1-4 | Broken
"Bisa-bisanya aku kesal pada seekor anjing." — Q
13 November 2020
Quentin Ryouta membuka kedua netra, mengusap-usapnya dengan tangan ketika melihat cahaya matahari menyinari ruangan melalui celah di antara tirai. Pemuda itu bergeming sesaat, menatap langit-langit kamar apartemen, merasa beryukur bahwa semuanya sudah berakhir, ia tidak perlu merisaukan hal buruk apa yang akan menantinya di penghujung hari. Kini, ia sudah menjalani kehidupan barunya yang tenang dan damai.
Quentin meregangkan tubuh dan menoleh ke arah kanan. Kimberly Blake berbaring di sampingnya dalam keadaan terpejam. Gadis itu masih terhanyut di alam mimpi, enggan rasanya untuk kembali ke dunia nyata. Mengamati fitur wajah Kim setiap pagi telah menjadi hobi barunya. Tanpa sadar, pemuda itu mengukir senyum, ia menyentuh bulu mata lentik milik gadis itu, kemudian jemarinya berpindah ke bawah, menyentuh hidung mancung Kim.
Kim mengerang, kemudian mengubah posisi tidur ke arah sebaliknya. Quentin terkekeh pelan, lalu melingkarkan lengannya ke tubuh gadis itu, mendekapnya dalam posisi spooning. Pemuda itu mengecup kepala Kim, menghirup aroma tropical breeze yang sudah menjadi wewangian favoritnya sejak kembali ke Moorevale.
"Morning, sleepyhead," bisik Quentin.
Perlahan, Kim membuka kedua netra, sedikit menegakan tubuh untuk melihat jam digital di atas nakas. Setelah itu, ia kembali menarik selimut, mengabaikan Quentin yang sudah menunggunya untuk bangun.
"Hei."
"It's 7 AM, Quentin. Go back to sleep!" gerutu Kim.
"Wake up or I will turn myself into Croissant!" ancam Quentin. Pemuda itu memeluk Kim semakin erat dan mengecup pipi gadis itu beberapa kali.
"Croissant—what?" Kim terkekeh, berusaha menjauhkan Quentin darinya. "Quentin, stop!"
Tiba-tiba, sesuatu yang berat dan berlemak mendarat di atas ranjang. Seekor Corgi berlari dan berhenti tepat di antara Kim dan Quentin, berusaha memisahkan majikannya dengan pemuda itu. Dengan berat hati, Quentin harus melepas pelukannya dan berdecak kesal ketika melihat binatang imut itu menjilati pipi gadis kesayangannya.
"Croissant! Stop!" Kim terkekeh, ia menegakan tubuh dan mengangkat anjing itu. "Oke, aku akan bangun. Kau pasti lapar."
Croissant menjulurkan lidah, menoleh ke arah Quentin yang sedang melempar tatapan tajam padanya.
"Pengganggu Kecil, kau sedang mengejekku? Pergi!" usirnya.
Kim tertawa, ia menurunkan Croissant ke lantai. "Kau harus imut dan berbulu untuk mendapat perhatianku."
Quentin berbaring telentang, ia menjadikan kedua lengannya sebagai bantal. "Hell no! That's not me!"
Gonggongan Croissant mengalihkan atensi kedua sejoli itu. Kim terkekeh, ia beranjak dari ranjang dan hendak melangkah menuju dapur. "Okaaay, sarapan datang!" ucapnya.
"Seriously?" ucap Quentin kesal, "kau langsung bangun ketika Croissant meminta sarapan?"
Kim menoleh ke arah Quentin dan menyeringai. "Sudah kubilang, kau harus imut dan berbulu untuk mendapatkan perhatianku," godanya.
Gadis itu berjalan menuju dapur, meninggalkan Quentin yang masih mematung di tempat. Dengan keempat kaki pendeknya, Croissant melangkah mengikuti Kim, tersenyum penuh kemenangan sambil menjulurkan lidah.
Quentin menyandarkan tubuhnya pada bedhead, mendengkus dan mengusap-usap wajah untuk menyembunyikan rasa malu. Bibirnya tak kuasa menahan senyum, kedua pipinya menghangat.
"Bisa-bisanya aku kesal pada seekor anjing."
*****
Kimberly meletakan mangkuk plastik berwarna biru di salah satu sudut dapur. Croissant berputar-putar di sekitar tungkai gadis itu, tak sabar untuk menyantap sarapannya. Binatang berbulu itu mulai menikmati makanan yang diberikan sang majikan. Setelahnya, Kim beranjak dan berjalan menuju kulkas.
"Kau suka berry oatmeal?" tanya Kim sambil membuka pintu kulkas dan melihat sekeranjang beri segar dan setoples overnight oats.
"Tidak masalah. Aku bukan picky eater," jawab Quentin yang sudah duduk di atas stool sambil memainkan ponsel.
