四 ; ada wa on de bouzyo

repay your enemy with a favor
.......................................

"Dan? Kapan saya diperbolehkan pulang?"

Kano mengemut permen susu-nya dengan tenang. Gadis itu duduk di atas ranjang rumah sakit dan melamun. Naoki yang sedang memeriksanya hanya tersenyum dan menggeleng-geleng.

"Tidak akan saya beritahu, kecuali kamu mau memberi tahu saya mengapa bahu kamu tidak mengalami kemajuan sedikit pun," celetuk dokter yang menyandang marga Watanabe tersebut. Kano meringis; mengingat kembali kejadian beberapa minggu lalu yang disebabkan oleh orang yang (katanya) sangat mencintainya, namun, malah membuat geser tulang bahu-nya. Kano tidak habis pikir; sebenarnya, Haruto itu gila dari awal, atau gila karena cinta?

"Kenapa Dokter bisa yakin sekali bahwa saya adalah penyebab bahu saya sendiri tidak sembuh dengan baik? Kenapa tidak berasumsi bahwa ini salah satu akibat dari kecelakaan truk itu? Hehe," balas Kano. Naoki tampak berpikir sebentar sebelum menjawabnya.

"Saya sendiri tidak yakin itu kecelakaan. Dicakar kucing saja kamu sudah menangis. Masa, rela mengorbankan diri kamu sendiri untuk sahabat yang tidak ada manfaatnya itu?" gumam Naoki dengan suara pelan. Namun, masih dapat terdengar oleh Kano.

Yah, Dok, ini memang bukan kecelakaan, kok.

Batinnya yang tentu tidak akan pernah ia suarakan sampai kapan pun. Kano memilih berpura-pura tidak dengar dan bertanya, "Hah? Apa, Dok?"

"Kamu ini, sebentar-sebentar memanggil saya dengan gelar, sebentar-sebentar lagi dengan nama—langsung nama depan pula," omel Naoki tiba-tiba. Kano terkikik senang mendengarnya.

"Naoki-sama, begitu saja diomelin, lucu." Kano menyarkas.

"Saya memang lucu."

"Itu saya lagi satir, loh, Dok."

Naoki terdiam. Tak lama, Kano tertawa dan menepuk-nepuk bahu lelaki itu, ia memegangi perutnya; menahan tawa. "Dokter bener, kok, dokter lucu," lanjutnya.

Suasana menjadi hening. Seperti hari-hari sebelumnya, kamar Kano selalu dibuka tanpa diketuk, dan pelakunya bervariasi. Kali ini adalah Haruto, lelaki berusia delapan belas tahun tersebut membuka pintu dengan girangnya sambil menenteng tas kain berisi macam-macam camilan yang sebenarnya tidak boleh dimakan oleh ningen yang sedang sakit (setidaknya menurut anjuran dokter).

"Wah, bawa camilan lagi?" tanya Kano antusias. Haruto mengangguk sama antusiasnya. Mereka berdua sibuk dengan dunianya sendiri hingga tidak mengacuhkan Naoki yang sekarang menatap mereka malas.

"Kalau begitu, saya keluar dulu," pamit dokter itu sopan.

Kano tersenyum. "Eung," balasnya.

Atmosfer berubah cepat. Haruto menatap Kano sangat serius, sampai gadis itu sendiri salah tingkah. Berniat mencairkan suasana, Kano membuka suara, "Ibu membanting barang-barang lagi, tidak?"

Kano mengharapkan jawaban 'tidak'.

"Akira kesana tadi malam, dan, ya; rumahmu sudah seperti kapal pecah." Kano memilin bibirnya takut mendengar jawaban Haruto. Yukino kambuh lagi, begitu pikirnya.

"Aku kira ibu sudah sembuh karena beberapa hari ini beliau tidak melakukan hal itu lagi, dan, kenapa Akira ke rumahku?" cecar Kano tanpa sela. Haruto menghela napas.

"Bibi tidak sakit. Akira ke rumahmu karena mengantar masakan papa."

Kano mengernyit, "Paman memasak lagi? Untuk apa?"

"Mana aku tahu."

Kano berdecak.

"Jalan keluar, yuk," ajak Haruto sembari membuka bungkus camilan berjenis ciki, memakannya satu-persatu. Kano menyambarnya tanpa seijin pemiliknya, menjadikannya hak milik. Meski begitu, Haruto tidak marah karena ia kembali membuka ciki lainnya.

"Aku cacat."

Sontak, tangan Haruto melayang ke kepala Kano, memukulnya pelan, refleks. "Jangan bilang begitu, cacat dari mananya?" bantahnya. Kano tidak bisa mengendikkan bahunya belakangan ini, dan Haruto bilang ia tidak cacat?

"Baka, kau yang membuatku cacat, kuso," ujarnya membuat Haruto kalah telak.

Kano memicingkan matanya, menatap Haruto lamat-lamat. "Pengembangan karaktermu jelek sekali."

Oke, itu menyinggung Haruto.

"Kau bipolar?"

