Bab 20: Duel Analisis
Aku, Chloe, Chrys, dan Mischa berada di ruangan berkumpul. Sepulang dari latihan, kami berdiskusi kembali akan membuat apa untuk tugas yang akan dipresentasikan besok. Kami duduk melingkari meja, menatap kekosongan ipapyria—kertas elektronik tipis yang dapat memuat beragam data dengan adanya memori yang tertanam di dalamnya—yang dipakai untuk menorehkan segala ide.
Chloe memperhatikan corndog di tangan yang sebelumnya telah dipesan bersama makanan lain. Ia lantas berujar memberi ide, "Bagaimana kalau alat yang bisa membuat makanan dari karbon dioksida, mineral, dan air, seperti prinsip fotosintesis?"
"Sepertinya itu sudah ada, deh," timpal Chrys. Dia mencomot beberapa kentang goreng di pangkuan sebelum memakannya sekaligus. "Mhahih dhalam phengembhangann, taphi."
"Telan dulu makananmu," suruhku pada Chrys. Aku lantas menanggapi ide Chloe. "Seperti kata Chrys, hal itu masih dalam pengembangan. Tapi, sepertinya sudah dalam tahap akhir."
"Kita jadinya mau buat berapa rencana penelitian memang?" tanya si Anak Pirang setelah menelan makanan.
Aku mengira-ngira. Berapa alat yang mampu kami bayangkan dengan waktu yang sedikit, sedangkan tetap harus memenuhi kaidah penelitian? Bagaimana dengan tim yang lain? Kira-kira mereka akan membuat berapa? Bagaimanapun, kami tidak boleh sampai kalah.
"Sudahlah, Kesatria. Kau tidak perlu berpikir berlebihan," Chloe mengingatkan. Corndog-nya sudah habis setengah. "Otakmu bisa panas."
Aku mengembuskan napas. Kuambil sepotong energy bar rasa cokelat-mete. "Kita buat saja empat. Masing-masing dari kalian beri ide. Apa pun. Tapi yang belum pernah dibuat," usulku setelah menelan satu kunyahan.
Chrys bergumam sebelum bertanya, "Kau sendiri ... apa serius tentang mesin pencangkok otak itu?"
Chloe yang menahan tawa hampir menyemburkan corndog keduanya.
Aku mengerling. "Tentu saja tidak, Konyol," timpalku sambil mengusap wajah lelah. "Itu hanya bercanda. Lagi pula untuk apa cangkok otak? Mustahil. Transplantasi masih mungkin dilakukan. Tapi buat apa?"
"Oh ...." Chrys berpaling seraya memakan kentangnya cepat.
"Aku ingin buat alat ...," Chloe berbisik sambil menuliskan idenya. "Kau punya ide apa, Cha?"
Mischa yang sedang makan gelato stroberi berhenti. Gadis itu berpikir sebentar sebelum menulis sesuatu.
"Nanobot yang dapat memperbaiki kecacatan dalam gen?" tanya Chloe setelah membaca apa yang Mischa tulis. "Bukannya itu sama seperti CRISPR[4], ya? Gen yang dipotong bisa ditempelkan dengan gen yang sesuai keinginan."
===
[4] CRISPR = Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats. (Kurang lebih sesuai penjelasan Chloe dan Mischa. Sisanya silakan cari sendiri :D)
===
Mischa mengangguk. "Benar, tapi CRISPR memakai enzim, mutasi genetik yang lebih parah bisa terjadi bila tidak dilakukan dengan benar. Lagi pula, CRISPR tidak bekerja dengan baik pada ras Fae. Perbedaan DNA yang kami miliki terkadang membuat kesulitan dalam pelacakan kode DNA yang ingin dimanipulasi."
"Tapi, Cha," sela Chrys, "seperti namanya, nano, bukannya itu terlalu kecil untuk masuk ke sesuatu seukuran DNA? Bagaimana membuatnya?"
Mischa bungkam. Mungkin gadis itu tidak berpikir sampai sana.
"Ah, Chrys! Kau membuat harapan Mischa hilang! Kenapa kau tidak buat saja sinar pengecil sampai bisa ke ukuran nano?
Harapan?
Chrys tercenung. "Ide bagus! Aku akan membuat alat pengubah ukuran!" serunya sambil menuliskan ide itu di kertas elektronik.
