Bab 31: Awal Sebuah Perubahan

Ada pepatah yang mengatakan kalau manusia memiliki tiga wajah. Pertama, wajah yang mereka tunjukkan pada dunia. Kedua, wajah yang ditunjukkan pada orang terdekat. Ketiga, wajah yang hanya diketahui oleh diri sendiri. Dalam kasus Chrys, aku tidak tahu mana yang dia tunjukkan saat itu. Mungkin saja itu hanya kebetulan semata; amarah sesaat.

"Aw ...." Chrys meringis ketika obat merah disapukan pada tepi bibirnya menggunakan kapas. Chloe yang mengobati hanya mengernyit penuh empati sambil terus memberi semangat.

"Tahan sebentar, mungkin agak perih," ujar gadis itu. Ia merapikan plester di kening Chrys.

Setelah mengobati si Anak Pirang, badut konyol itu beralih padaku.

"Aku tidak apa-apa," kataku sambil menopang dagu. Kulihat Mischa yang masih duduk termenung menatap karpet berwarna biru. Mungkin dia merasa semua ini salahnya.

"Jangan sok jagoan! Diam dan biarkan aku mengobatimu!" Chloe berusaha menyentuh wajahku, kutepis tangannya. Tipikal orang yang keras kepala, gadis itu tidak ingin kalah. "Kau ini kenapa, sih!"

"Sudah kubilang, aku tidak apa-apa!"

Gadis itu menggeram. "Dengar, ya, Jagoan! Pak Ben sudah menyuruhku untuk mengobati kalian. Jadi, biarkan aku menyelesaikan tugasku atau aku yang akan kena marah!"

"Biar saja—"

"Mau kuadukan?!"

Ck. Dasar pengadu.

Akhirnya, aku membiarkan Chloe menyentuh wajahku dengan perasaan dongkol. Tangannya yang mungil meraba pipiku perlahan. Ada sensasi hangat yang asing ketika ia melakukannya. Ada perasaan yang aneh saat gadis itu menyapukan obat merah ke bibirku yang luka. Aku mencoba menatap matanya, tetapi ia langsung berpaling ketika tak sengaja netra kami bertemu. Semburat kemerahan lagi-lagi muncul di pipinya seperti saat kami di gang.

"Selesai," ucap Chloe sambil merapikan plester di sudut bibirku. "Tidak sulit, 'kan? Kau hanya perlu diam seperti anak penurut lainnya."

Aku hanya bisa menggeram karena plester yang ada membuatku tidak nyaman saat bicara.

Suara derap langkah berat datang mendekat. Pak Ben muncul dengan wajah datar dan dingin yang tidak pernah dia tunjukkan. Auranya mengatakan kalau sesuatu yang tak diinginkan telah terjadi.

"Semua sudah diobati?" tanya Pak Ben. Dia melihat kami satu per satu.

"Sudah, Pak," lapor Chloe. Matanya menatap sinis padaku. Aku bertaruh kalau suasananya lebih cair, ia pasti akan mengadu seperti ancamannya.

"Sekarang ikut Bapak. Ada orang yang ingin menemui kalian."

Kami berjalan beriringan dipandu Pak Ben yang bergerak cepat. Chrys di paling belakang tertunduk lesu seperti tanpa tenaga. Tangan yang biasanya tak bisa diam ia sembunyikan di dalam saku. Mata birunya tak sedikit pun memberi tanda akan mendelik. Tidak ada suara khas dari anak itu. Aku, Chloe, dan Mischa pun tidak ada yang berani—atau mau, mengusik anak itu sekarang.

"Aku takut Chrys akan seperti itu terus. Dia akan baik-baik saja, 'kan?" tanya Chloe padaku seolah tidak ada hal yang aneh sebelumnya di antara kami. Sedetik kemudian, wajahnya berubah masam menyadari siapa yang ia ajak bicara. Sebelum aku menjawab, dia sudah merengut, "Tidak jadi."

Aku hanya mendengus karena tingkah tidak jelasnya.

Kami digiring ke lantai satu. Di ruangan yang berada di sebelah kanan lobi, sekumpulan orang menunggu. Di sana, seorang remaja lelaki yang kuingat sebagai "si Ketua Perundung Mischa" sedang duduk sambil melipat tangan di sofa lebar, sedangkan kakinya diangkat ke atas meja. Wajah anak itu penuh dengan plester luka dan lebam biru. Di sebelahnya, duduk pria paruh baya bongsor bersetelan jas, kemeja putih, dan kalung emas menghias lehernya yang bergelambir. Di belakang mereka, dua orang pria kekar yang kuasumsikan sebagai bodyguard berdiri menjulang.

