2-4 | Double Trouble [Part 2]
"Di mana penghuni mansion-mu? Apa yang mereka katakan ketika kau tiba-tiba kembali?"
"Itulah masalahnya," ucap Chloe sambil menekuk wajah.
Melihat senyum Chloe memudar, ekspresi wajah Dylan mendadak serius. "Apa maksudmu?"
"Ada yang aneh di sini. Bisa berdiri? Aku ingin menunjukkan sesuatu."
Tubuhnya masih sedikit lemas. Sambil menyesuaikan diri dengan pening di kepalanya, Dylan perlahan beranjak dari sofa dan berjalan mengikuti Chloe. Namun, pemuda itu tiba-tiba berhenti ketika merasakan sesuatu yang ganjil. Ia menunduk, kemudian mengangkat kaki kanan. Pemuda itu terkejut ketika melihat telapak kakinya yang menghitam akibat debu yang cukup tebal. Ia mencoba menggesekkan kaki dengan lantai dan melihat permukaan kulitnya yang semakin menghitam.
"What the hell?" Pemuda itu mengernyit. Namun, ia mencoba untuk tidak menghiraukannya. Dylan kembali menggerakan kedua tungkainya mengikuti Chloe.
Ketika berada di luar mansion keluarga Wilder, tidak ada tukang kebun maupun keamanan yang menjaga kediaman tersebut, bahkan pintu gerbang dibiarkan terbuka begitu saja. Dylan berhenti di samping Chloe yang sedang berdiri di jalanan kluster dan mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Mengapa mansion-mu sepi sekali? Apa keluargamu pindah rumah?" tanya Dylan.
"Itulah yang kupertanyakan sejak tadi." Chloe kembali memfokuskan atensi pada lingkungan sekitar. "Ketika kau pingsan, aku berkeliling untuk mencari Mom, tapi lihatlah! Sepi sekali! Sepertinya semua orang pergi meninggalkan tempat ini, termasuk Mom dan seluruh pekerja di mansion-ku. Di rumahku juga listriknya tidak menyala, itu sebabnya aku tidak bisa menyalakan lampu."
Memang normal jika kluster elit di mana Chloe tinggal tampak sepi, karena kebanyakan hunian di sana dibeli untuk kebutuhan investasi. Namun, kesunyian ini tampak ganjil, seakan-akan ... sama sekali tidak ada orang yang menghuni kluster ini. Bahkan, banyak dedaunan kering yang berserakan di jalan. Tidak ada seorang pun yang membersihkannya.
Keheningan yang mencekam berhasil membuat bulu kuduk Dylan berdiri. Wajah tampannya berubah menjadi pucat pasi ketika melihat kluster elit di mana Chloe tinggal mendadak berubah menjadi kota hantu.
"I have a bad feeling," lirih Dylan, "very, very bad."
"Yeah, me too."
"Kau punya dugaan ke mana mereka semua pergi?" tanya Dylan.
"Not yet." Chloe menggeleng. Gadis itu melangkah meninggalkan Dylan. "Lebih baik kita berkeliling untuk mencari tahu."
*****
Kedua remaja itu menelusuri jalanan utama Kota Moorevale yang sepi dan gersang. Di kanan kiri mereka, bangunan pertokoan dan perumahan masih berdiri kokoh, hanya saja tampak tidak terurus. Karat menggerogoti besi, lapisan cat bangunan mulai mengelupas, juga tidak ada tanda-tanda adanya listrik di sana. Di jalanan, banyak sampah dan daun-daun berserakan. Angin berembus kencang membawa partikel debu, terkadang membuat keduanya terbatuk-batuk. Gumpalan awan berwarna abu tua menutupi cahaya matahari, membuat kota kecil di Negara Bagian Nevada ini tampak suram.
Dylan mengangkat tinggi-tinggi ponselnya sambil berjalan. "Mengapa di sini tidak ada sinyal?"
"That's weird. Mengapa tiba-tiba semua orang menghilang dan Kota Moorevale kehilangan sinyal internet?" tanya Chloe, masih menggerakan kedua tungkainya dan mengedarkan pandangan ke kota yang sepi.
"I dunno." Dylan menurunkan ponselnya dan mengecek tanggal dan jam yang tertera di layarnya. "Aku juga tidak tahu tanggal berapa sekarang. Di ponselku tertulis November 2020, waktu yang sama ketika kita pergi ke dunia portal. Kita berdiam diri di sana cukup lama, tidak mungkin kita pulang di tanggal yang sama, 'kan?"
