Bab 14: Ultimate

Perhatian: Cerita ini hanya dirilis di platform W A T T P A D.

...

"Ren ...."

"Arennga!"

Aku terenyak dari lamunan. Kukerjapkan mata beberapa kali untuk mengumpulkan kesadaran. Chloe dan Chrys berjongkok di hadapanku, Mischa di belakang mereka berdiri dengan tangan bertaut. Semua teman-temanku berwajah khawatir.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Chrys. Dia memegang bahuku lembut.

Aku menyingkirkan tangannya sebelum memijat pelipis yang berkedut. Setelah cukup istirahat, aku berdiri lantas mengecek status. Tersisa dua puluh lima soal yang harus dikerjakan. Luas peta yang terjelajahi baru 50%. Masih banyak yang harus dikerjakan.

"Ayo," ajakku.

"Kau yakin, Ren? Kita bisa istirahat sebentar lagi kalau kau mau—"

"Kita bisa saja tertinggal jauh!" bentakku. Aku mengembuskan napas untuk menenangkan emosi yang tiba-tiba melonjak.

Chloe memicing. "Hei, tenanglah! Ini bukan akhir kalaupun kita kalah di tahap ini!"

"Kubilang, 'Ayo!' Jangan membantah."

Gadis itu berdecak.

Chrys berbisik, "Mungkin dia tertekan karena sesuatu. Kau tahu, 'kan, dia selalu dituntut jadi yang terbaik—"

"Aku dengar itu."

Si Anak Pirang langsung bungkam.

Kami keluar dari persembunyian dengan mengendap-endap, waspada apabila ada serangan musuh. Bergerak di antara gedung-gedung seperti gerilya. Sesekali kutengok sekitar memastikan tidak ada ancaman yang berarti.

Dengan masih memperhatikan lingkungan, kami mengerjakan soal-soal dengan tetap hati-hati. Seiring pergerakan kami, bangunan-bangunan yang ada mengalami perubahan. Arsitektur yang cenderung lebih modern menandakan kami telah bergerak ke area yang berbeda.

Suasana yang ada pun terasa berubah 180 derajat. Jika pada area sebelumnya seperti malam, di sini, cahaya bersinar terang layaknya siang. Hangat menyelimuti kulit. Berkas-berkas sinar mentari menembus dedaunan pohon yang tumbuh di setiap rumah yang berjajar. Bangunan-bangunan tinggi menyusut menjadi rangkaian perumahan elite dengan taman-taman berbunga yang menghias. Cat putih yang seragam, rumput hijau yang tingginya rata, pagar pengaman berjeruji melindungi dari ancaman.

Orang-orang digital berlalu-lalang membuat tempat ini lebih hidup. Orang tua, pemuda, anak-anak. Anjing menyalak. Kucing mengeong. Suara kendaraan yang sedang dipanaskan terdengar di kejauhan.

Penanda-penanda soal bertebaran di sekitar mereka, di atas pohon, di atas atap, di tempat tak tergapai.

"Kita akan mulai dari mana?" tanya Chrys. "Pilihannya terlalu banyak seperti di toserba."

Aku menganalisis setiap tempat; memprediksi setiap kemungkinan soal yang sulit berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang telah kami kerjakan sebelumnya. Setelah yakin, kupilih soal yang akan kami eksekusi.

Karena aku malas menghadapi orang—meskipun itu hanya sebuah orang digital—aku memilih untuk mengerjakan soal tentang kucing. Pertanyaan itu menggiringku untuk menerjemahkan bahasa kucing yang dianalisis menggunakan frekuensi suara yang digambarkan menjadi gelombang dengan bukit dan lembah. Ada preset untuk beberapa terjemahan tertentu, tetapi saking kompleksnya gelombang yang dihasilkan, sedikit kesalahan ketinggian bukit dan kedalaman lembah menghasilkan terjemahan yang berbeda. Konsekuensi atas kesalahanku: Nekomata.

Kucing hitam yang menjadi soal menggeram sambil meremangkan bulu-bulunya. Punggungnya naik. Gigi-gigi tarinya berkilauan. Perlahan, tubuhnya membesar seukuran truk kontainer. Kaki-kakinya yang besar membuat aspal yang dipijaknya retak seperti telah dihantam sesuatu. Sebagai penutup transformasi dan ciri khas makhluk itu, ekornya yang berbulu lebat menjadi dua.

