十四 ; atama kakushite shiri kakusazu

hide your head but fail to hide your butt
.......................................

"Jadi, kakak ini yang namanya Fujii Nakano?"

Kano mengerjap. Menelan ludahnya gugup. "Y-ya?"

"Lebih dari dugaanku," gumam gadis itu berlalu begitu saja dari hadapan Kano. Kano menghela napas dan tersenyum canggung, menoleh ke arah Naoki yang menatapnya meminta maaf. Kano mengangguk mengiyakan, tidak tahu harus bersikap seperti apa.

"Maafkan ia, ya. Kelakuannya sudah dari dulu seperti itu, tapi, tidak biasanya ia seketus ini," ujar Naoki berjalan bersisian dengan Kano, memperhatikan punggung adik sepupu perempuan satu-satunya yang berjalan lebih cepat dari mereka itu. Kano menggaruk lehernya, bingung. Ia tidak menyukai Kano, kah? Padahal, Kano sudah berupaya berpenampilan baik supaya dipandang baik juga olehnya. Tetapi, sepertinya Kano tidak bisa menyenangkan semua orang.

"Tidak apa, kok. Saya hanya menemaninya membeli hadiah, 'kan? Mungkin, ia merasa asing dengan kehadiran saya," kata Kano memaklumi. Sekarang mereka sedang mengelilingi mal untuk mencari sesuatu yang gadis itu inginkan. Setelah diberitahu Naoki, Kano jadi tahu kalau gadis itu dan dokter bedah umum ini masih satu marga, alasannya kenapa; Kano tidak tahu. Watanabe Eru. Cocok sekali dengan paras rupawan miliknya. Dan, mungkin—karena ia merupakan keturunan perempuan setelah sekian lama keluarga Watanabe hanya melahirkan laki-laki (Kano diceritakan oleh Aki) makanya sikapnya bisa seperti itu.

"Mau tahu sesuatu, tidak?"

Kano menjawab cepat, "Apa, Dok?"

"Sebenarnya, ia itu gadis yang direncanakan keluarga untuk dijodohkan dengan saya."

Kano membelalak. "Eh? Bukankah ia sepupu Dokter?" Ia kemudian menyadari sesuatu. "Tapi, bukannya Dokter Naoki seharusnya tidak memberi tahu ini ke saya?"

Naoki terkekeh. Manis sekali sampai sempat membuat Kano terpana sesaat. Kano langsung menggeleng cepat, mengenyahkan hatinya yang beresir akibat suara kekehannya itu. Meyakinkan bahwa di hatinya sudah ada Akira dan tidak boleh digantikan.

"Saya lagi ingin bicara saja. Sudah lama saya tidak berbicara sesantai ini dengan salah satu pasien saya."

"Tapi, ini, 'kan, hal pribadi, Dok."

"Tidak boleh, ya, memberi tahu hal pribadi ke pasien?"

Kano menggeleng. "Kecuali, kalau pasien dan dokter itu mempunyai hubungan, setahu saya di drama-drama biasanya begitu."

"Kamu berharap punya hubungan sama saya?"

Kano yang sedang asyik melamun terkejut. "Eh? Apa? Tidak begitu, Dok. Ya ampun. Lagipula, saya ini sudah ada kekasih." Kano terkikik sampai telinganya memerah.

"Kekasih kamu sudah ganti lagi? Ckckck, harusnya sewaktu putus dengan bocah itu, kamu memberi tahu saya, biar saya punya kesempatan, soalnya bukan mereka saja yang suka kamu."

Kano salah tingkah mendengarnya. "Siapa lagi, Dok, memangnya?" Tapi, bagaimana dokter itu tahu ia berganti kekasih?

"Kamu mau mendengarnya dengan jelas?"

"Kalau dokter tidak keberatan."

"Saya juga suka kamu. Apa sudah jelas?"

Kano menyengir tertahan. "Bercandaan dokter lucu, tapi, saya tidak akan terpengaruh." Meski begitu, jantungnya berdegup tidak karuan memikirkan perkataan Naoki yang bisa jadi benar bisa jadi tidak itu. Kano tidak terbawa perasaan, 'kan? Kano mencoba menyangkal dengan membatin: ini adalah perasaan-wajar-yang-dirasakan-ketika-relasimu-yang-tidak-dekat-menyatakan-menyukaimu.

"Saya serius, loh."

Kano menghela napas. "Saya menganggap tidak pernah mendengarnya, terima kasih."

