1-7 | Forgiveness

"Dan segala yang sudah terjadi tak dapat diubah. Itulah takdir, kau tidak perlu menyesalinya. Kau hanya perlu belajar untuk memaafkan dirimu sendiri."

Kematian akan selalu mengikutimu.

"Quentin!"

Quentin membuka kedua netranya, tubuhnya sedikit tersentak. Dadanya sesak, membuat napasnya semakin tak beraturan. Ia menoleh ke kanan dan samar-samar melihat Kim duduk tegak di sampingnya, menatapnya dengan khawatir.

"You had a nightmare. Kau berteriak dalam tidurmu beberapa kali," ucap Kim sambil mengelap keringat di dahi pemuda itu.

Quentin menatap kosong, berusaha mencerna apa yang baru saja dialaminya. Ketika mengedarkan pandangan ke sekitar, pemuda itu menyadari bahwa ia baru saja terbangun dari tidurnya. Malam ini, Quentin berada di apartemen Kim dan semuanya masih baik-baik saja.

Dengan cepat, pemuda keturunan Jepang itu duduk tegak dan memeluk Kim erat. Gadis itu dapat merasakan tubuh Quentin bergetar hebat, diikuti oleh jantungnya yang berdetak tidak karuan. Keringat membanjiri dada dan punggung pemuda itu, suhu tubuhnya pun naik.

"I-I saw my sister die in front of my eyes," bisik Quentin, suaranya bergetar.

"Hey, hey, it's okay, It was just a bad dream." Kim mengelus punggung pemuda itu, berusaha menenangkannya.

Gadis itu membawa Quentin tenggelam dalam pelukannya, membiarkan pemuda itu melepas emosinya terlebih dahulu. Keduanya terdiam dalam posisi yang sama hingga Quentin dapat menenangkan diri sepenuhnya.

*****

Malam ini terasa sangat panjang. Keheningan meliputi kamar apartemen Kim, hanya detakan jarum jam di atas nakas yang terdengar ke seluruh penjuru ruangan. Di dekat dapur, Croissant tenggelam dalam tidurnya, tidak terganggu sedikit pun dengan teriakan Quentin beberapa saat lalu. Kim baru saja kembali dari dapur sambil membawa segelas air mineral. Diberikannya gelas itu pada Quentin yang sedang duduk bersandar pada bedhead. Pikirannya melayang entah ke mana.

"Aku tidak pernah tahu kalau kau punya adik." Kim membuka percakapan. Ia naik ke atas ranjang dan duduk di samping pemuda itu.

"Ia seseorang yang sudah kuanggap sebagai adik sendiri." Quentin meneguk air mineral yang diberikan Kim, kemudian menjeda kalimatnya sejenak. "Namanya Chloe."

"Kau meneriaki namanya juga di dalam mimpimu. How is she?" tanya Kim.

Quentin tidak menjawab, karena ia sendiri pun tidak tahu bagaimana kabar terbaru dari Chloe.

"I'm sorry, aku tidak bermaksud—"

"Don't worry, she's alive," jawab Quentin cepat, ia meletakkan gelas tersebut di atas nakas. "Setidaknya ... itu terakhir kali aku bertemu dengannya."

"Do you miss her?"

"Every single day." Quentin menoleh ke arah Kim. "Dia memiliki kekuatan aneh, semacam kemampuan untuk melihat masa lalu dan memprediksi masa depan melalui mimpi. Berkat bantuannya, aku melihat bagaimana ayahku terbunuh beberapa bulan lalu."

Kim bergeming sesaat, berusaha mencerna perkataan kekasihnya. "Dia ... bisa melihat masa lalu?"

"Aku tahu kau tidak akan percaya, tetapi dia benar-benar memiliki kekuatan super," ucap Quentin jujur, "kumohon, jangan menganggapku tidak waras, bahkan pacarnya pun memiliki kekuatan super!"

"I believe in you." Kim mengangguk. "Hanya saja ... bagian Chloe memiliki kekuatan super agak sulit dipercaya. Tapi ... setelah mendengar cerita bahwa mendiang ayahmu pernah membuat portal antardimensi, rasanya hal seperti itu tidak mustahil."

"Mengingat Chloe seakan membuka luka lamaku, seperti ketika aku pergi ke Portland dan menyaksikan bagaimana ayahku tewas. Apa aku sudah melakukan hal yang benar untuk tidak berhubungan dengannya lagi?"

Kim mengedikkan bahu. "I don't know. Menurutmu, apakah itu hal yang benar?"