Soal-soal mengelilingiku.

"Mreeooow!!!"

Si Kucing Raksasa mengangkat satu kaki depannya lantas menggebrak tanah. Bumi bergetar, keseimbanganku goyah. Suara makhluk itu bagai trompet yang memanggil bala tentara. Kucing-kucing datang dari berbagai arah. Berbagai macam warna, tabby, calico, candramawa. Ada yang lucu, ada yang menyeramkan. Aku tidak apa dengan kucing, tapi kalau dikeroyok begini, aku juga bisa kewalahan.

Gempuran pasukan kucing membuat orang-orang di sekitar kami lari tunggang-langgang. Mereka berteriak histeris, mengungsikan anak-anak ke dalam rumah. Anjing-anjing pun bahkan kabur karena takut.

"Keimutan yang berlebihan itu menyeramkan, ya," kelakar Chrys dengan nada miris.

"Ingatkan aku untuk tidak benci kucing setelah ini," ujar Chloe. Ia mengetatkan rahangnya keras sambil sesekali menggembungkan pipi.

"Ha ... hai, Meng ...."

"Jangan teralihkan dengan tampang mereka yang menggemaskan!" ingatku.

Kucing-kucing melompat menyerang Arthur. Cakar-cakar mereka terayun cepat, menyebabkan luka digital di beberapa bagian tubuh avatarku. Arthur menebas mereka, kucing yang terkena pecah menjadi cahaya diiringi meongan yang melengking. Sesekali Arthur menendang dan mengoyak mereka.

Kalau ada pecinta kucing di sini, aku mungkin sudah diprotes karena kekerasan terhadap hewan.

"Minggir, kalian semua!" Si Badut Konyol berseru nyaring.

Clowny mengeluarkan lidah api dan membakar setiap kucing yang menyerang. Kucing-kucing yang terkena serangannya hancur menjadi butir-butir keemasan. Dari balik kobaran api yang menggelora, akar-akar Lakshmi merayap tak tersentuh. Diam-diam mengikat kaki-kaki Nekomata.

Kuperintahkan Arthur untuk membuka jalan bagi avatar yang lain untuk menyerang. Makhluk digital itu bergerak cepat mengoyak para kucing yang menghalangi jalur avatar Chrys. Krishna dengan gadanya menumbuk bumi, pilar-pilar tanah mencuat di bawah perut Si Kucing Berekor Dua.

Si Nekomata meraung-raung seiring pilar tanah Krishna melesak lebih dalam menembus perutnya. Luka digital merah menganga. Antek-antek kucingnya semakin menggila.

Kuberi Excalibur pada Arthur. Avatarku berlari sambil mengoyak setiap kucing yang menghalangi. Nekomata yang masih terkena serangan Chrys berusaha melepaskan diri dari pilar yang mengunci pergerakannya. Arthur mengoyak, menghindar, menebas, mengelak para antek Si Kucing Monster. Dengan satu lecutan memakai para kucing yang melompat sebagai pijakan, Arthur menghunus mengincar titik di antara dahi.

"Ayo, Arthur!" seru Chrys. Tangannya terangkat menyemangati.

Stab!

Meongan panjang Nekomata yang kesakitan dan pecah menjadi cahaya diiringi suara kucing-kucing lain menandai akhir pertarungan kami.

Kucing-kucing yang tersisa menjadi jinak seperti semula. Mereka kembali ke asalnya masing-masing. Namun, satu kucing menghampiriku. Ia mengelus-eluskan badannya ke kakiku, seperti berterima kasih karena telah dibebaskan dari perbudakan Nekomata.

"Hus, hus," usirku.

"Aw, Ren. Dia menyukaimu," ujar Chrys.

"Diamlah."

Aku menendang kucing itu halus. Ia mendesis. Di sebelahnya, Chloe mencibir. Tak kuhiraukan mereka semua.

"Ayo," ajakku.

Kami meninggalkan kumpulan kucing yang sedang yoga menjilati tubuh mereka.