"Kau benar. Waktu di ponselmu tidak diperbaharui otomatis akibat tidak adanya sinyal internet." Chloe mengambil ponselnya dari dalam saku, kemudian mendengkus kesal. "Ponselku juga tidak memiliki sinyal."
Dengan pasrah Dylan memasukkan kembali benda pipih itu ke dalam saku celana. "Kalau begitu, ponsel kita tidak berguna untuk keadaan sekarang."
"Apa kita masih terjebak di dunia portal?" tanya Chloe.
Dylan menggeleng. "Tidak mungkin. Di dunia portal tidak akan ada warna. Bisa saja kita terjebak di dunia paralel yang lain?"
Chloe mengernyit. "What?"
"Yeah, kau tahu, menurut artikel ilmiah yang pernah kubaca, banyak ilmuan yang membuat teori bahwa semesta ini terdiri dari banyak realitas yang saling berdampingan. Mungkin ada dunia lain selain dunia portal dan dunia tempat di mana kita tinggal?"
"Jadi menurutmu kita tidak kembali ke dunia tempat di mana kita tinggal, melainkan ke dunia yang lain?"
"Yeah."
"Apa ayahmu juga mengatakan hal yang sama?" tanya Chloe, tetapi Dylan hanya menggeleng sebagai jawaban. Kemudian gadis itu mendesah pelan. "Kalau begitu, aku tidak mau percaya begitu saja. Aku yakin kita sudah berada tempat yang benar."
"Kalau begitu ... kenapa tidak ada manusia atau binatang di sini? Kau punya teori lain? Memangnya sudah berapa lama kita pergi?" tanya Dylan.
Kedua remaja itu dikejutkan dengan suara bising di gang kecil, seperti besi yang terjatuh ke aspal, tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Chloe memicingkan mata dan melihat sesuatu bergerak di sana.
"Dylan, aku melihat sesuatu yang bergerak," bisik Chloe, "sepertinya itu kucing atau anjing."
"Let's find out!"
Mereka berlari kecil menuju gang sempit tersebut dan mencari sumber kebisingan tadi. Di balik bak sampah, tampak seekor kucing berwarna hitam. Di sekitarnya, terdapat tiga anak kucing berusia sekitar dua minggu dengan bulu yang berbeda warna.
"Itu seekor kucing," bisik Chloe, "kau salah, ini bukan dunia paralel yang lain. Kita sudah kembali ke dunia tempat di mana kita tinggal."
Merasakan adanya ancaman, sang induk mendesis, bulu-bulu di tubuhnya berdiri tegak, begitu pula ekornya. Ketika salah satu anak kucing berwarna hitam-jingga memperlihatkan wajahnya, Chloe memekik dan menutup mulutnya karena kaget. Binatang kecil itu memiliki dua wajah yang saling menempel. Yang lebih mengerikannya lagi, binatang itu memiliki tiga mata.
"That's horrible!" seru Dylan, ia membawa Chloe ke dalam dekapan, berusaha menutupi mata gadis itu dari pemandangan mengerikan itu. "Sebaiknya kita pergi dari sini."
Dengan kedua tungkai yang lemas, Chloe melangkah keluar dari gang sempit tersebut. Dylan merangkul sambil mengelus-elus bahu gadis itu, berusaha membuatnya tenang. Kedua remaja itu diliputi keheningan panjang, hanya terdengar sayup-sayup bunyi angin dan derap langkah kaki.
"Sudah merasa lebih baik?" tanya Dylan.
"Tentu saja tidak!" Chloe mengusap-usap wajahnya sambil menstabilkan deru napasnya. "Rupa anak kucing tadi masih tergambar jelas di otakku. Wajahnya benar-benar membuatku ngeri. Ia seperti ... monster kecil!"
"Terkadang hewan juga bisa melahirkan anak kembar siam, seperti manusia. Itu normal."
"Itu tidak normal, Dylan. Anak kucing tadi mungkin mengalami mutasi genetik." Chloe menoleh ke arah pemuda di sampingnya. "Maksudku, anak kucing tadi benar-benar memiliki dua kepala dan tiga mata, bukan dua tubuh yang saling menempel seperti kembar siam."
Dylan bergeming, tidak tahu bagaimana harus merespons. Chloe merasakan ketakutan yang luar biasa, berharap dirinya dan Dylan segera terbangun dari mimpi buruk ini. Kota mati dan anak kucing berwajah cacat adalah kombinasi yang sangat mengerikan hingga berhasil membuat bulu kuduknya berdiri. Ralat, bahkan kata 'mengerikan' saja tidak cukup untuk mendeskripsikannya.
