Bab 6: Pemilihan

Perhatian: Cerita ini hanya dirilis di platform W A T T P A D.

...

Kami terpecah jadi dua kubu tanpa sadar. Aku dan Chrys melawan raksasa marshmallow. Chloe dan Mischa melawan monster beruang.

"Awas!" teriak Chrys sambil menghindar. Aku melompat mundur.

Ayunan lengan raksasa yang kami hadapi menghasilkan lecutan angin. Daun-daun di pohon koyak seketika. Batang-batang pohon tergores dalam seperti terkena senjata tajam.

Dari balik pohon, kukerjakan soal dengan cepat. Sementara itu, bola-bola api sedang berputar di bagian belakang bersama akar-akar pohon menjalar yang mengikat monster beruang.

Aku menyerang balik. Arthur menghunus pedang sambil menghindari angin yang datang dengan perisai. Krishna dengan cakram yang berputar mengelilingi melemparkan senjatanya bergantian. Kedua avatar itu menerjang bersama. Si Monster Gula Kapas menghalau seperti sedang melawan lalat.

Arthur berhasil mengoyak bahu makhluk itu, sedangkan cakram-cakram Krishna berhasil ditangkis. Beberapa kali benda itu terpental sampai mengenai pedang serta tubuh Arthur dan memberikan poin kerusakan.

Aku mengerang. "Woy!"

"Maaf, Ren!"

"Dasar—"

Seseorang menabrak tubuhku dari belakang sampai aku tersungkur ke depan. Membuatku mencium tanah seketika.

"Maaf, Ren!" Chloe lekas bangkit dari punggungku. Dia berusaha menolong, tapi kutepis lengannya. "Dih, aku kan, sudah minta maaf!" Dengan bersungut-sungut dia kembali menghadapi beruang yang sudah setengah gosong.

"Ren, awas!"

Bugh!

Arthur—dengan baju besi yang berat dan runcing di beberapa sisi—menghantamku tepat di kepala. Aku jatuh seketika. Kepalaku pusing. Ada sesuatu yang mengalir hangat di kening. Dunia serasa berputar.

"Ren!" Chrys yang pertama menghampiri. Dia berusaha mendudukkanku, tetapi sekelilingku rasanya bergerak tak keruan.

Aku tertunduk. Kupegang kepala yang berdenyut. Untuk beberapa saat aku tidak fokus dengan apa yang Chrys katakan. Di belakangnya, Chloe dan Mischa sedang mengikat dan membakar si Monster Marshmallow.

"Ren! Ren! Kau tidak apa-apa?" Chrys bertanya sambil memegang bahuku yang masih terhuyung-huyung.

"Rasakan itu, gumpalan permen kapas! Melelehlah sampai tak bersisa!" Chloe berteriak histeris sambil mengangkat tangan seperti sedang melihat api unggun raksasa.

Chrys menamparku sambil berteriak. Aku memukul pipinya balik sampai dia terjengkang. "Hei!" serunya tak terima.

Perlahan, rasa sakit yang ada menghilang. Aku bangkit, tetapi masih agak lemas. Chloe membantuku berdiri. Ia mengeluarkan sapu tangan putih dan menyeka darah yang ada di keningku. Aku tidak melawan saat ia melakukan itu.

"Apa-apaan itu tadi?" tanyaku. Ingin marah, tetapi tidak tahu pada siapa.

"Sudah baikan?" tanya Chloe. Aku mengangguk.

Mischa membantu Chrys berdiri. "Aku kan, cuma niat menolong ...," gumam lelaki berambut pirang itu.

Aku tidak menghiraukannya. Dia hanya berdiri terpaku saat aku melewatinya dan memilih kristal soal lain berwarna merah. Matematika. Aku langsung menjawab soal yang diberikan. Tanda benar terus muncul sampai tiga soal berikutnya. Tidak ada monster yang harus dihadapi, setidaknya, sampai aku sadar telah membuat kesalahan karena pusing yang kembali menyerang.

Orang macam apa yang lupa menguadratkan lebih dahulu sebelum dikali?!

Aku sadar sepenuhnya ketika tanah tiba-tiba bergetar hebat. Burung-burung digital beterbangan. Tanah di depanku merekah. Seonggok batu besar terlempar seperti bola meriam yang ditembakkan dari dalam tanah. Bersama suara debum yang keras, batu besar berlumut itu membentuk sesosok golem tanah.

Aku jatuh terduduk karena tidak bisa menahan keseimbangan. Golem itu terus menerus mengentakkan kaki sambil berteriak. Aku melompat mundur sebelum kakinya dapat menghancurkanku.

