十八 ; hana yori dango

dumplings rather than flowers
.......................................

"Dari mana aku tahu rumahmu?"

Kano mengangguk, mengunyah telur gulungnya.

"Ah, aku lupa bilang, ya, kalau wali kelas pernah meminta kami menjengukmu kemudian batal karena tahu keadaanmu malah menjadi parah? Saat itu wali kelas memberikan alamatmu kepadaku," jawab Tatsuya lugas sambil memandangi Kano yang sedang makan.

Kano mengernyit. "Kau masih mengingatnya? Bukankah itu sudah lama sekali," gumamnya pelan, meminum colanya. Ia membereskan kotak bento-nya dan memasukannya ke dalam tas kain miliknya.

Tatsuya menyengir. "Oh, sewaktu kau tidur, sebenarnya aku mengecek alamatmu di ponselku," ujarnya. Kano manggut-manggut.

Kano hendak mengucapkan sesuatu lagi sebelum dua orang murid perempuan menghampiri mereka dan cekikikan. "Sejak kapan Ratu Sarkas kita dekat dengan ketua kelas?"

Gadis yang lainnya menyahut, "Mereka tidak berpacaran, 'kan?"

Sorakan kelas semakin menjadi-jadi. Kano mendengkus dan menyangkal, "Aku hanya mentraktirnya makan karena ia mengantarku pulang kemarin malam."

"Wah, Kitayama mengantarnya pulang, loh!"

"Benarkah? Setelah satu bulan menghilang?"

"Apa Fujii menghilang karena Kitayama, ya?"

Dan teori-teori konspirasi aneh lainnya.

Sorakan berubah menjadi bisik-bisik ketika seseorang yang Kano sangat kenal memasuki kelasnya.

"Kenapa sang juara satu ada di sini?"

"Kudengar ia dan Takahashi kelas kita bersaudara."

"Memang, bodoh! Marganya saja sama."

"Kalau begitu ia juga dekat dengan Fujii, dong, harusnya?"

"Haduh, enak, ya, jadi Fujii. Sekitarnya lelaki tampan semua. Cita-citaku berubah, aku ingin menjadi Fujii Nakano saja."

Kano hampir meledak dalam tawa saat mendengar bisikan yang itu. Enak? Enak apanya. Disiksa batin setiap hari juga iya. Kano merutuki hidup yang tidak memberikannya pilihan untuk membuka suara ini. Dan lagi, sejak kapan kelasnya jadi senang bergosip? Ternyata, hilangnya Kano selama satu bulan membawa dampak besar. Nyatanya, sebulan lalu, saat ada Kano disekitar mereka, mereka tidak berani bergosip.

"Pacarmu sudah datang, tuh, aku pergi, ya."

Kano mengangguk, tersenyum manis. Tatsuya keluar dari kelas dan meninggalkan Akira yang beranjak duduk di hadapan Kano.

"Kitayama itu, kalau dilihat-lihat, tampan juga, 'kan?"

"Iya, betul. Aku pernah berpapasan dengannya di supermarket dekat apartemen orang tua-ku, ia tidak memakai kacamata, super tampan."

"Benarkah? Aku jadi penasaran. Memang benar, ya, orang yang pakai kacamata itu biasanya menyembunyikan ketampanannya."

"Tapi, bukankah ia masuk memakai beasiswa? Mampir di sepuluh besar saja tidak, kok."

"Mungkin, tidak, sih, kalau ia itu jenius seperti yang ada di drama-drama? Bahkan, bisa jadi lebih jenius dari Takahashi bersaudara?"

"Kalau begitu kenapa ia tidak masuk sepuluh besar?"

"Mungkin saja ...."

Bisikan mereka terhenti kala Kano menatap mereka tajam, menyuruh mereka diam. Gadis-gadis yang sedang bergosip hanya cengengesan lalu membentuk tanda peace dengan tangannya, dan pergi sebelum Kano sempat memarahi mereka. Kano memijat pelipisnya, menghela napas lelah.

