十三 ; aita kuchi ni botamochi
a bean-jam cake into an open mouth
.......................................
"Kau menyebalkan sekali, sungguh."
"Memintaku memakai yukata hanya karena kau ingin melihatku dengan yukata? Alasan yang tidak masuk akal," gerutu Kano lagi—tetapi, tangannya tetap bergerak memilih yukata-yukata yang menurutnya lucu. Ada satu motif yang menarik perhatiannya—namun, yukata tersebut terlalu pendek, maka ia mengurungkan niatnya. Sementara Akira, sang biang masalah hanya tersenyum manis dibuat-buat, duduk menunggu di sofa.
Mereka sedang berada di butik pakaian tradisional di pusat kota—yang sudah jarang ada.
"Tidak usah cerewet, deh. 'Kan, aku yang akan membayarkan semuanya," ujar Akira membalas. Tetapi, tetap saja Kano kesal. Maka, ia membawa sebanyak mungkin yukata yang bisa ia coba, mulai dari yang panjang hingga pendek berjumlah total tiga buah.
"Hei, bagaimana kalau yang ini?"
"Bagus, tetapi, warnanya terlalu terang."
Kano kembali dan memakai yukata yang lain.
"Kalau ini?"
"Terlalu pendek."
Kano berdecak sebal. Ia memasuki ruang ganti dan keluar dengan yukata yang belum juga terlihat baik di mata Akira.
"Ini bagaimana?"
"Terlihat jelek. Banyak glitternya dan kau sangat tidak cocok dengan itu."
Kano merotasikan bola matanya. Lelah, ia memutuskan mengambil salah satu yukata secara asal dan memakainya dengan tidak niat.
"Ini?"
"Cantik."
Kano mendelik. "Apa kau bilang tadi? Katakan lagi!"
Meniru tingkah laku Kano sewaktu di bangku taman dahulu, Akira menutup matanya dan berlagak sombong. "Tidak ada pengulangan untuk kata yang Pangeran Akira ucapkan." Nadanya terdengar menjengkelkan sekali di telinga Kano, atau cuma perasaan gadis itu saja?
"Terkadang, aku merasa bingung kenapa kita bisa bergandengan tangan sambil berjalan bersisisan begini."
Ujar Kano menatap tangannya yang digenggam erat oleh Akira, memain-mainkan jarinya. Mereka sedang jalan-jalan di daerah pecinan karena Kano ingin makan dimsum yang terkenal lezat disana. Tangan Kano yang sebelahnya memegang paper bag berisi banyak yukata yang dibelikan oleh pacarnya itu. Sementara tas kecilnya ia titipkan pada Akira, sudah seperti wanita-wanita sosialita yang membawa bodyguard atau apalah namanya.
"Aku juga heran kenapa bisa suka padamu. Apa karena kau satu-satunya figur perempuan yang benar-benar mengerti tentangku sejak aku kecil dulu?" balas Akira, Kano terkikik kecil mendengar penuturannya. Tangannya bergerak mencubit pipi lelaki itu gemas.
"Yah, bagaimana pun juga kau sudah kuanggap seperti adik sendiri."
Oke, itu menyakitkan.
Tetapi selama Kano tidak bersama Haruto, ia akan baik-baik saja.
Selama Fujii Nakano tidak dekat dengan Takahashi Haruto, Akira akan baik-baik saja.
Iya, 'kan?
Setidaknya begitu.
"Omong-omong, warung dimsum yang lainnya ramai sekali, aku tidak ingin mengantre. Kita ke pojok sana yang sepi saja, bagaimana?" Akira buru-buru mengalihkan pembicaraan karena gadisnya itu tampak merasa bersalah terhadap ucapan yang barusan ia lontarkan. Meski sepertinya ia tidak membantu sama sekali melihat tampang Kano yang murung dan memaksakan senyumnya supaya Akira tidak tersinggung dengan perkataannya.
"Paman, tolong dimsumnya satu porsi, ya!"