Arthur bersiap di depanku dengan pedang terhunus. Sebelum aku dapat memberikan poin kerusakan pada makhluk itu, Clowny sudah berlari dengan dua pedang di tangan. Badut itu berputar seperti pisau pemotong rumput. Sementara itu, Lakshmi menyerang dengan ribuan kelopak teratai tajam yang terbang seperti formasi lebah penyengat, sedangkan Krishna memukul tanah dengan gada emas menyebabkan pilar tanah runcing bermunculan.

Semua itu tampak solid sampai kemampuan-kemampuan lain bermunculan. Kelopak-kelopak teratai Lakshmi terbakar oleh lidah api Clowny, atau cakram Krishna terpental-pental karena pisau raksasa milik si Badut Konyol yang dilemparkan.

"Chlo!" Chrys protes.

"Maaf!" timpal Chloe tak menghiraukan.

Aku frustrasi melihat itu semua. "Bisakah kalian menyerang dengan benar?!" teriakku.

"Itu dikatakan oleh orang yang tidak membantu sama sekali!" sungut gadis berkucir kuda itu tak terima.

Aku menggeram. Akan kutunjukkan padanya dalam sekali serangan.

Butuh waktu untuk mengaktifkan skill yang memberikan poin kerusakan yang cukup besar. Namun, hal itu sepadan.

"Ayo, Arthur!"

Avatarku melompat. Dia melemparkan pedangnya ke arah Si Raksasa Golem. Satu pedang melesat, pedang lainnya muncul. Hal itu terus berlangsung sampai ribuan pedang meluncur turun dengan cepat bagaikan hujan. Dari ujung runcing pedang bermata dua itu, kilat-kilat petir menyambar.

Hujan pedang level dua.

Gemuruh mengiringi ribuan pedang yang meluncur. Kilat yang dihasilkan membakar daun di pepohonan. Pedang yang menancap membuat retakan di tanah. Para avatar melompat menghindar karena berada di jalur luncuran pedang yang memelesat.

Skill ini berlangsung selama satu menit penuh dan tidak bisa dihentikan. Bahkan saat semua teman yang lain berteriak karena avatar mereka juga terkena imbas dari serangan yang kuberikan, aku tidak bisa berbuat apa-apa.

"Ren! Krishna kesakitan!"

"Arennga, yang benar saja!"

"Laksh ... mi!"

Hujan pedang diakhiri dengan suara debum dari golem batu yang telah hancur berkeping-keping. Monster yang tinggal puing itu terpecah menjadi cahaya, menyisakan tanah hitam dan pepohonan yang terkoyak. Para avatar yang mengalami efek glitch dan luka digital dihampiri oleh pemiliknya masing-masing. Hit point mereka tinggal tersisa tiga per empat.

"Clowny!" Gadis berkucir kuda itu memeluk avatar badutnya dengan erat.

Chrys menepuk kepala Krishna. "Kau tidak apa, Sobat?"

Chloe menatapku sengit. "Kalau bertindak itu dipikir dulu pakai otak! Bukan refleks pakai tulang belakang!"

"Heh, mengaktifkan skill juga harus berpikir, tahu?" debatku tak mau kalah.

"Kepalamu pasti terbentur terlalu keras sampai tidak bisa berpikir jernih!"

Chrys menghampiri aku dan Chloe. "Sudahlah, kalian berdua," lerainya. Kedua tangan anak itu terangkat meminta kami berhenti. "Tidak akan ada habisnya kalau terus berdebat."

Aku mendengkus. Tangan Chrys mencengkeram bahuku sebelum aku memilih soal yang selanjutnya. "Istirahatlah dulu sebentar. Sepertinya kepalamu belum benar-benar sembuh. Biar aku sekarang yang memilih pertanyaan selanjutnya." Anak pirang itu tersenyum percaya diri sambil menunjuk diri sendiri dengan jempol.

Chrys membuka peta. Belasan penanda soal sudah terpampang menyebar serupa layang-layang warna-warni. Dia menunjuk soal terjauh di arah utara. Setelah memastikan mana yang akan dipilih, anak itu mengisyaratkan kami untuk mengikutinya.

Kami berjalan lebih jauh ke dalam hutan. Angin musim gugur menemani kami bersama daun-daun maple yang berjatuhan. Sesekali udara yang berembus membuat rambut-rambut halus berdiri. Chloe dan Mischa bahkan sampai menggosok-gosok tangan agar lebih hangat.

"Sampai!" seru Chrys.

