2-14 | Terror [Part 1]
"Everything will be alright. You have to be strong."
Chloe Wilder berdiri di hadapan sebuah cermin yang menggantung di salah satu sisi dinding kamar mandi. Ia menatap pantulan dirinya di dalam sana. Rambut merah panjangnya dibiarkan tergerai dalam keadaan setengah mengering, busa dari pasta gigi memenuhi mulutnya. Tangan kanannya masih sibuk berkutat dengan sikat gigi berwarna merah muda. Wajahnya secerah matahari pagi ini. Setelah mandi dan menyikat gigi, ia berniat untuk mengunjungi Dylan di kamarnya dan turun untuk sarapan bersama-sama.
Gerakan tangannya terhenti ketika mendengar suara pintu kamar yang bergesekan dengan lantai. Meskipun samar, Chloe dapat mendengarnya dengan baik.
"Hannah?" teriaknya, meskipun tidak terlalu jelas akibat busa di mulutnya.
Pintu tertutup. Hening, tidak ada jawaban dari gadis yang berprofesi sebagai perawat itu.
"Hannah? Kali ini barang apa lagi yang tertinggal?" teriak Chloe lagi.
Masih tidak ada jawaban dari Hannah. Chloe buru-buru membilas busa di mulut dan menyelesaikan kegiatan menyikat giginya. Gadis itu mengelap bibir dengan handuk dan bergegas keluar dari kamar mandi.
Setelah keluar, gadis berambut merah itu mengerjap, menyesuaikan pandangan pada kamar tidur dengan pencahayaan yang sangat minim. Hanya lampu kamar mandilah sumber cahaya yang menerangi sekitar. Entah apa yang Hannah pikirkan. Mengapa gadis itu memasuki kamar tanpa menyalakan lampu terlebih dahulu?
Chloe hendak berjalan menuju saklar lampu, tetapi langkahnya terhenti ketika melihat siluet seseorang bergeming di depan pintu kamar, tak bergerak sedikit pun. Chloe memicingkan mata, sangat sulit mengenali sosok itu dalam kegelapan.
"Hello?" ucapnya pelan.
Sosok itu berjalan mendekat. Mendadak, bulu-bulu halus di tengkuk leher Chloe berdiri. Instingnya berkata bahwa seseorang di hadapannya bukanlah Hannah. Benar saja, ketika lampu kamar mandi merefleksikan cahaya, Chloe melihat seorang pria tanpa rambut dengan luka bakar di seluruh tubuh. Sulit untuk mengenalinya, dikarenakan wajah pria itu sudah rusak parah. Ia berpakaian seperti seorang pasien, tetapi dengan baju yang lebih lusuh dan tidak steril. Dengan bertelanjang kaki, ia terus melangkah, menghasilkan bunyi decitan yang cukup mengganggu ketika permukaan kulitnya bergesekan dengan lantai.
Kedua netra Chloe membulat sempurna, gadis itu memekik sambil berjalan mundur, kemudian meringis ketika tubuhnya beradu dengan permukaan furnitur yang keras, entah apa itu. Barang-barang berjatuhan, menghasilkan bunyi nyaring yang semakin membuat Chloe kalut. Ia meraba-raba sesuatu di lantai, sebuah buku hard cover tebal, kemudian melemparnya ke sosok itu.
Dengan tangkas pria dengan luka bakar itu menangkis buku yang Chloe lempar. Gadis itu kembali menjerit ketika benda tebal itu menabrak tembok dan jatuh ke lantai. Tubuhnya limbung dan nyaris terjatuh. Ia benar-benar kesulitan melihat di dalam kegelapan.
"You can fix this. You could have saved us," desis pria itu.
