2-16 | Anemia

"Dan aku harus segera mencari pekerjaan."

Beberapa hari berlalu. Sesuai arahan dr. Valentine, Dylan dan Chloe menjalani medical check up. Prosedur yang dilakukan kurang lebih sama seperti sebelumnya, hanya ditambah pengambilan sampel darah dan pemeriksaan di beberapa bagian tubuh untuk deteksi dini penyakit-penyakit berbahaya seperti kanker atau tumor. Hasil laboratorium keluar lebih lama, sehingga wanita itu meminta Dylan dan Chloe beraktivitas seperti biasa dan tidak perlu menunggu hasil di hari yang sama.

Pada akhirnya, hasil laboratorium keluar. Setelah makan siang, dr. Valentine memanggil dua remaja itu dan menjelaskan hasil pemeriksaan yang mereka jalani beberapa hari sebelumnya. Chloe sudah lebih dulu diberitahu hasilnya dan menunggu di luar klinik, sedangkan Dylan kini sedang berjalan menelusuri koridor menuju ruang praktek dr. Valentine.

Rumah susun tempat di mana Dylan dan Chloe menetap memiliki klinik di lantai paling bawah. Jika dilihat dari luar, banyak orang akan mengira bahwa area ini hanya klinik biasa. Namun, jika seseorang memasukinya, ia akan sadar bahwa fasilitas kesehatan di tempat ini tidak sesempit kelihatannya.

Pemuda berambut cokelat itu sampai di lokasi tujuan. Ia membuka pintu, mengintip sedikit dan melihat dr. Valentine duduk di meja prakteknya sambil merapikan berkas-berkas di tangannya.

"Hi, Dylan. Come in!" sapa wanita itu dengan senyum yang merekah.

Dylan balas tersenyum. Ia masuk, menutup pintu, kemudian melangkah mendekati wanita itu dan duduk di hadapannya. Pemuda itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ruangan praktek tempat di mana dirinya berada sekarang terlihat steril dan elegan. Sebagian besar furnitur berwarna putih dengan aksen hitam dan stainless steel. Tidak tercium aroma obat-obatan yang menyengat, membuat Dylan merasa tenang dan damai.

"How it is going?" tanya dokter perempuan itu.

"Fine, I guess." Dylan mengedikkan bahu. "Jadi ... bagaimana hasil pemeriksaan laboratoriumnya?"

"Apa kau sering merasa pusing, lelah, atau mengantuk?" tanya wanita berambut ikal itu sambil membaca berkas di tangannya.

"Yeah." Dylan mengangguk. "Mengkin karena aku tidur lebih banyak dari sebelumnya."

"Berdasarkan hasil pemeriksaan, ternyata kau terkena anemia, Dylan. Itu sebabnya kau sering merasa pusing dan mudah kelelahan," ujar dr. Valentine ketika ia mengalihkan pandangan pada Dylan.

"Anemia?"

"Bukan sesuatu yang harus kau khawatirkan secara berlebihan. Relax. Kau hanya perlu mengonsumsi makanan kaya zat besi dan vitamin B12."

"Dan apa itu?"

"Daging merah? Seafood? Sayuran hijau? Banyak pilihan yang bisa kau konsumsi." Wanita itu kemudian mengembuskan napas pelan. "Ya, aku tahu di saat-saat seperti ini kau tidak mungkin secara khusus meminta juru masak di rumah susun ini untuk membuatkanmu masakan dengan bahan-bahan baku tersebut. Mereka mamasak untuk semua orang berdasarkan suplai bahan makanan yang tersedia. Namun, aku ingin kau tetap menjaga pola makanmu."

Kemudian wanita itu menuliskan sesuatu yang tidak Dylan mengerti di selembar kertas kecil. "Dibantu dengan pemberian suplemen penambah darah, keadaanmu akan segera membaik." Setelahnya, dr. Valentine menyerahkan kertas itu pada pemuda di hadapannya. "Kau bisa memberikan resep ini di kounter obat, tepat di ujung koridor klinik ini."

Dylan panik. "Oh, no. Apakah aku harus membayar untuk suplemen itu? Aku tidak punya pekerjaan."

"Ya, hanya sebagian. Suplemen ini sudah disubsidi."

"Oh ... oke." Dylan mengembuskan napas lega, lalu menerima kertas kecil itu. Mungkin Nancy tidak akan keberatan jika pemuda itu meminta sedikit uang padanya. "Thanks, Doc." Ia tersenyum.

dr. Valentine menutup map berkas-berkas di tangannya, kemudian meletakkanya di atas meja. "Selain anemia, tidak ada hal lain yang harus kau khawatirkan, juga tidak ada tanda-tanda penyakit serius di masa depan. Kau dan Chloe memiliki daya tahan tubuh yang sangat bagus."