Perjalanan terus berlanjut. Soal-soal yang ada mengharuskan kami untuk menghitung berbagai peluang yang ada di perumahan tersebut, mulai dari, berapa kemungkinan waktu yang dibutuhkan untuk sebuah gosip menyebar di lingkungan perumahan yang memiliki populasi ibu rumah tangga berjumlah lima puluh bila satu mulut dapat memengaruhi dua orang dengan catatan hanya lima persen dari mereka yang suka gosip? Atau, berapa kemungkinan banyak suara yang diperlukan (dalam dB) apabila ketua RT hanya mendengar suara orang-orang berpengaruh? Oh, ayolah! Siapa pun yang membuat soal-soal ini tidak benar-benar serius! Dan ini lebih seperti sindiran daripada soal olimpiade!

Alhasil, kami harus menghadapi seekor monster sebelum melawan bos terakhir karena aku tidak yakin dengan apa yang kujawab.

"Mati kalian, soal tolol!!!"

Pedang-pedang memelesat cepat dari atas ke bawah menghancurkan si monster yang berbentuk zombi seketika. Aku yang menyaksikan makhluk sialan itu berubah menjadi cahaya sepertinya telah membuat teman-temanku khawatir.

Chrys bahkan menampar-nampar pipiku sampai terasa perih sambil berkata, "Sadar, Ren, sadar! Teriakanmu yang seperti kesurupan membuatku merinding!"

Bugh!

Aku memukulnya balik. Chrys meringis.

"Hei, ingat kata Pak Ben! Tidak ada KDRT!" teriaknya sambil mengelus pipi.

"Kau yang mulai!" tampikku sambil menunjuknya. Lelaki itu hanya mengerucutkan bibir.

Chloe dan Mischa melihat kami miris.

"Kalau kalian sudah selesai dengan masalah rumah tangga, kita harus lanjut," kata Chloe akhirnya.

Soal terakhir menggiring kami ke suatu tempat berupa lapangan ber-paving block dengan motif mosaik lingkaran warna-warni. Di tengahnya, tugu berbentuk lingga dan yoni putih setinggi mungkin sepuluh meter berdiri gagah, membentuk sebuah obor. Di sekelilingnya ada tangga spiral menuju puncak. Di atas bagian api solid, terdapat kristal oktahedron putih yang berwarna-warni.

Seperti sebuah pola, kejadian di latihan terakhir berulang. Tim Prima Sophia dan Magna Prudentia berlari saling berkejaran di sisi lain. Aku yang tidak ingin tertinggal seperti sebelumnya memerintahkan Chrys melecutkanku menggunakan pilar tanah, serta menyuruh Mischa untuk membuat pijakan akar menuju puncak tugu.

Chrys ragu. "Kau yakin, Ren?"

"Tidak ada waktu. Cepat!" desakku.

Sesaat sebelum Krishna menumbuk tanah, aku mengulurkan tangan pada avatarku. "Ayo, Arthur!"

"Bersiaplah, Ren!" teriak Chrys.

Aku melecut bersama Arthur di punggung. Akar Lakhsmi merambat tepat di bawah tubuhku sebelum aku berhasil menabrak tanah. Sempat terselip sampai tergelincir dan harus bergelantungan untuk sesaat, tetapi aku berhasil kembali ke jalur. Terus berlari di sepanjang akar membutuhkan keseimbangan yang lebih banyak. Aku harus memperhitungkan beban tambahan di punggung sambil terus menghindari serangan-serangan yang tiba-tiba datang.

Alva dengan lecutan-lecutan angin dan Saka menggunakan peluru-peluru air menyerangku dari jalur bawah. Arthur di punggungku menahan semua serangan itu dengan tameng dan pedang. Sesekali aku tergelincir lagi karena proyektil yang ditahan tidak sebanding dengan kekuatan dan keseimbanganku.

"Jangan ceroboh, Kesatria!"

"Hati-hati, Ren!"

Ujung akar Lakhsmi yang mencapai puncak tugu terpotong oleh serangan seperti pisau angin lantas berubah menjadi cahaya. Tidak ada waktu bagiku untuk mengumpat dan protes. Dengan ancang-ancang yang penuh perhitungan, aku meloncat mengandalkan gaya dorong akar Lakshmi yang tersisa. Di udara, semakin banyak proyektil yang menyerang. Satu lecutan angin berhasil menggores pipiku, tetapi tidak sampai melukainya.

