2-2 | Forgotten
"Jika kau mati, semua orang akan mengingatmu, tetapi tidak jika kau menghilang begitu saja dari bumi. Semua orang akan melupakanmu."
Dylan membuka pintu Mercedez-Benz hitam milik Theo Wilder yang terparkir di depan Moorevale High School, lalu masuk ke dalam dan duduk di bangku pengemudi, diikuti oleh Chloe di bangku penumpang depan. Keduanya duduk bersandar sambil menghela napas berat.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Chloe pasrah.
"Apa kekuatanku benar-benar sudah hilang?" Dylan menekuk wajah.
"I don't know, tapi kau masih bisa menyalakan lilin ulang tahun yang kutiup tadi pagi, 'kan?" tanya Chloe.
Dylan tidak mengindahkan, ia membuka laci dashboard mobil di depan Chloe, mencari-cari sesuatu.
"Apa yang kau cari?" tanya Chloe bingung.
Dari dalam sana, Dylan mengambil kacamata hitam Dolce & Gabbana, kemudian mengamati detail-detailnya, seperti hiasan kristal swarovski yang berkilauan di frame-nya.
Chloe mengernyit, kemudian bertanya, "Apa yang akan kau--"
CTAK! Dylan mematahkan kacamata itu menjadi dua, membuat bola mata Chloe membulat seketika.
"What the hell? Kau merusak kacamata hitam limited edition milik ibuku? Kau tahu berapa harga benda itu?" pekiknya panik.
"Relax! Mrs. Wilder bahkan tidak ada di sini," ucap Dylan cepat. Pemuda itu mengeluarkan cahaya kebiruan dari tangannya, kemudian mengaliri Partikel 201X ke benda itu. Dalam sekejap, frame kacamata yang sudah terbelah kini menjadi utuh kembali.
"Kau ... memperbaikinya?" tanya Chloe.
"Yeah." Dylan mengembalikan benda itu ke dalam laci dashboard. "Aku bisa memperbaikinya, aku juga bisa menyalakan kembali lilin yang sudah ditiup. Itu artinya, aku masih bisa memutar balik waktu. Kekuatanku masih berfungsi."
"Tapi kenapa kau tidak bisa membawa kita kembali ke dunia nyata?"
"No idea." Dylan mengembuskan napas berat. Ia mengambil kunci dan menyalakan mesin mobil. "Kita coba lagi besok, dengan cara lain dan tempat yang berbeda."
Keduanya berkendara kembali ke mansion keluarga Wilder. Siang berganti malam dengan sangat cepat, begitu pula energi mereka yang entah mengapa sangat cepat terkuras.
*****
Beberapa belas malam berlalu. Setiap harinya, Dylan dan Chloe selalu mencoba untuk pulang ke dunia nyata. Namun nihil, hasilnya tetap sama, Partikel 201X di dalam tubuh Dylan enggan diajak bekerja sama. Pada akhirnya, benda kecil itu selalu menyakiti mereka berdua.
Kali ini, mereka mencobanya di ruang keluarga mansion keluarga Wilder. Chloe lagi-lagi memekik ketika Partikel 201X memberinya sengatan listrik yang cukup hebat. Gadis itu melepas tautan jarinya dari Dylan, lalu menatap telapak tangannya yang berdenyut nyeri.
"Sorry. Kau baik-baik saja?" Dylan meraih lengan Chloe, mengamati permukaan kulit gadis itu.
"Ini sengatan listrik terbesar yang kurasakan, sampai-sampai tanganku terasa terbakar," lirih Chloe. Gadis itu mengusap matanya yang memburam akibat air mata, tak kuasa menahan perih.
"We have to stop this," tegas Dylan.
"No way!" Chloe menggeleng. "Bagaimana jika kita terjebak di sini selamanya?"
"Partikel ini melukai kita berdua! Dengar, kita sudah mencoba berbagai cara, bahkan seluruh kombinasi variabel yang memungkinkan sudah kita coba, tetapi benda kecil ini tidak pernah membiarkan kita pulang!" balas Dylan. Pemuda itu berjalan menjauh.