Akira berkata dengan ramahnya kepada paman penjual dimsum di warung tenda agak kecil yang cukup bersih itu. Melihat sang paman mengangguk, setelahnya ia berbalik kebelakang; namun, bahunya menabrak seseorang yang ikut berbalik ke arahnya. Laki-laki yang tidak asing di mata Akira, tapi, asing di mata laki-laki itu. Perbedaan tinggi mereka tidak signifikan, ketampanan mereka juga tidak terlalu jauh bila dibandingkan. Bedanya, ada perempuan di belakang laki-laki itu, sedangkan pawang Akira sendiri sedang sibuk memotret diri dan mengunggahnya di sosial media. Sejak kapan Kano jadi narsis begini?
"Ah, maafkan aku."
Akira berusaha bersikap sopan. "Tidak, aku yang minta maaf."
Laki-laki itu tertawa. "Iya, baiklah. Sepertinya aku mengenalmu."
Akira menaikkan sebelah alisnya. "Kau harusnya mengenalku."
Manusia yang ditanya mengangguk. Berceletuk, "Kau orang yang mengatakan kepadaku—,"
"Sayang, sudah selesai?"
Kano yang sedang berpura-pura manis sebagai ganti permintaan maaf akibat perkataan tidak mengenakkannya tadi datang dari belakang dan melingkarkan lengannya di bahu Akira (Kano agak kesulitan juga mengingat lelaki yang berusia setahun dibawahnya itu tumbuh jauh lebih tinggi darinya dan mengharuskannya mengintili Akira seperti anak ayam). Raut bahagia di wajahnya menghilang selepas ia melihat sesosok tiang listrik yang tak asing baginya, spontan Kano mendelik horor.
"Kau?!"
"Hai?" Arata menjawab seperti tidak ada beban. Dasarnya mereka tidak putus baik-baik beberapa minggu lalu tentu membuat hubungan keduanya jadi canggung dan kata-kata 'teman' yang mereka angankan jika putus nanti seolah menghilang begitu saja, tetapi, sepertinya hanya Kano yang merasa canggung disini.
"Kenapa ia ada disini?" Akira bertanya. Sebelum Kano sempat menyahut, ia dibuat terkejut lagi begitu perempuan di belakang Arata berbalik dan menampilkan wajah gadis paling populer di SMU Tatsuni.
"Eh—Fujii?"
"Tanaka? Apa yang kau lakukan disini?" tanya Kano tidak menghiraukan pertanyaan Akira sebelumnya, yang tentu saja membuat lelaki tersebut sebal. Ia lalu menarik Kano menjauh dengan alasan dimsum pesanan mereka sudah selesai dikukus.
"Kalau begitu ajak Tanaka, ya?"
Akira berdecak. "Kenapa harus mengajak ia? Kupikir ini waktu kita setelah kau masuk rumah sakit akibat pingsan waktu itu."
Kano memasang raut memelasnya, "Kumohon, ia teman soon-to-be ku, katanya ia bisa mengajariku cara menjadi ramah."
Akira tiba-tiba terkekeh. "Aku juga bisa."
"Kau laki-laki." Kano menggerutu.
"Apa hubungannya?"
"Kau mau aku beramah-tamah dengan laki-laki?" sahut Kano sanggup membuat Akira terdiam.
"Ya sudah, sini aku bawakan paper bag-mu, kau bawa tas mu sendiri, ya," tutur Akira bernegoisasi. Kano mengangguk senang, kontan memeluk Akira untuk pengungkapan terima kasih. Saking terbawa suasananya, mereka sampai tidak menyadari tatapan Arata yang melihat adegan pelukan itu dengan sendu dan tatapan tidak suka Ao yang sangat lihai disembunyikannya.
"Keadaanmu kemarin bagaimana? Maaf, ya, aku dan Takahashi tidak tepat waktu menemukanmu. Malah gadis pindahan yang asal-usulnya tidak jelas yang berhasil membuat lelaki brengsek itu membawamu ke ruang kesehatan." Ao membuka suara setelah duduk di salah satu kursi di dekat meja yang berkapasitas empat orang. Gadis itu tidak peka akan perubahan atmosfir yang terjadi ketika ia selesai mengatakannya, menyumpit satu dimsum seporsi miliknya yang masih hangat.
"Apa yang terjadi kepadanya?"
"Tidak ada apa-apa, kok," jawab Kano memilin bibirnya gugup. Akira yang melihatnya terpaksa tidak membahasnya, mengangguk menimpali, karena sepertinya Arata masih belum bisa berpaling dari Kano sampai menanyakan itu.