"Memangnya yang seperti itu bisa dibuat?" tanyaku skeptis. "Kalau kasih ide itu harus ada dasarnya, lah. Bagaimana kalau kau ditanya konsep cara kerjanya?"
Tangan anak pirang itu berhenti. "Ren! Kau malah membuat ini jadi sulit!" protes Chrys. "Katanya buat apa pun!" Dia memegang wajah frustrasi.
"Daripada kau mengejek kami, mending kau cari idemu sendiri!" seru Chloe.
Aku tersenyum miring. Kukatakan hal itu hanya semata-mata agar mereka berpikir lebih jauh dan tidak hanya mengandalkan imajinasi belaka. Lagi pula, aku tahu kalau alat-alat yang mereka pikirkan itu memungkinkan untuk diwujudkan.
Sekarang, seperti kata mereka, apa yang akan kubuat?
...
Kami dibawa kembali ke Puspa Iptek Kota Dvat. Namun, kali ini latihan tidak dilakukan di dalam melainkan luar ruangan. Tepatnya, di taman sekitar gedung peragaan.
"Seperti yang telah Bapak paparkan kemarin, sumber penelitian dapat diambil dari permasalahan di sekitar kita. Untuk kalian yang belum dapat ide akan membuat apa atau yang masih bingung mengaitkan ide dengan latar belakang masalah yang ada, sekarang adalah waktunya. Kalian akan disebar di sekitar sini. Analisislah masalah apa saja yang terlihat, bisa dari warga sekitar, kesulitan mereka, apa yang mereka butuh, atau dari lingkungan." Pak Ben mengingatkan tahap pertama dari pelaksanaan penelitian: latar belakang masalah. "Jangan lupa untuk menetapkan objek yang akan dipelajari sehingga alat yang akan dirancang menjadi tepat guna dan tepat sasaran. Ada pertanyaan dulu sampai sini?"
Saka mengacungkan tangan. "Setelah kami dapat idenya, apa kami harus langsung mengolahnya menjadi rancangan atau cukup ide mentahnya dulu, Pak?" tanyanya.
"Langsung jadi rancangan, ya," tegas Pak Ben. "Tapi, tidak perlu mendetail. Cukup latar belakang masalah, objek penelitiannya apa, identifikasi masalah, hipotesis, langsung ke rancangan dan cara kerja sederhananya."
"Itu dari mana sederhananya, Pak," celetuk Chrys lirih, lebih seperti bergumam kepada dirinya sendiri, tetapi masih bisa terdengar olehku.
"Waktu kalian sampai istirahat makan siang. Pukul dua siang kita mulai presentasinya di auditorium setelah persiapan selesai."
Aku cukup setuju dengan anak pirang itu. Dalam waktu yang sangat singkat, apa yang bisa kami hasilkan? Namun, aku tidak akan menyerah. Setidaknya kami harus berusaha dulu. Jangan kalah sebelum berperang.
"Ada yang ditanyakan lagi?"
"Bentuk presentasinya nanti seperti apa, Pak?" tanyaku. "Bebas atau ditentukan?"
"Sederhana saja, kalian bisa menuliskannya di lembar ipapyria yang telah dibagikan kemarin. Pakai gambar dan beri penjelasan sedikit cara kerjanya lebih bagus. Mengerti, ya?"
Aku mengangguk.
"Ada lagi yang belum dipahami?"
Kami melihat satu sama lain. Tidak ada.
"Kalau begitu, kalian bisa mulai," pungkas Pak Ben sambil mengibaskan tangan ke depan seperti mengusir.
Kami berpencar. Kuputuskan untuk mengambil tempat di taman tepat di depan gedung peragaan. Walaupun semua tim jadinya berkumpul di sana, tidak masalah. Ada banyak orang. Lebih banyak yang bisa dijadikan sumber daya masalah.
Orang-orang berlalu-lalang. Tua, muda, Alafathe, Manusia, Fae. Meskipun ini hari kerja dan terhitung masih pagi, tetapi taman tetap disesaki. Kios-kios makanan di beberapa sudut menambah keramaian. Ada pula musisi jalanan yang menghibur pengunjung yang datang.
"Kita cari tempat dulu untuk berpikir," saranku.