Tanganku semakin dekat menggapai. Namun, sepertinya perhitunganku agak memeleset sehingga aku hanya berhasil meraih sisi tempat obor bertengger. Beberapa detik aku bergelantungan sebelum akhirnya berhasil naik dan mendapat kristal soal itu.

Dari atas puncak, aku bagai pemenang. Aku berdiri tegap menantang. Kuacungkan penanda soal itu ke atas agar semua orang yang di bawah dapat melihatnya. Kubuktikan pada semua, terutama pada ayahku, kalau aku patut diperhitungkan.

Euforiaku tak dapat bertahan lama. Kristal yang ada di tanganku pecah. Tugu yang kupijak bergetar. Keseimbanganku goyah. Aku tak sadar melangkah mundur sampai mencapai ujung. Kakiku selip. Aku jatuh sambil memeluk Arthur.

"Arennga!"

"Ren!"

Apa yang akan terjadi ketika seseorang terjatuh dari ketinggian sepuluh meter? Kalau tidak mati karena benturan kepala, mungkin patah tulang. Namun, untungnya sesuatu berhasil menghindarkanku dari itu semua.

Aku mendarat di atas jaring-jaring akar Lakshmi. Permukaannya yang kasar berhasil membuat punggungku sakit. Aku meringis beberapa saat sebelum akhirnya dapat bangkit sambil masih menahan syok dan ngilu. Beberapa kali kutarik napas agar tubuhku cepat stabil.

Chrys, Chloe, dan Mischa menghampiri. Si Anak Pirang yang paling heboh dengan keadaanku. Dia terus berteriak apa aku baik-baik saja atau tidak, apa ada yang memar atau luka, serta bagaimana rasanya di atas sana dan jatuh dari tempat tinggi. Ingin sekali aku menghajar anak itu atas pertanyaan terakhir, tetapi tidak ada waktu.

Dari ujung obor, pilar cahaya naik ke langit. Keadaan di sekeliling seketika berubah. Angin berembus kencang membawa debu dan daun-daun kering. Langit yang tadinya cerah berubah mendung. Gumpalan awan kelabu bergumpal di atas tugu membentuk pusaran. Petir dan gemuruh menyambar-nyambar seperti badai.

Dari tengah pusaran kumulonimbus, sesuatu keluar. Sebuah gumpalan hitam memelesat turun dengan cepat. Sebelum benda itu mencapai tanah, dua buah sayap kelelawar membentang. Kepala dengan moncong bergigi tajam dan ekor panjang serupa reptil menyembul. Dua kaki depan dan dua kaki belakang bercakar serupa pedang menyapa. Seekor naga.

Semua orang melihat ke atas, terkagum atau tercengang dengan hewan mitologis itu.

Chrys tertegun. "Keren ...."

"Ini pasti tidak nyata," gumam Chloe.

"Itu tergantung," balasku. "Nyata dalam artian apa? Semua yang kita alami selama ini nyata sekaligus tidak. Naga itu cuma mitos, tapi sekarang benar-benar ada di depan kita." Aku berdiri tegap. "Sekarang bertarung!"

Naga itu meraung. Suaranya seperti dapat memecah langit. Lebih dari guntur dan gemuruh yang menggelegar. Aku sampai harus menutup kuping kalau tidak ingin jadi tuli.

Dengan satu kepakan sayap, makhluk itu terbang melingkar mengelilingi lapangan sambil menyemburkan api. Tim lain langsung menyingkir, menyisakan kami yang terkurung.

Reptil bersayap itu bertengger memeluk tugu, mencengkeramnya sampai retak. Ia meraung sekali lagi sambil menyemburkan api ke langit.

Drac Si Naga Kegelapan, hit point tiga ribu.

Naga itu memelesat ke langit sebelum akhirnya menukik turun. Tanah bergetar seperti terkena gempa ketika makhluk itu menjejak tanah sambil menyemburkan api ke sembarang arah. Kami semua menghindar sebelum memberi serangan balasan.

