melakukan gestur mematahkan lehernya ke arah pria itu. "Dia yang memukul kepalamu."

"Oh, thanks," ucap Dylan pada pria atletis itu dengan nada datar.

"Let's go. Pekerjaanku masih banyak," ucap pria itu cuek. Ia berhenti melipat tangannya di dada dan berjalan menuju pintu keluar. Kecanggungan meliputi mereka, Dylan dan Chloe saling pandang, kemudian mengedikkan bahu secara bersamaan.

"Itu Henderson. Dia memang pria yang tidak ekspresif," terang Davis. Pemuda itu berjalan menyusul Henderson. "Kami berdua yang akan mengantar kalian."

"Ke mana kalian akan membawa kami?" tanya Dylan sambil berjalan mengikuti Davis, begitu pula dengan Chloe.

"dr. Valentine bilang kau ingin mencari keberadaan ibumu, 'kan?" jawab Davis sambil tersenyum.

*****

Dylan dan Chloe duduk di bangku penumpang belakang Land Rover klasik yang dikendarai oleh Henderson, sedangkan Davis duduk di sebelah pria itu. Keempatnya tidak lupa mengenakan pakaian pelindung selama berkendara.

Kedua remaja itu mengedarkan pandangan ke sekeliling ketika Rover yang mereka naiki melewati perumahan penduduk yang telah ditinggalkan. Keadaan di sini sama buruknya dengan Kota Moorevale. Banyak dedaunan kering yang berserakan di jalanan maupun trotoar. Lapisan cat di setiap bangunan telah mengelupas, begitu pula dengan besi yang sedikit permukaannya sudah dilapisi karat. Tidak ada tanda-tanda kehadiran manusia di sana, termasuk hewan.

"They're gone," lirih Chloe sambil menekuk wajah.

"Yeah, semua orang pergi, tetapi beberapa dari mereka sudan berada di tempat yang aman." Davis menimpali.

"Apa yang terjadi ketika nuklir itu jatuh?" tanya Dylan.

"Tahun 2022 adalah tahun terberat bagi militer." Davis mulai bercerita. "Sebagian dari kami sibuk mengungsikan seluruh penduduk ke tempat aman. Well, beruntunglah kami ditugaskan di zona kuning, cukup jarang kami menemukan pengungsi dengan penyakit yang fatal setelah terpapar radiasi."

"Kudengar zona merah dan zona hitam lebih mirip dengan neraka." Henderson menimpali. "Rumah sakit tumbang, penderita luka bakar di mana-mana, sebagian besar dari mereka tidak terselamatkan akibat bala bantuan tidak mampu menjangkau area itu."

Davis mengangguk. "Yeah, siapa pun yang pergi ke zona hitam dan merah sama saja dengan bunuh diri. Radiasi di sana bahkan berlipat-lipat lebih tinggi dibandingkan zona kuning. Regu penyelamat tidak bisa mengambil risiko untuk pergi ke sana. Jadi ... hampir seluruh penduduk di sana tidak terselamatkan."

Chloe meneguk saliva, merasa prihatin dengan para korban yang tidak terselamatkan. Dylan merasakan awan mendung meliputi suasana hatinya, tidak sanggup membayangkan bagaimana perasaan keluarga korban. Kehilangan satu anggota keluarga saja sudah cukup membuatnya depresi, apalagi lebih dari satu.

"Banyak penduduk yang tidak memiliki tempat untuk mengungsi, mereka juga tidak memiliki uang untuk membeli rumah baru di negara bagian lain, sehingga pemerintah dipaksa untuk menciptakan hunian-hunian sementara di luar zona kuning," Davis melanjutkan ceritanya.

"Sejenis rumah susun yang cukup nyaman." Henderson menimpali.

"Dan di sanalah kalian berdua akan menetap hingga keadaan membaik." Davis menyelesaikan penjelasannya.