"Lalu kau akan menyerah begitu saja?" tanya Chloe.
"Lalu kita harus bagaimana?" tanya Dylan dengan nada tinggi. Ia berbalik menghadap Chloe.
"Kita pikirkan cara lain!"
Dylan mendesah pelan. "There's no other way. Hanya aku yang bisa membawamu keluar dan masuk dari sini."
Chloe menggigit bibir, menunduk dan mengusap wajahnya kasar, kemudian mendaratkan bokongnya di sofa, diikuti oleh Dylan. Kedua remaja itu diliputi keheningan yang panjang.
"This is my fault," lirih Chloe, "bagaimana jika kita benar-benar tidak bisa pulang?"
Dylan mengernyit. "What?"
"Bisa saja partikel itu tidak mengizinkan kita pulang karena kita sudah terlalu lama berada di sini?"
"Itu tidak masuk akal. Untuk apa Partikel 201X melakukan itu?"
"No idea. Seandainya aku tidak membuat bucket list itu dan membuat kita berlama-lama di sini," jawab Chloe dengan suara pelan. "I'm so sorry, Dylan, aku menyeretmu ke dalam masalah ini."
Dylan bergeming sesaat. "Aku pernah terjebak di sini selama delapan bulan dan kembali ke dunia nyata, ingat? Mungkin ini bukan sepenuhnya salah bucket list-mu." Pemuda itu menatap lekat netra Chloe. "Lagi pula, aku yang mengajakmu ke sini. Ini salahku juga."
"Oke, oke" lirih Chloe. Kemudian ia menunduk, memejamkan kedua netra dan menghela napas.
"Listen. Kita sudah mencoba untuk pulang belasan kali hari ini, dan kita butuh menjernihkan pikiran. Jadi, berhenti berpikir bahwa semua ini salahmu, oke?" ucap Dylan, berusaha menenangkan Chloe.
Chloe mengangguk setuju, bergeming sesaat. "Maaf, pikiranku juga sedang kacau."
Dylan mengedikkan bahu. "Kita berdua sama-sama sedang kacau, 'kan?"
Chloe melirik jendela, diikuti oleh Dylan. Benar saja, rasanya baru beberapa jam yang lalu sang surya terbangun untuk menyapa semesta. Namun, kini rembulan telah menggantikannya, langit Kota Moorevale dalam dunia portal telah menggelap secara keseluruhan.
"Anomali waktu yang menyebalkan. Di sini hari cepat sekali berlalu," respons Dylan.
"Tidurlah dan beristirahat," ucap Chloe. Gadis itu beranjak dan pergi meninggalkan Dylan.
Dengan refleks Dylan bangkit dan berjalan mengikuti Chloe. "Kau mau aku menemanimu? Atau--"
"No." Chloe menggeleng, membuat langkah Dylan terhenti. "Suasana hatiku sedang kacau dan aku ingin sendirian malam ini." Lalu gadis itu menaiki tangga untuk pergi ke kamarnya.
Setelah derap langkah kaki Chloe memudar, Dylan mendesah pelan. "Well, kurasa aku akan tidur di kamar tamu saja." Pemuda itu bermonolog, kemudian melangkah menuju kamar tamu Keluarga Wilder, memutuskan untuk membiarkan Chloe sendirian dan berdamai dengan pikirannya yang kacau.
*****
Beberapa malam berlalu, Chloe memiliki hobi baru yang cukup membuat Dylan kesal; menghilang secara tiba-tiba. Terlebih lagi, kediaman Keluarga Wilder sangat luas dan memiliki banyak ruangan. Untuk mencari Chloe saja, Dylan seperti menjelajahi labirin di Maze Runner, minus kehadiran Griever, monster yang menjaga tempat itu.
Pagi ini, pemuda itu berkeliling mansion untuk mencari keberadaan Chloe. Pada akhirnya, Dylan samar-samar mendengar erangan Chloe di salah satu ruangan lantai satu. Pemuda itu berjalan ke arah sumber suara dan mengintip dari balik celah pintu yang terbuka. Di dalam ruangan tidak berfurnitur yang lantainya beralaskan matras itu, dirinya melihat Chloe mengenakan sport bra dan legging, dilengkapi sarung tinju. Rambut panjangnya dikuncir menjadi satu dengan peluh membanjiri dahinya. Gadis itu menendang samsak berbentuk manusia berkali-kali.
