十九 ; aite no nai kenka wa dekinu
a fight without a partner cannot be had
.......................................
"Bukan kalian semua jika tidak bepura-pura baik dan selanjutnya menyiksaku sampai sekarat."
Interupsi Kano datar ditengah-tengah perdebatan yang diciptakan oleh Haruto dan Akira, teriakan mereka membuat gendang telinga Kano hampir pecah dan tidak bisa menikmati waktunya dengan baik. Ia bahkan sudah berusaha menegur dua lelaki itu sopan, tetapi, tidak kunjung digubris hingga Kano mengeluarkan kalimat tentang dirinya sendiri.
"Apa maksudmu?" Haruto menyahut tidak terima meski yang dikatakan Kano benar adanya.
Akira bergerak mendekati Kano dan meringkuk dibelakangnya, bak anak anjing kecil yang imut, tapi, juga menyebalkan. "Lelaki itu bilang akan membunuhku kalau aku pergi nonton denganmu," adunya pada Kano seperti mengadukan kepada ibunya.
Kano menghela napas. "Haruto, sudah berapa kali aku bilang soal tidak mencampuri urusanku? Akira itu pacarku, dan aku berhak pergi nonton dengannya," tuturnya lelah. Akira tersenyum senang sebagai tanda kemenangan dirinya dari Haruto. Takahashi yang berstatus kakak itu berdecak kesal.
"Tapi, ia bilang ingin menciummu!" sangkal Haruto mengepalkan tangannya. Kano memijit pelipisnya.
"Lalu? Itu juga hak milikku, 'kan. Memangnya apa yang salah? Bukannya normal orang pacaran melakukan itu?" ucap Kano membuat Haruto terdiam. Namun, yang namanya Takahashi Haruto pasti tidak mau kalah dan terus memberi penolakan terhadap kalimat-kalimat Kano.
"Ia tidak boleh! Soalnya aku—," Haruto belum menyelesaikan seruannya saat Kano memotongnya tepat sasaran.
"Mencintaimu?"
Haruto tidak bisa mengelak, karena Kano benar. Lelaki itu meraup mukanya gusar dan meninggalkan rumah Kano untuk pulang ke rumahnya sendiri. Iya, Takahashi bersaudara ini ribut di rumah Fujii Nakano. Kalau saja mereka bertengkar di rumahnya sendiri, Kano mungkin akan membiarkannya atau bahkan menjadi wasit. Tetapi, masalahnya, ini rumahnya. Rumah yang dipakai sebagai tempat keributan ini rumahnya.
"Kau tidak apa-apa?"
Kano menghembuskan napasnya dan mengabaikan Akira. Ia berjalan menuju dapur dan meneguk secangkir air mineral dingin yang diambilnya dari kulkas, dengan Akira yang mengikutinya.
"Hei, kau tidak apa-apa?"
Kano menggelengkan kepalanya, yang tidak juga bisa menjawab kekhawatiran Akira. Lelaki itu harap-harap cemas berkata, "Yakin? Ingin keluar untuk menyegarkan pikiran sebentar, tidak?"
Kano lagi-lagi menggeleng. "Aku ingin mengundang teman ke rumah," putusnya, menjauh dari eksistensi Akira yang entah kenapa membuatnya mual. Lagipula tidak baik, 'kan, berduaan saja dengan lawan jenis dalam satu ruangan? Meski Kano sudah beberapa kali mengalaminya, sih.
Akira menimpali antusias, "Boleh, siapa?"
"Tanaka dan ... Kitayama?" gumam Kano tidak yakin. Ia berlari mengambil ponselnya di ruang depan dan melihat kotak emailnya, menemukan tiga-empat pesan yang baru masuk beberapa menit lalu. Ia membuka salah satu di antaranya, email asing.
From: [email protected]
To: [email protected]
Subject: -
Hai, Nakano!
Ini aku, Tanaka Aoi. Jangan tanya darimana aku bisa dapat emailmu, ya, karena tidak akan kujawab. Aku ingin tanya, kau ada waktu luang, tidak, hari ini? Kalau bisa, aku ingin menjadi lebih dekat denganmu. Hubungi aku kembali, ya!