"Benarkah?"

"Yeah." Sang dokter mendesah pelan, kemudian menunduk. "Aku sangat khawatir pada kondisi penyintas di rumah susun ini. Beberapa minggu ini, ada beberapa penyintas yang datang ke klinik dengan berbagai keluhan. Dan ketika kami memeriksanya ...." Wanita itu menjeda perkataannya. "Kanker, gangguan pada sumsum tulang. Ada juga wanita yang mengalami gangguan kehamilan."

Dylan tertegun, kemudian berbicara lirih. "Apa itu semua karena ...."

"Karena paparan radiasi nuklir dua tahun yang lalu." dr. Valentine mengangguk. "Para penyintas itu baru merasakan efek sampingnya sekarang. Pada saat itulah aku teringat kau dan Chloe."

"Itu sebabnya kau meminta kami untuk menjalani medical check up?" tanya Dylan.

dr. Valentine mengangguk. "Mereka adalah orang-orang yang datang ke sini sekitar satu setengah tahun yang lalu. Itu artinya mereka terpapar radiasi lebih sebentar jika dibandingkan kau dan Chloe. Jika mereka saja tetap merasakan efek sampingnya, kau dan Chloe bisa saja mengalami hal yang lebih parah dari itu, mengingat kalian berdua berdiam diri di zona kuning selama dua tahun, jauh lebih lama dari mereka."

"Thanks, Doc, tapi kau tidak perlu khawatir. Aku dan Chloe hanya berkendara beberapa jam saja di zona kuning."

dr. Valentine mengernyit. "Kukira kau berasal dari Kota Moorevale, Nevada? Itu kota yang dikategorikan sebagai zona kuning, 'kan?"

"Yeah! Tapi ...." Dylan menghentikan perkataannya sejenak, berusaha memutar otak agar tidak membeberkan rahasia dunia portal pada orang lain. "Aku berada di tempat lain selama dua tahun itu, suatu tempat yang bukan zona kuning."

"Apakah tempat itu dikategorikan sebagai zona hijau?" tanya wanita itu lagi.

"Technically, yes." Dylan mengangguk cepat. "Aku sangat jauh dari area beradiasi nuklir sebelum berkendara di zona kuning, jadi wajar saja jika tubuhku sangat sehat ketika kita pertama bertemu."

dr. Valentine menatap intens kedua netra pemuda di hadapannya. Ia bergeming sesaat, kemudian mengangguk. "Fine."

"I really appreciate that. But don't worry, I'm totally healthy," ucap Dylan.

"Okay, kalau begitu aku tidak perlu khawatir lagi." Wanita itu tersenyum hangat. "Tapi jika kau merasakan sakit, sekecil apa pun, aku ingin kau mengunjungiku lagi di sini."

"Kuharap itu tidak akan terjadi." Buru-buru Dylan mengoreksi ucapannya. "No offence, maksudku ... semoga aku tidak sakit dan semoga kita bertemu lagi di suatu tempat selain klinik ini."

Mendengarnya, dr. Valentine tertawa pelan. "I know. Aku juga berharap demikian." Wanita itu berdiri, masih tersenyum. "Kau sudah boleh kembali ke kamarmu. Jangan lupa tebus resep suplemen penambah darah di kounter obat."

 "Well noted." Dylan turut beranjak dari kursinya. "Thank you, Doc," ucapnya sebelum berbalik dan berjalan menuju pintu keluar.

"Keep healthy, Dylan," ucap dr. Valentine untuk yang terakhir kali.

Terdengar pintu ruang praktek tertutup, Dylan sudah keluar dari dalam ruangan. dr. Valentine kembali duduk di mejanya, lalu mengembuskan napas berat. Banyak hal yang terasa mengganjal di kepalanya.

Dylan turut mengembuskan napas berat dan bersandar di sisi lain pintu ruang praktek. Ia menggaruk kasar kepala belakangnya yang tidak gatal. "Seharusnya aku tidak perlu menjalani medical check up," gerutunya pelan, kemudian ia melirik kertas kecil di tangannya. "Dan aku harus segera mencari pekerjaan."

Pemuda itu berdiri di depan pintu selama beberapa saat. Dua perawat wanita berusia sekitar tiga puluh tahunan melintas di depannya. Samar-samar, pemuda itu dapat mendengar percakapan mereka.

"Bagaimana keadaan wanita yang kemarin itu?" tanya perawat dengan model rambut bob.

"Not good." Perawat wanita bertubuh gempal yang berjalan di sampingnya menggeleng. "Entah berapa lama lagi wanita malang itu akan bertahan."