"Persiapkan skill ultimate kalian!" perintahku. "Serang pada saat yang tepat agar tingkat keberhasilannya meningkat!"

Aku berlari mencari posisi yang sekiranya menjadi titik buta makhluk itu. Arthur menggunakan tamengnya mengadang setiap serangan yang ada. Mendapat tempat yang cocok di sisi kiri makhluk itu yang sedang menghadapi yang lain, aku langsung memberikan Arthur Excalibur.

Arthur melompat di antara akar Lakshmi yang mengikat keempat kaki makhluk itu. Dia berlari di atas ekor si naga yang mengibas-ngibas. Sesekali punggung Drac meliuk-liuk menyingkirkan Arthur sambil menghindari serangan-serangan api Clowny atau cakram berputar Krishna.

Ketika Arthur mencapai area leher, aku langsung memekik, "Sekarang, Arthur!"

Jleb!

Pedang berhasil tertancap di leher Drac. Makhluk itu melentingkan tubuh sampai Arthur kehilangan keseimbangan dan jatuh. Si Naga meraung lantas terbang ke atas. Akar Lakshmi yang menahannya dihancurkan dengan mudah. Sebelum berhasil naik, Mischa mengikat lagi kaki-kaki makhluk itu dengan akar, tetapi Drac membakarnya sampai musnah dalam sekejap. Makhluk itu hilang di langit.

Aku menangkap Arthur lantas berkumpul dengan yang lain untuk membicarakan strategi lanjutan.

Chrys yang membuka suara. "Kau ada ide, Ren?"

"Omong-omong, waktu yang tepat itu yang seperti apa?" sahut Chloe menanggapi perintahku sebelumnya.

Aku baru akan menjawab dua pertanyaan itu ketika Si Monster Naga kembali dan menghasilkan debum yang hebat. Angin menghantam keras ketika ia mendarat, membawa debu beterbangan. Raungan kembali terdengar saat makhluk itu membuka mulut.

Aku sebisa mungkin memutar otak. "Mischa, ikat! Chrys, kunci dengan pilar dan serang bagaimanapun caranya! Chloe, serang balik dengan lidah api kalau makhluk itu menyerang—"

Akar Lakshmi tiba-tiba menyelubungi kami. Aku baru sadar ketika dari balik dinding akar, semburan api tengah berkobar. Chloe langsung mundur dan mengeluarkan skill yang kuminta.

Gadis itu memekik, "Nah, apa yang kalian tunggu? Ayo!"

Mischa berdiri di samping Si Gadis Badut dan memberikan Lakshmi skill akar pengikat lagi. Chrys lari ke kanan dengan Krishna yang langsung mengeluarkan cakram berputar. Sementara itu, aku kembali lari ke kiri dan memberi Arthur dua pedang.

Dari sisi yang berlawanan, Chrys berteriak. Suaranya terdistorsi angin, tetapi masih bisa kudengar. "Bersiaplah, Semua! Aku akan mengeluarkan skill ultimate-ku! Kali ini kupastikan akan berhasil!"

"Lakukan, Chrys, jangan banyak bicara!" timpal Chloe yang masih mempertahankan skill bola-bola api Clowny.

Berharap saja berhasil.

Saat Arthur sedang menyerang bagian kaki—yang sering kali makhluk itu entak-entakkan—suara seruling bambu terdengar. Nadanya naik-turun dengan tempo yang berubah-ubah, dari lambat ke cepat. Tujuh ular kobra hitam raksasa muncul dan merayap dari sisi-sisi yang berbeda. Mereka melilit naga itu di beberapa tempat; kaki, leher, ekor, sayap—avatarku menyingkir. Dengan satu komando dari nada di titik tertinggi musik Krishna, ular-ular menggigit reptil bersayap itu dengan beringas.

Drac meraung keras sampai menyemburkan api ke atas. Tubuhnya meronta-ronta ingin lepas dari lilitan ular-ular Krishna. Namun, semakin keras makhluk itu bergerak, semakin erat lilitan para ular. Asap kehijauan keluar dari tempat gigitan, seperti racun yang menguap. Setelahnya, Si Naga Raksasa menjadi lemas. Ular-ular perlahan menghilang. Chrys berhasil.

