Bab 41
Pak Ben menepati janjinya.
Setengah jam setelah aku bangun pukul lima pagi, aku dan sang Guru Pembimbing akhirnya dapat duduk bersama di sofa sambil menonton acara berita pagi, ditemani segelas kopi. Tidak ada yang membuka percakapan selain Pak Ben yang menanyakan bagaimana tidurku yang cukup kujawab dengan kata nyenyak.
Aku memandang kopi yang berwarna kecokelatan dengan aksen putih susu yang tinggal setengah gelas. Kacanya memantulkan mataku yang gelisah. Aku mencengkeram gagang gelas lalu meletakkannya di meja. Kupandang Pak Ben yang sedang sibuk menyesap minumannya sambil fokus ke berita.
"Pak," panggilku setelah mengumpulkan keberanian. Pak Ben menelengkan kepalanya. Bibirnya membentuk garis lurus seperti orang yang sedang membasahi bibir karena kering. "Aku ingin membicarakan sesuatu."
Pak Ben meletakkan cangkirnya di meja. Kedua tangannya bertaut dengan satu siku disangga punggung sofa. "Bapak sudah menunggu dari tadi. Ada apa, Arennga?"
Untuk sekejap perasaan ragu akan penolakan menggerogoti diriku karena aku sudah sering diabaikan oleh ayahku, tetapi aku teringat bahwa Pak Ben tidak akan seperti itu. Dia seperti tipe ayah yang mengayomi dan akan berbuat apa saja demi anak-anaknya. Aku juga yakin Pak Ben tidak akan tiba-tiba mengamuk saat kubilang bahwa aku mencoba membobol sistem. Semoga.
"Aku ... curiga ada sesuatu yang tidak beres." Aku menghindari tatapan mata cokelatnya, lalu kembali dengan tekad yang bulat. Kukepalkan tangan sambil berkata, "Aku curiga Ascent mencuri data-data pertarungan kami."
Pak Ben mengernyit. "Bagaimana kau tahu?"
Ini dia. Saat yang sangat aku hindari. Aku pun menceritakan awal mula kecurigaanku dari pin avatar yang berkelip, kasus Chloe, sampai masalahku dengan sistem avatar yang menutup paksa.
Aku menelan ludah, waswas dengan jawaban yang akan diberikan Pak Ben. Namun, guru pembimbing kami itu hanya menatapku lurus, tanpa ekspresi. Jantungku berdegup kencang. Sepengalamanku, biasanya orang sabar jadi seperti itu tandanya dia sudah kecewa besar. Lalu, dia menghela napas berat sambil memejam.
Aku menunduk. "Maaf, aku mengecewakanmu."
Pak Ben memijat kening. "Bapak dengar kau pernah membobol sistem keamanan agar bisa bertarung dengan Chloe. Dan sekarang, kau meretas sistem avatar." Dia menggeleng-geleng.
Kepalaku semakin terkulai. Rasanya, keberanianku yang tadi menguap.
"Tapi, kenekatanmu setidaknya memberi tahu kami bahwa memang ada yang tidak beres," balas Pak Ben. Matanya menerawang langit-langit seperti memikirkan sesuatu.
Aku mendongak. Keningku mengerut. Kami? Memang? Apa Pak Ben memang sudah tahu ada yang tidak beres dari awal?
"Apa aku ... dalam masalah?" Aku memberanikan diri bertanya.
"Kita kesampingkan itu dulu." Pak Ben mengibas udara. Dia menatap tajam membuatku refleks menelan ludah. "Dengar, Arennga," tekannya, "Bapak ingin kau tetap fokus pada pertandingan. Jangan ada yang mengganggumu seperti ini. Biarkan masalah itu jadi tanggung jawab Panitia, bukan milikmu. Kau mengerti?"
Aku mengangguk sambil menghindari mata hitamnya. "Aku ... mengerti." Namun, aku ingin kepastian untuk terakhir kali sebelum aku bisa melepas tangan. "Tapi, apa Bapak tahu semua ini dari awal? Apa kita dalam masalah? Bagaimana dengan avatar kami?" desakku.
Pak Ben mendesah lelah, seperti mengatakan, "Aku baru bilang apa tadi?" "Kau jangan khawatir, semua aman terkendali," balasnya. "Satu tugas yang harus kau selesaikan adalah menyelesaikan pertandingan ini sebaik mungkin. Paham?"