"Bohong, ada yang terjadi, kok!" Ao bersikeras membawa topik tersebut ke permukaan setelah sebelumnya diabaikan.
"Tanaka, tidak baik membicarakannya saat makan begini," tegur Kano mengunyah makanan yang baru masuk ke mulutnya, meminta sepasang sumpit lagi pada sang paman yang baru saja mengantarkan dimsum mereka. Ao menunduk meminta maaf.
"Ha-habis, aku sangat khawatir denganmu," sangkal Ao memainkan dimsumnya.
Kano terkekeh, "Aku baik-baik saja. Buktinya, aku sudah berbelanja banyak dengan Akira," ucap Kano menunjukkan paper bag yang terletak di bawah meja, yang disambut binar antusias oleh Ao.
"Beli apa saja?"
Kano menggaruk pipinya kecil, "Eung, yukata. Akira bilang ingin melihatku memakai yukata." Kano tersenyum berterimakasih kepada paman yang mengantarkan sumpit dan menyerahkannya ke Akira.
"Kalian pacaran?"
"Eh?" Kano tercengang dengan pertanyaan yang keluar dari mulut Arata secara tiba-tiba. Tidak tahu harus menjawab apa, maka ia menunduk dan menanti apa yang terjadi selanjutnya. Yang tidak ia sangka, Akira menyahut santai. "Kenapa?"
Arata memejamkan matanya dan memasukkan dimsum ke mulutnya, berlagak cuek. "Miris saja. Orang yang mengatakan padaku untuk putus dengan seorang gadis malah sekarang menjalin hubungan dengan gadis itu."
Ao hampir meledak dalam tawa jika saja ia tidak melihat keadaan. "Kau dan Fujii pernah berhubungan?"
Arata dan Kano menjawab bersamaan.
"Iya."
"Tidak!"
Yang menjawab 'tidak' adalah Kano, sebab perempuan itu sedang gugup sekali dan berusaha menyingkirkan pusingnya. Amnesianya belum sembuh total dan ia kerap kali menjumpai hal-hal yang berhubungan dengan masa lalu tidak mengenakkannya. Apakah salahnya jika ia pingsan detik itu juga dan merepotkan Akira untuk mengangkatnya?
"Yang benar yang mana?"
"Aku." Arata menjawab sambil meminum cola-nya, bersikap tenang meski ia berdegup luar biasa. Tidak tenang mengetahui mantannya sudah mempunyai gandengan baru dan tidak tenang mengetahui ia masih menaruh perasaan pada gadis itu.
Ao tertawa canggung. "Ah, jadi, kalian berpacaran?"
Kano mengernyit. "Siapa?"
"Kau dan Takahashi."
Akira membalas, "Benar."
Suasana menjadi hening karena tidak ada satu pun yang berani membuka suara.
Kano berniat memecahkan suasana, tetapi, kemudian ponselnya bergetar menandakan pesan masuk dan ia segera membukanya. Dari perawat yang menjaganya sewaktu tragedi truk itu, Kano sayup-sayup ingat.
To ; Fujii Nakano
From ; Yoshida Aki
Sedang dimana?
Kano bersiap menjawabnya kalau tangannya tidak mendadak lemas dan ponsel miliknya meluncur membentur tanah serta pandangannya yang berubah gelap. Benturan kepala Kano dengan meja merupakan hal yang terakhir kali gadis itu dengar.
Kano pingsan.
Lagi.
🍂
"Tidak masalah, 'kan! Main hanya berempat saja!"
"Iya, betul! Apalagi, ada tiga daun mapel. Kano, kalau namamu sama seperti kami, akan ada empat daun mapel!"
"Sayangnya, ibu Kano tidak bersahabat dengan ibu kita hingga berjanji menamai kita daun mapel!"
"Kalau boleh ganti nama, aku juga ingin mempunyai nama seperti mapel."
"Kembar empat, he he! Tidak apa, kita buat Juliet versi menyukai mapel saja!"
"Juliet itu siapa?"
"Juliet itu nama inggrisnya Kano! Kau tidak tahu?"