Di persimpangan jalan, terdapat jajaran ruko-ruko pertokoan yang sepi, salah satunya adalah minimarket. Kedua remaja itu berhenti menggerakan tungkainya dan mengamati bangunan itu.
"Lupakan soal anak kucing tadi dan kita cari cadangan makanan terlebih dahulu!" ajak Dylan.
Kedua remaja itu melangkah menuju pintu minimarket yang rupanya tersegel oleh rantai dan gembok yang sudah berkarat. Dylan meraih gembok, mengaliri Partikel 201X ke sana, memperparah karat yang melapisi permukaan besi. Hanya dengan satu tarikan keras, benda itu rusak, menghasilkan bunyi yang cukup nyaring.
Ketika pintu telah terbuka, Dylan langsung berjalan menuju rak camilan. Namun, langkah Chloe terhenti di depan kasir. Atensinya tertuju pada majalah-majalah yang telah tertutup oleh debu. Beberapa lembarannya telah menguning. Gadis itu mengambil salah satu majalah bisnis, kemudian membuka dan membaca lembar demi lembar. Di dalam minimarket pun tidak ada listrik, sehingga Chloe harus menyesuaikan kedua matanya dengan pencahayaan seadanya.
"Chloe! Kau ingin makan apa? Ramen? Waffle instan?" teriak Dylan dari arah rak makanan. Suaranya bergaung hingga ke seluruh penjuru minimarket.
Chloe tidak menggubris. Dahinya berkerut ketika membaca tanggal rilis majalah yang ada di tangannya.
Forbes Edisi Mei 2022
"What the hell? 2022? Kita sudah pergi selama itu?" gumam Chloe. Gadis itu mengecek media cetak yang lain. Kali ini, ia mengambil salah satu surat kabar. Kedua netranya membola ketika membaca berita utama di halaman pertama.
"Chloe?" Dylan berjalan menghampiri gadis itu dengan ramen dan waffle instan di tangannya. "Hei, kau tidak menjawab pertanyaanku!"
Kedua tangan Chloe bergetar hebat, perlahan ia menoleh ke arah Dylan. "Jangan makan apa pun di sini. Mungkin semuanya sudah kedaluwarsa."
"What?" Dylan mengernyit, menuntut jawaban sekarang juga. Namun, gadis itu tidak menjawabnya. Merasakan ada yang salah dengan tatapan Chloe, pemuda itu meletakkan makanan yang dibawanya di atas meja kasir dan merebut surat kabar yang ada di tangan sang kekasih, lalu membaca judul berita di halaman depan.
[Beberapa Kota di Nevada dan California Dikategorikan Sebagai Zona Merah Radioaktif]
"Red zone? What's that mean?" tanya Dylan, dirinya membuka lembaran-lembaran lain.
"Perang nuklir itu," ucap Chloe dengan suara bergetar, "We're too late, Dylan."
"No, no, don't say that!" ucap Dylan cepat sambil menggeleng pelan.
"Lihatlah judul yang lain," ucap Chloe.
Dylan menurut. Kedua netranya membola ketika membaca judul berita yang berada tepat di bawahnya.
[Washington DC dan New York Kolaps Akibat Serangan Nuklir]
"Ini bercanda, 'kan?" Dylan mencoba menenangkan diri sendiri, tetapi gagal. Kedua telapak tangannya mulai licin akibat keringat dingin. Dengan cepat ia membolak-balik lembaran surat kabar itu dan mencari berita lain. "Ini pasti April Mop! Atau kita terjebak di dunia virtual dan seseorang sedang menguji kita! Atau kita sedang berada di dunia paralel--"
"Dylan!" seru Chloe, menghentikan ucapan pemuda berambut cokelat itu.
Dylan menggigit bibirnya, kemudian mendongak ke arah sang kekasih. Ia menggeleng pelan, berusaha menyangkal fakta yang baru saja diterimanya, meskipun hati kecilnya tahu bahwa hal buruk itu benar-benar terjadi.
Dengan kedua netra yang berkaca-kaca dan bibir yang bergetar, Chloe melanjutkan perkataannya. "Apa ada alasan lain mengapa kota ini kosong dan mengapa anak kucing yang kita temui tadi mengalami mutasi genetik?"
Dukung Avenir: Redemption dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
12 Juni 2021
*****
Oh no, oh no, oh no no no no no😱
Siapa yang kemaren tebakannya bener, ngacung!
Sampai jumpa minggu depan, selamat bertegang-tegang ria!🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top