Henderson tertawa getir. "Tapi kapan? Man, Amerika sudah kacau. Kita beruntung PBB turun tangan dan pada akhirnya mereka melakukan gencatan senjata. Bisa bayangkan bagaimana jika mereka menjatuhkan nuklir terus menerus? Kita semua akan benar-benar tamat."

"The worst thing is ...." Davis menjeda perkataannya, kemudian mengembuskan napas berat. "Kami juga diperintahkan untuk menembak mati hewan-hewan peliharaan yang ditinggalkan di zona kuning."

"You what?" tanya Dylan dengan nada tinggi.

"Jangan salah sangka, kami juga membenci tugas itu," jawab Henderson.

"Tapi kami harus melakukannya agar mereka tidak melahirkan anak-anak yang cacat akibat mutasi genetik. Jangan khawatir, kami melakukannya dengan sekali tembak, sehingga binatang-binatang malang itu tidak merasakan sakit," lanjut Davis.

"Seperti kucing yang kita lihat tempo hari lalu," ucap Chloe pada Dylan.

"Kau pernah melihat binatang yang sudah mengalami mutasi genetik?" tanya Davis sambil menoleh ke bangku belakang.

"Yeah, seekor anak kucing dengan tiga mata dan dua kepala," jawab Dylan.

"That's horrible," respons Henderson tanpa mengalihkan atensinya dari kemudi dan jalanan.

"Yeah, itulah yang kami hindari. Selama mereka hidup, binatang-binatang itu akan membawa partikel radioaktif yang membahayakan manusia maupun sesama hewan. Aku ingat ketika pertama kali turun ke lapangan dan harus membunuh seekor anjing Pomeranian," lanjut Davis.

"Dude, kau payah. Pada akhirnya aku yang harus melakukan tugasmu," cibir Henderson, "dan kau muntah-muntah ketika melihat jasadnya."

"We can't blame him! Tidak ada orang yang tega membunuh seekor anjing Pomeranian," respons Chloe.

"You hear that?" Merasa ada seseorang yang membelanya, Davis melempar seringai kecil untuk Henderson. Pria berambut pirang kecokelatan berusia tiga puluh tahunan itu mengedikkan bahu cuek.

Tidak terasa, Land Rover yang mereka kendarai sudah melewati pemukiman penduduk. Kini, mereka membelah jalanan sepi di luar zona kuning. Ribuan pohon ek menjulan di kanan kiri mereka. Memori masa lalu terlintas di otak Chloe, ketika dirinya melakukan road trip ke Kota Portland bersama Dylan dan Quentin.

"How is Quentin?" lirih Chloe, "apakah ia selamat dari nuklir itu?"

"Pacarmu?" tanya Davis sambil menoleh ke belakang.

"Aku pacarnya," ketus Dylan.

"Oh, oke." Davis menjawab canggung.

"Dia semacam ... yeah, kakak laki-lakiku," jawab Chloe.

"Kalian bisa tanyakan keberadaannya ketika sampai di bagian pencatatan sipil," ucap Henderson.

"Berapa lama lagi kita akan sampai di rumah susun yang kalian sebutkan itu?" tanya Chloe.

"Tidak lama, hanya beberapa kilometer lagi," jawab Davis.

Chloe mengangguk lemah. Dylan menoleh ke arah gadis di sampingnya. Merasa diperhatikan, Chloe lalu membalas tatapan pemuda itu. Untuk menghibur kekasihnya yang terlihat sendu, Dylan menyunggingkan senyum tipis.

"We will find him, okay?" ucap Dylan.

Chloe mengangguk. "And also Mrs. Grayson."

Dukung Avenir: Redemption dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

07 Juli 2021

*****

New characters unlocked:

Lagi mensugestikan diri sendiri kalo Davis buka Stiles Stilinski, biar nggak khilaf nge-ship dia sama Chloe🙈

Buat yang belum tau, Holland Roden sama Dylan O'Brien pernah main bareng (dan ujung-ujungnya jadian) di Teen Wolf.

Sampai jumpa minggu depan!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top