"Aku juga ingin punya nama inggris!"
"Nanti ketika sudah besar, minta tolong ibu saja! Kan, Kano tidak dilahirkan di Jepang."
"Oh, ya? Kau dilahirkan dimana, Kano?"
"Di Inggris! Kano dilahirkan di Inggris!"
"Aduh, kau memang cocok disebut sahabat tiada duanya dengan Kano, ya! Tahu apa saja tentangnya!"
"Tentu, dong! Kano dan aku ini sahabat selamanya!"
"Kobayashi Momiji dan Fujii Nakano ini sahabat selamanya!"
Kano terbangun dan tersengal-sengal. Mimpi apa itu? Kenapa banyak sekali orang bernama Momiji yang berada di sekitarnya? Kano menggigil dan mulai menangis, menyadari ia sudah terlalu lama melupakan sahabat satu-satunya di masa kecilnya sebelum bertemu Haruto di pantai di daerah Okita, daerah asalnya sebelum ia dan Yukino pindah ke Tokyo karena ingin melupakan ayahnya—Hikaru Makoto—yang pergi meninggalkan mereka berdua. Kano melihat sekitar, menangkap sesosok perawat yang Kano yakini adalah Yoshida Aki.
"Yoshida-san, pernah cerita tentang pasien yang sama sepertiku sebulan lalu, tidak?"
Aki mengangguk heran. "Ya? Kenapa?"
"Dan Yoshida-san mengatakan kepadaku ia seperti daun mapel, 'kan?"
Aki mengangguk lagi. Bingung karena Kano menjadi pelupa begini, dan bingung karena setelah bangun tadi Kano malah menangis.
Kano memijit pelipisnya, menyurai rambutnya dan mengusap air matanya yang jatuh, berusaha tersenyum. "Bisa beritahu aku marganya?"
Aki menggeleng. "Tidak bisa, itu melanggar kode etik pasien."
"Tapi, Yoshida-san, 'kan, perawat. Bukan dokter," sangkal Kano mencoba menuntaskan rasa penasarannya. Jadi mimpi anehnya setelah amnesia bukan merupakan mimpi semata, tetapi, kenyataan? Tiga mapel di waktu yang sama dan tempat yang sama. Tidakkah itu membingungkan sekali? Ditambah Perawat Aki mengatakan salah satunya meninggal. Hayashi yang menolongnya; berarti yang tersisa hanyalah Shimizu dan Kobayashi. Ada yang meninggal di antara keduanya?
Aki tetap menggeleng yang masih tidak bisa membuat Kano menyerah. "Kalau begitu, biar kutebak, Kobayashi Momiji?"
Terlihat dari raut terkejutnya yang sekilas, Aki tersenyum canggung. Kano mendesak wanita itu untuk mengatakan yang sejujurnya. "Benar, 'kan? Ia pasien yang mengalami hal yang sama sepertiku, 'kan?"
"Jika aku mengatakan iya, tidak ada hal yang berubah."
Kano mengulas senyum sinis, menengadahkan kepalanya ke atas guna menahan air mata yang meluap keluar. "Ada! Fakta bahwa dari kecil aku sudah berteman dengannya!"
"Sudah, tenanglah, tidak apa." Aki mencoba menenangkan Kano yang menangis sesenggukan seiring kembalinya ingatan masa kecilnya. Jadi Hayashi Momiji bukan sekadar orang yang bertemu dengannya saat sekolah menengah pertama, melainkan seseorang yang juga menyelamatkan Haruto yang hampir terseret ombak? Alasan mengapa Hayashi kerap merundung Haruto dan Akira merupakan caranya untuk membuat ingatan Kano kembali. Mengapa Kano tidak peka? Mengapa Kano tidak peka akan tatapan iri gadis itu ketika melihat mereka bertiga pulang bersama? Dan sekarang tiba-tiba Haruto sudah akrab saja dengan Hayashi, apa yang terjadi?
Seharusnya ada juga alasan kenapa Kano tidak ingat masa kecilnya. Tidak ingat sama sekali. Hanya potongan dirinya yang menyelamatkan Haruto sendirian. Tidak bersama tiga gadis mapel lainnya.