Pandangan Dylan mengikuti ke mana kedua perawat itu berjalan hingga menghilang di persimpangan koridor klinik. Ia mendesah pelan, merasa prihatin pada wanita malang yang mereka bicarakan, entah apa penyakit yang menimpanya.

"Rupanya benar apa yang dikatakan dr. Valentine ...," gumamnya pelan.

"Hi! Dylan, right?"

Suara perempuan yang memanggil namanya membuyarkan lamunan Dylan. Pemuda itu menoleh, mendapati perempuan berusia sekitar dua puluh lima tahun dengan rambut cokelat panjang dan iris berwarna emerald yang cantik. Ia mengenakan pakaian perawat berwarna hijau kebiruan. Untuk sesaat, Dylan harus mengingat-ngingat terlebih dahulu siapa perempuan yang baru saja menyapanya.

"Hannah?" Dylan balik menyapa. "Teman sekamarnya Chloe?"

Hannah tersenyum dan mengangguk. "Bagaimana hasil medical check up-nya?"

"Tidak ada sesuatu yang serius. dr. Valentine bilang aku terkena anemia, tapi tidak parah," jawab Dylan, sedikit canggung.

"Ah, I see." Hannah mengangguk lagi. "Syukurlah bukan sesuatu yang serius."

"Yeah." Dylan menunjukkan resep yang ada di tangannya. "dr. Valentine juga menyuruhku untuk menebus suplemen di konter obat."

"Kau tahu di mana letak konter obat? Perlu kuantar?"

Dylan menggeleng cepat. "Tidak perlu, dr. Valentine sudah memberitahuku."

"Ah, baiklah," respons Hannah.

Untuk sekian detik, keduanya diliputi keheningan yang canggung. Wajar saja, ini pertama kalinya mereka berdua mengobrol setelah berkenalan di kamar Chloe.

"Um ... boleh aku bertanya sesuatu? Ini soal Chloe." Hannah membuka kembali percakapan.

"Sure." Dylan mengangguk.

Hannah bergeming sesaat, kemudian mendesah pelan. "Sekitar satu minggu yang lalu, Chloe bermimpi buruk, bahkan sampai berkeringat dan berteriak. Ia bahkan mengaku sering histeris ketika terbangun. Aku benar-benar khawatir. Ketika aku memintanya untuk menemui psikolog, ia menolak. Apa kau tahu sesuatu tentang itu?"

Dylan menggigit bibir, harus kembali memutar otak. Tidak mungkin ia berkata jujur bahwa mimpi-mimpi buruk yang Chloe alami disebabkan oleh Partikel 201X, 'kan? "Kurasa ia merindukan keluarganya. Um, aku tidak tahu pasti. Kakaknya yang bernama Quentin masih ada di luar sana, mungkin ia mengkhawatirkannya."

"Ah, rupanya begitu." Hannah mengangguk pelan. "Chloe tidak mau berbicara apa pun padaku, tapi kurasa ia pasti mau terbuka padamu. Jika ia memutuskan untuk bercerita, kau harus menjadi pendengar yang baik untuknya, oke?"

Dylan tersenyum, mengangguk mantap. "Yeah, it's my duty as her boyfriend, right?"

Mendengarnya, Hannah tertawa kecil. "Wow, kau pacar yang sangat berdedikasi." Setelah tawanya mereda, gadis itu tersenyum. "Baiklah kalau begitu, aku harus kembali bekerja. Mungkin kita bisa mengobrol lagi lain kali?"

"Oke," ucap Dylan.

Hannah melangkahkan kedua tungkainya menjauh dari depan ruangan praktek dr. Valentine, hingga menghilang di antara kerumunan perawat lain di koridor. Dylan melirik kertas kecil di tangannya, kemudian mengedarkan pandangan, mencari keberadaan konter obat yang dikatakan dokter berkulit eksotis itu. Senyumnya mengembang ketika menemukan lokasi yang dimaksud. Tanpa keraguan, pemuda itu bergegas menebus resep di tangannya, tidak ingin membuat Chloe menunggu lebih lama lagi di luar klinik.

Dukung Avenir: Redemption dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

26 September 2021

*****

Cerita AVENIR: REDEMPTION karya @natwinchesterrr hanya dipublikasikan di Wattpad. Jika kamu membaca atau menemukan cerita ini selain di Wattpad, maka perangkatmu berkemungkinan besar diserang VIRUS/MALWARE.

Untuk dapat membaca cerita ini dengan aman, silakan menuju: https://www.wattpad.com/story/248819470-avenir-redemption

Atau baca langsung di aplikasi Wattpad

Terima kasih!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top