Bab 47

Olimpiade diakhiri dengan acara penutupan di hotel tempat kami menginap dengan sebelumnya acara hiburan di Stadion Infinite yang mengundang salah satu band musik terkenal di Ascent.

Kami juga sempat diwawancarai oleh Diony Shu dan Minerva Athene, tapi tidak lama karena kami memang sudah lelah. Hanya sepatah dua patah kata tentang bagaimana rasanya menang, yang hanya kujawab dengan, "Rasanya luar biasa. Dapat memenangkan olimpiade sebesar ini." Dan melelahkan.

Lalu, acara kembali dilanjutkan dengan hiburan, sambil menampilkan ulang cuplikan pertarungan final kami seperti kilas balik sebagai latar belakang.

...

Setibanya di kamar hotel, aku langsung merebahkan diri di kasur. Rasa lelah dari pertandingan ditambah ocehan Chrys serta Chloe tentang pertarungan sebelumnya rasanya menumpuk, membuat gravitasi kasur terasa semakin kuat. Aku bahkan tidak sempat mengganti pakaian dan hanya melepas sepatu sebelum menyentuh tempat tidur.

"Bapak akan mengurus beberapa hal dulu. Kalian istirahatlah. Acara penutupan dimulai pukul delapan nanti," kata Pak Ben. Dia tersenyum padaku—sangat kentara bangganya, sebuah senyum yang tidak pernah kudapat dari ayahku sendiri—dan pada Chrys.

Aku membalas senyumnya.

Lalu, dia menutup pintu dan meninggalkan kami.

Chrys memutuskan untuk mandi lebih dahulu, sementara aku kembali merebahkan diri.

Aku telah menang. Apa yang akan Ayah katakan?

Kutengkurapkan tubuh, lalu kuperiksa ponsel. Tidak ada pesan apa pun dari orang arogan itu, berbanding terbalik dengan pesan-pesan yang ada di grup angkatan. Teman-teman dari yang dekat denganku sampai yang tidak kukenal memberikan selamat. Chloe yang paling banyak membalas disusul Chrys. Kubalas beberapa pesan termasuk pesan pribadi, lalu kutaruh ponsel di nakas.

Tanpa sadar, rasa lelah membuaiku sampai aku tertidur beberapa saat dan dibangunkan oleh Chrys yang memanggilku.

"Kau tidak mau mandi dulu?" tanyanya sudah berpakaian lengkap kasual dengan handuk di leher.

Aku bangkit dan duduk di pinggiran kasur. Aku tidak tahu apa yang barusan itu bisa disebut power nap atau tidak, tapi setidaknya energi di tubuhku serasa sudah terisi kembali, meskipun aku harus mengumpulkan kesadaran untuk beberapa saat.

"Bagaimana rasanya menang?" tanyaku pada Chrys yang sedang mengeringkan rambut pirangnya.

Orang yang kutanya berhenti mengusap-usap kepala. Handuknya bertengger kembali di leher. Mata anak itu menerawang ke segala arah. "Luar biasa," jawabnya singkat dengan senyum. Dia kemudian duduk di pinggir kasur, menghadapku. "Aku pikir ini hanya perlombaan biasa, tapi ... ternyata banyak yang terjadi."

"Sesuatu yang tidak terduga," tambahku.

Chrys mengangguk. "Iya." Mata birunya terpatri padaku. "Kau jadi lebih terbuka."

"Dan kami jadi bisa melihat sisi lain dirimu."

Anak itu menunduk. Pipi dan telinganya memerah.

Aku berdiri. Kutepuk bahu anak itu. "Aku akan mandi," sahutku sambil pergi, sebelum obrolan ini jadi lebih sentimentil.

...