"Aku ...." Aku mengepalkan tangan. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Mata Pak Ben berkata kalau aku tidak boleh bicara lagi, jangan ada bantahan lainnya, dan aku harus menurut bagaimanapun situasinya. Kalau dia adalah ayahku, aku mungkin sudah mengamuk. Namun, Pak Ben adalah guru dan pembimbingku yang sangat kuhormati dan aku tidak boleh mengecewakannya lagi. Pun, Pak Ben adalah sosok ayah yang selalu aku inginkan. "Aku ... paham," timpalku pada akhirnya.
Pak Ben tersenyum simpul sehangat berkas-berkas cahaya pagi yang menerobos sela-sela gorden. Dia lalu mengambil cangkir kopinya yang sudah tidak terlalu mengepulkan uap panas. "Bapak yakin kau bisa," dia mengakhiri lalu kembali menonton berita.
Aku mengangguk lemah. Kupaksakan senyum yang entah kenapa terasa berat. Aku lanjut meminum kopi sampai habis ditemani tanggung jawab untuk membawa kemenangan seperti yang seharusnya kulakukan dari awal.
...
Jika kemarin Chrys yang murung saat sarapan, hari ini aku yang tidak bertenaga. Chrys, Chloe, dan Mischa saling pandang, menerka-nerka keadaanku.
"Jadi ... bagaimana obrolanmu dengan Pak Ben?" tanya Chrys, memilih-milih daging iris mana yang akan disantap. Dia yang paling tahu keadaanku setelah obrolan itu, ketika Pak Ben memutuskan untuk pergi terlebih dahulu untuk rapat.
Aku mendesah. Dengan penuh kesadaran, aku tahu kalau itu memang bukan bagianku. Namun, entah kenapa rasanya seperti seseorang baru saja menyingkirkanku karena aku tidak bisa bertanggung jawab.
"Ren?" Chrys mengulang pertanyaannya.
"Pak Ben akhirnya tahu," mulaiku. Aku menelan nasi sedikit-sedikit. Akan tetapi, rasanya aku jadi tidak nafsu makan. "Aku memberitahukan segalanya dan untungnya dia tidak marah."
"Terus? Kenapa kau malah lesu begini?" Chloe menunjukku dengan garpu yang tersemat tomat ceri. "Harusnya kan, kau senang. Kau tidak dihukum dan terus bisa fokus ke pertandingan."
Nasi di mulutku rasanya hambar. Buru-buru aku menelannya.
"Kalau soal hukuman ... mungkin akan kudapatkan nanti setelah pulang." Aku mendesah. Mereka bertiga saling tatap lagi, seolah berkomunikasi secara telepati tanpa aku di dalamnya.
"Ren," panggil Chrys. "Semua akan baik-baik saja."
"Kalian tidak mengerti," tepisku. "Aku sudah mengecewakan Pak Ben."
Aku sudah tidak sanggup makan lagi. Kusimpan sendok dan garpu dan kujauhkan piring berisi nasi capcay daging sapi beberapa senti.
Chrys mencoba menghibur. "Seseorang pernah berkata, 'Kau tidak bisa mengubah masa lalu, maka bentuklah masa depan!' "
Chloe mengangguk-angguk. "Fokus saja ke masa kini. Fokus ke apa yang bisa kau perbaiki. Kalau kau mengecewakan Pak Ben"—Gadis itu memegang dagu—"yang aku ragu kau sudah melakukannya—"
"Dia kentara sekali kecewa karena aku merusak sistem. Tatapannya ...." Aku tidak bisa lagi membayangkannya, aku tidak mau mengingat bagaimana mata hitamnya menusuk dengan penuh rasa kegagalan seolah berkata, "Aku tidak membesarkanmu seperti ini." Cukup ayahku saja yang seperti itu, jangan Pak Ben juga.
"Oh, kalau begitu, kau bisa membuatnya bangga dengan FOKUS PADA TUJUANMU!" Chloe menggebrak meja. Aku hampir terjungkal karena kaget, sementara Chrys melindungi diri dengan kedua tangan dan Mischa berjengit pucat. Gadis badut itu sepertinya sudah lelah berpura-pura bersimpati padaku. "Dasar Kesatria Payah. Kemarin kau yang sangat bersemangat untuk memberi tahu Pak Ben dan katanya siap dengan apa pun risiko yang ada, tapi kau sekarang sedih karena Pak Ben kecewa padamu? TENTU SAJA. KAU HARUSNYA SUDAH TAHU."
Chloe duduk tegak dan meminum segelas air mineral untuk meredam api yang baru keluar dari mulutnya. Aku, Chrys, dan Mischa bahkan sampai tidak bisa berkata-kata.
Aku mencoba menghindari tatapan ketiga temanku. Chloe dan Chrys benar. Aku tidak boleh seperti ini. Aku mungkin sedikit melebih-lebihkan tentang Pak Ben yang kecewa, tapi dia tetap percaya padaku untuk membawa tim ini pada kemenangan. Aku sudah menjadi pemimpin, maka aku harus memimpin mereka sampai akhir bagaimanapun keadaannya.
