2-13 | Threat

"I can take care of myself, Davis."

Pagi ini, Dylan bangun terlambat, sehingga Chloe terpaksa sarapan lebih dulu bersama Hannah, begitu pula dengan Nancy yang tidak ingin terlambat mengajar dikarenakan harus menunggu putra semata wayangnya bangun. Beruntung, Sam bersedia menemani pemuda berambut cokelat itu hingga selesai sarapan, meskipun ia telah selesai menyantap makan paginya sekitar satu jam yang lalu.

Kini, Dylan dan Sam duduk berhadap-hadapan di kafetaria yang sudah sepi. Hampir semua penghuni rumah susun telah meninggalkan meja dan merapikan nampan sarapannya, kecuali Dylan dan sekitar lima orang pemuda seusianya di meja lain.

"Bagaimana kau bisa terlambat sarapan? Sekarang sudah hampir jam setengah sepuluh pagi!" protes Sam.

"Entahlah, aku tidak bisa tidur tadi malam, dan pada akhirnya terlambat bangun," jawab Dylan sambil terburu-buru menyuap mashed potato. "Bahkan Chloe sampai meninggalkanku!"

Sam mendengkus, melipat tangan di atas meja makan. "Aku tidak bisa menyalahkannya. Karena jika terlambat sedikit saja, kafetaria akan penuh dan kau tidak akan mendapatkan meja."

"Tapi sekarang kafetaria sudah sepi!" sungut Dylan sambil mengunyah.

Sam melirik nampan di hadapan Dylan. "Yeah, tapi kau akan kehabisan lauk yang enak, seperti bacon dan telur mata sapi. Lihatlah nampan sarapanmu! Apakah kau akan kenyang hanya dengan memakan mashed potato dan brokoli?"

Dylan mendengkus kesal sambil mengunyah brokoli yang sayangnya direbus terlalu cepat sehingga sayuran tersebut masih keras dan sedikit hambar.

Melihatnya, Sam terkekeh. "Kau butuh kegiatan baru. Mungkin ketika kau masih menjadi murid SMA, jam tidurmu akan teratur dan tidak akan bangun terlambat, tetapi tidak dengan sekarang. Kau tidak bisa menjadi pengangguran selamanya."

"Itulah yang kurencanakan. Aku ingin mencari pekerjaan untuk menambah tabungan milik Mom dan segera membeli rumah baru di negara bagian lain, seperti Wyoming atau South Dakota misalnya?"

"Ya, Wyoming pilihan yang tepat. Di sana didominasi oleh pedesaan dan pegunungan, ditambah lagi negara bagian itu dikategorikan sebagai zona hijau." Sam mengangguk setuju sambil mengelus janggut tipisnya.

"Bagaimana denganmu? Apa kegiatanmu selama menetap di sini?" tanya Dylan sambil menusuk brokoli di atas nampan dengan garpu.

"Aku bekerja secara daring sebagai penerjemah dan editor."

Mendengarnya, Dylan mengernyit, kemudian mendongak. "Tunggu. Sebelum nuklir dijatuhkan, sebenarnya kau berkuliah di jurusan apa?"

"Sastra Inggris."

"Wow, kukira kau akan mengambil jurusan olahraga atau sejenisnya. I mean, kau dewa basket semasa SMA!"

Sam terkekeh pahit. "Yeah, empat tahun adalah waktu yang tidak sebentar. Minat seseorang bisa saja berubah selama kau terjebak di dunia portal."

"I see." Dylan menyuap brokoli terakhirnya, kemudian bicara sambil mengunyah. "Kau mau membantuku mencari pekerjaan?"

"Sure." Sam mengangguk. "Katakan saja kau ingin pekerjaan yang seperti apa."

"Aku tidak punya gelar SMA atau sarjana. Menurutmu, pekerjaan apa yang cocok untukku?" Dylan bertanya.

"Aku yakin setidaknya kau bisa memasak." Sam menoleh ke sebuah area dekat prasmanan, tepatnya open kitchen, tempat di mana banyak pria dan wanita dengan celemek sedang berkutat dengan wajan dan spatula. "Kau bisa menjadi koki."

Dylan mengerutkan hidung sambil menggeleng. "No. Aku pernah hampir membakar rumah Chloe karena lupa mengangkat kue jahe dari oven."

"Dishwasher?"

Dylan menggeleng lagi. "No, gajinya terlalu kecil."

"Perawat? Oh, tidak, kau harus lulus sarjana terlebih dahulu." Sam mengelus dagunya sambil berpikir, kemudian menangkap presensi seorang pria dengan pakaian berwarna biru-hitam dengan pel di kejauhan. "Bagaimana dengan cleaning service?"