Dylan membuka pintu, menghasilkan suara decitan halus yang mengalihkan perhatian Chloe. "There you are," ucapnya.
Setelah meliriknya sekilas, gadis itu kembali menaruh atensi pada samsak di hadapannya. Ia meninju bagian perut manusia buatan itu dengan tangan kanannya, kemudian berputar searah jarum jam dan melayangkan high kick ke bagian kepala. Samsak buatan itu terhuyung ke samping, tetapi dengan cepat bangun kembali layaknya manusia yang tidak bisa merasakan sakit.
Dylan mengamati fitur-fitur gadis itu tanpa berkedip."Looking good."
"My sport bra?" tanya Chloe sambil mengernyit.
Dylan buru-buru mengoreksi ucapannya. "Maksudku, tendanganmu."
Chloe tidak mengindahkan, masih asyik menghajar samsak dengan pukulan bertubi-tubi. Semakin lama, tinju Chloe semakin kencang, hingga ia kesulitan mengatur napas. Akibat tidak adanya respons, Dylan berjalan mendekat, kemudian meraih lengan gadis itu, menghentikannya untuk kembali melayangkan pukulan.
"Ini sudah berhari-hari sejak kita berhenti mencoba untuk pulang dan kau masih merasa kesal?" tanya Dylan. "Sudah kubilang itu bukan salahmu."
"I know." Chloe melepas sarung tinju dan melemparnya kasar ke sembarang arah, kemudian menjatuhkan diri ke atas matras dan duduk dengan berselonjor kaki. "Seharusnya kita tidak perlu merisaukan hal-hal yang berada di luar kendali kita, tapi ini sungguh menggangguku. Aku tidak bisa tidur tadi malam. I mean, aku harus pulang secepatnya!"
"Me either." Dylan mengambil posisi duduk di hadapan Chloe. "Tapi ... kau siap dengan hal terburuk yang bisa saja terjadi?" Ia menatap lekat kedua netra gadis itu. "Bahwa kita akan terjebak di dalam sini? Selamanya?"
"Jujur saja, itu sulit untuk diterima." Chloe mendesah pelan. "Aku tidak ingin tinggal di sini selamanya." Gadis itu mengalihkan pandangan dari Dylan. "I mean, bagaimana Mom dan Kelsey? Bagaimana dengan sekolahku, kehidupanku di dunia nyata?"
"Neither I am. Meskipun aku senang menghabiskan waktu bersamamu."
Chloe terkekeh hambar sambil memutar bola mata. "Simpan kata-kata manismu sampai kita berhasil pulang, Romeo."
Keheningan canggung meliputi mereka. Dylan mengalihkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, kemudian kembali membuka percakapan. "Ketika kau kesal, ini yang kau lakukan untuk membuat perasaanmu membaik?"
"Dulu aku benci taekwondo." Chloe bercerita. "Karena aku diharuskan untuk menendang samsak dan papan kayu berkali-kali tanpa mengetahui apa maknanya, hingga aku dipaksa berlatih bersama Quentin dan harus menghadapi bahaya yang sesungguhnya di Portland. Aku benci merasa tidak berdaya seperti waktu itu." Gadis itu melirik samsak di hadapannya. "Tiba-tiba saja aku ingin menendang sesuatu untuk melampiaskan rasa kesalku, dan hasilnya mengejutkan." Kemudian ia melirik Dylan sambil melempar senyum. "Adrenalinku terpacu, aku merasa lebih bebas dan tenang."
"Yeah, Quentin benar-benar melatihmu sebagai senjata hidup." Dylan terkekeh.
Chloe menoleh ke arah sang kekasih. "Menurutmu, apakah ia penasaran ke mana kita pergi?"