Kesempatan—

"Wohoo, kau keren, Chrys. sekarang giliranku!" Chloe memekik antusias.

Si Badut Konyol melemparkan avatarnya ke langit. Tiga bola api berkumpul di atas kepalanya dan membesar sampai mencapai ukuran setara Drac yang berwujud bola. Bola-bola jingga kemerahan itu memelesat ke arah Si Reptil Bersayap yang baru saja sadar setelah diserang Chrys. Bola api yang mendarat berubah menjadi tornado api. Bola-bola itu terus memelesat membentuk badai dengan pusaran-pusaran api yang membutakan mata dan membuat tubuh banjir keringat.

Hawa panas menerjang. Kobaran api melebar. Pusaran panas merah-jingga memenuhi seluruh lapangan. Api yang berputar mengelilingi dan membakar Si Naga Raksasa bagai siklon yang menghancurkan segala yang dilaluinya. Drac meraung kesakitan. Dari balik tirai api, siluetnya yang menggeliat seolah tidak tahan dengan siksaan yang ia terima. Badai api Clowny bertahan selama satu menit penuh, tetapi waktu yang singkat itu seperti tidak ada ujungnya berkat hawa panas yang terasa layaknya berdiri tepat di depan rumah yang terbakar.

Bar hit point Drac tersisa setengahnya.

"Kau gila, Chlo! Itu keren sekali!" pekik Chrys lantang sambil melompat dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

"Wow, tentu saja!" balas Chloe. Gadis itu berusaha memanasiku seperti kemampuan badutnya. "Kau bisa lebih hebat dari itu tidak, Kesatria Payah!"

Drac yang hitam gosong menggeliat berusaha untuk bangkit. Sayapnya mengepak bersiap untuk terbang lagi. Sebelum makhluk itu berhasil, aku menghentikannya dengan skill ultimate Arthur yang telah kupersiapkan sebelumnya sekaligus sebagai jawaban atas tantangan Si Badut Konyol.

"Ayo, Arthur!"

Tombak-tombak hitam berujung perak mencuat dari bawah tanah menusuk dan mengelilingi naga itu. Si Reptil Bersayap meraung karena perutnya tertusuk ratusan tombak runcing. Pergerakannya semakin menyulitkan tatkala tombak-tombak itu semakin menusuk ketika tubuhnya bergerak. Darah digital mengucur deras dari luka yang ia alami menjadikan tanah lapangan menjadi merah dan berbau amis.

Drac lagi-lagi menyemburkan api. Kali ini sasarannya adalah Chloe dan yang lainnya. Mischa langsung membuat dinding akar dan Chrys membuat pertahanan dari pilar-pilar yang memanjang horizontal. Aku tidak tinggal diam. Kulanjutkan ke tahap selanjutnya.

Petir-petir keluar dari ujung tombak. Lecutan listriknya saling mengait satu sama lain membentuk jaring-jaring. Drac menjerit parau ketika listrik-listrik itu mengenai kulitnya yang sudah tak bersisik karena terbakar sebelumnya. Naga itu berusaha terbang, tetapi tombak yang menusuk menahannya bergerak.

Arthur mengangkat pedangnya ke udara. Dari ketiadaan, pedang-pedang berbagai ukuran dan bentuk bermunculan. Ratusan senjata tajam itu mengelilingi Si Naga. Bilah-bilahnya yang tajam memantulkan sinar matahari yang lolos dari celah awan, menekankan kilau mematikan yang ada. Dengan satu gerak tangan Arthur, pedang itu memelesat turun, tepat ke arah Si Reptil Bersayap.

Hujan pedang terus menerus menggores, mengoyak, menusuk tubuh ringkih Drac. Naga itu berusaha mengelak, tetapi sia-sia. Setiap gerakannya akan terhenti oleh pedang yang mengenai setiap inci tubuhnya. Makhluk itu terus meraung ketika pedang dan tombak berhasil melukai tubuhnya. Darah terciprat dari setiap luka yang ada. Api keluar dari mulutnya bagai muntahan karena sayatan yang diterima.