"Sam, IPK-ku nyaris 4.0 sebelum menghilang. Aku pantas mendapatkan pekerjaan yang lebih dari itu!" keluh Dylan.

"Tapi kau bahkan tidak lulus SMA!" Sam menimpali. "Oke, kau tertarik dengan sains, 'kan? Bagaimana jika kau bekerja di bagian pertanian?"

Dylan menggeleng cepat. "No, badanku akan gatal-gatal jika terlalu banyak menghabiskan waktu di ladang gandum."

"Petani di fasilitas ini tidak berurusan dengan gandum! Mereka menanam tanaman dengan metode hidroponik!" Sam mulai kesal dengan sahabatnya yang begitu manja.

Dylan bergeming sejenak, terlihat sedang menimbang-nimbang saran dari sahabatnya. "Menarik, aku akan mempertimbangkannya. Kau ada saran lain?"

"Well, kau bisa mengunjungi situs judi online kalau ingin cepat kaya. Dengan otak geniusmu, mungkin kau bisa menggunakan perhitungan matematika untuk mencari peluang menang," sindir Sam.

"Berjudi itu ilegal!" desis Dylan.

Obrolan dua pemuda itu terhenti ketika mendengar sedikit kegaduhan dari arah prasmanan. Di kejauhan, mereka melihat banyak pria-pria kekar dengan kaus hijau army ketat dan rompi anti peluru, lengkap dengan celana lapangan berwarna hitam. Mereka membawa banyak dus dan container berukuran besar, kemudian membawanya secara estafet ke open kitchen.

"Ah, aku nyaris lupa sekarang sudah akhir bulan." Sam mengambil secangkir teh hangat di atas meja, lalu meneguknya. "Sudah waktunya para tentara membawa pasokan makanan untuk kita."

"Mereka selalu melakukannya di akhir bulan?" tanya Dylan.

"Yeah." Sam mengangguk, meletakkan kembali cangkir di atas meja. "Banyak hal-hal rutin yang diadakan di rumah susun ini, seperti medical check-up yang wajib dijalani oleh seluruh penyintas."

"Wow, mereka juga melakukan itu? Secara gratis?"

"Yeah. Mungkin untuk berjaga-jaga. Maksudku ... terpapar radiasi bisa saja menjadi bom waktu. Kita tidak akan pernah tahu penyakit apa yang akan menanti di masa depan, kecuali dengan pengecekan medis, 'kan?"

Dylan mengangguk tanpa beban. Partikel 201X di tubuhnya telah bekerja keras untuk mencegah efek buruk dari paparan radiasi, sehingga ia tidak perlu khawatir akan terkena kanker atau mutasi genetik di masa depan, begitu pula dengan Chloe. Tidak menjalani medical check-up pun rasanya tidak masalah.

"Wait ...." Sam melihat ke suatu titik di kejauhan sambil memicingkan mata. "Arah jam empat darimu, bukankah itu Chloe?"

Dengan cepat Dylan menoleh ke kanan belakang dan mencari presensi kekasihnya. Di kejauhan, ia melihat Chloe sedang berdiri dan bersandar di kolom beton dekat prasmanan, mengobrol berhadap-hadapan dengan seorang tentara muda berambut hitam gondrong. Jarak di antara keduanya cukup dekat, terkadang mereka saling tertawa, entah menertawakan hal-hal konyol atau hanya sekadar basa-basi. Lebih buruknya lagi ... apakah pemuda itu sedang menggoda Chloe?

"Apa-apaan ...," geram Dylan, "Chloe meninggalkanku dan malah asyik mengobrol dengannya?"

"Who's that guy?" tanya Sam.

"Itu Davis, tentara yang membawa kami ke sini," jawab Dylan tanpa memalingkan pandangan, "pria yang cukup baik, tidak kasar, dan ... tidak tampan sama sekali."

Mendengarnya, Sam tertawa. "Are you jealous?"

Dengan cepat Dylan menoleh kembali ke arah sahabatnya, rahangnya mengeras, kedua alisnya bertaut. "No."

"Oh, come on! Ekspresi wajahmu tidak bisa berbohong! Lagi pula, mereka hanya mengobrol!"

"Oke, aku mengaku. Aku sedikit cemburu. Apakah kau tidak pernah cemburu sedikit pun ketika berkencan dengan Abby?" cicit Dylan.

"Tentu aku pernah cemburu, jika seseorang yang menggoda Abby masih melajang. Mungkin saja tentara yang bernama Davis ini sudah menikah?"

"Lihatlah mereka!" sungut Dylan. "Maksudku, jarak mereka!"