"Kau siap, Ren?" Chrys bertanya ketika aku sedang menyisir rambut di depan cermin. Anak itu sudah siap dengan seragam sekolah lengkap. Rambutnya disisir rapi ke kiri dari pantulan yang kulihat—yang berarti disisir ke arah sebaliknya. Kami berusaha semaksimal mungkin untuk terlihat rapi malam ini agar tidak memalukan sekolah dan negara, terutama kami tidak ingin mengecewakan Pak Ben.

Kusisir sekali lagi ke kiri dan aku pun siap. Aku berbalik. "Ayo," kataku.

Chrys tersenyum lebar.

Kami keluar dan menunggu di tempat yang telah kami sepakati sebelumnya dengan para gadis karena berencana berangkat bersama: pertigaan depan lift yang memiliki jendela besar yang langsung menghadap kota. Chloe dan Mischa belum datang, jadi kami harus menunggu.

Acara memang mulai pukul delapan malam, tetapi kami sudah berencana untuk datang lebih awal, lebih tepatnya sekarang sudah pukul 07.45 malam. Langit Kota Dvat sangat cerah tanpa awan, menunjukkan sedikit bulan sabit yang menggantung dengan bintang-bintang yang serupa dengan cahaya dari lampu-lampu kota yang benderang. Dilengkapi dengan bisingnya kendaraan di jalanan dan drone-drone yang terbang di udara, menunjukkan betapa hidupnya kota ini, baik di siang maupun malam hari.

Sebuah kota yang sudah aku jelajahi dan sebentar lagi akan kutinggalkan.

"Kalian sedang melihat apa?"

Aku berbalik ke arah suara. Sementara itu, Chrys mengangkat kepalanya dari ponsel yang sedari tadi dia lihat sambil menunjukkan benda di genggamannya itu. "Meme kucing, hehe," jawabnya.

Chloe dan Mischa sudah bersiap dengan seragam lengkap, ditambah riasan samar yang dipakai oleh si Gadis Badut.

"Bagaimana, aku cantik, tidak?" tanya Chloe. Kepalanya bergerak memperlihatkan gaya rambut yang diikat agak tinggi dengan jepit bunga-bunga rumit.

"Kau yakin perona pipimu tidak kurang tebal?" kelakarku sambil melipat tangan di depan dada.

Gadis itu berkacak pinggang. "Maaf saja ya, aku bukan berias untuk menghiburmu," balasnya. Dia menunjuk diri dengan centil. "Lagi pula kau pasti buta, ini namanya nude make up, makanya tidak terlalu kelihatan." Tangannya mengibas udara kesal. "Sudahlah, lelaki sepertimu tidak akan mengerti." Dengan buru-buru, dia melewati kami ke lift. "Ayo, berangkat, nanti kita terlambat."

Aku menatap Chrys berharap dia paham kenapa Chloe bisa tantrum hanya karena riasan, padahal aku hanya bercanda. Namun, anak pirang itu cuma mengangkat bahu dan menggeleng.

Aku mengerling, lalu bersama masuk ke lift.

Selama turun ke lantai dua, aku sebisa mungkin merapikan penampilan. Kuperhatikan pantulan diriku di dinding lift. Kemeja putih dan jas biru dongker sudah rapi. Rambut tertata, tidak ada kotoran apa pun yang terlihat.

"Nanti kita foto bersama setelah semua selesai," celetukku.

Chloe, Chrys, dan Mischa seketika melihatku heran, seperti tidak mungkin aku meminta hal yang seperti itu.

Aku mengangkat satu alis. "Apa?" tanyaku.

Kening Chloe mengerut. "Tumben."

Kualihkan perhatian pada indikator lantai yang sudah mencapai lantai tiga. "Kita tidak tahu kapan akan bersama seperti ini lagi."

Terdengar melankolis, tapi aku memang ingin punya kenang-kenangan seperti itu. Kalau bisa, aku juga ingin berfoto dengan Pak Ben agar terus ingat bagaimana hangatnya punya ayah yang perhatian.

Lift berdenting di lantai dua, lalu pintu terbuka.