"Capai, ya?"

Kano mendongak. "Eung? Capai kenapa?"

Akira mengedikkan bahunya. "Kupikir kau capai karena menghela napas terus-terusan," ucapnya, mengelus-elus tangan Kano. Gadis itu terkekeh.

"Terlalu kelihatan, ya?"

"Kalau capai, 'kan, bisa bilang ke aku," gerutu Akira pelan.

"Lain kali aku akan," tukas Kano meredakan kekhawatiran Akira. Lelaki itu membawa tangan Kano ke pipinya, memberikan tatapan sendu.

"Benar, lho?"

Kano menormalkan mimik wajahnya dan berdehem, kemudian menarik tangannya cepat. Ia mengulas senyum canggung. "Iya, kok."

Akira menghembuskan napas. "Kalau begitu aku balik dulu, kalau ada apa-apa bilang, ya. Aku tidak ingin kejadian sebulan lalu terulang lagi."

Kano menggigit bibirnya, mengangguk. Hanya tersenyum saja, tidak menjawab. Akira menghilang dari jarak pandangnya.

Kano berbalik badan, mengambil buku dari tasnya, tersentak kecil mendapati seorang Tanaka Aoi sedang duduk di hadapannya. Kenapa semua orang hobi membuatnya terkejut, sih?

"Aku masih penasaran kenapa kau menghilang."

Ao mengemut permennya, mengamati raut tidak biasa dari Fujii Nakano. "Katanya kau diculik, ya?"

Kano menggeleng cepat. "Tidak!"

"Tapi, rumor yang beredar seperti itu," ujar Ao acuh tak acuh. Rumor yang ia maksud adalah rumor tentang Nakano yang menghilang selama sebulan dan tidak memberikan keterangan ijin sama sekali pada guru mau pun kepala sekolah sehingga para atasan mengancam memecat mereka semua jika Kano yang tidak segera ditemukan itu diculik. Jika Kano terus menghilang, bukankah sekolah akan ikut bertanggung jawab? Rumornya juga mengatakan kalau penculik Kano adalah orang yang dekat dengannya. Tidak salah, sih, tapi, jika Kano mengakuinya, akan seheboh apa sekolahnya nanti?

"Jadi kenapa menghilang, Tuan Putri?"

Ingatan tentang Haruto yang memanggilnya 'tuan putri' langsung menyeruak dalam kepala Kano.

"Itu ...."

Lima menit sudah Ao lewati. Tapi, gadis di depannya ini tidak kunjung melontarkan alasannya. "Benar, 'kan, kau diculik?"

"Ano, memangnya apa yang para guru katakan?"

Ao terlihat berpikir sebentar. "Katanya ... kau ijin pergi ke Okita karena ada urusan, bersama orang tua-mu."

Kenapa nama kotanya spesifik sekali? Kano jadi mengingat sesuatu yang harusnya ia kubur dalam-dalam, 'kan.

"Memangnya guru mentoleransi hal seperti itu? Sampai satu bulan?" tanya Kano tak percaya.

"Mana aku tahu? Anak-anak pada bilang kalau itu karena kau selalu menempati juara dua sesekolahan," decak Ao sambil menjawab. Bel masuk berdering, membubarkan percakapan meteka.

Kano mengetuk-ketukkan pulpennya di meja, berusaha melupakan rasa traumanya setelah dikurung selama satu bulan dan tidak melihat dunia luar sama sekali. Teman-teman sekitarnya bertingkah biasa saja, apa karena mereka tidak dekat dengan Kano, ya? Kenapa tidak ada yang merasa janggal dengan menghilangnya Kano selama sebulan yang sudah ditutupi oleh alasan tidak masuk akal itu, sih?

Kano salah, karena beberapa orang di dekatnya selain yang mengetahui yang sebenarnya, merasa janggal, tapi, tidak enak untuk bertanya.

Lagipula, itu bukan urusan mereka, sepertinya. Kano sendiri pernah berkata begini.