Suara decitan kembali terdengar, segaris cahaya tampak di antara bingkai dan daun pintu yang terbuka. Sekitar lima manusia dengan kondisi fisik yang sama parahnya berbondong-bondong masuk ke dalam kamar yang sempit itu. Dari dalam kamar mandi juga keluar sekitar lima manusia dengan luka bakar yang sama, entah dari mana datangnya. Bercak darah mengotori pakaian dan bibir mereka. Seorang wanita tua terbatuk-batuk dan memuntahkan darah segar ke lantai.
Melihatnya, Chloe berteriak semakin histeris. Bau anyir darah bercampur dengan aroma tengik lainnya. Ia menjatuhkan diri ke lantai, lalu menekuk kedua kaki yang bergetar hebat. Kedua tangannya terkepal di hadapan wajah, membentuk semacam perisai untuk melindungi diri.
"No! Go away! Leave me alone!" jeritnya.
Kerumunan manusia itu berjalan mendekat sambil berdesak-desakan. Belasan tangan terulur ke depan, seolah-olah ingin membawa Chloe pergi bersama mereka. Ketika posisinya sudah sangat dekat, Chloe menangkis tangan-tangan itu dengan kasar. Napasnya memburu, rasa takut sekaligus panik bercampur menjadi satu.
"You can fix this. You could have saved us."
Erangan kesakitan, jeritan putus asa, semuanya bercampur, saling susul menyusul dan menusuk indra pendengaran Chloe. Mereka mengucapkan kata-kata yang sama, berulang kali hingga gadis itu muak. Salah satu dari mereka berhasil mencengkeram lengan Chloe dengan kasar, menancapkan kuku-kuku panjangnya di kulit mulus gadis itu. Ia meringis, kristal bening membanjiri pipi, mulutnya bergetar hebat.
"Chloe!"
Chloe membuka kedua netranya cepat. Napasnya memburu, dengan cepat ia menoleh kanan kiri, menyadari bahwa kini dirinya sedang berbaring di ranjang bagian atas. Gadis itu masih berada di kamar yang sama, tetapi dengan pencahayaan yang lebih baik, serta tidak ada sekumpulan manusia yang terlihat seperti mayat hidup.
Chloe duduk tegak dan melihat Hannah berdiri di samping ranjang, lengkap dengan pakaian perawat berwarna hijau toska. Teman sekamarnya itu mendongak sambil mengelus-elus lengannya. Kekhawatiran tersirat di wajah gadis berambut cokelat itu.
"You okay?" tanya Hannah. "Kau berkeringat dan mengigau dalam tidurmu."
Chloe mengerjap, kristal bening jatuh dari pelupuk matanya. "I saw them," jawabnya parau.
Kening Hannah berkerut. "Them? Who?"
Chloe mendesah pelan sambil memejamkan mata. "Nevermind. It was just a bad dream."
Hannah tidak merespons. Ia melangkah naik hingga ke anak tangga ranjang bagian tengah, kemudian memeluk Chloe dalam posisi berdiri. "It's okay, it's okay, kau sudah terbangun dari mimpi buruk itu."
Chloe merunduk dan bersandar di bahu Hannah. Gadis perawat itu itu mengelus punggung Chloe pelan, membuat tubuhnya yang semula menegang menjadi rileks. Mereka terdiam dalam posisi yang sama untuk beberapa saat.
Pada akhirnya, Hannah melepas pelukannya. "Sudah merasa lebih baik?"
Chloe tersenyum getir. Ia menatap lekat sepasang iris netra emerald milik teman sekamarnya. Tiba-tiba saja, pening menyerang kepalanya, membuatnya meringis dan dengan refleks menutup mata.
Dalam kegelapan, Chloe berhadapan dengan seorang pria tampan berkepala plontos tanpa alis yang berbaring lemah di atas brankar. Lingkaran hitam menghiasi bawah matanya. Jemarinya bertautan dengan milik Chloe. Bahkan, Chloe dapat merasakan tangan itu bergetar hebat. Rasa sesak menyerang dadanya ketika pria itu menitikkan air mata.