Orang-orang berlalu-lalang di pintu masuk aula. Dua penjaga berbadan besar dengan pakaian tuksedo dan kacamata hitam berdiri tegap seperti patung, tidak terganggu dengan gaduhnya suasana.

Musik klasik tengah mengalun ketika kami masuk. Para undangan lain yang hadir juga sudah duduk di tempat masing-masing, termasuk Prima Sophia dan Magna Prudentia dengan guru pembimbingnya. Para pelayan sibuk mengoper-oper makanan dan para staf memastikan setiap alat berfungsi semestinya.

Sungguh sibuk. Aku sampai harus mengelak dari orang-orang yang silih berganti berjalan cepat jika tidak ingin bertabrakan.

"Sayang, ya, sebentar lagi kita harus pulang," celetuk Chrys ketika kami berhasil duduk dengan aman. Air mukanya antara kecewa dan lega.

"Ya, aku akan kangen dengan semua makanannya," balas Chloe sambil menopang dagu. Matanya terpaku pada panggung yang kosong.

Aku mengerling. Kuyakin yang ada di kepalanya hanya ada makanan saat ini.

Acara akan dimulai lima menit lagi dan Pak Ben baru datang ke meja kami. Dia tersenyum dan meminta maaf atas keterlambatannya, tanpa mau repot-repot memberi alasan.

"Siap naik ke panggung?" tanyanya tiba-tiba. Netranya menelusuri kami satu per satu dengan riang.

Untuk disalami, diberi hadiah, dan dinyatakan sebagai pemenang.

"Aku siap kapan saja," balasku.

Chloe beralih padaku. Tangannya bersedekap di atas meja. "Kau dilahirkan untuk siap pastinya," cibir gadis itu. Kepalanya bergerak-gerak ketika bicara.

Aku hanya menyipit sebagai jawaban. Badut Konyol itu balik melihat sinis. Kami saling bertatapan sampai rasanya ada petir yang bertubrukan di antara aku dan gadis menyebalkan tersebut.

"Sudah, sudah, acaranya mau dimulai," lerai Pak Ben.

Lampu aula menjadi redup tak lama kemudian. Kabut tipis muncul di lantai hingga ke mata kaki. Bintik-bintik putih bersinar menerangi langit-langit seperti bintang yang berjatuhan dan berhenti tepat di udara.

Tabuhan drum lantas mengentak pelan, diiringi biola yang digesek. Denting xylophone menyusul memasuki harmoni, bersama nada-nada lain yang semakin membuat kaya. Petikan harpa, gitar, dan bas, berpadu dengan seruling dan terompet, membentuk orkestra yang kaya.

Di tengah musik yang membuai, samar-samar suara perempuan bersenandung. Nadanya pelan kemudian menjadi lebih lantang, disambut oleh paduan suara yang kompak. Cahaya lantas menyorot panggung, menerangi mereka yang berjajar berpakaian putih bertudung dengan sang penyanyi utama di tengah.

Lirik-lirik dilantunkan. Tentang perjuangan. Tentang kekalahan. Tentang kemenangan. Emosi dalam nadanya pun silih berganti, menggambarkan kegembiraan, keputusasaan, amarah, kekecewaan, maupun suka cita. Semua seolah merangkum apa yang telah kami lalui sampai ke titik ini.

Selama 5 menit, perasaan kami diaduk dengan suara opera yang naik turun sesuai tensi. Backing vokal menambah nuansa di setiap bait-bait yang dinyanyikan. Permainan lampu dan tata cahaya turut menghidupkan cerita di dalamnya.

Kisah dalam lagu ditutup dengan nada yang tinggi diiringi dengan paduan suara yang membuat bulu kuduk merinding. Bintik-bintik cahaya berkumpul di depan panggung dan melejit ke langit-langit aula yang tinggi, lantas meledak seperti kembang api.