Kano membahasnya lagi. Haruto memijit pelipisnya lelah, menolak dikatai bipolar. "Aku tidak bipolar ... aku hanya tidak suka jika gadis yang aku sukai menyukai pria lain."

Sebenarnya, semua orang begitu.

"Jadi, kau menyukaiku atau mencintaiku?"

"Itu dua hal yang sama."

"Tidak, ya, tolong."

"Jika aku jawab dua-duanya?"

"Tidak akan mengubah keputusanku untuk tetap menolakmu."

"Tuh, 'kan?"

"Apanya?"

"Tidak."

Berdebat. Terus saja berdebat.

"Kau belum menjawab pertanyaanku."

"Yang mana?"

"Soal kau bipolar atau tidak."

"Sudah kujawab, sayang."

Kano mengerutkan alisnya. Apa yang si bodoh ini katakan?

"Terserah."

Suara kunyahan renyah bergema di ruangan luas itu, menggantikan suara-suara yang sejak tadi ribut.

"Aku suka iga."

Kano menceletuk tiba-tiba.

"Lalu?"

Kano heran sekali kenapa lelaki tidak pernah peka.

"Tidak mau belikan aku?"

"Aku tidak punya uang."

Jawaban yang masuk akal, tapi—Kano tidak percaya.

"Aku minta belikan Akira saja."

Seperti dugaan Kano—

"Mau di restoran mana?"

—Haruto tidak akan pernah mengabaikannya.

🍂

Kano tertimbun daun.

Tubuhnya menjadi berbau daun kering (yang kalau diinjak bunyinya 'kres-kres' itu). Kano tidak suka. Ini semua karena Haruto yang jahil mendorong kursi roda Kano ke bawah balkon apartemen entah siapa, lalu; seseorang keluar dan menyiramkan daun hingga mengenai Kano. Orang itu tidak tahu, sih, kalau dibawahnya ada Kano (dan tidak pernah tahu).

Tapi, tetap saja, Kano kesal.

"Tidak mau tahu, pokoknya, kau harus menyuapiku!"

Paksa gadis cerewet tersebut, menodong Haruto yang terkikik geli dari 'tragedi daun' tadi. Di depan mereka tersaji banyak daging iga dan sayuran semacam salad serta sup, tidak ada nasi (karena Kano sedang tidak ingin makan nasi, katanya). Mereka duduk di kursi, bukan lesehan seperti biasanya; kaki Kano mati rasa sehingga tidak dapat ia gerakkan sesuai kehendaknya, jadi, pilihan terbaik adalah kursi.

"Pacarmu tidak cemburu?"

Kano tersedak jus jeruk-nya, apa-apaan lelaki itu?!

"Setelah semua yang kau lakukan padaku, kau membuatku mengingatnya?"

Haruto menyuapi suwiran iga—Kano tidak bisa makan menggunakan tangan mau pun memakan daging yang belum disuwir—ke Kano, memandangnya tanpa rasa bersalah.

"Memang apa yang aku lakukan kepadamu?"

Kano menelan makanannya susah payah.

"Menciumku tanpa ijin, membuatku menangis, mendorongku hingga menabrakku ke truk, membuatku bertengkar dengan pacarku, membuat Yoshida-san salah paham, mengundang kemarahan Naoki-sama karena—,"

"Oke, cukup. Aku baru sadar kesalahanku sebanyak itu. Tapi, bisa disebut kesalahan, kah?"

Kano memukul kepala Haruto memakai sendok yang baru saja ia ambil.

"Uzzendayo. Kau sebodoh itu, ya?"

Haruto menggerutu.

"Mengutuk saja terus, bahasamu jadi kasar akhir-akhir ini."

Kano mendelik, membuka mulutnya; menerima suapan Haruto.

"Karena siapa, coba? Bodoh."

"Tuh, 'kan."

Haruto berjengit sebab Kano baru saja mencubit pahanya kasar, membentur meja dengan keras; mengundang perhatian pengunjung lainnya.

"Sadar diri, dong!"

Kano galak sekali beberapa hari ini.

"Iya, aku sadar diri, aku salah."

Kano tersenyum puas, tapi, langsung pudar kemudian.

"Tapi, menciummu tidak termasuk kesalahan, harusnya."

"Tolol."

Baik, Kano mengutuk lagi.

"Tidak mau tahu alasannya kenapa aku tidak menganggap itu salah?"

Tidak apa, 'kan, kalau Kano penasaran?

"Mau."

Haruto terkekeh mendapati perubahan ekspresi Kano, menggemaskan sekali.

"Sudah jelas, 'kan, karena aku mencintaimu."

Tampaknya karena Haruto yang menyebalkan atau apa, kemampuan memukul Kano jadi meningkat (terima kasih pada Haruto).

"Kalau kisah hidupku dijadikan buku, akan menjijikkan sekali."

Haruto terdiam bingung.

"Mau tahu kenapa?"

Lelaki itu mengangguk ragu.

"Sebab ada otoko yang katanya mencintaiku, tapi, malah menabrakkanku ke truk."

Sial, Kano membalikkan kata-katanya.

...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top