Setelah berkutat dengan bahan-bahan makanan, Kim meletakan dua mangkuk berry oatmeal di atas mini bar, kemudian bergabung bersama Quentin untuk duduk di atas stool. Keduanya mulai menyantap sarapan.
"Bagaimana kuliahmu?" Quentin membuka percakapan sambil menyuap sarapannya.
"Aku masih harus mengambil beberapa data untuk membuat jurnal ilmiah. Akhir tahun depan, mungkin aku sudah bisa wisuda," jawab Kim lagi, "kau tak tertarik untuk kembali ke kampus?"
"Apa aku harus kembali? Aku sudah punya banyak uang dari pekerjaanku yang sekarang."
"Gelar akademik itu penting, Quentin. Lagi pula, kau lebih pintar dariku."
"Aku akan memikirkannya," jawab Quentin singkat, berusaha mengakhiri percakapan. Ia kembali menyendok sarapannya. Namun, pikirannya melayang entah ke mana. Pemuda itu berusaha menimbang-nimbang saran Kim untuk kembali berkuliah.
"Untuk mengambil beberapa data, aku harus menemui Prof. Charles di kampus," ujar Kim.
"Who the hell is Prof. Charles?"
Gadis itu terkekeh. "Beliau salah satu dosen di kampus kita. Tentu saja kau tidak mengenalnya karena cuti dan tidak mengambil mata kuliah Mekanika Kuantum!"
"Oh." Quentin kembali menyendok oatmeal-nya cuek.
"Mau menemaniku bertemu beliau?" Kim menyikut lengan Quentin.
"Aku punya banyak pekerjaan hari ini."
"Aw, really?" Kim menekuk wajah. "Padahal aku ingin mengajakmu berjalan-jalan setelahnya."
"I don't know, lagi pula aku sudah lama tidak pergi ke kampus. Rasanya agak ... aneh."
"C'mon! It will be fun! Kau bisa bernostalgia bersamaku di sana!"
Pemuda keturunan Jepang itu mendesah pelan. "Baiklah, terserah."
"Yeay!" Kim bersorak kecil dan mengecup pipi pemuda di sampingnya cepat, membuat Quentin mengulas senyum dengan sendirinya.
Tiba-tiba, ponsel Kim bergetar, menandakan ada pesan yang masuk, membuat atensi gadis itu teralihkan. Ia mengetuk layar beberapa kali untuk membaca isinya.
Melihat Kim yang sedang serius dengan ponsel, Quentin juga mengecek benda pipih miliknya. Di notification bar, ia melihat beberapa surel yang belum dibacanya. Di antara pesan-pesan spam, ada satu surel yang mengalihkan perhatiannya.
From: [email protected]
Subject: Are you dead? Pls rep my email!
Quentin mendesah pelan. Ia tahu bahwa Chloe mengirimkan banyak sekali surel untuknya, tetapi pemuda itu tidak pernah membalasnya. Dengan berat hati, ia membaca surel terbaru dari gadis itu.
Hi, Q. I hope you're doin' okay.
Ini surelku yang kelima minggu ini. Entah apa yang kau rencanakan dengan Dylan, mengapa kalian menghilang tanpa kabar secara bersamaan, atau kau masih berduka atas kematian Prof. Dominic?
I know how u feeling, Q, I know you've been through a lot. But, This isn't over. I need u, we need u to stop the nuclear war. Many people will die.
And ... I miss u, big brother. Menyebalkan menjadi tahanan rumah tanpa ada seseorang yang bisa diajak bicara. Ayahku mengurungku di rumah selama seminggu karena aku membentaknya. Kukira aku tidak bisa membencinya lebih dari ini. I want to stop him and I need ur help. Are you in?
"Quentin." Ucapan Kim menginterupsi pemuda itu.
"Yeah?" Quentin menoleh ke arah gadis itu, kemudian meletakan kembali ponselnya di atas mini bar.
"Prof. Charles tidak ada di kampus hari ini. Kau tidak keberatan jika kita pergi ke laboratorium tempat ia bekerja?"
Quentin mengedikan bahu. "Tidak masalah."
*****
Kedua sejoli itu sampai di laboratorium di mana Prof. Charles bekerja. Keduanya berjalan memasuki lobi dengan interior bergaya modern. Ruangan itu didominasi oleh lantai dan ornamen dinding granit putih, dilengkapi dengan aksen pencahayaan warna hangat, menampilkan kesan mewah dan eksklusif.
"Bisakah saya bertemu Prof. Charles?" tanya Kim pada resepsionis.
Resepsionis itu mengangguk. Wanita berusia 30 tahunan itu menekan tombol-tombol angka di telepon dan mencoba menghubungi sang dosen yang sedang bekerja. Kim masih berdiri di depan meja resepsionis, setia menunggu kabar dari pria itu, sedangkan Quentin mengedarkan pandangan karena bosan.
Sekitar sepuluh meter dari tempatnya, Quentin melihat pria paruh baya dengan jas laboratorium berjalan berlawanan arah dengannya, semakin jauh, nyaris menghilang di antara kerumunan manusia. Mungkin ini gila, tetapi Quentin bersumpah sedang melihat figur seseorang yang sangat familier.