Aku mendongak, tersenyum kecil pada mereka bertiga. "Akan kubawa kemenangan."
Mereka bertiga balas mengangkat sudut bibir.
Pak Ben kembali ke hadapanku ketika kami akan berangkat ke stadion untuk latihan. Dia menepuk bahuku sebelum aku masuk ke mobil. "Fokuslah pada pertandingan," ulangnya mengingatkan pesan tadi pagi. "Jangan terganggu dengan hal yang tidak perlu, oke?"
Aku mengangguk. Pak Ben mengacak rambutku lembut, membuatku malu.
Chrys bengong ketika aku duduk di sampingnya. Mulutnya membuka menutup ragu-ragu ingin mengatakan sesuatu.
Aku memberinya keberanian. "Cepat katakan, kau mau bicara apa?"
Chrys berbisik sambil mata birunya melihat ke kursi co-pilot. "Sejak kapan kau dan Pak Ben sedekat itu?"
Aku melihat Pak Ben sekilas sebelum memberi jawaban. "Dari dulu? Kau juga dekat dengan Pak Ben, 'kan?" bisikku agar tidak terdengar orang yang digunjingkan.
Chrys manyun dan matanya menyipit sinis. "Hm," gumamnya.
Aku berpaling ke luar jendela. Pemandangan silih berganti dari pepohonan, gedung-gedung, dan taman-taman. Pikiranku berkelana ke penjuru kota. Ascent terus berkembang sebagai kota yang sarat teknologi. Bangunan-bangunan tinggi metalik yang terkesan modern ada di mana-mana, tersebar seperti dedaunan di musim kemarau. (Tidak ada musim gugur di Ascent.) Namun, sama seperti tempat tinggal lainnya, kota ini tidak ada bedanya dengan kota-kota lain. Ascent mungkin punya bangunan-bangunan filosofis seperti gedung teratai yang dapat kulihat di kejauhan sana ataupun tempat-tempat bersejarah lainnya yang penuh dengan jejak peradaban, tetapi kebutuhan akan ilmu pengetahuan terkadang membuat orang-orang lupa diri dengan cara bagaimana mendapatkannya. Contohnya, menggunakan tahanan perang sebagai bahan eksperimen hanyalah satu cara, dan menggunakan cara yang lebih cerdas seperti pertandingan sebagai kamuflase adalah cara lainnya. Perbandingannya memang tidak setara, tapi kalian tahu maksudku.
Namun, mau bagaimanapun, aku tetap harus menyelesaikan pertandingan ini dan membiarkan Pak Ben serta koleganya mengurus sisanya.
Mobil akhirnya berhenti di tempat parkir. Kami keluar dan berjalan bersama ke stadion dengan Pak Ben yang memimpin. Karena kedatangan selalu bersama dengan tim lain, maka tim Ascent bisa bersanding dengan kami sekarang, tetapi sepertinya mereka tidak datang untuk berbasa-basi biasa.
"Halo, Rival," sapa Alva. Rambut emasnya berkilauan diterpa sinar matahari pagi. Di sisinya berdiri Olivia yang tersenyum menantang dan di belakangnya Aryza dan Zea berwajah datar seperti biasa. "Aku mendengar ribut-ribut dari meja kalian saat sarapan. Bolehkah aku tahu kenapa gerangan?"
Aku mendengus. Nada dan gaya bicaranya jelas sekali mengejek.
"Bukan urusanmu," tolakku. Sayang sekali Pak Ben tidak bisa menengahi kami karena dia sedang sibuk berbincang dengan Bu Eva jauh di depan sana.
"Oh, ayolah, jangan begitu." Anak lelaki itu tersenyum miring. Sebuah tanda akan adanya kata-kata ejekan, menghina, ataupun merendahkan lainnya. Kalau dia tidak berniat mengajak ribut untuk menurunkan semangat kami, aku tidak yakin siapa yang ada di depanku. Aku mempercepat langkah, tetapi Alva tidak mau tertinggal. "Aku tidak bermaksud menguping, tapi aku mendengar katanya kau mengecewakan seseorang. Mau berbagi? Mungkin aku bisa memberikan kata-kata penghiburan."
"Sudah kubilang, bukan urusanmu. Lagi pula, masalahnya sudah selesai."