Cahaya kembali terang seperti semula dan para penonton pun bertepuk tangan

Diony Shu dengan setelan hitam dan Minerva Athene yang bergaun merah muncul dari sisi panggung seiring para penyanyi turun. Bersama-sama mereka berseru, "Tepuk tangan sekali lagi untuk Nirvanasvara!" yang disambut dengan gema tepukan yang tak kalah nyaring.

"Sebelum kita lanjut, kami ucapkan selamat datang di Acara Puncak Penutupan Olimpiade Sains Tiga Negara!" sambut Diony Shu. Pria itu beralih pada partnernya. "Tidak terasa ya, sudah sebulan acara ini berlangsung dan kini kita sudah di penghujung penyelenggaraan."

"Benar sekali, Dion," balas si lawan bicara. "Banyak hal seru terjadi, dari yang menegangkan sampai yang mengagumkan!" Air muka Minerva Athene berseri takjub. "Skill para avatar sungguh memukau. Kalau aku harus memeringkat semua skill yang sudah kulihat, aku pasti tidak akan sanggup, karena semua memang luar biasa!"

Sang pembawa acara pria tertawa kecil. "Betul, betul!" timpalnya. Dia kembali pada para tamu undangan. "Oke, sebelum obrolan ini ke mana-mana, mari kita mulai serangkaian acara ini dengan sambutan dari Wali Kota Dvat!" Diony Shu lantas mempersilakan sang pejabat naik ke panggung.

Wali Kota Dvat? Mataku langsung membulat. Sialan. Keparat. Babi. Baru kuingat pria itu adalah orang yang sama dengan yang pernah kami temui di insiden saat Mischa hilang. Pria bongsor sombong yang gila hormat.

Aku melirik ke arah teman-temanku dan mendapati mata mereka juga memelotot tak percaya. Pak Ben di sisi lain hanya menatap panggung dengan kosong.

Chloe di sisi kiriku membungkuk dan berbisik padaku. "Apa yang dilakukan orang itu di sini? Saat pembukaan dia tidak ada."

Aku menggeleng lemah. "Mana kutahu!" balasku lirih. Aku bukan panitia, aku sama syoknya dengan mereka. Semoga saja orang itu tidak bicara aneh-aneh dan memojokkan kami karena sudah menghajar anaknya.

Aku dan Chloe melirik ke sisi kanan di mana Chrys dan Mischa duduk. Si Gadis Pemalu memijat kening, sementara orang di antaranya dan aku mengepalkan tangan sambil menahan amarah. Refleks, aku memegang bahunya lembut untuk menenangkan.

Aura Chrys yang berapi-api seketika hilang. Matanya yang keras melunak ketika melihatku.

"Sabar," kataku, "semua sudah berakhir."

Anak pirang itu menghela napas sambil memejam, lalu minum dari botol plastik yang disediakan.

Untungnya, sambutan dari si pejabat korup tidak berlangsung lama. Pun, tidak ada kata-kata yang mengindikasikan keterlibatan kami yang jelek-jelek. Hanya seputar Olimpiade, meriahnya acara, dan eksposur tentang teknologi yang semakin meningkat. Banyak perusahaan luar negeri yang jadi ingin bekerja sama dengan Ascent, begitu akunya. Namun, sedikit dapat kutangkap nadanya yang tidak senang ketika membahas para pemenang yang merujuk pada kami.

Sambutan-sambutan berlanjut dari Menteri Pendidikan—yang secara garis besar membahas tentang menakjubkannya kami berstrategi dalam menjawab soal, teka-teki, dan hebatnya kami bisa tetap benar menjawab pertanyaan dalam keadaan terdesak—dilanjutkan oleh Menteri Luar Negeri yang menyebutkan bahwa acara ini akan jadi tonggak hubungan ketiga negara untuk seterusnya bla-bla-bla, Ketua Panitia Olimpiade yang memberi selamat atas keberhasilan semua pihak dalam penyelenggaraan ini, dan oh aku benci membahas sambutan-sambutan ini. Mari kita abaikan.