🍂

Kano terbangun, menelisik di mana ia sedang berada saat ini. Ruang kesehatan sekolah. Ia pingsan lagi, 'kah? Badannya berkeringat hebat, sepertinya iya.

"Sudah bangun?"

Deja vu.

Kano menoleh ke arah sumber suara, terdapat Tanaka Aoi. Ia menghela napas lega. Kalau yang ada disana adalah Takahashi Haruto, sudah ia pastikan gelas bening di nakas sebelahnya akan langsung ia lemparkan sebab entah kenapa tiba-tiba ia muak melihat wajah lelaki itu.

Kano mengernyit melihat totebag yang gadis itu bawa.

"Apa itu?"

Ao menaikkan sebelah alisnya, mengangkat totebag yang ada di tangannya. "Ini?"

Kano mengangguk.

Ao langsung berdehem pelan. "Syal. Untukmu."

"Darimu?" Kano menerima tas kain itu dan menelusuri isinya. Benar, syal. Ia meraba rajutan namanya yang tertera dan berwarna cokelat itu, berdecak kagum. Bagus sekali, pikirnya. Bahannya juga sangat lembut meski syal itu bukan dijahit melainkan dirajut.

"Kalau aku mengatakan namanya pasti kau tidak akan suka."

Kano menghentikan tangannya yang mengelus-elus syal itu. Memikirkan siapa orangnya yang dekat dengan Ao, tapi, mengenal dirinya.

"Katakan saja," tukas Kano pelan. Ia menyisihkan syal itu dari tangannya dan memfokuskan pandangannya pada Ao yang menggaruk tengkuknya, merasa tidak enak.

"Aku sudah menolaknya, tetapi, ia memaksa. Nakamura," cicit Ao takut-takut. Bayangan Kano yang pernah menangis histeris di depannya hanya karena kedatangan Haruto dan Kano yang pingsan karena bertemu Arata mengusik pikirannya. Ia terkadang berpikir kalau Fujii Nakano itu sosok yang lemah, yang dilindungi oleh sarkasme dan sindirannya. Hanya saja, tidak semua orang mengetahuinya. Ao bertekad untuk menjadi obat bagi Kano—karena mungkin, ia sedikit banyak tahu kisah gadis itu dan kasihan kepadanya.

Ia tidak ingin Fujii Nakano tersakiti lagi.

"Nakamura ... Arata?"

Kano menggumamkan satu nama yang langsung terlintas di kepalanya. Mantan pacarnya, ya? Mantan terindah sepertinya. Waktu mereka selama enam belas bulan tidak sesingkat itu sampai Kano bisa lupa. Potongan-potongan memori yang muncul juga mengingatkan Kano kalau hubungan mereka memang seistimewa itu. Tapi, bukankah Kano sendiri yang meminta putus? Ia tahu jelas sebab kenangan tersebut selalu datang dan mampir di mimpinya, terputar bagai kaset rusak meski Kano tidak ingin. Arata juga tidak mencintainya, 'kan? Mungkin, memang sebaiknya mereka putus.

"Iya, Nakamura—yang itu," jawab Ao sama pelannya. Mereka berdua terdiam menyisakan keheningan. Ao berinisiatif mengalihkan pembicaraan.

"Ah, omong-omong ini sudah hampir jam pulang, kau tidak ingin pulang lebih dulu? Lumayan, 'kan," celetuk Ao jahil, membuyarkan lamunan Kano.

Kano mendelik. "Mana boleh begitu."

"Boleh, dong, kau itu orang penting di sekolah ini."

Alis Kano bertaut. Ao sedang menyinggungnya?

"Eh, maksudku bukan begitu," Ao menyangkal panik. "Lupakan saja, bagaimana soal Hayashi?"

Kano merebahkan tubuhnya kembali. "Hayashi Momiji?"

"Iya." Ao membuka tutup botol yang ada di tangannya, meneguk air botol tersebut tenang.

"Ada apa?"