Kami tiba di sebuah daerah di tengah hutan. Di depan sana, sebuah bangunan batu andesit hitam membentuk seperti altar. Di sekelilingnya terdapat pilar-pilar tinggi dengan ukiran-ukiran bertuliskan huruf-huruf kuno seperti penyangga atap yang kini telah hilang. Di tengah semua itu, tiang batu rendah menjadi alas sebuah penanda soal berwarna putih dengan kilau-kilau warna-warni serupa pelangi; bergerak-gerak seperti minyak di atas air. Kristal oktahedron itu berputar berlawanan arah jarum jam.

"Kenapa kita tidak memilih soal-soal yang telah berserakan saja?" tanyaku heran karena Chrys lebih memilih soal yang terlihat mencurigakan.

"Karena ... terlihat menarik?" jawab anak itu disertai cengiran.

"Kau yakin?" Bahkan Chloe pun meragukan Chrys.

"Yakin—" Nadanya menggantung. "Ehe ...."

Aku menepak wajah. Dia benar-benar tidak bisa diandalkan.

Tanpa menghiraukan keraguan kami, Chrys menaiki tiga undakan dan berdiri di depan tiang batu. Dia menyentuh kristal itu, menggenggamnya, dan benda tersebut pun langsung terpecah menjadi cahaya. Sebuah antarmuka soal langsung muncul di depan kami.

[SOAL TANTANGAN]

[Ras Cleine dikenal sebagai ahli dalam konstruksi. Bangunan-bangunannya terkenal banyak dibuat tanpa menggunakan bahan perekat ataupun pasak. Temukan rahasia mereka yang sekarang banyak dicontoh untuk membuat konstruksi monumental!]

Tanah bergetar diiringi pilar-pilar bebatuan andesit yang mencuat. Tanah hutan dengan daun-daun busuk terlapisi lempengan tegel-tegel yang saling mengait satu sama lain layaknya puzzle. Dinding-dinding batu dengan ventilasi berukir rumit bermunculan. Tiang-tiang batu penyangga dan atap menjadi hal terakhir yang keluar. Altar tempat Chrys berada saat ini menjadi pusat bangunan.

"Kita terjebak!" teriak Chloe panik. Gadis itu berlari ke arah Mischa yang sedang gemetaran.

"Chrys!" teriakku. Sudah kuduga soal itu dapat menimbulkan hal yang tidak diinginkan.

"Tenang, Semua! Jangan panik! Kita hanya perlu mencari jalan keluar."

Apa rahasia itu dapat membawa kami pergi dari sini?

Aku mengamati lantai, dinding, pilar, langit-langit. Semua terbuat dari jenis batu yang sama. Batu andesit hitam. Mudah diukir dan dipahat. Tanpa pasak dan perekat. Struktur bangunan seperti itu biasanya mengandalkan teknik kunci dan gembok. Pintu keluar yang ada seharusnya punya mekanisme seperti itu.

Semua orang tampak berusaha mencari jalan. Chrys meraba-raba dinding. Chloe memperhatikan pilar-pilar. Mischa mendekati altar. Gadis yang tak banyak bicara itu seperti mengetahui sesuatu. Ia celingukan kebingungan. Aku mendekatinya.

"Kau menemukan petunjuk?" tanyaku. Gadis itu tampak segan bahkan hanya untuk memandang mataku. "Kalau tahu sesuatu bicara saja."

Chloe menghampiri kami. "Orang menyeramkan ini mengganggumu, Cha?"

"Seolah aku ini orang asing," gumamku.

"Sangat," sahutnya. Mataku berkedut.

Mischa terlihat ingin berbicara, tetapi ragu untuk menyuarakan pendapatnya. Beberapa kali aku memaksanya untuk berkata, ia malah lebih takut. Chloe meyakinkan gadis pemalu itu bahwa aku tidak akan menggigit (semakin ragu karena beberapa waktu lalu aku sempat menghajar Chrys). Ia baru mau bicara—dengan gagap—setelah Chrys datang dan akan melindunginya dariku apa pun yang terjadi. Seolah aku ini tokoh jahatnya.

"Ini bukan tiang batu biasa," mulai gadis bermata ungu itu dengan suara rendah. "Sambungan antar bebatuan ini mengindikasikan suatu mekanisme di dalamnya."

Mischa kemudian meraba-raba sambungan, cekungan, dan relief-relief yang tertera. Seperti menemukan suatu tombol dan menekannya, bebatuan persegi mencuat dari sisi-sisi batu silinder itu membentuk seperti gir.

"Kita harus memutarnya?" tanya Chloe. Mischa mengangguk.

"Serahkan ini padaku!" sahut Chrys. Lelaki itu kemudian mendorong gir tersebut searah jarum jam, tetapi hasilnya nihil. "Ren?"