Naoki sudah hendak menimpali ketika lambaian tangan Eru menyedot perhatian mereka. Eru terhenti di depan toko perhiasan kepala wanita, bersemangat menyuruh kakak sepupunya dan Kano agar mempercepat langkah.

"Ada yang kamu sukai?"

Eru menatap Kano sebentar sebelum beralih ke Naoki. "Bukan, ada lelaki tampan." Ia memajukan bibirnya setelah mengatakannya. "Tetapi, ia bersama gadis lain."

Kano hampir saja tertawa jika tidak melihat 'lelaki tampan' yang dimaksud merupakan kekasihnya sendiri—bersama gadis yang tidak ia ketahui siapa. Sial, Kano ingin tenggelam dan menjadi ubur-ubur rasanya. Ia harus putar balik atau bagaimana? Beralasan pergi ke toilet karena sedang kebelet? Ide yang bagus. Saat akan melancarkan ide jeniusnya itu, gadis yang bersama Akira terburu-buru keluar dari toko dan menabrak bahunya kecil—tapi, gadis itu tidak meminta maaf padanya. Akibat itulah arah pandang Akira jadi tertuju padanya, tampak sekali ia terkejut melihat keberadaan Kano.

"Kok, ada disini?"

Seperti bisa membaca situasi yang terjadi di antara Kano dan Akira, Eru yang berusia enam belas tahun dan super peka tersebut berinisiatif memprovokasi sang lelaki yang tidak ia kenal, tetapi, ia yakini adalah pacar Kano, ditilik dari ekspresinya yang cemburu dan tidak nyaman. "Kamu siapa?" tanyanya lantang. Mereka berempat berdiri di depan toko, menciptakan hawa buruk yang membuat siapa pun urung mengunjungi toko berisikan barang-barang idaman kaum wanita itu.

"Apa kau mempunyai hak untuk mengetahuinya?"

Eru menggerutu. "Sinis sekali, kumaafkan karena kamu tampan."

Akira tersenyum miring. "Aku tidak meminta maaf, lho."

Kano memukul kepala Akira pelan. "Jawabnya yang sopan, ia ini nona muda, sayang." Akira mengelus-elus kepalanya bekas pukulan Kano tadi—tidak sakit, sih, ia hanya berlagak imut saja—dan memanyunkan bibir. Jelas sekali perbedaan perlakuan Akira terhadap Kano dan Akira terhadap Eru.

"Maaf untuk kelakuannya, ya." Kano meringis pada Eru yang masih sebal karena pertanyaannya tidak dijawab—juga karena melihat momen mesra yang tidak ia suka—dan Naoki menggeleng ramah, mengatakan tidak apa. Melihat tingkah kepala keluarga Watanabe yang sekarang—yang sampai mengawinkan cucunya itu terlihat jelas, 'kan, seberapa kayanya mereka? Sampai tidak ingin dibagi-bagi ke orang luar garis keturunan. Kano akui, sih, biaya seratus ribu yen yang dikeluarkan Akira saat kencan di Tokyo Disneyland tidak sedikit, tapi, Kano yakin biaya itu didapatkan bertahun-tahun, tidak dalam sekejap saja.

Yang nyatanya salah—sebab keluarga Takahashi lebih misterius dari yang ia bayangkan.

"Omong-omong, kau tadi kesini bersama siapa?"

Wajah Akira berubah panik, membuat Kano curiga.

"Aku akan segera pergi jika kau tidak menjawab juga," celetuk Kano bersiap memegang lengan kemeja Naoki. Eru melihat sikap Kano, berseru senang dalam hati, bahagia tidak perlu berpura-pura romantis dengan dokter yang dianggapnya tua itu.

"Inoe!" Akira menunduk. "A-aku tadi bersama Inoe."

Kano mengernyit, tapi, memilih tidak melanjutkannya. Ia memang terkesan murahan, pergi bersama pria lain padahal sudah punya kekasih, tetapi, ia telah meminta ijin. Berbeda dengan Akira yang pergi berdua saja—ke toko perhiasan kepala pula, bersama perempuan yang lelaki itu bilang teman dekat. Kalau teman dekat, bukannya harus mengerti batasan? Harusnya cewek ular itu tahu Akira sudah mempunyai kekasih—atau Akira belum memberitahu gadis dengan nama depan Inoe tadi?

"Oh," tukas Kano begitu saja. "Kita belum makan siang, Watanabe-sama ingin makan apa?"