Kami berempat duduk di depan mereka. Pak Ben berdiri di samping kiri, memperhatikan setiap gerak-gerik kami.

"Halo, Anak-Anak," sapa pria bongsor itu dengan nada angkuh. "Harus kalian ketahui kalau aku adalah Walikota di sini. Walikota Ramos." Pria gemuk itu menunjuk dirinya dengan lima jari, sengaja memperlihatkan perhiasan emas yang bertumpuk di jemarinya. Dia merangkul si Ketua Perundung. "Dan ini adalah anak tunggalku yang paling kusayangi."

"Drake," timpal si anak lelaki. "Dan kalian berada dalam masalah." Dia tersenyum congkak.

Chrys menggeram di samping kiriku. Kedua tangannya mengepal di atas paha. Aku mencoba menenangkannya dengan mengusap pundak anak itu.

"Apa yang bisa kami bantu?" tanyaku, mencoba mengatasi semua ini dengan kepala dingin. Percuma bila memojokkan anak itu dengan mengungkap apa yang sebenarnya terjadi. Dia dapat dengan mudah memutarbalikkan fakta dan malah membuat kami rugi. Belum lagi ini kandangnya. Apalagi ayahnya seorang walikota. Orang seperti dia akan mudah mendapat perlindungan.

Meskipun begitu, aku yakin Pak Ben sudah menyelesaikan masalah ini tadi.

"Kalian berutang maaf padaku."

Chrys semakin tidak terima diiringi Chloe yang ingin bersuara.

Aku berdiri. Kuwakili suara teman-temanku. "Kami minta maaf," kataku sembari menunduk. Meskipun sebenarnya aku tidak rela. Semua yang mendengar seolah tidak percaya. Ada nada tertahan dalam suara mereka.

"Heh." Si Anak Walikota tertawa remeh. "Memohonlah. Bersujudlah," perintahnya.

Aku menegang. Rahangku mengetat. Badanku menegap. Kedua kepalan tanganku siap dilayangkan. Kutatap Pak Ben tak percaya. Apa aku benar-benar harus melakukan itu hanya untuk sebuah permintaan maaf? Mereka yang memulai semua masalah ini, tetapi malah kami yang seolah jadi pelaku. Pak Ben hanya menatapku kosong. Tidak boleh. Aku kembali memalingkan wajah ke arah dua orang angkuh itu. Mereka memasang muka seolah telah menang.

Aku melihat kembali pada Pak Ben. Dengan lantang kutegaskan, "Tidak akan! Tak 'kan kubiarkan siapa pun menginjak-injak kami lagi!" Aku berteriak di depan wajah anak itu. Persetan dengan sopan santun, dia sendiri sudah tidak peduli dengan hal itu. "Aku sudah meminta maaf! Urusan kita sudah selesai!"

Aku keluar dari ruangan itu dengan dada yang memburu. Kuentakkan kaki keras dengan langkah lebar sebagai tanda penolakan. Di belakang, dapat kudengar Chrys dan Chloe mengoceh dan berteriak sebelum akhirnya menyusul.

Aku kembali ke kamar bersama Chrys. Tak dapat lagi aku bendung amarah yang sedari tadi kusimpan dalam dada. Aku berteriak sejadinya, memaki, mengeluarkan kata-kata layak sensor. Kalau ini rumahku, mungkin setiap barang yang kutemui sudah hancur berkeping-keping. Chrys memegang kedua bahuku. Dia sama marahnya denganku, tetapi tak ada ekspresi yang dia tunjukkan. Dia hanya menatapku intens. Mata birunya yang seterang langit cerah berhasil menenangkanku. Perlahan bahuku yang naik-turun karena emosi stabil kembali.

"Apa yang Bapak dengar tadi?"

Pak Ben berteriak dari lawang pintu lantas bergegas ke arah kami. Gelagatnya seperti akan ada amukan yang selanjutnya. Chrys bahkan sampai menutup mata seperti siap menerima pukulan apa pun. Namun, yang kami dapat malah sebuah pelukan. Pak Ben merangkul kami dalam dekapannya.

"Tenangkan diri kalian, Anak-Anak," katanya. Dia mengusap kepalaku lembut sampai aku dibuatnya nyaman. "Bapak tahu kalian kesal, tetapi kita harus paham situasi." Pak Ben melepas kami. "Setelah kalian lebih tenang, datanglah ke ruang kumpul. Ada yang mau Bapak bicarakan."