10.53
Kano mengernyit. Hampir saja ia pusing sendiri soal dari siapa gadis populer di SMU Tatsuni itu mendapat emailnya, namun, ia mengurungkannya. Ia melihat jam yang ada di ponselnya, pukul sepuluh lebih lima puluh sembilan menit. Hampir jam sebelas siang. Ia melihat email lain dari seseorang yang memperkenalkan dirinya sebagai Kitayama Tatsuya, mengajak kelompok belajarnya mempersiapkan proyek yang diberikan wali kelas dalam jangka waktu satu bulan.
Kano tiba-tiba merasa frustasi.
Lingkaran tugas praktek ini, lingkaran setan ini tidak pernah berhenti. Dan Kano jengkel. Kenapa guru tidak mengerti bahwasanya terkadang yang dibutuhkan murid bukanlah tugas praktek, melainkan hanya tugas teori? Ia benci guru yang egois seperti itu.
"Kau capai, 'kan?"
Gerutu Akira menyusul Kano, mendudukkan gadis itu di sofa. Sementara Akira duduk di sisi yang lain dan meletakkan kaki pacarnya di atas pahanya, memijat-mijat kaki jenjang itu. Kano hanya tersenyum simpul dan menyandarkan tubuhnya di lengan sofa. Pandangannya lurus menatap langit-langit.
"Tanaka itu ... gadis yang dikenal karena cantiknya, bukan?" tanya Akira membuyarkan lamunan Kano. Kano berdehem dan menegakkan badannya lagi, menarik kakinya yang berada di pangkuan Akira. Tampak tatapan protes dari Akira yang tidak Kano guraukan.
"Iya, ia itu sangat imut, seperti kucing," Kano membalas dengan senang.
Akira melihatnya dan berkata, "Aku pikir juga begitu," untuk menyetujui ucapan Kano, tapi, yang ia dapat malah delikan tajam dan dengkusan tidak suka. Akira terkekeh kecil.
"Aku hanya bercanda."
Kano sibuk dengan ponselnya untuk beberapa saat dan mengabaikan Akira seperti sebelum-sebelumnya. Tapi, Akira tidak marah. Ia bisa leluasa mengagumi visual gadis yang berstatus kekasihnya tersebut. Kano tidak cantik, sih, tapi, ia punya kharisma. Iya, kharisma jutek. Makanya banyak orang yang tidak menyukainya. Tetapi, banyak juga yang menyukainya. Bisa dibilang, beberapa perempuan di sekolah menyukai Kano. Menurut mereka, Kano itu adalah tipe-tipe girl crush yang menjadi nyata.
"Kau itu cantik."
Kano mengalihkan atensinya pada Akira. Raut wajahnya berubah serius. "Aku tahu. Aku akan tanya satu hal padamu, tapi, berjanji dulu padaku untuk tidak marah."
Akira menautkan alisnya tidak mengerti. Ia mengangguk.
Kano menggigit bibirnya. Ia baru ingat hal ini setelah beberapa hari selalu memikirkannya. "Tentang hubunganmu dengan Haruto, aku bingung. Maaf kalau aku lancang karena mendengar pembicaraan kalian. Tapi, sewaktu di rumah sakit, aku mendengar jelas percakapan kalian. Aku harap ini bukan sekedar candaan biasa, kau secara tidak langsung bilang kalau kau adalah kakak laki-laki, 'kan? Kenapa?"
Akira membeku. Ia sesaat tidak bisa berkata-kata sampai suara decakan keluar dari mulutnya. Dan Kano merasa Akira yang lovely-dovey sudah tidak ada, karena atmosfir yang menyelimuti mereka sekarang sangat berbeda. Apa sebuah kesalahan menanyakan hal yang menganggu pikiran Kano sejak lama?
"Statusku itu adik, bukan kakak. Aku hanya bercanda. Kau tahu sendiri aku suka bercanda," jawab Akira yang tidak juga bisa mengusir rasa penasaran yang bersarang bak parasit di kepala Kano.