Kano beralih menghimpit lengan Eru, sok akrab dengannya demi menghindari Akira yang sedikit membuatnya marah. Eru tersenyum simpul, "Kakak ingin makan apa?"

Mereka berempat berjalan terpisah, Kano dan Eru serta Naoki dan Akira yang malah terlihat sebagai penjaga kedua perempuan tersebut.

"Kalau saya, terserah Nona Muda saja," tukas Kano lagi, melirik dari ekor matanya, melihat sebuah kedai cokelat yang cukup menggugah selera. Makanan favoritnya ialah choco bars dan ia sedang berselera untuk itu saat ini. Tetapi, gadis disampingnya yang bisa membuatkan beratus-ratus kedai cokelat lainnya ini wajib dipentingkan terlebih dahulu.

"Kakak mau makan cokelat?"

Kano tersentak. "Eh—iya?"

Eru menarik tangan Kano menuju kedai cokelat itu, berhenti tepat di depan pintu masuk. "Aku mau makan cokelat."

Padahal, ia sedang ingin makan cupcake.

Kano menghela napas terhadap kelakuan Eru yang super mendadak itu. Baru hendak mengiyakan, Naoki menyusul dibelakang mereka dan melarang. "Jangan disini. Eru, apa yang kubilang soal tidak terlalu boros?"

"Aku hanya sekali-kali borosnya!"

Kano mundur perlahan, menyaksikan pertengkaran kedua sejoli yang tampak seperti paman dan keponakan itu, tertawa kecil. Tawanya hilang kala punggung tangannya bersentuhan dengan jemari-jemari panjang milik Akira. Spontan, Kano menarik tangannya kedalam pelukannya, malu. Akira berbisik di telinganya, "Kau masih marah padaku?"

Kano refleks menjauh, ingatan tentang seseorang yang sering melakukan hal itu di masa kecil-nya menyeruak. Kano menggeleng—raut wajahnya mengatakan ia tidak baik-baik saja. "Tidak—aku, aku tentu tidak akan lama marah kepadamu hanya gara-gara hal seperti ini, 'k-kan?"

Kano oleng sedikit, Akira bergerak mendekatinya. Membantu Kano berdiri. "Kau tidak apa-apa?"

Kepala Kano pusing. Kano memberi sugesti pada dirinya bahwa itu karena ia lapar, bukan karena hal lain.

"Kami berencana makan di food court—kamu tidak apa-apa?" Nada cemas Naoki membuat Eru berbalik dan meembawa langkahnya menuju Kano.

"Kakak tidak apa-apa?" Mereka bertiga panik sekarang.

Kano mengulas senyum tipis. "Aku baik-baik saja, aku hanya lapar."

Akira memapah Kano menuju food court terdekat. Naoki mengiringinya. Eru mengikuti mereka dengan rasa bersalah. Sesampainya di festival makanan tersebut, Akira yang kalang kabut langsung mendudukkan Kano di salah satu kursi terdekat dari jalan masuk, lalu duduk di sebelahnya. Eru berucap, "Maaf, karena saya jalan-jalan terlalu lama, Kakak jadi seperti ini." Gadis ini memilin gaunnya gugup, hampir menangis.

Naoki duduk di seberang Kano, mengecek dahi perempuan itu. Suhunya sangat panas, astaga.

Setengah berteriak, Naoki melemparkan atensi pada Eru yang berdiri di tempatnya, "Pesankan teh hangat, cepat!"

Eru, gelagapan sebentar, ia kemudian lari terbirit-birit menuju salah satu gerai yang menjual minuman. Meninggalkan Naoki, Kano dan Akira bertiga—sepertinya kuotanya bertambah satu lagi melihat ada gadis lain yang mengenali Kano dan mendekati mejanya.

"Kau—Fujii bukan?" Nadanya masih menyenangkan sebelum selepasnya melihat ekspresi Kano yang seperti akan pingsan. "Astaga, Kano! Kau kenapa?"

"Katanya ia lapar," Akira menjawab polos.

Hayashi Momiji berdecak kesal, menghardik Akira dan satu orang pria dewasa yang tidak ia kenal itu keras. "Kalian ini tidak peka sekali! Kenapa tidak dibawa ke rumah sakit?!"

Naoki mengangkat telunjuknya mencoba menyela, tetapi, Momiji yang terlanjur kesal, melampiaskan amarahnya. "Anda juga dokter kenapa tidak peka sekali?! Kalau perempuan bilang ia baik-baik saja itu artinya sebaliknya!"