Aku mengerling. Bersama anak pirang itu, aku memutar gir berlawanan arah jarum jam, karena aku cukup yakin mekanismenya seperti tutup botol. Sedikit demi sedikit, benda itu berputar. Butuh tenaga lebih dari empat orang agar bisa bergerak lancar. Suara sesuatu berderak muncul dari belakang.

"Pintu jebakan?" terka Chloe.

"Pintu ruang bawah tanah?" tebak Chrys.

"Tidak mungkin jalan keluar ...."

Aku dan Mischa mendekati lubang itu. Ada tangga ke bawah. Agak gelap. Aku ragu akan ke mana jalan ini menuntun.

"Kau yakin, Cha?" tanya Chloe mewakiliku.

"Ras Cleine sering kali membuat jalan tikus untuk keperluan darurat," jawab Mischa yakin.

"Tunggu apa lagi? Ayo!"

Chrys yang memimpin jalan. Di bawah, anak itu berhenti. Entah karena takut atau takjub. Di sana, sebuah lorong batu andesit dengan dinding persegi berhiaskan kristal-kristal merah yang berpendar hangat.

"Keren ...."

Kami berjalan perlahan. Suara langkah bergema. Beberapa kali aku atau Chrys terantuk langit-langit yang terlalu rendah saat jalan yang kami lalui mulai menanjak atau menurun.

"Kau sepertinya tahu banyak tentang ras Cleine, Cha," ujar Chloe sambil menggamit tangan lawan bicaranya.

Chrys menebak. "Jangan-jangan ... kau ...."

"Bukan," potong Mischa. "Aku keturunan Fae. Ras kami dan Cleine punya sejarah panjang. Kalian tahu pastinya. Dan aku cukup suka sejarah."

"Kenapa tidak masuk Social saja?" tanya Chrys.

"Suka bukan berarti ... jago. Kalian tahu maksudku ...."

Gadis yang menarik.

Kami terus berjalan sampai akhirnya secercah cahaya terlihat di kejauhan. Semakin dekat dengan sumber penerangan, dinding batu andesit di sekeliling mulai berubah menjadi tanah gua biasa. Dengan cepat kami ke sana dan keluar. Chrys yang pertama melompat dan mencium tanah.

"Kebebasan!" seru anak pirang itu seperti sudah terjebak bertahun-tahun.

"Sekarang aku yang memilih soal," kata Chloe.

Gadis itu memilih soal secara acak dari kumpulan kristal yang tengah melayang khidmat di antara pepohonan maple dan semak berwarna kecokelatan. Sebuah keputusan yang salah membiarkan gadis itu memilih.

Soal-soal yang selanjutnya tidak memberikan kami keuntungan saat menjawab. Terkadang Chrys membuat kecerobohan, Chloe yang salah menjawab karena panik disebabkan tiba-tiba ada hitung mundur, Mischa yang tidak memanfaatkan kesempatan, serta aku yang berdebat dengan Chrys atau Chloe bagaimana seharusnya dalam bertindak. Kuakui aku juga ikut andil dalam kekacauan tersebut.

...

Latihan itu berakhir dengan menyisakan perdebatan, wajah-wajah masam, dan keheningan di sepanjang perjalanan kembali ke hotel. Tidak ada yang berniat membuka mulut atau mencairkan suasana, bahkan orang seperti Chrys sekalipun. Dia seperti ragu untuk melakukan hal itu. Intinya, kami semua tidak dalam keadaan mood yang baik.

Saat evaluasi latihan di ruangan yang dikhususkan untuk setiap tim pun, Pak Ben terlihat bingung harus berkata apa. Dia mondar-mandir seperti setrika di depan kami yang terduduk di sofa sambil menunduk bagai siswa yang ketahuan melakukan pelanggaran.

Pak Ben menutup wajahnya frustrasi sebelum akhirnya membuka mulut. "Apa itu tadi?" tanyanya kecewa. Tidak ada yang berani menjawab. Dia lantas menghidupkan televisi dan memutar rekaman latihan kami.

"Bapak bahkan tidak bisa berkata-kata." Pak Ben mendesah berat. Dia menyuruh kami menonton hasil latihan yang tidak memuaskan itu. Dari awal sampai akhir, dengan percepatan di beberapa bagian.

"Bagaimana kepalamu, Arennga?" tanya Pak Ben ketika melihat siaran ulang bagaimana kepalaku bisa terluka. Arthur ternyata terempas karena Krishna membenturnya akibat hantaman Si Raksasa Marshmallow.