"Kau bilang statusmu ... bukan hubungan darahmu. Akira, jawab aku jujur," kata Kano persuasif, ia bergerak mendekat pada Akira untuk mendapatkan jawaban yang lebih masuk akal dari sebelumnya, tapi, Akira malah menghindar.
Iya, Akira menghindarinya.
Lelaki itu beranjak dari sofa dan tidak mengacuhkan Kano, membuat hati Kano sedikit sakit.
Baiklah kalau Akira menghindarinya, Kano juga bisa! Kano akan ikuti permainannya. Ia akan menyembunyikan semuanya dan membuat orang-orang disekitarnya sangat geram dengannya. Siapa takut? Kano pastikan akan menang. Tidak, Kano harus menang! Kano pasti menang.
Kano sedang menelepon ketua kelas di kelasnya untuk merencanakan balas dendam saat Takahashi Haruto memasuki rumahnya dan bertanya-tanya apa yang terjadi karena hawa kediaman Fujii sangat tidak enak. Kano mencuekinya dan lanjut mendengarkan nada dering yang ada.
"Permisi?"
Jantung Kano berdegup kencang. Kenapa suaranya terdengar, eum, tampan sekali?
"Moshi-moshi. Ano, aku Fujii. Aku ingin bicara sesuatu denganmu. Punya waktu luang?" Ujar Kano dalam satu tarikan napas. Di seberang sana hening beberapa detik.
"Ah, Fujii, ya? Boleh. Aku luang, kok, hari ini. Bicara di telepon atau ingin ketemuan?"
Kano menyahut dengan matanya mengawasi Haruto yang mengawasi dirinya. "Di rumahku saja, akan aku kirimkan alamatnya sebentar lagi. Tanaka juga aku ajak."
"Baiklah. Aku tunggu, ya."
Kano mengangguk-angguk meski ia tahu seberang sana tidak bisa melihatnya. Ia menutup panggilannya dan segera mengetikkan alamatnya pada kontak Tatsuya dan berganti menelepon Ao.
"Fujii?"
Kano hendak menyahut ketika Haruto tiba-tiba merebut ponselnya dan membuat Kano berdecak kesal. "Haruto, kembalikan!" Ia berteriak.
"Takahashi? Kembalikan ponsel ini pada Nakano, bodoh!" Haruto menempelkan telinganya pada ponsel Kano untuk memastikan bahwa yang didengarnya benar adalah Tanaka Aoi, sang gadis populer di sekolahnya yang tidak pernah berlaku kasar. Siapa pemilik suara ini? Rasanya Haruto salah dengar.
"Haruto, kembalikan!" seru Kano lagi, nadanya benar-benar kesal. Haruto melirik Kano tajam dan berujar, "Akan aku kembalikan asal kau berjanji menjelaskan semuanya padaku nanti."
Kano menggertakkan giginya. "Apa yang harus dijelaskan? Tidak ada! Berhenti bertingkah seolah-olah kalian memilikiku, karena nyatanya kalian tidak!"
Dan Kano hampir terjengkang kebelakang saat Haruto menjambak rambutnya kencang dan menyebabkannya berteriak. Akira yang ada di ruang keluarga yang tidak jauh dari ruang tamu seharusnya mendengar teriakan Kano, tapi, tidak ada yang datang menyelamatkannya. Haruto memencet tombol loudspeaker yang ada di ponsel Kano dan meletakkan ponsel itu di meja.
Bagus, Kano. Misimu berhasil dengan sekejap dan sudah satu orang yang geram denganmu!
"Takahashi, kau lebih baik tidak macam-macam dengan Fujii atau aku akan memanggil polisi!" ancam Ao dari seberang sana. Kano meringis kecil dan mengiyakan. Tapi, genggaman Haruto tidak kunjung lepas dari rambut Kano dan itu membuat kulit kepala Kano terasa seperti akan lepas. Mukanya memerah hebat menahan tangis sekarang.
"Aku tidak takut dengan mereka. Coba saja panggil," tantang Haruto dengan nada yang terdengar menjengkelkan di telinga semua orang.