Naoki sedang tidak mengenakan snellinya, bagaimana Momiji bisa tahu? Alis Momiji bertaut. "Ujung telunjuk anda menjelaskan segalanya. Sekarang berikan Kano sesuatu yang bisa meredakan sakitnya!"

Eru datang membawa secangkir gelas teh hangat dengan tergopoh-gopoh, bingung menyaksikan keberadaan satu gadis yang tidak pernah ia lihat. Eru tidak banyak bertanya sebab sikap tidak sportif seperti itu sangat tidak dibutuhkan sekarang. Momiji meminta Akira menggeser duduknya supaya kursi panjang food court itu muat untuk tiga orang, membantu Kano meminum teh hangatnya dengan hati-hati.

"Ingin pulang, tidak?" Halus dan lembut sekali pengucapannya, berbeda dengan saat ia mendumel karena tidak ada yang bisa mengurus Kano dengan baik tadi.

Kano menggeleng kecil, "Tidak, masih harus beli hadiah untuk nona muda."

"Lupakan aku!" Eru lekas menyahut. "Jangan pedulikan aku."

"Pulang saja, ya?" bujuk Momiji pelan. "Berhenti bersikap keras kepala, Sayang," Momiji menyurai rambut Kano, memperlihatkan betapa berkeringatnya gadis yang memiliki nama belakang Fujii itu.

Pada akhirnya, Kano mengangguk. Napas Kano terputus-putus, menandakan gadis ini akan kehilangan kesadarannya sebentar lagi.

Naoki mengambil aksi dengan mencoba membawa gadis itu menuju basement, tempat parkir mobil yang ia naiki bersama Eru tadi. Momiji mencegahnya dan menelepon seseorang. "Aku saja, orang itu ada diseberang mal ini, akan lebih mudah membawanya." Akira tidak berinisiatif bertanya karena lelaki itu sudah menebak siapa kiranya orang itu yang dibicarakan oleh Momiji.

"Hai? Aku ada di food court lantai satu."

"...."

"Tidak. Aku bertemu Nakano. Ia pingsan—,"

Sambungan langsung terputus—Momiji yakin Haruto dengan sengaja memutusnya—begitu Momiji mengatakan dua kata tersebut.

"Apakah orang itu masih lama datangnya? Aku bisa perintahkan Kento untuk datang lebih cepat." Eru menggigiti kukunya cemas, meratapi nasib Kano yang makin hilang arah.

"Tidak, aku yakin orangku akan datang—," Momiji tersenyum tipis menengok lelaki yang ia maksud tengah berada di hadapan mereka, terengah-engah karena berlari. "—secepatnya. Apa kubilang?"

"Di mana Kano?!"

Momiji beranjak dari duduknya dan menyingkir dari jarak pandang Haruto.

Kano tersenyum kecil, kata terakhirnya sebelum jatuh pingsan,

"Haru—to?"

🍂

"Kalian ini kutinggal sehari saja, kok, tidak ada yang bisa beres, sih?!"

Lengkingan suara milik Aki menggema bersamaan denting logam yang dibanting jatuh ke lantai. Wajahnya tampak sangat marah dan bersiap menerkam sesiapa pun yang membantahnya. Naoki yang notabenenya memiliki jabatan lebih tinggi darinya saat menunjukkan tanda-tanda ingin membantah, langsung diacungkan gunting khas bedah tinggi-tinggi tepat di muka. Siapa yang tidak takut? Bagaimana pula Aki yang perawat biasa ini memiliki peralatan bedah begitu?

"Kalian menyinggung masa lalunya?!"

Kano membuka matanya, melihat atap kamar yang sudah terasa familier sekali baginya.

"Jangan mengatakan omong kosong kepadaku karena aku jelas-jelas tahu kalian yang membuatnya seperti ini?!"

Kalimat itu—terdengar ambigu. Kano memilih tidak memusingkannya dan angkat bicara. "Ano, Yoshida-san, kenapa marah-marah begini?

Aki terkesiap, menoleh ke arah Kano. Wanita itu mendekati Kano dan duduk disamping ranjangnya. Dapat Kano lihat, Haruto-Akira-Naoki berjejer seperti habis disidang oleh seseorang yang Kano duga adalah Aki. Kenapa mereka dimarahi, ya? Memikirkan ketiga manusia tersebut tidak melawan singa betina-nya, lucu juga rupanya.

"Tidak apa, kok. Kembali tidur, ya, kau sudah baikan?"