Sesi sambutan diakhiri dengan ice breaking dan istirahat sejenak bila ada yang ingin ke kamar kecil, lalu diselingi dengan penampilan musik orkestra dari Nirvanasvara sebelum akhirnya masuk ke inti acara.

"Sekarang saatnya waktu yang telah kita tunggu-tunggu!" ujar Diony Shu. "Pengumuman pemenang Olimpiade Sains Tiga Negara!" Dia berkata bersama partnernya.

"Kepada Ketua Panitia dipersilakan untuk naik ke panggung," pinta sang pembawa acara pria.

Seorang pria di salah satu kursi barisan depan berdiri. Tepuk tangan bergemuruh mengiringi sang Ketua Panitia yang berjalan ke arah tempat yang diminta Diony Shu.

"Terima kasih, Dion dan Mine," katanya setelah mendapat mikrofon dari panitia. "Selamat malam, Ascent!" Pria itu melambai pada hadirin. "Sungguh suatu kebanggaan bisa berdiri di sini lagi. Di malam yang berbahagia ini, kita akan menyambut para pemenang sekaligus menutup olimpiade yang sudah dilaksanakan selama sebulan ini." Dia berbalik ke belakang dan menunjuk layar yang bertulis Penutupan Olimpiade Sains Tiga Negara. "Anak-Anak, saatnya pertunjukan!"

Ketika sang Ketua Panitia menjentikkan jari, lampu ruangan meredup. Layar di belakangnya menampilkan video motion graphic tulisan yang berganti-ganti: 12 Terpilih, 3 Negara, 1 Pemenang, dibarengi musik yang menggelegar. Cuplikan-cuplikan pertarungan epik dari fase-fase sebelumnya kemudian berputar seperti kilas balik; pertarunganku dan tim SeS melawan naga, perlawanan di berbagai monumen dunia, pertarungan Magna Prudentia dengan Mushushu, Prima Sophia menghabisi Sfinks, sampai pertandingan akhir kami melawan Alva dan kawan-kawannya.

Kilas balik diakhiri oleh video penampilan kembang api yang ada di stadion dan tulisan Inilah Pemenangnya! Namun, tiga nama tim yang tertera di layar, alih-alih satu, dan ditempatkan di bagian paling bawah layar seolah ada sesuatu yang tak terlihat di bagian atasnya. Dari kiri ke kanan: Magna Prudentia, Scienta et Social, Prima Sophia.

"Mari kita saksikan!" seru sang Ketua Panitia.

Efek suara drum yang selalu ada ketika saat-saat penantian berbunyi, diiringi dengan dua grafik batang yang bergerak naik pada masing-masing nama tim; biru dan kuning. Keterangan di sisi kiri bawah mengatakan kalau itu adalah performa saat latihan dan pertandingan. Jadi, bukan hasil akhir. Diagram batang Magna Prudentia di bawah SeS dan Prima Sophia. Dan performa milik kami dan tim Alva hanya berbeda sedikit. Tim Saka sudah pasti jadi juara ketiga seperti yang sudah disinggung pada pertemuan sebelumnya sebelum fase empat dimulai, sehingga malam ini adalah penentuan juara satu dan dua.

Sial. Jantungku berdegup lebih kencang. Rumor itu benar. Perlombaan sudah dimulai bahkan pada saat di arena latihan.

"Di belakang saya ini adalah diagram performa setiap tim." Mata sang Ketua Panitia melirik puas, seolah telah menang dalam perlombaan membohongi setiap orang. "Benar, hadirin semua, latihan setiap tim dilihat dan jadi bahan penilaian bagi hasil akhir. Hal ini agar tidak hanya hasil akhir saja yang dilihat, tapi juga proses di baliknya. Namun, apakah itu akan jadi menihilkan hasil pertandingan itu sendiri?" Telunjuk pria itu bergerak-gerak di udara. "Tentu tidak! Penilaian latihan hanya berperan 20% pada hasil akhir. Namun, tetapi mengambil peran yang penting." Dia berdeham. "Mari kita cukupkan basa-basinya." Sang Ketua Panitia menunjuk layar untuk kesekian kali. "Inilah pemenang finalnya!"