Chrys berinisiatif mencari tempat duduk di dekat kios makanan agar otak bisa lancar membuat ide, katanya. Hal itu didukung oleh Chloe yang antusias karena bisa mengisi perut lebih banyak lagi. Namun, hal tersebut tidak mudah. Perlu waktu kurang lebih sepuluh menit hanya untuk mencari tempat kosong karena tempat-tempat yang strategis sudah terisi oleh para pengunjung.
Aku duduk di kursi batu panjang sambil memijat pangkal hidung. Rasanya pusing. Entah kenapa energiku serasa tersedot banyak padahal hanya berjalan sebentar. Apa ini pengaruh terlalu banyak orang? Apa mungkin ....
"Kau tidak apa-apa, Ren?" Chrys kembali setelah membeli beberapa minuman dan sebungkus camilan yang kini telah ada di dekapannya. "Nih, pesananmu," ucapnya sambil memberiku teh botol yang masih dingin.
"Terima kasih." Kuhirup napas dalam-dalam seraya menempelkan botol menyegarkan itu di pipi, lantas meneguk isinya.
"Jiwa introvert-mu keluar, ya?" sindir Chloe. Gadis itu kemudian mencomot satu camilan berbentuk bola yang ia akui sebagai takoyaki.
Aku mengerling. Bisa jadi.
"Haruskah kuingatkan kalau kita ke sini bukan untuk wisata kuliner?" Kutatap dua orang yang sedang mendekap makanan mereka masing-masing.
"Bilang saja iri kalau kau tidak bisa makan makanan pinggir jalan." Mulut Chloe sudah penuh setelah mengatakan itu.
Aku mendesah. Terlalu lelah untuk berdebat. "Sudahlah." Aku beralih kepada Mischa di sebelahku yang sedari tadi sudah menuliskan idenya di kertas elektronik. "Sudah sampai mana, Cha?"
Mischa refleks memeluk ipapyria yang sedang ia pakai. Gadis itu melihat kembali hasil kerjanya. "Sudah hampir selesai," jawab gadis pemalu itu lirih.
"Boleh kulihat?" pintaku seraya mengulurkan tangan.
Ragu, tetapi ia tetap memberikannya padaku. "Ini."
"Terima kasih."
"Kau lembut sekali pada Mischa." Entah kenapa seperti ada nada iri dalam cara bicara badut konyol itu. Namun, aku tidak menghiraukannya.
Kutelaah hasil kerja Mischa. Ia ternyata tetap pada pendiriannya membuat teknologi untuk memperbaiki kecacatan. Konsepnya pun masih sama, tetapi lebih detail sehingga teknologi tersebut memungkinkan untuk diwujudkan.
Aku menyerahkan kembali ipapyria kepada Mischa agar bisa dilanjutkan sampai selesai.
Aku beralih kepada Chloe dan Chrys yang masih sibuk menikmati kudapan. "Nah, sekarang kalian akan membuat apa? Aku sendiri akan ke arah sana." Kutunjuk tempat di bawah pohon yang tidak terlalu ramai di sisi kanan, tetapi tetap masih banyak dilalui orang.
Chloe menelan takoyaki yang entah ke-berapa sebelum menimpal, "Aku akan melanjutkan ideku yang kemarin. Aku tinggal menghubungkannya dengan permasalahan yang baru saja kudapat barusan." Satu bola isi gurita lagi dilahapnya dengan rakus. "Kau bagaimana, Chrys?" tanya Chloe dengan mulut penuh.
"Aku akan ke sebelah sana," tunjuk Chrys ke sebelah kiri kami. "Mungkin akan ada percikan ide yang muncul."
Setelah sepakat dengan apa yang akan dilakukan masing-masing, kami pun berpencar.
Aku mengawasi sekitar, di bawah bayang-bayang kanopi pohon. Duduk diam di dinding rendah pembatas taman sembari memperhatikan setiap orang yang berlalu-lalang. Kalau ada orang yang jeli dan peka, aku bisa saja dicurigai sebagai mata-mata, mengambil setiap data yang ada. Tidak salah. Aku di sini memang untuk menganalisis apa pun yang bisa dijadikan latar belakang permasalahan.
"Katanya ada gosip kalau Pak Walkot punya selingkuhan, loh!"
"Ih, kok bisa ketahuan, sih?
"Kau tahu tidak katanya teroris-teroris Esper mulai berkeliaran lagi?"