Kano mengangguk kecil. "Saya sudah sangat sehat!" jawab Kano antusias menunjukkan cengirannya, seolah lupa akan kejadian beberapa menit lalu: dimana Aki yang sedang mengurus keponakannya terburu-buru pergi ke rumah sakit sampai rela kehujanan di tengah jalan—ia lupa membawa payung, rumahnya dekat dari rumah sakit, oleh sebab itu ia lari—karena mendapat telepon bahwa Kano pingsan kesekian kalinya.

Alis Aki nampak menyatu sebentar sebelum berhati-hati menanyakan sesuatu. "Kalau kau tidak keberatan, boleh aku bertanya kenapa kau akhir-akhir ini sering pingsan?"

Ingatan Kano langsung menayangkan ulang dirinya yang jatuh tak sadarkan diri beberapa kali dalam kurun waktu singkat. Kano mengubah posisi tidurnya menjadi duduk dan menunduk. Tidak ingin menjawab. Kano bersuara kecil sekali, "Jika berkenan, boleh tinggalkan aku dan Akira berdua saja disini? Aku perlu berbicara sesuatu dengannya."

Tentu saja, sebab Akira membangkitkan memori masa lalunya yang mungkin tidak seharusnya diingat, dan menimbulkan refleks otak Kano menyuruhnya beristirahat dengan membuat beberapa syaraf tubuhnya mogok kerja.

Aki berpesan pada Akira untuk tidak melakukan hal buruk ke Kano, yang Akira setujui sebab ia sendiri tidak pernah menyukai kekerasan. Haruto meninggalkan ruangan rumah sakit Kano sambil menggerutu, didorong Aki dari belakang yang lanjut mengomelinya. Naoki pamit kabur karena—katanya—ada jadwal mendadak yang tidak bisa ditunda.

Tinggal Akira dan Kano saat ini. Menyisakan suasana canggung yang sesak dan menyebalkan.

"Kau tidak ingin meminta maaf padaku?"

Akira menarik sebuah sofa bulat tinggi ke samping ranjang Kano, membaringkan Kano kembali. Tangan panjangnya memainkan surai Kano dengan halusnya.

Kano mengerjap. "Eh? Untuk apa?"

Akira menghela napas jengah yang bisa ditangkap oleh mata Kano. Gadis itu langsung merasa telah melakukan kesalahan, tapi, apa iya ia melakukan kesalahan?

"Membuatku khawatir padamu."

Kano menyengir. "Apa itu bisa disebut kesalahan?"

Akira memanyunkan bibirnya dan merebahkan kepalanya di sebelah Kano, bersikap manja. "Iya. Aku panik setengah mati, loh, melihat kau tiba-tiba begitu."

"Maaf. Kau pikir aku tidak bingung kenapa tubuhku bereaksi berlebihan ketika dibisiki seperti itu?" Tawa kecil meluncur dari bibir mungil Kano.

Akira menegakkan tubuhnya, tertarik mendengar penuturan Kano. Lelaki itu menyangga dagunya. "Kau seharusnya tidak bingung."

Tawa Kano terhenti. Apa yang barusan kekasihnya bilang?

"Kenapa kau berkata begini? Apa aku melupakan sesuatu yang seharusnya tidak kulupakan?" Kano melirik Akira, tatapan lelaki itu tertuju tepat di netra matanya. Kano tidak mau mengalah, ia tidak memalingkan pandangannya sampai Akira yang berdecak cuek memutuskan kontak mata tadi.

"Iya, kau melupakan banyak sekali. Tapi, tidak bisa kuceritakan sekarang."

Kano merotasikan bola matanya, berpura-pura bersikap acuh tak acuh. "Kenapa bicaramu seakan seperti orang dewasa saja? Padahal kau satu tahun dibawahku yang masih kekanakan."

"Apa kau pernah mendapat bukti bahwa aku berusia enam belas tahun? Kau tidak tahu apa-apa, Nakano."

Baik, kenapa pembicaraannya serius sekali?

Kano mencebik dan meneteskan air mata. "Kalian ini ... menjagaku seperti aku adalah seorang idiot. Iya aku memang selalu juara umum karena dibantu Haruto, tetapi, tidak berarti aku tidak pintar, 'kan? Hanya aku saja disini yang tidak tahu apa-apa, dan itu membuatku kesal. Lalu kalian selalu merecokiku dengan hal-hal tentang masa lalu yang bahkan sudah terhapus dari ingatanku! Mau kalian itu apa, sebenarnya?! Aku muak, tahu, diperlakukan seperti ini!"