Bunyi drum mengiringi persegi panjang merah yang merangkak naik; menunjukkan akumulasi nilai akhir. SeS, Magna Prudentia, dan Prima Sophia berkejaran di awal, tetapi tim Saka berhenti di pertengahan lebih sedikit, hanya lebih tinggi beberapa nilai dari performa pertandingan mereka. Sementara itu, Ascent dan Altherra terus mendahului satu sama lain dalam gerak lambat, seolah ingin mempermainkan degup jantung setiap orang yang melihatnya.

Chloe tak henti-hentinya menggigit kuku jari dan di bawah sana, kaki Chrys terus bergerak dalam irama yang anehnya seperti mengikuti tabuhan drum. Aku sendiri tanpa sadar mengetuk-ngetuk jari telunjuk ke meja dengan tempo yang cepat.

Kemudian, diagram batang merah itu berhenti. Hanya berbeda beberapa poin.

"Pemenangnya adalah ... Scienta et Social dari Altherra!" Ketua Panitia mengumumkan.

Tepuk tangan bergemuruh di seantero aula disambut oleh lagu kemenangan yang mengudara. Orang-orang bahkan ada yang sampai berdiri untuk memberikan apresiasi.

Kami semua melompat tak percaya. Akhirnya setelah masa deg-degan tak penting itu. Chloe melambai-lambai pada setiap orang yang bertepuk tangan, Mischa berkomat-kamit sambil memejamkan mata, mungkin mengucap syukur, sedangkan aku terus menatap diagram batang di depan seraya jadi samsak pukulan Chrys yang kelewat girang sembari berseru, "Kita berhasil, Ren, kita benar-benar berhasil!"

Ya, kita sungguh berhasil.

Aku beralih pada Pak Ben. Dia bertepuk tangan pelan, senyumnya simpul. Senyum kecil yang berarti sebuah kebanggaan besar. Aku balik tersenyum lebar.

Setelah kerumunan tenang dan semua duduk kembali, Ketua Panitia meminta atensi hadirin lagi. "Berikut adalah tabel detail penilaian dari awal hingga akhir pertandingan," lanjutnya.

Tabel dengan urutan angka ke bawah dan nama kegiatan bersama nama-nama timnya terlampir. Ketua Panitia menjelaskan sedikit dengan alasan transparansi, kemudian mengakhiri sesi pengumuman itu dengan ucapan selamat lagi. "Saya kembalikan lagi kepada MC," pungkasnya sembari berjalan ke pinggir panggung.

Lampu pun kembari terang seperti semula.

"Terima kasih kepada Ketua Panitia, tapi dimohon jangan dulu kembali ke tempat karena sesi selanjutnya adalah pemberian penghargaan," pinta Diony Shu. Mereka saling mengangguk, si pembawa acara pria pun beralih kembali pada hadirin. "Tepuk tangan sekali lagi untuk Scienta et Social dari Altherra!"

"Sekarang,"—Minerva Athene mengambil alih kepemimpinan partnernya—"seperti yang sudah disinggung Dion, mari kita sambut para pemenang! Kepada tim Magna Prudentia, tim Prima Sophia, dan tim Scienta et Social dimohon untuk naik ke panggung."

Kami berdiri dan berjalan ke panggung diiringi orkestra yang meriah. Ledakan emosi bergemuruh di dadaku hingga mungkin saja aku secara tidak sadar terus mengangkat sudut bibir sepanjang langkah. Chrys di sampingku sesekali menepuk-nepuk bahuku dengan bangga.

Di panggung, kami diatur sedemikian rupa; Magna Prudentia di kanan panggung, SeS di tengah, dan Prima Sophia di kiri. Kami berdiri di podium kemenangan yang berundak seperti di acara-acara olahraga.