"Ibu, ibu dimana? Telepon ibu sekarang!" Kano menjadi histeris dengan menyuruh Yukino datang secepatnya, ingin tahu semua alasan akan hilangnya ingatannya serta kejadian-kejadian yang ia sendiri sulit untuk cerna.
"Tenanglah, Kano, akan segera kupanggilkan." Aki mencoba bersikap netral mengingat sikap yang menolak dan meminta menjelaskan situasi merupakan sikap yang tidak dibutuhkan sekarang. Tetapi, sampai dering ponsel berakhir, pun, tidak ada tanda-tanda panggilan tersebut akan diangkat. Mengetahui begitu, Aki menggigit kuku ibu jari-nya cemas. Pintu kamar rumah sakit terbuka dan menampilkan sosok yang Kano sedang tidak ingin lihat.
Takahashi Haruto.
"Ada apa ke sini?" tanya Kano retoris yang seharusnya lelaki itu tahu tidak perlu dijawab. Namun, karena Haruto adalah orang yang menyukai keributan, maka ia mengatakan hal tidak menyenangkan ketika didengar, baik oleh telinga Kano mau pun telinga Aki.
"Tentu saja menjengukmu. Apa lagi?"
Kano tidak bisa menahan kekehan sarkasnya. "Rasanya aneh mendengarmu bilang begitu, mengingat kau merupakan orang yang membuatku hampir mati dua kali."
Aneh juga mengingat perubahan suasana hati milik Kano terjadi sangat cepat yang tadinya ia histeris dan berteriak-teriak menjadi sekalem dan setenang ini. Aki menyaksikan pertengkaran keduanya tanpa tahu harus berbuat apa. Tentang perubahan mood Kano, bisa jadi perempuan itu mengidap manic, 'kan? Tapi, kalau Kano mengidap manic maka di keluarga Takahashi dan Fujii memang tidak beres semua.
"Terima kasih atas pujiannya. Boleh kutambahkan jadi tiga? Kurasa angka ganjil cocok sekali dengan situasi sekarang."
Dasar menyeramkan. Aki bergidik ngeri melihat interaksi mereka. Tata bahasa dan intonasi nadanya berada di level yang tidak main-main. Jika Aki tidak cukup pintar untuk memahami setiap kata sarkas atau sindiran yang keduanya ucapkan, ia lebih memilih menjadi patung karena tidak bisa mengikuti pembicaraan mereka. Aki mungkin akan berusaha berpihak pada Kano memikirkan beberapa waktu lalu Haruto yang membuat Kano luar biasa celaka.
"Omong-omong, kau lama sekali terbangun dari pingsan seperti itu. Saat ini pukul lima sore dan kau pingsan pukul delapan malam kemarin," ujar Haruto menduduki kursi di samping kanan ranjang Kano, sementara di sisi kanan ada Yoshida Aki yang diminta Naoki—yang terkejut mengetahui kondisi Kano bukannya membaik; malah memburuk.
Kano melengos. "Apa pedulimu?"
"Aku peduli. Soalnya, aku mencintaimu."
Aki tersedak liurnya sendiri, langsung mengambil sehelai tisu di atas nakas meja dan mengusap keringatnya. "Aku akan pergi mencari angin sebentar, jangan macam-macam dengannya!" perintahnya. Kano hanya memalingkan wajah dan menolak bicara dengan Aki, yang ditanggapi wanita itu dengan helaan napas.
Aki memekik begitu membuka pintu, mendapati wajah bahagia Akira yang hendak mengunjungi Kano pula. Mengagetkan. Semuanya mendadak membuat Aki terkejut. Sepertinya, hari ini bukan hari yang menguntungkan buatnya. Aki memutuskan tetap didalam dan menyenderkan tubuhnya di sofa. Ia tidak bisa membiarkan Kano bertigaan dengan dua laki-laki, 'kan? Apalagi, Aki tidak tahu betul dua-duanya sama-sama gilanya atau tidak. Lebik baik mencegah daripada mengambil resiko Kano akan kenapa-kenapa lagi.
"Tidak jadi mencari angin?" sindir Haruto tepat sasaran.
Aki menyengir tertahan. "Aku gila kalau membiarkan Kano sendirian dikelilingi cowok-cowok yang aku tak kenal." Bersidekap, kembali menyenderkan kepalanya di atas sofa. Memejamkan mata.