Akira tersenyum miring, makin menambah keheranan Kano. Gadis itu memilih membalikkan badan dan membiarkan Akira menatap punggungnya yang terbalut selimut. Kano mulai mendumel, "Kau bilang kau khawatir padaku, tapi, tetap pergi bersama Inoe, apa maksudnya? Kenapa semua orang memperlakukanku seolah aku ini beling pecahan yang sudah direkatkan agar aku tidak pecah lagi? Menjengkelkan sekali."

"Nakano."

Akira memanggil. Kano tidak menghiraukannya.

"Nakano,"

Kano tetap tidak menghiraukannya.

"Hikaru Nakano Juliet."

Sontak ada suara semacam berdebum keras di kepala Kano, jantungnya pun berdegup lebih cepat dari biasanya. Kano meremas dadanya erat-erat, mencoba menyingkirkan hawa gelisah yang mulai mengelilinginya. Akira menyingkirkan anak rambut Kano tanpa pergi ke sisi dimana Kano menghadap saat ini, berbisik di telinganya. "Kau tidak mendengarkanku?"

Kano bangkit dari baringannya dan menatap Akira tidak percaya. Jantungnya masih berdugun-dugun tidak karuan akibat ulah Akira barusan. "Apa maksudmu?"

"Mau kuceritakan sesuatu?" Akira terlihat santai kala mengatakannya. "I bet you wanna," katanya lagi.

Kano mengangguk ragu.

Akira mulai bercerita.

"Suatu hari, di zaman dahulu. Ada putri yang sangat cantik berasal dari gunung. Namanya adalah Salju. Karena ia merupakan penerus satu-satunya, putri itu dijaga ketat sekali dan kegiatannya selalu diawasi."

Jeda sejenak. Akira terlihat berat saat akan melanjutkan.

"Sang putri akhirnya mencoba lari dari kerajaan, dan selalu berhasil ditangkap. Tidak kehabisan ide, sang putri lalu berpura-pura menjadi anak baik hingga ratu luluh dan membiarkan putri itu keluar barang sebentar. Ratu yang baik hati juga meminta supaya para pengawalnya tidak mengganggu Putri Salju, anaknya. Tahu usia Putri Salju berapa?"

Kano mengetukkan jarinya di pipinya. "Dua belas?"

Akira menggeleng. "Usianya lima tahun."

Kano menjatuhkan rahangnya. Oke, itu muda sekali. Bagaimana bisa anak sekecil itu dibiarkan keluyuran sendiri? Kano memang agak tidak menyukai anak kecil—tetapi, menelantarkannya bukan hal yang benar.

"Sang putri memilih mengunjungi kebun istana yang terletak tidak jauh dari benteng pertama. Entah bagaimana, suasana yang mestinya dingin karena itu daerah pegunungan, malah menumbuhkan pohon mapel yang notabenenya tumbuh saat musim gugur saja. Ada tiga pohon mapel kecil, tiga pohon mapel ukuran sedang dan satu pohon mapel berukuran besar."

Kano terkesima. Dimana Akira membaca cerita itu, ya? Nanti Kano akan bertanya judul bukunya dan nama penulisnya. Sepertinya Kano bisa menghabiskan waktu sendirian untuk membaca cerita dongeng yang ada unsur tidak masuk akalnya itu.

"Ajaibnya, ketujuh pohon mapel tersebut bisa berbicara. Tiga pohon mapel yang paling kecil mengajak sang putri mengobrol duluan, dan mereka menjadi teman.

Seiring waktu, Putri Salju bosan karena main ditempat yang itu-itu saja. Dengan mengantongi ijin dari sang ratu, dan penyihir andalan milik sang raja, ketiga pohon mapel paling kecil disulap menjadi manusia. Mereka berempat memutuskan bermain ke daerah bawah atau daerah desa, tempat para rakyat yang dipimpin sang ratu tinggal.

Mereka pergi menuju pantai. Sesampainya disana, mereka bermain puas sekali sampai salah satu pohon mapel dalam wujud manusia berteriak dan mengatakan ada yang hampir terseret ombak. Putri Salju berusaha sekuatnya menarik seseorang itu, dibantu tiga pohon yang lain. Saat diselamatkan, korban yang rupanya berjenis kelamin laki-laki itu pingsan dan terbatuk. Sang putri yang belum mengerti apa-apa mencoba memukul-mukul dada si lelaki pelan. Lelaki itu pun terbangun.