Kamera-kamera menyorot, memfoto, dan merekam kami. Sorot lampu kilat tidak henti-hentinya menerangi kami, apalagi saat sesi pemberian medali.

"Juara ketiga Olimpiade Sains Tiga Negara! Magna Prudentia!" Minerva Athene mengumumkan.

Ketua Panitia memberikan medali perunggu dari baki yang dipegang seorang gadis. Pria itu bersalaman secara bergantian dengan Saka, Seta, Argen, dan Ludwig.

"Juara kedua Olimpiade Sains Tiga Negara! Prima Sophia!"

Ketua Panitia melewati kami dengan gadis pembawa baki medali perak, lalu mengalungkan tanda juara itu pada Alva dan kawan-kawan.

"Juara pertama Olimpiade Sains Tiga Negara! Scienta et Social!"

Inilah saat yang kami tunggu-tunggu.

Aku membungkuk ketika Ketua Panitia mengalungkan medali emas ke leher, kemudian menyalamiku. Dengan pelan, dia berkata, "Selamat atas kemenangannya," disertai senyum lebar dan anggukan, aku membalasnya.

Ketika semua telah selesai diberi penghargaan, kami berfoto bersama, lalu dipersilakan kembali ke tempat setelah diberi tahu hadiah apa saja yang akan kami dapat: uang pembinaan yang jumlahnya sangat banyak, liburan ke berbagai tempat wisata dan edukatif di Ascent—benar, tidak hanya Dvat—wawancara eksklusif, dan kami boleh membawa pulang skyboard yang pernah dipakai di fase ketiga.

Acara akhirnya berakhir dengan makan malam mewah. Semua menikmati hidangan diiringi alunan musik yang lembut.

"Akhir yang bahagia, eh?"

Aku yang sedang memilih makanan pencuci mulut di meja prasmanan berbalik ke arah suara. Olivia dengan pisin berisi buah-buahan kecil bertusuk gigi menyeringai dengan mata hijau zamrud tajam.

"Tidak perlu iri begitu," balasku menghindari tatapan matanya. Aku tidak ingin sakit kepala ketika bicara dengannya. "Setiap perlombaan pasti ada yang menang dan yang kalah." Oke, buah mana yang harus kuambil, anggur atau kiwi?

Gadis itu terkekeh kecil. "Mana ada aku iri. Hanya saja tidak seperti yang kurencanakan," timpalnya. "Tapi, ya, semua sudah terjadi. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan."

Rencana? Aku menyipit ke arahnya. "Memang apa rencanamu?" Aku menggeleng. Kuganti pertanyaannya. "Sebenarnya apa sih, rencana kalian?"

"Itu sudah tidak penting lagi." Dia mengedipkan satu mata. "Selamat, ya," tambahnya, lalu pergi begitu saja.

Gadis itu selalu saja bersikap misterius.

Tidak hanya Olivia, Alva juga datang memberiku selamat. Sebuah perilaku yang tidak kusangka akan dilakukan olehnya. "Selamat atas kemenanganmu," katanya tanpa mau menatapku. Kedua tangannya melipat di depan dada.

"Kau tidak perlu bilang kalau tidak mau. Olivia yang menyuruhmu, ya?" tebakku. Kumakan satu buah anggur.

Anak itu berdecak.

"Perlombaan sudah berakhir, pemenang telah ditetapkan. Tidak ada lagi gunanya rivalitas ini." Aku menekankan. "Yah, aku tidak masalah sebenarnya kalau kau masih bersikap seperti kita terus bermusuhan, lagi pula kita tidak akan bertemu lagi."

"Ck." Bocah Alafathe itu mengerling. "Kau mungkin jadi pemenang lomba ini, tapi kalau nanti kita bertemu lagi di sebuah pertandingan, aku tidak akan kalah."