Segala yang ada di hadapan Chloe berputar dan terdistorsi, membuat kepalanya semakin pening. Lingkungan sekitar semakin buram, sehingga Chloe kesulitan mengidentifikasi di mana dirinya berada sekarang. Dalam penglihatan yang singkat itu, Chloe merasakan pria itu memeluk tubuhnya begitu erat, seakan-akan melarang gadis itu untuk pergi.
"Everything will be alright. You have to be strong." Suara bisikan itu bergaung dari segala arah, menusuk indra pendengaran Chloe dan membuat dadanya semakin sesak.
Chloe merasakan seseorang mengguncang tubuhnya cukup keras. Gadis berambut merah itu tersentak, membuka mata dan bergeming sejenak, berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar. Kini, di hadapannya tidak ada lagi ruangan yang gelap atau pria berkepala plontos, tergantikan oleh presensi Hannah Quinn dengan kedua alisnya yang bertaut. Chloe telah kembali ke kamarnya.
"Hey, you okay? Kau benar-benar terlihat tidak sehat." tanya gadis berambut cokelat itu, masih mencengkeram pelan tangan Chloe.
Chloe tidak menjawab, masih merasa sedikit syok dengan penglihatannya. Ia mengerjap beberapa kali, lalu mendesah pelan. Gadis itu menunduk, memijat pelipisnya. Pening yang ia rasakan berangsur-angsur hilang.
"Kau jelas tidak baik-baik saja. Bangun dan pakai jaketmu, aku akan mengantarmu ke klinik!" putus Hannah. Gadis itu menuruni tangga.
"No! Aku hanya bermimpi buruk dan sedikit pusing tadi," ucap Chloe cepat. "Bukan masalah besar, bahkan pening di kepalaku sudah hilang. Aku sudah terbiasa dengan mimpi-mimpi itu."
Hannah mengangkat kedua alisnya. "Kau bahkan sering bermimpi buruk? Chloe, itu hal yang serius. Apa kau tidak mencoba mendatangi seorang psikolog?"
Chloe menggigit bibir, tidak tahu bagaimana harus menjelaskan segalanya pada Hannah. Mau bagaimanapun, selama Partikel 201X menempel di tubuhnya, ia tidak akan terbebas dari mimpi buruk dan penglihatan-penglihatan itu.
"Oke, aku tidak akan memaksamu sekarang, tapi jika kau bermimpi buruk lagi, kau harus benar-benar menemui psikolog," ujar Hannah.
Chloe tersenyum tipis. "I really appreciate your kindness, Hannah, tapi kau tidak perlu khawatir padaku."
"You're my roommate, of course I'm worried about you." Hannah mengambil barang bawaannya dan berjalan cepat menuju pintu. "Baiklah kalau begitu, aku akan bekerja sekarang. Jaga dirimu baik-baik, oke?"
Chloe menjawab dengan anggukan. Baru saja meraih gagang pintu, Hannah kembali menoleh. "Anyway, kemarin dr. Valentine bilang padaku, beliau ingin menemuimu dan Dylan di klinik."
Chloe mengernyit. "Untuk apa?"
"Penyintas yang datang ke sini harus menjalani medical check up selama beberapa kali sebelum dinyatakan benar-benar sehat," jawab Hannah, "termasuk kalian."
"I see." Chloe mengangguk.
"Kau tidak harus melakukannya hari ini. Katakan saja kapan kau siap, aku akan membantumu membuat janji dengan dr. Valentine." Lalu Hannah memutar gagang pintu, keluar dari dalam kamar.
Terdengar suara pintu tertutup. Senyuman Chloe pudar, gadis itu mengembuskan napas berat sambil menekuk wajah, kemudian menyeka peluh di dahinya. Potongan-potongan mimpi dan penglihatan mengerikan itu kembali berputar di kepalanya.
"Astaga, apa yang harus kulakukan?" gumamnya.
Dukung Avenir: Redemption dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
29 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top