"Oh, benarkah?" Mata biru Alva membulat, seperti orang kaget, tapi aku tahu dia hanya berpura-pura. "Apa itu karena kalian kalah dari kami atau karena latihan kemarin tidak memuaskan, hm? Kalau aku jadi kau—"
Aku berhenti, membuat yang lain ikut berhenti. Alva sempat tercengang dan akan melanjutkan kata-katanya, tetapi aku keburu memotong omongan tak bermutunya. "Apa kau mau mengajak berkelahi?" Tanganku sudah mengepal dan siap menonjoknya kapan saja. Aku tidak melakukannya karena semata-mata aku tidak ingin terpancing oleh olok-olok bocah Alafathe itu dan mengecewakan siapa pun lagi.
Alva tersenyum miring sambil bersedekap. Siap untuk adu argumen.
"Hentikan, Ren," Chrys menarik bahuku sebelum pagi itu diisi oleh jadwal baku hantam.
Aku menatapnya sengit. "Kita akan selesaikan nanti di pertandingan akhir." Aku menunjuk Alva penuh penekanan.
Pak Ben berteriak dari undakan pintu masuk stadion karena sadar kami tidak ada di belakangnya. Aku berjalan cepat supaya tidak seiring dengan Alva dan kawanannya.
"Itu tadi nyaris saja," komentar Chrys, berjalan cepat menyamai langkahku.
Aku memutar bola mata. "Tenang saja, aku tidak akan terpancing," balasku.
...
Latihan hari ini sama dengan kemarin. Kami melawan monster-monster acak yang tingkat kesulitannya terus naik seiring bertambahnya level. Aku berhasil menambah poin lebih dari seribu lagi, tetapi sepertinya itu belum cukup. Aku harus bisa meningkatkan peroleh nilai bila ingin bisa bertahan dan mengalahkan Alva dan kawan-kawan.
Hal yang membedakan adalah Chrys yang keluar hampir bersamaan denganku. Meskipun begitu, waktu seseorang keluar untuk istirahat tidak menjadikan mereka berarti mendapat nilai yang tinggi. Bisa jadi di dalam sana mereka hanya melawan beberapa monster dan lebih banyak beristirahat daripada bertarung. Siapa yang tahu.
Namun, Chrys mengaku dia melawan banyak monster dan hanya mengambil waktu istirahat sebentar. Dengan antusias di bangku cadangan tempat kami beristirahat, dia mendaftar jenis monster apa saja yang telah dia kalahkan. "Laba-laba bertubuh manusia, Yeti raksasa, makhluk manusia setengah tubuh—euh, aku lupa namanya." Dia menghitung dengan jemari.
"Nasnas?" Chloe menerka.
"Iya, itu!" Lalu, si Anak Pirang lanjut menghitung sisa makhluk digital yang lain.
Chloe tidak mau kalah dan menyebutkan pula monster-monster yang telah dia hadapi tanpa ditanya. Mereka tertawa termasuk Pak Ben yang berdiri memegang kaleng soda. Aku tidak tahu dia melakukan apa selama kami latihan yang membuatnya patut diganjar minuman pencuci perut itu. (Jangan tanya kenapa aku bisa tahu.)
Mataku teralih pada Mischa yang duduk di ujung bangku seolah mengasingkan diri dari yang lain. Kepalanya menunduk menatap botol minum di tangan. Aku menghampirinya dan duduk di rerumputan.
"Kau cemas karena tidak mendapat nilai yang bagus?" tebakku. Pak Ben bilang kemarin gadis pemalu itu harus meningkatkan daya serang. Aku ragu dia bisa memperbaikinya dalam kurun satu malam.
Mischa tidak menjawab. Dia hanya menatap kosong botol yang isinya sudah setengah.
"Jangan khawatir," aku menenangkan. "Serahkan saja semua padaku. Aku yang akan jadi garis akhir." Kuteguk minum lalu buru-buru kutambahkan kata-kataku supaya Mischa tidak salah paham. "Bukannya aku meremehkanmu, aku hanya tidak ingin kau terbebani seperti aku dan Chrys. Berjuanglah semaksimal mungkin, tapi tetap jaga kesehatan. Banyak berpikir juga bisa membuat kita sakit sama seperti terlalu banyak latihan fisik."
"Aku tahu," jawab Mischa pelan. Sepertinya aku terlalu banyak bicara daripada yang biasa kulakukan. "Berjuang semaksimal mungkin, lalu pasrahkan sisanya pada Yang di Atas." Dia mendesah lelah. "Aku hanya ingin semua ini cepat berakhir."
Aku setuju dengannya. Aku pun sudah lelah.
~~oOo~~
A/N
Bab depan udah mulai tahap akhir. Akhirnya mendekati tamat :D
Kalau ada plothole kasih tau, ya.
...
Diterbitkan: 29/08/2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top