Setelah Pak Ben pergi, aku tidak langsung ke tempat yang dimaksud. Seperti kata Pak Ben, aku menenangkan diri dulu, di sofa. Kutarik nafas dalam lalu kuembuskan perlahan. Chrys duduk agak jauh dariku. Entah kenapa, kami seperti dua orang asing yang ditempatkan dalam satu ruangan. Tidak ada yang mau membuka suara. Canggung.

Tidak tahan dengan suasana ini, kuajak Chrys untuk bergegas ke ruangan kumpul. Mungkin para gadis sudah menunggu lama.

...

"Bapak tidak pernah mengharapkan hal ini terjadi." Pak Ben membuka suara. Sesekali dia memijat kening. "Kenapa ini bisa—"

"Bapak mau mendengar cerita versi kami?" potongku.

Pak Ben diam. Mungkin merasa dirinya belum mendapat versi dari pihak yang lain, guru pembimbing kami itu akhirnya berkata, "Ceritakan."

"Chloe, aku rasa kau akan terhormat menceritakan detailnya," pintaku.

"Kenapa pula aku?" protesnya.

"Mischa?" pintaku.

Anak itu gelagapan. "A ... aku ...."

"Baik, baik! Akan kuceritakan," ujar Chloe pada akhirnya. "Kau hanya bisa membuat orang lain takut!"

Chloe memulai ceritanya.

Selepas sarapan, kedua gadis itu memutuskan untuk jalan-jalan setelah mengambil beberapa barang di kamar. (Itu adalah saat aku menikmati pemandian air panas.) Mereka naik bus. Berjalan-jalan di trotoar sambil melihat-lihat toko yang ada, membeli jajanan. Semua baik-baik saja sampai Mischa dan Chloe berhenti di sebuah toko pakaian seperti katanya. Saat Chloe masuk untuk melihat-lihat, lalu sadar Mischa tidak ada di sekitarnya, gadis badut itu langsung keluar toko dan mencari.

Sepanjang perjalanan setelah dia menghubungiku, Chloe menelepon Chrys yang sedang berkencan dengan Olivia, lantas terus bertanya kepada setiap orang yang ditemui apakah mereka melihat seorang gadis pendek berambut sebahu dengan pakaian ungu sedang luntang-lantung tak tahu arah.

"Aku menemukan Mischa yang sedang ada di taman tengah diganggu oleh beberapa 'preman'. Aku melindunginya, lalu Chrys datang tak lama kemudian, disusul Arennga setelahnya." Gadis itu menghela napas. "Begitulah," pungkas Chloe mengakhiri kisahnya.

Mischa tanpa diduga bersuara. "Aku ... aku mau mengejar pencopet ponselku. O ... orang itu lalu melemparkan ponselku ke sebuah drone .... Aku mematung karena kaget, lalu saat aku sadar ... aku tidak tahu di mana aku berada. Aku berjalan ke taman terdekat untuk menenangkan diri, lalu mereka ... para penggoda itu datang. Aku takut ...."

Pak Ben bangkit dari duduknya kemudian berjongkok di depan Mischa. "Kau merasa lebih baik sekarang?" tanya Pak Ben.

Si Gadis Pemalu mengangguk.

"Dengar, Mischa. Jangan malu untuk bertanya saat kau tidak tahu harus apa. Jangan takut untuk bicara. Suarakan keinginanmu. Terkadang kau harus sendiri. Kau harus bisa mandiri. Kau harus berani. Teman-temanmu di sini tidak selalu ada untuk bersamamu. Bapak tidak bilang kalian harus berjuang sendiri-sendiri. Kalian satu tim. Kalian harus bisa saling melindungi. Bapak tidak ingin lagi ada kejadian seperti ini."

Pak Ben berdiri menghadap kami. "Nasihat-nasihat itu tidak hanya untuk Mischa, tetapi berlaku untuk kalian semua."

"Baik, Pak."

"Siap, Pak!"

"Arennga," panggil Pak Ben. "Bapak tidak ingin kau berlaku dan berkata seperti tadi lagi. Baik saat bertemu Walikota atau saat di kamar. Kau harus bisa mengendalikan diri. Akan jelek bagi kita kalau kau bertingkah seperti itu. Terlebih lagi itu adalah sopan santun."

"Baik, dimengerti, Pak ...."

"Kalian beristirahatlah. Bapak masih ada urusan."

Pak Ben pergi meninggalkan kami dalam kesunyian. Hanya ada deru napas dan pikiran yang berkecamuk. Tidak ada yang bersuara sampai Chrys memecah keheningan. Sayangnya, bukan lelucon garing yang keluar dari mulut anak pirang itu.