Quentin bergeming, ada sedikit rasa sesak di dadanya. Pemuda itu kehilangan kata.

"Kurasa kau sendiri tahu kalau itu hal yang salah." Kim mengulas senyum tipis.

"Aku melihat bayangan ayahku di mana-mana, bahkan di laboratorium Prof. Charles. Sebagian kecil dari diriku berharap ia masih hidup dan bersembunyi di suatu tempat." Ucapan Quentin terhenti, ia tercekat. "Semua harapan itu menyiksaku, jadi aku memutuskan untuk melepas segala sesuatu yang dapat mengingatkanku pada kematian ayahku."

"Bahkan melupakan adikmu sendiri?"

"Yeah." Quentin mengangguk. "Aku juga ingin membawamu pergi dari sini."

Kim mengernyit. "What?"

"I just want to move on and forget about it." Quentin mengulas senyum tipis. "Tinggallah di Jepang bersamaku. Aku bisa mencari pekerjaan baru di sana, bahkan membeli apartemen yang cukup besar untuk kita berdua."

"What about my study? Aku masih harus berkuliah."

"I'm an orphan, Kim. Kau satu-satunya yang kupunya sekarang." Ya, masa bodoh dengan kiamat nuklir, perang dunia, atau semacamnya. Semua ini bukan tanggung jawabnya. Yang terpenting sekarang adalah kebahagiaannya dan Kim, 'kan?

"Quentin ...," lirihnya. Kim meraih tangan Quentin, mengelusnya lembut dengan ibu jari. "Melanjutkan hidup bukan berarti melarikan diri dan melupakan. Kau hanya perlu berdamai dengan rasa sakitmu."

Mendengarnya, senyum Quentin memudar. Pemuda itu menunduk, tidak tahu bagaimana harus membalas ucapan Kim. Pikirannya berkecamuk, hati kecilnya ingin melarikan diri dari kenyataan. Ia selalu ingat bagaimana sang ayah terbunuh dengan tragis, membuatnya semakin ingin pergi dan melupakan segalanya.

Sebagian dari dirinya yang lain tahu bahwa melarikan diri bukan hal yang benar. Ia tahu misinya bersama Chloe dan Dylan belum selesai. Perang dunia ketiga tak terelakan, kecuali mereka melakukan sesuatu untuk menghentikannya.

"Mengapa kau bersikeras ingin melarikan diri dari semua ini?" tanya Kim lagi.

"Bukan hanya itu, aku ... banyak melakukan kesalahan di masa lalu dan aku ingin memulai hidup baru dari nol."

"Kita semua begitu, 'kan?"

"You don't understand." Quentin menggeleng. "I-I ...." Pemuda itu mendengkus sambil memejamkan mata. "I killed people."

Kim bergeming. Terdapat perubahan dari raut wajahnya. Tentu saja gadis itu merasa syok, tetapi ia mencoba untuk tidak memperlihatkannya di depan Quentin.

"Kau tidak salah dengar, aku memang pernah membunuh orang," ucap Quentin serius sambil menatap sepasang iris emerald itu. "Apa kau menyesal mengencani pendosa sepertiku?"

"I won't judge you until I heard the truth," jawab Kim.

"Aku mulai bekerja sebagai private investigator ketika ayahku kehilangan pekerjaan di Vortex Laboratory. Klien pertamaku adalah seorang miliarder. Dia menjanjikanku uang yang banyak, bagaimana aku bisa menolak?" Quentin mulai bercerita.

Kim mengangguk. "I'm listening."

"Aku diharuskan membobol sebuah database untuk mencari bukti penyelundupan barang. Sayangnya, aku tidak mencari tahu lebih jauh siapa lawan dari klienku. Aku masih bodoh dan naif saat itu. Tahun lalu, ketika aku menyuruhmu untuk tidak lagi menemuiku, aku ... takut mereka akan membahayakan nyawamu juga. Mereka orang-orang yang berbahaya."

"Who are they?" tanya Kim.

"Mereka adalah sindikat perdagangan barang ilegal yang cukup besar di kota ini. Bos dari sindikat itu menyuruh dua anak buahnya untuk melacakku. Beruntungnya, mereka hanya menganggapku sebagai private investigator kelas teri, sehingga dua orang saja pasti cukup untuk melenyapkanku."

Mendengarnya, bulu kuduk Kim berdiri, masih sulit menerima kenyataan bahwa pemuda di sampingnya pernah menghadapi orang-orang yang sangat berbahaya.