Alisku naik satu. "Kalau ada pertandingan lainnya ... dan kalau beruntung." Kumakan lagi buah anggur lainnya.

Rahang anak itu mengeras. "Sudah, ya, selamat sekali lagi," katanya dengan nada jengkel, kemudian pergi.

Kuhabiskan sisa anggur di piring kecilku.

Waktu-waktu selanjutnya, lebih banyak orang yang datang untuk memberi selamat, termasuk Saka dan kawan-kawannya. Dia lebih ramah dibanding Alva dan meskipun dia menduduki juara tiga, itu sudah menjadi kebanggaan besar bagi mereka karena bisa bersaing dengan murid-murid luar negeri, katanya.

"Semoga kita bisa bertemu dan bertarung lagi ya, Kawan!" Saka menyalamiku dengan antusias.

Aku mengangguk. "Tentu saja, semoga kita bisa bertemu lagi."

Aku lebih baik bertemu orang seperti Saka daripada Alva.

...

Acara makan malam dan ramah-tamah berakhir sudah. Hal pertama yang kulakukan adalah mencari Pak Ben sebelum malam semakin larut. Aku ingin berfoto sebagai kenang-kenangan. Meskipun besok masih bisa, ada suatu pengalaman yang berbeda ketika merayakannya di saat hari-h. Namun, aku tidak melihatnya di mana pun. Kucoba mengirim pesan padanya, tapi tidak dibalas, dibaca pun tidak. Ingin kutelepon dia, tapi aku takut beliau sedang sibuk dengan urusannya.

"Hei, Ren, kau kelihatan risau, kenapa?" Chrys bertanya padaku yang sedang duduk di pojok ruangan. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa menebak dengan tepat padahal dari tadi aku menunduk melihat ponsel.

Aku menengadah. "Kalian lihat Pak Ben?" tanyaku, baru sadar ada Chloe dan Mischa di belakangnya.

Chrys menggeleng. "Tidak, Pak Ben tidak terlihat dari saat makan malam tadi."

Bahuku jadi lesu. Mungkin memang harusnya besok saja.

"Kau kenapa?" Chloe mengulang pertanyaan Chrys.

Aku menggeleng, berusaha tersenyum.

"Kalian mau berfoto di rooftop?" tawarku. "Langitnya sedang bagus."

"Ayo!" Chloe dan Chrys menyahut, Mischa hanya mengangguk.

Langit masih bagus saat kami tiba, dengan bintang yang bersinar dan lampu-lampu kota yang benderang. Titik yang kami pilih adalah pagar pembatas kaca dengan tanaman-tanaman yang merambat di sepanjang gagang besinya. Berlatarkan Kota Dvat dengan gedung-gedung pencakar langit dan keramaian yang hidup, kami berfoto dengan Chloe dan Mischa di tengah, sedangkan aku dan Chrys di masing-masing sisi.

Aku merangkul Chloe yang berpose menumpu pipi, sementara Chrys menodongkan pistol jari sambil memeluk Mischa yang memberi salam damai. Chrys dan aku harus membungkuk sedikit agar perbedaan tinggi kami dengan para gadis tidak terlalu jauh dan semua bisa masuk dalam bingkai tanpa cela.

Aku mengeset timer 3 detik di ponsel. "Katakan SeS!" pintaku.

Chrys, Chloe, dan Mischa berkata bersamaan. "SeeeS!"

Layar berkedip. Gambar kami terambil sempurna. Gambar yang tak pernah aku lupakan di hari yang selalu kuingat.[]

~~oOo~~

A/N

TAMAT, GES.

Bab ini merupakan bab akhir. Perjuangan Arennga, Chloe, Chrys, dan Mischa sudah selesai!

Terima kasih karena kalian sudah mau menemani mereka dalam menggapai kemenangan! Kemenangan ini pun untuk kalian!

Sampai jumpa di Epilog!

...

Diterbitkan: 03/02/2025

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top