"Pandangan kalian kepadaku pasti sudah berubah," kata Chrys. Senyum miris samar terpatri di wajahnya yang tertunduk terlihat sendu. "Aku sampai bingung bagaimana caranya menghadapi kalian."

Aku, Chloe, dan Mischa saling pandang.

Chloe berjongkok di hadapan si Anak Pirang. Kedua tangannya memegang bahu anak itu. "Dengar, Chrys. Aku juga awalnya kaget. Mungkin bukan hanya aku. Tapi, mau bagaimanapun, kau tetap sahabat kami. Malah dengan ini, kami jadi tahu lebih jauh tentangmu." Gadis itu menatap Mischa. "Ya, kan, Cha?" Mischa mengangguk. Si Gadis Badut lantas melihat padaku. "Ya, kan"—bibirnya maju mencebik—"Ren?"

Aku jengkel. Bisa-bisanya gadis menyebalkan itu bertingkah di saat seperti ini. Mengabaikan perlakuan konyol Chloe, aku mencoba juga memberi Chrys semangat. "Tetap jadilah Chrysan yang kami kenal," kataku sambil memegang bahunya. "Yang konyol, yang garing, yang selalu memecah suasana." Kutepuk-tepuk bahunya sampai tidak sengaja tanganku menepuk tangan Chloe.

Tangan si Badut Konyol balas menepuk tanganku. Aku balik menepaknya. Tidak terima, gadis itu kembali memukul. Aku menamparnya lagi. Akhirnya dia menarik tangannya yang sudah kemerahan sambil protes, "Kau ini apa-apaan?!"

"Kau yang mulai!"

"Sini, biar kubuat merah dan tambah luka saja mukamu yang sok ganteng itu!"

Gadis barbar itu menyerang wajahku dengan dua tangannya yang membentuk cakar. Aku sekuat tenaga menahannya agar tidak terjadi pertumpahan darah.

Suara gelak samar terdengar menghentikan pergulatanku dengan Chloe. Tawa Chrys yang hanya hilang beberapa saat, tetapi terasa sangat lama itu akhirnya kembali. Meskipun rasanya seperti dipaksakan, aku tetap bersyukur senyuman itu tidak hilang darinya.

"Sejak kapan kalian jadi sedekat ini?" tanyanya masih diiringi senyum miris.

Aku dan Chloe saling berpandangan. Kami buru-buru memisahkan diri seolah tidak ada yang terjadi. "Mana ada!" jawabku dan—sayangnya—Chloe bersamaan.

Merasa tidak ada lagi urusan yang harus diselesaikan di sini, aku bergegas pergi dan kembali ke kamar. Akan tetapi di perjalanan, seseorang mencegatku untuk buru-buru mendapatkan fasilitas hotel itu. Alva dengan senyum angkuhnya menyapaku seperti seorang kawan lama dengan wajah tanpa dosa.

"Kenapa wajahmu merah?" Pertanyaan pertamanya yang menyebalkan. "Kau demam, ya? Sayang sekali kalau begitu. Kau bisa tidak jadi ikut pertandingan besok."

"Bukan urusanmu," jawabku ketus.

"Omong-omong, kalian beruntung sekali bisa keluar dari jebakan pria busuk itu," ujar Alva yang seketika menarik perhatianku. "Kalian berutang besar pada Altherra."

"Apa maksudmu?" Aku memicing sinis tak suka pada pemuda Alafathe itu.

"Harus kalian tahu, perbuatan kalian itu bisa dijerat hukuman tindakan kekerasan dan pengacauan keadaan." Alva memainkan kuku-kukunya, meniupnya, lalu melihat ke arahku. "Kalian bisa dideportasi."

"Kau—"

"Harus kalian ingat, kalian itu tamu. Perwakilan suatu negara malah. Maka tidak heran kalau Altherra berani membayar untuk uang tutup mulut."

"Bagaimana kau—"

"Setidaknya itu yang kudengar dari guru pembimbingku. Nominalnya? Aku tidak tahu."

Aku mematung. Perbuatanku dan Chrys ternyata sudah menimbulkan kerugian yang lebih besar dari sekadar luka di wajah.

"Sudah, ya. Aku harus persiapan untuk besok. Semoga beruntung."

Alva pergi memunggungiku sembari melambai.

Apa sebenarnya tujuan anak itu memberi tahuku ini?

~~oOo~~

A/N

Ada yang kangen?

***

Diterbitkan: 22/10/2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top