"I don't know." Dylan mengedikkan bahu. "Kurasa ia tidak peduli jika aku menghilang. Maksudku, Quentin pasti membenciku sama seperti ia membenci ayahku. Pemuda itu juga tidak pernah membalas surelmu, 'kan?"
Mendengarnya, Chloe menunduk. Lagi-lagi, keheningan meliputi kedua remaja itu.
"I'm sorry. Kau benar-benar merindukannya?" tanya Dylan.
Chloe mengangguk pelan. "Dia sudah seperti kakakku sendiri dan aku benar-benar khawatir pada kesehatan mentalnya. Maksudku ... ia benar-benar menyayangi Prof. Ryouta dan hanya ilmuwan itu satu-satunya keluarga yang dipunyainya."
Dylan bergeming sesaat, rasa bersalahnya kembali datang. Pemuda itu mendesah pelan sambil menyugar rambutnya.
"Aku penasaran sudah berapa lama kita pergi. Apa Quentin tahu kita menghilang? Apakah ia akan mencari kita? Atau seperti yang kau bilang ... ia akan melupakan kita begitu saja?" Chloe bertanya-tanya. "Apa kau pernah membayangkan jika dirimu menghilang begitu saja dari bumi dan semua orang melupakan kehadiranmu?"
Dylan menggeleng. "Itu lebih mengerikan dari kematian, dan aku bahkan tidak ingin membayangkannya. Jika kau mati, semua orang akan mengingatmu, tetapi tidak jika kau menghilang begitu saja dari bumi. Semua orang akan melupakanmu, menganggapmu tidak pernah ada."
"Aku penasaran apakah Dad akan mencariku?" Chloe tertawa getir. "Kurasa tidak."
"Hei. Berhentilah berpikir hal-hal yang membuat suasana hatimu semakin buruk." Dylan meraih lengan gadis di hadapannya, kemudian mengelus punggung tangan Chloe lembut. "Kita pasti bisa pulang. Kita akan mencobanya lagi kapan-kapan."
"Bagaimana jika hal buruk terjadi? Bagaimana jika partikel itu justru membunuhmu?"
Dylan mengedikan bahu. "Well, partikel ini pernah berusaha membunuhku beberapa kali, tetapi itu tidak terjadi, 'kan?"
"Yeah, mungkin kau terlalu narsis untuk mati secepat itu," ucap Chloe sambil menyeringai.
"I know, right." Dylan terkekeh. Ia mengambil sepasang sarung tinju milik Chloe di lantai, kemudian beranjak sambil memakainya. "Sekarang, berhentilah memikirkan hal-hal buruk dan bisa ajari aku berduel menggunakan benda ini?"
Chloe beranjak, kemudian berdiri sambil memasang kuda-kuda. "Ikuti gerakanku!"
Dylan meletakkan kaki kirinya di depan dengan kedua tangan terkepal, persis seperti kuda-kuda yang didemonstrasikan Chloe, kemudian mengangguk.
"Perfect," ucap Chloe. "Hit me!"
Dylan menggunakan tangan kanannya untuk meninju Chloe, tetapi dengan cepat gadis itu menunduk dan melindungi kepala di balik kedua tangannya yang terkepal. Pukulan Dylan mengenai lengan gadis itu.
"Maaf, apa itu sakit?" tanya Dylan.
"Pukul lebih keras!" perintah Chloe.
"B-bagaimana jika aku melukaimu?" jawab Dylan.
"Pukul aku atau aku yang akan memukulmu!" desak Chloe.
Karena panik, Dylan menurut. Ia memberikan tinjunya beberapa kali, tetapi Chloe selalu bisa menahannya. Sayang, akibat bobot sarung tinju yang membebani tangannya, Dylan tidak bisa memukul secepat dan sekeras yang diharapkannya. Namun, lama kelamaan Dylan mulai terbiasa melakukan serangan.
"Tidak buruk untuk seorang pemula," puji Chloe. "Mau berduel sungguhan denganku?"
"Sounds fun! Pecundang yang kalah harus memasak makan malam!" jawab Dylan penuh percaya diri.
Chloe menyeringai. "Mari kita lihat."