"Aku bersembunyi semahir yang kubisa. Setelah ayahku menghilang, mereka menemukan kediamanku. Saat itu, baku tembak yang kami lakukan di gang belakang rumahku sangat intens. Beruntungnya, mereka sempat lengah, sehingga aku ... berhasil menembakkan peluru, merenggut nyawa keduanya."

"Lalu, apa yang terjadi pada sindikat itu?" tanya Kim.

"Setelah bukti-bukti penyelundupan itu terkumpul dan terkuak ke publik, pihak kepolisian menindak hukum sindikat tersebut, sehingga mereka tidak bisa mengusik kehidupanku lagi. Kini, aku dapat hidup dengan tenang." Quentin mendesah pelan. "Tapi dugaanku salah, mereka kembali menghantuiku di dalam mimpi. Perkataan salah satu dari mereka juga begitu menggangguku."

"Apa yang mereka katakan?" tanya Kim.

"'Kematian akan selalu mengikutimu', itulah yang mereka katakan padaku." Quentin menoleh ke arah Kim. "Entah apa alasannya sel-sel otakku melakukan improvisasi terhadap mimpiku barusan. Bahkan, Chloe juga terbunuh di sana dan aku tidak mampu mencegah itu terjadi. Apakah kematian ayahku juga merupakan balasan karena aku pernah membunuh orang sebelumnya?"

"Kurasa mimpimu tadi adalah proyeksi dari rasa bersalah dan traumamu," ucap Kim, "jangan biarkan pikiran negatif itu membebanimu. Kau membunuh mereka demi membela dirimu sendiri, 'kan?"

Quentin menggeleng. "Tapi pembunuh tetaplah pembunuh, Kim. Ketika aku menembakkan peluru ke dada Sean Grayson, aku tidak merasakan penyesalan sedikit pun. Seakan akan ... iblis sedang merasukiku saat itu. Aku sangat marah, ia merenggut nyawa ayahku."

"Berdamailah dengan dirimu sendiri, Quentin."

"Bagaimana caraku berdamai dengan diriku sendiri?"

"Dengan cara menerima bahwa ayahmu sudah berbahagia di atas sana. Kau sudah melakukan yang terbaik untuknya." Kim tersenyum. "Dan ... segala yang sudah terjadi tak dapat diubah. Itulah takdir, kau tidak perlu menyesalinya. Kau hanya perlu belajar untuk memaafkan dirimu sendiri."

Quentin mendesah pelan, ia menunduk dan memejamkan kedua netranya. "Not that easy, Kim."

"I know." Kim mendongak sambil memainkan helaian rambut pemuda di sampingnya. "Jangan terburu-buru, nikmatilah prosesnya."

Sepasang kekasih itu diliputi keheningan panjang. Melihat rona keruh di wajah Quentin, Kim mendesah pelan dan tersenyum, kemudian mengelus lembut pipi pemuda itu. Akibat sentuhan yang dirasakannya, Quentin mengalihkan atensinya pada sepasang netra emerald yang selalu mampu menghipnotisnya.

"Kau pergi, menghilang tanpa kejelasan selama setahun, membuatku terluka sebegitu dalamnya. Namun pada akhirnya, aku memutuskan untuk berdamai dengan rasa sakitku dengan memaafkanmu," bisik Kim, "sekarang, apakah kau tidak mau memaafkan dirimu sendiri dan berdamai dengan rasa sakitmu?"

Quentin bergeming, masih menatap kedua iris emerald milik kekasihnya. Di sana, ia melihat binar cerah yang tidak pernah Kim tunjukan pada dunia. Saat itulah Quentin tahu, masih ada seseorang yang menginginkan dirinya untuk berbahagia. Maka, tidak ada lagi alasan untuk terus terbelenggu dalam keterpurukan.

"Thank you, Kim," lirih Quentin.

"For what?"

"Untuk memaafkan dan menerimaku kembali."

"Terima kasih juga telah kembali dan membuka diri sepenuhnya padaku," bisik Kim.

Quentin menyunggingkan senyum bahagia. Ia mengusap pucuk kepala gadis kesayangannya, kemudian memberi kecupan singkat di dahi.

"Do me a favor," bisik Kim.

"Anything for you." Quentin balas berbisik.

"Temui Chloe segera," pinta Kim, "kau bermimpi tentang kematiannya, itu artinya kau masih peduli padanya."

Quentin bergeming, merasa ragu pada permintaan itu. Namun, dirinya tidak mungkin menolak, 'kan? Pada akhirnya, pemuda berambut sewarna langit malam itu mengangguk sambil tersenyum.

Dukung Avenir: Redemption dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

3 April 2021,
Nat

*****

Nemu meme ini😌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top