Ternyata, lelaki itu adalah pangeran dari negeri seberang. Ia berkelana sendirian dan kapalnya diterjang badai laut, kemudian terombang-ambing sampai ke wilayah kerajaan gunung.

Karena merasa ucapan terima kasih saja tidaklah cukup, pangeran yang dikenal dengan nama Kyujo tersebut dengan rendah hati mengabdikan hidupnya untuk menjaga Putri Salju. Usia Pangeran Kyujo saat itu empat belas tahun.

Pangeran Kyujo memiliki adik laki-laki juga, adik laki-lakinya yang mendengar soal Putri Salju mengikuti jejak kakaknya untuk menjaga putri itu seumur hidup."

Kano terbengong. Sepertinya ia melewatkan klimaks cerita itu. Atau bahkan cerita itu belum mencapai puncaknya?

"Waktu berlalu. Penjaga-penjaga Putri Salju menjaganya dengan sangat baik, dan Putri Salju merasa senang dengan kehadiran mereka sampai ia melupakan sahabat-sahabat mapelnya.

Kebiasaan yang suka dilakukan adik Pangeran Kyujo adalah membangunkan Putri Salju dengan berbisik di telinganya, karena sang putri selalu tidak bisa menahan kegeliannya, sang putri pun terbangun. Beda dengan cara menjaga adiknya, Pangeran Kyujo agak sedikit kejam. Putri Salju pernah tergores duri mawar saat berjalan di Taman Istana, dan besoknya semua tumbuhan mawar di sekitar istana hilang dipangkas oleh perintah Pangeran Kyujo. Ratu tidak terganggu sama sekali terhadap cara menjaga mereka berdua. Menurutnya, selama anaknya aman, semuanya baik-baik saja."

Kano mengerjap. Familiar dengan kebiasaan itu. Bukannya saat kecil dulu, Haruto selalu membangunkannya dengan cara seperti itu? Ia menggeleng. Penulisnya saja ia tidak tahu, mungkin hanya kebetulan yang sama, 'kan? Tapi, tidak banyak yang memiliki kebiasaan seperti itu.

"Masalahnya terjadi saat usia Putri Salju menginjak tujuh tahun. Kerajaan mengalami krisis air dan makanan akibat musim panas yang berkepanjangan. Raja akhirnya lari dari tanggung jawabnya, meninggalkan sang ratu sendirian. Sang ratu berhasil menangani semuanya, berkat bantuan beberapa relasinya, tetapi, keadaan ratu setelahnya mengkhawatirkan. Ratu menjadi lebih temperamental dan keras kepada anaknya, Putri Salju, dan membuat suasana istana tidak mengenakkan.

Putri Salju menahannya sampai usianya tujuh belas tahun. Setelahnya ia dituntut untuk mengambil kursi tahta. Problematika kembali hadir dalam hidup Putri Salju. Dua penjaga Putri Salju yang kakak-beradik menyatakan menyukai Putri Salju. Sang putri terkejut dan tidak percaya, ia lari ke pantai dan merenung disana.

Putri Salju dijumpai oleh dua pohon mapel paling kecil dalam wujud manusia di tebing yang lokasinya jauh dari pesisir pantai. Putri Salju yang bertahun-tahun lupa akan keberadaan pohon mapel menangis haru dan bertanya dimana pohon mapel yang satunya menghilang.

Jawaban salah satu pohon mapel membuat syok Putri Salju. Pasalnya, pohon mapel satu itu mengatakan saudaranya ditebang oleh seorang laki-laki yang pasti mempunyai kuasa di kerajaan, saat mereka berubah menjadi pohon dan berdiam di Kebun Istana. Kata laki-laki itu, ia melihat pohon mapel yang ditebangnya pernah berubah menjadi manusia dan mencoba memasuki kerajaan.

Lalu dua penjaga Putri Salju menyusul ke tebing. Dua pohon mapel dan dua penjaga itu pun saling menyalahkan satu sama lain. Teriakan mereka memberi rasa gelisah pada diri Putri Salju, ia mundur tanpa sadar dan terselip bebatuan di ujung tebing, membuatnya terjatuh."

Kano mendelik. Ia mulai menghayati cerita ini.

"Refleks Pangeran Kyujo sangat cepat karena ia berhasil menahan tangan Putri Salju dan berusaha menariknya keatas. Dibantu oleh adiknya, mereka bersama-sama mencoba menaikkan Putri Salju. Jeritan kedua pohon mapel menambah keruh suasana. Putri Salju menolak ditarik keatas dan memaki dua penjaganya dengan berbagai kata kasar.