Kano mencoba memberontak. "Lepaskan aku, sialan!"
Haruto menyeringai. "Tuan Putri sudah berani, ya?" pancingnya sengaja membuat Kano semakin emosi.
Sementara Haruto dan Kano sedang meributi satu sama lain, Tanaka Aoi yang kembali berada pada kondisi yang sama hanya menggigit jarinya pasrah. Ia tidak tahu alamat Nakano ada di mana dan semua yang bisa ia lakukan saat ini adalah mendengar kekacauan dari server sebelah. Ia merasa bersalah, walau ini sama sekali bukan salahnya. Ia merasa bahwa seharusnya ia ada disana dan melerai mereka, bukan menikmati pertengkaran mereka begini kendati sebenarnya ia tidak. Apa yang bisa ia lakukan?
Haruto berjalan dan menundukkan badannya sedikit di hadapan Kano, mencengkeram dagu gadis itu erat, membuat Kano hampir kehilangan pasokan oksigennya karena terlalu sulit bernapas. Tapi, Haruto tidak peduli dengan itu. Haruto hanya tersenyum miring sebelum ia hampir mengucapkan sepatah kata dan bel pintu depan menginterupsinya. Haruto mendesah sinis, menghempaskan wajah Kano begitu saja.
Kano tidak tahu siapa yang menekan bel depan, Kano tidak peduli. Pipinya sakit sekali seolah seperti habis dipukuli. Langkah kaki milik Akira menyusuri ruang tamu, melewatkan kehadiran Kano begitu saja menuju pintu depan. Kano kecewa, setidaknya Akira bisa mengecek keadaannya dulu, 'kan?
Kano menggeleng-geleng, mengenyahkan pemikiran yang menurutnya sangat tidak pantas itu. Bukannya ia sendiri yang bilang kalau ia akan balas dendam? Tapi, di situasi ini Kano yang jadi korban. Menyebalkan. Kano terlelap tanpa mengetahui siapa yang membunyikan bel dengan pertanyaan yang muncul tiba-tiba di otaknya.
Kemarin saat hari Jumat, hari pertama ia masuk sekolah setelah satu bulan tidak, saat ia pingsan di kelas, siapa yang membawanya ke ruang kesehatan?
🍂
Tidak mungkin Haruto lagi—karena kalau begitu, pihak sekolah bisa curiga. Bukankah Kano sering pingsan belakangan ini?
Kano terbangun karena mendengar pintu dibuka. Ia melihat sekitarnya dan mendapati ia sedang berada di kamarnya sendiri—yang membuatnya lega. Ia mendudukkan badannya dan melihat Tanaka Aoi serta Kitayama Tatsuya mengekor dibelakangnya, Ao membawa nampan berisi susu vanilla dan semangkuk ramen yang masih hangat.
Kano tersenyum dan berniat beranjak dari ranjangnya saat Tatsuya membuat gestur yang mengatakan supaya ia diam saja. Kano menurut. Ao duduk di sisi kanan ranjangnya sementara Tatsuya duduk di sisi kiri.
Ao meletakkan nampan itu di atas pangkuan Kano, membuat gadis bermarga Fujii tersebut mengucapkan terima kasih. Ia menyumpit ramen dan mengunyahnya saat bertanya, "Siapa yang menggendongku kesini?"
"Takahashi," Ao menyahut cepat, menambahkan, "Haruto." Kano sempat membeku sejenak sebelum menyantap ramen miliknya kembali. Apa tubuhnya seringan itu sampai bisa dibawa kesana-kemari?
"Aku mendapatkan alamatmu dari Kitayama, kalau kau bertanya. Aku sempat salah rumah tadinya," celetuk Ao ditengah heningnya suasana. Kano manggut-manggut. Ia menghabiskan makanannya dengan tenang dan meminum segelas susu yang disediakan sampai habis.
"Kau tahu, tidak, siapa yang menyiapkan ramen dan susu ini?"
Kano mengernyit. Tentu saja Ao dan Tatsuya, 'kan?
Ao terkekeh kecil. "Bukan aku, kalau aku yang merebus mi-nya, nanti yang mendidih pancinya, bukan airnya," lawaknya. Kano tertawa renyah.