"Terima kasih sudah mengkhawatirkan, tetapi, mereka berdua baik, kok." Kano membuka suara.
Aki hampir protes kalau tidak mendengar apa yang Akira katakan selanjutnya. "Jangan memperjelasnya, Kano. Aku tahu kami memang tak waras." Beberapa detik setelah Akira mengucapkannya, Aki tak ayal geleng-geleng melihat kelakuan mereka bertiga. Tadi saja atmosfir yang tercipta akibat perseteruan Haruto dan Kano sangat-sangat bisa membuat sesak napas, namun, situasinya sudah berbalik jauh sekarang.
Setelah beberapa menit percakapan antara tiga sejoli itu,
"Yoshida-san tidak lelah?"
Aki tersadar dari lamunannya. "Eh?"
Kano mengulang pertanyaannya. "Yoshida-san tidak lelah? Dari pagi menjagaku, bukannya ada pasien yang harus diperiksa juga?"
Aki meringis. "Keluarga Naoki-sama itu pemilik rumah sakit ini. Dan aku bisa bekerja disini berkat beliau. Jadi, secara teknis, aku bekerja dibawah perintahnya. Perintahnya adalah memintaku untuk menjagamu selalu," jawabnya. Kano manggut-manggut mengerti.
"Kalau yang mengatakannya laki-laki, pasti romantis," Akira menyahut. Aki tertawa menanggapinya.
Mumpung sedang membicarakan Naoki, Aki jadi teringat pesan lelaki itu yang menyuruhnya memberitahu Kano tentang rencananya. Tidak ingin basa-basi, Aki langsung mengutarakan maksudnya. "Kano, kau tidak lupa janji kencan dengan beliau, 'kan, akhir pekan ini?"
Haruto tersenyum seperti sudah tahu momen ini akan terjadi. Momen yang menyebabkan hubungan Kano dengan Akira retak sedikit.
"Eh? Janji? Kencan? Akhir pekan? Maksudnya?" celetuk Kano lagi karena tidak tahu-menahu tentang itu. Wajar, bukan, ingatannya hilang dalam kurun waktu satu tahun dan perjanjiannya untuk berkencan dengan Naoki tidak sampai dua bulan.
Aki tampak memikirkan sesuatu dan menyusun kalimatnya. "Ah, katanya bukan kencan benaran, kau berjanji akan menemaninya membelikan hadiah untuk adik sepupunya."
Kano menunduk, melirik dari ekor matanya, tidak berani menatap mata Akira yang meminta penjelasan. Haruto malah dengan santainya meletakkan kedua tangannya dan menjadikannya tumpuan untuk kepalanya, "Aku lupa bilang, ya? Nakano dan Akira sekarang berpacaran."
Aki menutup mulutnya. "Lalu bagaimana? Sekretarisnya sampai bilang kepadaku ia mengosongkan jadwal mau pun cek pasien hari itu juga."
"Adik sepupu itu penting sekali baginya, ya. Tetapi, kenapa tidak bersama Yoshida-san saja?" celetuk Kano mencoba menetralkan tatapan tajam Akira. Kano mengharapkan jawaban yang lebih menyenangkan, namun, ekspresi tidak enak Aki menjawab semuanya.
"Maaf, aku harus menjenguk keponakanku. Sebenarnya, aku sudah mengajukan cuti dari beberapa minggu yang lalu, tetapi, baru disetujui sekarang olehnya," balas Aki merasa bersalah. Kano menoleh takut-takut ke arah Akira yang memasang poker face. Kano tidak tahu apa yang lelaki itu rasakan.
Helaan napas yang bisa berarti segalanya itu pemecah keheningan yang sedang melanda. "Kau boleh pergi dengannya, asal adik sepupunya juga ikut. Aku bukan pencemburu akut sampai-sampai melihat gadisku jalan dengan lelaki lain saja membuatku ingin menabrakkannya ke truk."
Haruto tersindir.
"Ta-tapi nanti tidak jadi hadiah, kalau begitu?"
"Terserah, pokoknya aku tidak mau tahu."
Aki terkikik.
"Kalian lucu, ya."
...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top