Sam kembali menaruh atensi pada Chloe dan Davis di kejauhan. Pemuda berkulit eksotis dengan rambut ikal itu mengerutkan dahi ketika tentara muda itu berdiri semakin dekat dengan Chloe. Mungkin sekitar tiga puluh sentimeter lagi, wajah mereka berdua bisa bersentuhan. Ditambah lagi, Davis memang terlihat sengaja menggoda Chloe.

"Oke, itu terlalu dekat," ucap Sam.

"I know, right?" Dylan masih menekuk wajah dengan alis yang bertaut. "Apa yang harus kulakukan sekarang?"

"Apa yang harus kau lakukan? Tentu saja berbicara dengan Chloe!" jawab Sam, "katakan bahwa kau keberatan jika Chloe mengobrol terlalu dekat dengan Davis."

"Apakah aku akan terlihat seperti pecundang jika berkata hal seperti itu?"

"Tentu saja tidak. Kalian berkencan, dan segala keresahanmu harus diutarakan untuk menghindari konflik yang tidak perlu, 'kan?" Sam menjeda perkataannya, kemudian mengangguk pelan. "Trust me. Aku sudah berpengalaman dalam mengencani seorang gadis."

Dylan bergeming sesaat, kemudian mengangguk meskipun masih merasa kesal. Setelah selesai menyantap sarapannya, ia dan Sam kembali ke kamar masing-masing. Sebenarnya, Dylan ingin sekali menghampiri Chloe di dekat prasmanan, tetapi Davis masih ada di sana, dan dirinya malas berinteraksi dengan tentara muda itu, maka pemuda itu memutuskan untuk mengirimkan pesan saja.

Di sisi lain kafetaria, Chloe masih tertawa mendengar cerita konyol Davis. "That's hilarious. Kukira kehidupan tentara akan datar-datar saja," ujarnya, masih terkekeh.

"I know, right?" balas Davis sambil terkekeh. Ia melipat kedua tangannya di dada.

Seorang tentara berambut cokelat yang umurnya lebih tua terlihat bersusah payah mengangkat dus-dus berukuran besar di kejauhan, kemudian berteriak, "Davis! A little help?"

"Aku akan melaporkanmu jika kau masih bermalas-malasan sambil menggoda seorang gadis!" teriak tentara berkepala plontos di sebelahnya.

"Oh, come on! Aku sudah mengangkat dus-dus itu sebelum kalian!" Davis balas berteriak.

"Kami tidak peduli!" teriak tentara berambut cokelat lagi.

"Fine!" Davis kembali berteriak. Setelahnya, ia kembali menaruh atensi pada Chloe. "Maaf atas ketidaksopanan kolegaku." Tentara muda berambut gondrong itu melirik Chloe, mengusap kepala belakangnya yang tidak gatal, kemudian tersenyum kecil. "Senang mengobrol denganmu, tapi aku harus kembali bekerja."

"Yeah, senang mengobrol denganmu juga." Gadis itu tersenyum. "Kalau begitu aku akan kembali ke kamar." Chloe merogoh saku celananya dan mengeluarkan benda pipih dari dalam sana, kemudian melihat pesan yang tertera di notification bar. "Dylan sudah menghubungiku."

"Oke." Davis mengangguk.

"Um ... soal kakakku ...." Chloe menjeda perkataannya. "Jika kau bertemu dengannya di perbatasan zona kuning, kabari aku, oke?"

"Quentin Ryouta. Pemuda beretnik asia dengan rambut hitam legam dan iris cokelat tua. Lesung pipi di kedua sisi. Got it!" Davis kembali mengangguk. Baru saja Chloe hendak berbalik badan, tentara muda itu kembali berucap, "Kau mau aku mengantarmu?"

Chloe tertawa hambar. "Itu ide yang bagus, jika aku adalah seorang gadis kecil berumur empat tahun yang mungkin akan tersesat di dalam lift."

Davis menyeringai. "Banyak orang jahat yang mungkin akan mengincar gadis secantik kau. Sebaiknya kau berhati-hati."

"I can take care of myself, Davis." Chloe balas menyeringai, kemudian berbalik badan dan pergi meninggalkan kafeteria. Lagi pula, gadis itu tidak yakin apakah ada orang yang lebih jahat daripada ayahnya sendiri.

Sedangkan Davis, kedua netra cokelat terangnya tidak bisa lepas dari punggung Chloe yang perlahan mengecil hingga menghilang di balik pintu kafetaria. Tanpa sadar, kurva lengkung terulas di wajahnya. Ia kembali membantu tentara lain mengangkut bahan-bahan makanan dari dalam truk dan membawanya ke dapur.

Dukung Avenir: Redemption dengan menekan 🌟 di pojok kiri bawah!

22 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top