"Aku harap aku punya kekuatan untuk menyerang balik!"
"Menurutmu, kekuatan apa yang paling menyeramkan?
"Membaca pikiran?"
Senyumku mengembang. Sepertinya aku sudah mendapatkan ide.
...
Pukul satu siang, kami kembali ke auditorium untuk presentasi sederhana. Namun sebelum itu, semua tim dipersilakan untuk mempersiapkan akan seperti apa presentasi yang nanti diperlihatkan. Apakah itu berbentuk presentasi dengan tayangan salindia penuh warna yang dibuat dengan niat sungguh-sungguh, atau hanya berupa gambar sederhana di kertas dengan beberapa penjelasan. Tidak ada yang salah. Semua tergantung kreativitas dan manajemen waktu. Kami diberi waktu sampai pukul dua siang.
Hanya satu jam. Mereka semua memang tidak waras.
Aku, Chloe, Chrys, dan Mischa bekerja sendiri-sendiri. Kami menggambar di geniusphone masing-masing. Kukatakan pada mereka untuk membuat sketsa kasar dari alat yang akan dipresentasikan. Tidak apa jelek, yang penting dapat dimengerti dan jelas cara kerjanya. Nanti, gambar yang telah dibuat digabung di kertas elektronik yang telah dibagikan sebelumnya.
Kontras dengan kami, Prima Sophia ataupun Magna Prudentia di sisi lain terlihat sibuk bekerja sama. Meskipun begitu, masih bisa kudengar perdebatan antara Alva dan Olivia, atau kejahilan Saka terhadap Argen dan Ludwig.
Chloe menegur di tengah observasiku. "Kau sudah selesai memangnya?" Gadis itu menatapku sinis. Stylus-nya berhenti bergerak. "Matamu yang jelalatan itu sesekali harus kucolok sepertinya!" katanya sambil menunjuk pena digital di tangan padaku.
Aku mengerling mendengar ancaman badut konyol itu. "Kau sendiri memangnya sudah selesai?" tanyaku balik.
"Sudah, tuh," tukasnya.
Aku sigap mengambil geniusphone di tangan Chloe. Tak kuhiraukan protesnya dan terus kutelisik hasil kerja gadis itu. Sesekali aku bergantian antara ia yang merengut dan hasil kerjanya. Boleh juga.
"Bagus." Kukembalikan ponsel miliknya.
Gadis itu menerimanya cepat sambil mendengkus.
"Selesai!" Chrys berseru seraya mengangkat gawainya tinggi-tinggi. "Kalian bagaimana, Kawan-Kawan?"
"Kami juga sudah," sahutku mewakili Chloe dan Mischa. Kedua gadis itu sudah merampungkan ide mereka semenjak istirahat makan siang. Mischa bahkan telah selesai sedari kami masih di taman dan dia hanya perlu menggambar purwarupanya.
Kini, tinggal menggabungkan semua ide. Kupastikan terlebih dahulu semua gambar purwarupa telah dilengkapi penjelasan. Satu per satu hasil kerja mereka aku tata di kertas digital yang nantinya menjadi kanvas untuk presentasi. Tidak hanya dengan menuliskan secara langsung di atasnya, ipapyria juga dapat mengimpor data-data lain dari perangkat eksternal.
"Oke, Anak-Anak, tinggal lima menit lagi." Pak Ben memberi tahu kami sembari menepuk tangannya sebagai alarm.
Aku memastikan untuk yang terakhir kalinya. "Kalian sudah siap?" tanyaku. Kulihat mereka satu per satu.
"Aku siap!" Chrys membalas yakin sambil memukul dadanya.
"Kau tidak akan menduga dengan apa yang akan kau lihat." Chloe tersenyum penuh percaya diri seraya menggosok hidungnya.
Mischa hanya mengangguk malu.
"Waktu habis, Anak-Anak! Persiapkan presentasi kalian!" Bu Eva berteriak lantang membuat kami refleks melihat ke arahnya, menghentikan apa pun yang kami lakukan.
~~oOo~~
A/N
Ayo, berikan kesan kalian pada bab ini!
Kritik dan saran yang membangun saya nantikan.
Jangan lupa memberi vote kalau suka cerita ini.
Terima kasih sudah membaca. 'v')/
Salam literasi!
***
Diterbitkan: 05/02/2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top