"Pops?" gumamnya tak percaya.
"Quentin?" tanya Kim.
Pemuda itu tersadar dari lamunan, kemudian menoleh ke arah Kim. "Yes?"
"Prof. Charles ada di lantai empat, kita bisa langsung mendatanginya. Let's go!"
Quentin mengangguk cepat sebagai jawaban. Pemuda keturunan Jepang itu berjalan mengikuti Kim menuju lift. Keheningan meliputi keduanya selama beberapa saat hingga mereka sampai di lantai empat dan berada di depan ruang kerja sang dosen.
"Kau mau ikut bersamaku, atau— "
"Tidak perlu," sanggah Quentin cepat, "aku akan menunggu di luar."
"Okay. Aku tidak akan lama."
Quentin tidak menggubris, pandangannya kosong. Kim berbalik badan dan masuk ke dalam ruangan. Ketika mendengar suara pintu tertutup, pemuda itu baru tersadar dari lamunannya.
Ia memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana dan menunduk, menatap kosong ke arah lantai granit sambil melangkahkan kakinya menuju kursi tunggu di koridor. Pemuda itu mendaratkan bokongnya di sana, mengusap wajahnya kasar sambil mengembuskan napas berat.
This isn't over, Quentin.
Pemuda itu memejamkan mata sambil menggeleng, berusaha membuang jauh-jauh halusinasi yang dialaminya. Segalanya terasa sangat nyata, bahkan kini ia dapat mendengar suara Chloe di benaknya.
Di persimpangan koridor, ia menangkap figur seorang pria dengan sudut matanya. Dengan refleks, ia menoleh. Lagi, Quentin melihat sosok sang ayah yang sedang berjalan membelakangi dirinya. Pemuda itu beranjak dan berjalan secepat mungkin menuju ke arah Dominic, menghindari beberapa pekerja laboratorium yang melintas di koridor.
"Excuse me," ucapnya cepat sambil terus berjalan menghidari orang-orang di sekitar.
Pemuda itu terus berjalan, semakin mempercepat langkahnya, tidak ingin kehilangan sosok pria yang sangat berarti baginya untuk kedua kali. Ia berhasil mengikis jarak, kini posisi mereka sudah sangat dekat. Tanpa ragu Quentin meraih lengan ayahnya. Terkejut, pria berjas laboratorium itu memutar tubuhnya, memasang ekspresi kebingungan.
"Pardon? Can I help you?" tanyanya.
Semesta kembali merenggut senyum Quentin ketika menyadari pria yang dikejarnya bukanlah Dominic. Pemuda itu bersumpah, pria di hadapannya terlihat persis seperti sang ayah, bahkan dari depan sekali pun. Kenyataan pahit kembali menamparnya, menyadarkannya dari harapan semu yang tak mungkin menjadi kenyataan.
"Maaf, saya ... salah orang," lirih pemuda itu pahit. Rona keruh di wajahnya semakin menjadi.
Dengan berat hati, Quentin melepas genggamannya, menatap punggung pria berjas putih yang kian menjauh dan menghilang ditelan kerumunan. Rasa sesak di dadanya kian menjadi, dengan berat hati, pemuda itu kembali ke depan ruangan Prof. Charles.
Waktu berlalu cepat, Kim keluar dari dalam kantor sambil membawa beberapa berkas. Dengan senyum yang merekah, gadis itu berjalan menghampiri Quentin yang sedang duduk di ruang tunggu koridor.
"Quentin! Aku sudah selesai— " Menyadari ada perubahan dari ekspresi pemuda di depannya, senyuman Kim pudar. "Are you okay?"
Quentin tersentak, ia mendongak ke arah gadis itu dan mengangguk cepat. "Yeah."
"Kau terlihat agak lain." Kim merasa khawatir dengan pemuda itu.
"Aku hanya lelah." Quentin beranjak dan melingkarkan lengannya di tubuh gadis itu, menarik Kim untuk melangkah bersamanya. "Ayo pulang!"
Kim menghentikan langkahnya. "Pulang tanpa makan siang terlebih dahulu?"
Quentin bergeming sesaat, dengan sekuat tenaga berusaha tampil ceria di hadapan gadis itu. "Apa yang kau inginkan?"
"Grilled chicken? Dengan saus jamur? Kita bisa sekalian mampir ke supermarket untuk membeli bahan baku sarapan besok!" Kim tersenyum.
Quentin menatap lekat kedua iris emerald milik gadis itu. Binar cerah terpancar di sana, membuat pemuda itu mengulas senyum dengan sendirinya. Ia sudah berjanji untuk melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang gelap di masa lalu, maka ia harus menepatinya, 'kan?
"Grilled chicken with mushroom sauce, sounds good. Let's go!" Quentin mempererat rangkulannya, berjalan bersama gadis kesayanganya menuju lift.
Dukung Avenir: Redemption dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top