Kali ini, giliran Chloe menyerang balik. Gadis itu meninju sisi kiri tubuh Dylan, tetapi pemuda itu berhasil menangkisnya dengan gesit. Lagi, Chloe memberikan tendangan ke panggul kiri Dylan, tetapi gagal. Pemuda itu malah menangkap kaki Chloe, kemudian menarik tubuh gadis itu mendekat. Ketika Chloe lengah dan tidak sanggup menahan keseimbangan tubuhnya sendiri, Dylan melingkarkan lengan di tubuh Chloe, kemudian mendorongnya. Gadis itu terjatuh dalam posisi punggung beradu dengan matras dengan Dylan yang berada di atasnya.
Dylan sedikit menegakkan tubuh dengan seringai di wajahnya. "Kau terjatuh! Aku menang!"
Chloe tidak menjawab. Keduanya saling bertukar pandangan, keheningan panjang meliputi mereka. Gadis itu melingkarkan kedua tangannya di leher Dylan dan perlahan mengelus permukaan kulitnya, seketika membuat kedua pipi pemuda itu memanas.
Aku menang. Aku pantas mendapatkan sebuah ciuman, 'kan?
Gadis itu perlahan menariknya mendekat. Ketika Dylan memejamkan kedua netra dan bersiap menerima ciuman, Chloe turut melingkarkan kedua kakinya di tubuh Dylan, lalu memutar balik badannya sambil mengerang. Sejurus kemudian, posisi mereka berbalik. Kini, Dylan-lah yang berada di bawah Chloe. Ia tidak dapat menggerakan tubuh akibat kuncian kedua kaki Chloe.
"Kau yakin?" tanya Chloe sambil menyeringai. Gadis itu meninju area matras di sebelah kepala Dylan, membuat pemuda itu refleks menghindar sambil memejamkan kedua netranya rapat-rapat.
Sel-sel otak Dylan kesulitan mencerna apa yang baru saja dialaminya. Malu dan kesal bercampur menjadi satu. Rasanya ingin menghilang saja dari hadapan Chloe akibat kesalahpahaman yang baru saja dialaminya. Chloe terkekeh ketika melihat ekspresi wajah pemuda itu.
"Not today, Grayson. I don't want to kiss a loser." Gadis itu beranjak, membuka kuncian yang menahan pergerakan tubuh Dylan, kemudian berjalan menjauh dari pemuda itu.
"W-wait! That's not fair!" cicit Dylan sambil menegakkan tubuh. Pandangannya mengikuti ke mana gadis itu melangkah. "Dari mana kau punya ide untuk menipuku seperti tadi?"
Chloe mengambil handuk kecil dari dalam lemari yang berada di sudut ruangan, kemudian menoleh ke arah Dylan sambil menyeka peluh di dahinya. "Selalu buat lawanmu lengah, itu yang Quentin ajarkan padaku," jawabnya sambil terkekeh. "Sesuai dengan apa yang kau katakan, pecundang harus memasak makan malam."
"Yeah, whatever," sungut Dylan sambil melepas sarung tinju, kemudian melemparnya ke sembarang arah karena kesal.
Dylan dan Chloe berdiam diri, duduk berselonjor kaki di atas matras sambil mendinginkan tubuh. Setelah keringat mereka mengering, keduanya pergi meninggalkan ruangan.
"Tadi itu lumayan menyenangkan. Jadikan aku muridmu!" seru Dylan sambil berjalan di samping Chloe.
"Oke. Kita akan berlatih setiap tiga malam sekali, tapi jangan harap aku akan bersikap lembut padamu," jawab Chloe santai.
Dylan merengut. "Aku tarik kembali kata-kataku."
"No, no, no. Kita akan berlatih setiap tiga malam sekali. End of discussion."
Dukung Avenir: Redemption dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
28 Mei 2021
*****
Part ini juga panjaaaaang (buat nebus dosa huehuehue)😅
Mulai Juni, Insya Allah Avenir: Redemption bakalan update normal kayak biasa seminggu sekali, ya!
Yuk tebak-tebakan! Setelah rutin latihan bela diri sama Chloe, Dylan bakalan makin jago, atau makin bonyok ya?🙂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top