Satu menit penuh ketegangan dan siksaan bagi Drac akhirnya berhenti. Sebagai bos final di fase pertama, tidak heran bila makhluk itu masih bertahan dari tiga serangan skill ultimate. Namun, aku tidak yakin dengan serangan terakhir.

"Mischa, penutup!" perintahku.

Menggunakan bunga teratai sebagai tempat berpijak, Lakshmi terbang ke atas. Lingkaran cahaya cakra mengelilingi di belakangnya. Ia melemparkan padma di tangannya ke bawah. Kelopak-kelopak teratai yang menyentuh tanah menjadi bibit yang menumbuhkan tanaman rambat raksasa yang bergabung membentuk seekor ular naga raksasa hijau.

Duri-duri tajam mencuat bagai sisik. Ratusan kelopak teratai terbang mengelilingi tubuh makhluk itu bagai spiral dari atas ke bawah. Naga itu berputar mengelilingi Sang Devi layaknya pelindung dari segala marabahaya.

Dengan satu gerak tangan, Lakshmi mengirim naganya untuk menyerang Drac.

Kedua naga berbeda bentuk itu saling berhadapan. Drac menyemburkan apinya, naga Lakshmi menahannya dengan putaran kelopak teratai terbang. Bagai meteor yang memasuki atmosfer Bumi, selubung pelindung menyelubungi naga avatar Mischa.

Kedua naga itu semakin dekat. Naga Lakshmi mengelak ke atas sebelum terjadi benturan. Si Reptil Bersayap menyemburkan apinya lagi, tetapi berhasil dihindari.

Si Naga Tumbuhan meraung. Makhluk digital itu melemparkan duri-duri tajamnya ke tubuh Drac sampai naga itu menjerit. Dengan gerak secepat kilat, naga Lakshmi membelit tubuh lawannya lantas menusukkan lagi duri yang ada di tubuhnya. Pekikan Drac seperti petir di siang bolong. Si Reptil Bersayap menjerit lebih keras ketika tubuhnya dibelit semakin erat. Darah mengucur seiring hit point-nya terkuras banyak.

Dengan satu gigitan di leher Si Naga Bersayap, naga Lakshmi mengakhiri perlawanan Drac Si Naga Kegelapan.

Kami semua tertegun melihat itu semua. Tidak ada serangan bantuan dari para avatar lain selama serangan ultimate Mischa. Layaknya akhir pertunjukan yang memukau, percikan-percikan cahaya yang berasal dari Si Reptil Bersayap berubah menjadi kembang api yang meluncur ke atas. Ledakan warna menyambut diiringi sebuah tulisan "Selamat!" yang berasal dari butir-butir cahaya kekuningan.

Arena lapangan menghilang perlahan. Cahaya-cahayanya meluncur menjadi ledak cahaya yang sama seperti sebelumnya. Kemenangan kami disambut oleh parade kembang api digital dan tepuk tangan meriah para penonton serta musik pengiring para pemenang. Siulan dan pekikan menggema di seluruh stadion, menyerukan nama Scienta et Social.

"Mari kita sambut para pemenang!" teriak suara tak berwujud yang memenuhi stadion. "Scienta et Social! Prima Sophia! Magna Prudentia!"

Baru fase pertama, tetapi sambutannya sudah meriah. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana tahap akhir dan penutupan olimpiade ini.

Chrys menggamit tanganku dan Chloe memegang lengan Mischa. Kami saling berpegangan tangan sebelum akhirnya Chrys menyuruh kami mengangkatnya sebagai tanda kemenangan.

Aku tersenyum kecut. Apa yang akan dikatakan Ayah saat melihat ini?

~~oOo~~

Beta reader: n_Shariii

A/N

Uwoooh! Saya harap aksi yang intens ini cukup memuaskan kalian. Empat skill sekaligus dalam satu bab. Capek!

Bab selanjutnya adalah penutup fase satu. Tenang, perjalanan kita masih panjang!

***

Ayo, berikan kesan kalian pada bab ini!

Kritik dan saran yang membangun saya nantikan.

Jangan lupa memberi vote kalau suka ceritanya.

Terima kasih sudah membaca. 'v')/

Salam literasi!

***

Diterbitkan: 07/11/2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top