Aku memegangi kening yang ditempeli kapas dan plester. "Sudah lebih baik," jawabku sambil menghindari tatapannya yang menusuk.

"Kalian itu harusnya saling melindungi. Bukannya malah berkelahi seperti itu!" Pak Ben menunjuk ke layar dan menghentikannya tepat saat aku memukul Chrys sampai terjengkang. Kami semua tersentak karena suara Pak Ben yang tiba-tiba naik. Terdengar isakan kecil tertahan dari gadis di sampingku.

Guru pembimbing itu menghela napas berat sekali lagi. "Kenapa kalian berkelahi?" tanyanya sambil melipat lengan di depan dada.

Chrys mendongak. "A ... aku—"

"Aku dan Chrys berebut posisi ketua," potongku cepat. Chrys melihatku tak percaya.

"Dan siapa yang akhirnya terpilih?"

Tidak ada jawaban. Tidak ada yang berani bersuara lagi. Jawabannya sudah jelas.

"Tidak ada," tegas Pak Ben menanggapi kesunyian kami. Dia lantas menjatuhkan diri di sofa single. "Bapak sudah bilang, kekompakan, kerja sama tim, strategi, semua itu berpengaruh!" Guru pembimbing kami berkata sambil memainkan kedua tangannya seperti sedang memotong dengan pisau.

"Maaf." Kuwakilkan suara teman-teman yang bisu.

"Tidak ada gunanya meminta maaf kalau kesalahan yang sama terus berulang." Pak Ben berdiri. Dia maju ke depan kami sambil menautkan tangannya di belakang. Hanya meja rendah yang menghalangi kami. "Kalau begitu sekarang Bapak yang putuskan siapa ketuanya."

Aku mendongak; melihat ke arah matanya. Menunjukkan kalau aku siap kalau dipilih. Pak Ben menengok ke arah Chrys, aku mengikuti. Merasa diperhatikan intens, lelaki bermata biru langit itu mendelik padaku lalu menatap ragu pada Pak Ben.

"Ketuanya adalah ...." Pak Ben menggantungkan kata-katanya seolah ingin memancing kami untuk bereaksi. Terbukti, Chloe dan Mischa ikut memperhatikan guru pembimbing kami itu. "Orang yang berhasil membawa tim mendapat nilai sempurna di latihan berikutnya."

"Apa kami harus—"

"Itu artinya—"

Pak Ben mengangkat satu jari membuatku dan Chrys bungkam seketika. "Kalian akan membuktikan kalau kalian pantas atau tidak menjadi pemimpin mulai besok."

"Siapa yang akan duluan?" celetuk Chloe. Empat pasang mata langsung mengarah padanya. Gadis itu serta merta ciut.

"Aku." Aku dan Chrys sama-sama menjawab bersamaan lagi.

Untuk kesekian kalinya, Pak Ben mendesah berat. Dia seperti sudah pasrah dengan sikap kami berdua. "Lebih baik kalian tentukan dengan kertas-gunting-batu. Yang menang dapat giliran pertama."

Aku dan Chrys berpandangan sengit. Kami langsung mempersiapkan senjata. Dalam hitungan ketiga hasil ditentukan.

Gunting lawan gunting.

Ulang.

Batu lawan batu.

Ulang.

Gunting lawan batu.

Chrys menang.

Dia mengepalkan tangan ke atas. "Yes—" Kami semua melihatnya aneh. "Maaf."

Pak Ben melihat jam tangan kirinya. "Evaluasi hari ini cukup sampai di sini. Kalian makan malamlah tanpa Bapak. Ada urusan sebentar di luar. Bapak harap kalian bisa lebih kompak ke depannya. Untuk latihan berikutnya dengarkan apa yang ketua selanjutnya katakan. Selamat beristirahat. Kalian ada waktu semalaman penuh untuk introspeksi diri."

Setelah Pak Ben benar-benar pergi, Chloe dan Mischa memutuskan untuk kembali ke kamarnya. "Ayo, Cha. Aku ingin sekali berendam mandi busa."

Pintu tertutup, hening menyahut. Tinggal aku dan Chrys berdua. Kami pun kembali ke kamar.

"Aku mengawasimu," kataku seraya berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Chrys memicing. "Kau sangat perhatian," balasnya datar.

~~oOo~~

Beta reader: n_Shariii

A/N

Ayo, berikan kesan kalian pada bab ini!

Kritik dan saran yang membangun saya nantikan.

Jangan lupa memberi vote kalau suka ceritanya.

Terima kasih sudah membaca. 'v')/

Salam literasi!

***

Diterbitkan: 12/09/2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top