Puncaknya Pangeran Kyujo ikut menangis, memohon maaf dan meminta supaya Putri Salju tidak meronta-ronta agar bisa segera diselamatkan. Putri Salju yang jengah menuruti mereka dan berpijak lagi di tanah berkat dua penjaganya.

Kedua pohon mapel menangis lega dan berniat memeluk Putri Salju, tetapi, yang tidak mereka sangka, Putri Salju dengan sengaja menjatuhkan dirinya dalam posisi masih menyaksikan keempat temannya tercengang. Pangeran Kyujo mencoba menarik Putri Salju, namun, terlambat. Suara tercebur di laut menjadi musik terakhir mereka dari Putri Salju.

Kerajaan gunung hancur karena ratu tidak sanggup lagi memimpin. Kedua penjaga Putri Salju berpisah dengan bertengkar sebagai salam terakhir mereka untuk masing-masing. Kedua pohon mapel memutuskan bersatu dan menjadi pohon selamanya di tepi tebing supaya kejadian sebelumnya tidak terulang."

Kano tanpa sadar menitikkan air mata. Sedih sekali ceritanya. Kenapa pula Akira harus menceritakan cerita sedih begini, sih? Kano, 'kan, nanti jadi tidak bisa tidur. Cerita itu berkesan sekali sampai rasanya malam ini Kano akan bermimpi tentang itu.

"Kenapa menangis?"

Tanya Akira mengusap pipi Kano yang basah sedikit. Kano menggeleng. "Tidak, ceritanya sedih."

"Putri Salju hatinya baik, tak, menurutmu?"

Kano menimbang-nimbang sebelum menjawab. "Baik, kok. Tetapi, jika ia bisa keluar sendirian sewaktu berumur lima tahun seharusnya ia tidak sebodoh itu untuk bunuh diri, 'kan?"

"Jika kau ada diposisinya, mengetahui sahabat pertamamu disingkirkan oleh orang yang menjagamu bertahun-tahun rasanya seperti apa?"

Kano menceplos, "Sesak, rasanya ingin mati."

"Itu tahu." Akira menepuk-nepuk kepala Kano. Gadis itu kembali berbaring dan mencari posisi nyaman untuk tidur. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam.

Akira pamit keluar kamar dengan alasan membiarkan Kano tidur lebih tenang. Kano mengangguk, tersenyum kecil. Ia menutup matanya saat pintu ditutup dari luar.

Kano hampir terlelap saat ia mendengar suara yang ia kenal—Akira dan Haruto sepertinya? Sedang berdebat entah di depan pintu atau bagaimana, karena Kano bisa mendengar pembicaraan mereka dengan jelas. Apa karena lorong rumah sakit sudah sepi? Kano spontan menutup mata kembali begitu pintu dibuka, terdengar suara ditutup lagi. Pembuka pintu bertingkah seperti mengecek apakah Kano masih bangun atau tidak. Kano tidak tahu siapa pembuka pintu itu, tetapi, yang Kano dengar pasti selanjutnya membuat tidurnya terbayang-bayang mimpi buruk.

"Menurutmu, apa Nakano akan berakhir seperti Putri Salju?"

—suara Akira.

Haruto menyahut sinis. "Dalam cerita sebenarnya atau dalam hidup kita?"

"Kau bertanya hal bodoh. Tentu saja dalam hidup kita."

Kano mendengar kekehan Akira. Kano yang punya julukan Ratu Sarkas ini tahu betul kekehan yang dikeluarkan Akira adalah kekehan sarkas. Tapi, kenapa Akira bersikap seperti itu? Akira-nya yang ia tahu itu lembut dan halus.

"Menurutku iya."

"Akan berakhir seperti Putri Salju?"

Tidak ada jawaban. Tapi, Kano rasa Haruto sedang mengangguk.

"Bantu aku supaya ia tidak berakhir seperti putri busuk itu."

"Tidak mau."

"Kenapa?"

"Nanti ia malah menyukaimu."

"Kurang ajar. Memang kenapa kalau ia menyukaiku?"

"Aku juga menyukainya."

"Kita bisa bersaing."

"Tidak mau."

"Oh, ayolah, kau tidak mau membantu kakakmu sendiri?"

Sepintas tidak ada yang salah. Tapi, perbedaan tone suara mereka cukup jelas mengatakan bahwa yang baru saja mengucapkan hal mengejutkan tadi adalah Akira.

Jadi, siapa Akira sebenarnya?

...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top