"Lalu siapa?"
Mata Ao berbinar saat mengucapkan, "Kitayama! Aku tidak menyangka ia bisa merebus ramen, loh, dan menambahkan beberapa sayuran lain."
Alis Kano bertaut. "Memangnya ia tahu dimana letak sayurannya?" Dan bukankah merebus ramen itu gampang sekali? Walau tiap Kano melakukannya, mi-nya akan jadi sangat lembek dan tidak enak dimakan.
Ao menyengir. "Tadi ibumu pulang, dan ia memberi tahu Kitayama soal itu. Beliau juga berpesan pada kami untuk menjagamu. Beliau bilang ia tidak pernah kedatangan tamu selain keluarga Takahashi," jawab Ao lancar, membereskan mangkuk dan gelas yang kosong. Gadis itu pamit guna menaruh peralatan bekas tersebut ke dapur dan mencucinya, tapi, Kano bilang supaya ditaruh saja dan tidak perlu dicuci, meninggalkan Kano berdua dengan Tatsuya.
"Kau tadi mengatakan ingin bicara sesuatu denganku? Kalau soal proyek yang diberikan wali kelas, sudah kuurus, kok," ujar Tatsuya membetulkan kacamatanya. Kano berdehem.
Sebenarnya ia tadi hanya membual dan sekarang tidak tahu harus membicarakan topik apa. Maka ia mengalihkan pembicaraan terlebih dahulu dengan berkata, "Aku akan merapikan rambut dulu, tunggu."
Kano berjalan menuju meja riasnya dan mengambil sisir, tangannya bergerak menyisiri rambutnya pelan. Tapi, peninggalan luka jambakan Haruto tadi masih tersisa dan membuatnya sedikit kesulitan. Ia meringis sakit. Melihat itu, Tatsuya berdiri dari duduknya dan menghampiri Kano, mengambil alih sisirnya dan berganti menyisiri rambut Kano.
Kano terkesiap. "Ah, terima kasih. Kau telaten sekali, ya."
Tatsuya mengangguk. "Aku ... punya sahabat perempuan yang tidak pernah bisa menyisir rambutnya sendiri waktu kecil, jadi, ya begitu," jelas Tatsuya tanpa diminta. Kano tersenyum simpul, melihat refleksi mereka berdua di kaca.
"Benarkah? Kalau begitu orang itu pasti beruntung sekali punya sahabat sepertimu."
"Sayangnya kami berpisah saat usia enam tahun," ekspresi Tatsuya berubah sedih. Kano panik.
"Eh, maafkan aku." Meski Kano tidak tahu mereka berpisah karena apa, Kano ikut sedih. Kano sedang mengingat perasaan deja vu yang menyerangnya saat Tatsuya tiba-tiba berkata,
"Aren't you tired being treated like that?"
Kano mematung, bingung. Ia tidak tahu apa yang Tatsuya maksud.
"They always hurt you, right?"
Kano membuka bibirnya, kemudian menutupnya lagi. Ia memilih diam. Apa Kitayama tahu sesuatu tentang hidupnya? Hidup yang selama ini ia jalani?
Pintu kamarnya dari tadi terbuka, jadi tidak akan ada yang mengetuk jika ingin masuk. Tapi, Kano tahu betul ada seseorang yang berdiri di pintu tersebut, Kano hanya tidak tahu siapa orangnya. Cermin di depannya tidak cukup besar untuk memuat refleksi orang itu juga.
"They will always hurt you, sweetheart," ujar Tatsuya sebelum menyisiri rambut Kano lembut. Gadis itu tidak mampu mengatakan apa-apa maupun menyangkal, ia hanya membeku, melihat pantulan mereka di kaca.
Tatsuya mendekat, menundukkan badannya sedikit, berbisik di telinga gadis bermarga Fujii tersebut, "So, let me hurt them back, okay?"
Dan entah kenapa, ia tidak pingsan meski dibisiki untuk kedua kalinya dengan hampir tidak ada jarak tersisa.
...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top