Ao tersedak. "Bukankah ia yang mengekori Takahashi sewaktu kau digendong lelaki itu saat kau pingsan?"

Kano menganga. "Huh?"

"Ah, lupa. Kau, 'kan, pingsan. Mana mungkin tahu."

Kano merotasikan matanya dan geleng-geleng kepala. "Ia ... bagaimana, ya? Sulit menjelaskannya. Ia sepertinya pernah berteman denganku di Okita dulu, tapi, juga pernah merundung Takahashi bersaudara saat kami menginjak sekolah dasar."

"Rumit sekali?"

Kano manggut-manggut. "Eung. Aku sendiri bingung."

"Ia sudah lama tidak terlihat, loh," ujar Ao antusias. Apanya yang membahagiakan dari kabar itu?

"Tidak terlihat di sekolah? Karena apa?" Kano bertanya-tanya.

"Kitayama bilang karena para guru mencurigainya mencoba mencelakaimu," sahut Ao, mendudukkan dirinya di samping ranjang Kano, menggerakkan kakinya—terlihat senang entah kenapa.

"Eh? Padahal Haruto yang melakukannya!"

Seru Kano tidak terima. Ao terkekeh terang-terangan. "Sekalipun kau bilang, kepala sekolah pun tidak akan percaya. Kau tahu sendiri, 'kan, anak kesayangan sekolah ini siapa," nyinyir Ao mengandung kesarkasan yang—sepertinya—tertular dari Kano.

"Padahal Akira yang juara satu," gerutu Kano meluapkan kekesalanya. Bagaimana bisa anak yang juara tiga, tapi, nakalnya tidak tertandingi menjadi kesayangan sekolah? Simpel saja, karena lelaki itu banyak membawa kemenangan bagi SMU Tatsuni. Haruto membawa piala hasil olimpiade-olimpiade dan menjadi wakil SMU Tatsuni selama beberapa bulan. Kalau Akira, cowok jangkung itu lebih difokuskan untuk mengurus penelitian yang pastinya menguras banyak dana, tapi, tetap dilanjutkan.

"Kau dan Takahashi Akira berpacaran, ya?"

Tukas Ao tiba-tiba. Kano mematung. "Bukannya aku sudah pernah bilang?"

Kano memang merasa sudah pernah, kok. Kejadian di warung dimsum dimana ia kembali merepotkan banyak orang, 'kan? Tentu saja ia ingat.

"Iya, sih. Aku cuma ingin memastikan saja."

"Kau menyukainya, ya?" Kano memandang langit-langit. "Maaf, tapi, aku bertemu dengannya lebih dulu sebelum kau. Jadi aku tidak tahu-menahu tentang perasaanmu padanya."

"Wah, kau cukup peka, ya?" Ao tertegun, kemudian melepaskan kekehan perihnya.

"Maaf."

Kano meluncurkan permintaan maafnya. Ao menepuk bahu Kano bersahabat, "Kenapa meminta maaf begitu? Ayolah, itu sama sekali bukan salahmu."

Kano memaksakan senyum menanggapi ucapan Ao. Ia teringat sesuatu. "Oh, kenapa kau bisa datang bersama Arata saat di warung dimsum itu?"

"Kami dulu satu sekolah menengah pertama dan cukup dekat. Makanya sewaktu berpapasan di pecinan ia mengajakku makan bersama. Hebatnya ia masih mengenaliku."

Kano ber-oh ria. Ia tidak tahu harus mengatakan apa lagi.

"Nakamura menyampaikan pesan ini untukmu melaluiku. Katanya syal itu istimewa. Kau tidak boleh membuangnya," ujar Ao membuat hati Kano berteriak bingung.

Sepenggal memori yang memperlihatkan adegan saat Arata bilang tidak mencintainya langsung menguar ke pemikirannya begitu saja.

Bisakah orang-orang berhenti membuatnya terlihat seperti orang bodoh begini?

Karena demi Tuhan, Kano jadi merasa bahwa Arata mencintainya.

...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top