十七 ; au nowa wakari no hajimari

to meet is the beginning of parting
.......................................

"Aku yang harusnya tanya. Fujii menghilang selama sebulan dan muncul mendadak di sini, bersama kau, lagi."

Haruto tersinggung dengan kata 'bersama kau'. Memangnya kenapa kalau dirinya? Ada yang salah?

Oh, iya, Haruto, 'kan, terkenal murid nakal, tapi, jenius. Jadi, itu maksudnya?

"Ada apa?"

Suara Yukino menginterupsi perdebatan panas yang akan terjadi. Dengan sigap, melupakan masalah sebelumnya, Kano menggaet lengan Yukino dan memalsukan senyum manis.

"Kitayama, kenalkan ini ibuku, Fujii Yukino."

Yukino sudah familiar dengan situasi ini. Yang mengherankan adalah kalau ia merasa situasi seperti ini tidak pernah terjadi. Maka, Yukino bersikap profesional dengan menjabat tangan lelaki sebaya anaknya itu.

"Ibu, kenalkan ini ketua kelas di kelasku, Kitayama Tatsuya."

Kenapa atmosfirnya jadi seperti pertemuan calon menantu dengan menantu begini?

Tidak bisa, Haruto cemburu. Ia tidak bisa berperan sebagai 'kakak-yang-mengobservasi-calon-suami-adiknya' atau apalah itu namanya. Ia harus menjadi calon menantunya! Ia tidak mau tahu.

"Kano, ayo, mejanya sudah dipesan," Haruto menggeret Kano tanpa aba-aba, membuat gadis itu agak terjungkal sedikit. Terjungkalnya, sih, sedikit, tapi, Kano payah dalam hal menjaga keseimbangan, entah bagaimana, yang harusnya ia jatuh ke depan, malah jadi jatuh kebelakang dan untungnya tidak menyentuh lantai.

Kano membuka matanya. Ia mendongak, menemukan wajahnya dekat sekali dengan wajah Tatsuya, mereka berdua langsung melepaskan diri dan berdehem.

Yukino membatin, Jadi nostalgia. Ini rasanya punya anak yang diperebutkan?

Haruto menatap Tatsuya tidak suka. Tatsuya balik menatapnya dengan tatapan yang seolah mengatakan, "Kau yang menjatuhkannya! Jangan menyalahkanku."

Haruto menyeringai kecil, meski sekilas, tapi, masih dapat terlihat oleh mata kucing Kano. Gadis itu mencubit lengan Haruto pelan, yang tetap saja terasa sakit.

"Apa maksudmu? Lebih baik kita pesan makanan, cepat," gerutu Kano gantian menyeret lengan Haruto menuju kasir. Kini tinggal Yukino dan Tatsuya seorang.

"Kamu ketua kelas Nakano, 'kan? Bisa bicara sebentar?"

Tatsuya mengangguk sopan. Mereka memilih bangku paling ujung di halaman belakang dan menikmati angin sepoi-sepoi serta teh hangat nan harum bunga yang menguar dari kafe tersebut, membuat suasana nyaman. Suasana hening sejenak sebelum Yukino mengambil sebuah amplop putih dari tasnya dan menyerahkannya ke hadapan Tatsuya.

"Terima kasih sudah membantu saya, juga menangani Nakano di sekolah. Kalau kurang, kamu bisa minta lagi."

Tatsuya menatap amplop itu datar, beralih pada Kano dan Haruto yang sedang berebut kue, lalu beralih lagi pada amplop itu. Ia menghela napas, mengambil amplopnya dan memasukkannya ke saku mantelnya. Musim gugur sudah hampir berakhir dan cuacanya mulai dingin sekali.

"Terima kasih. Tapi, anda tidak perlu melakukan hal ini lagi, karena saya tidak ingin dapat bayaran dari sesuatu yang saya lakukan karena suka."

Yukino menaikkan sebelah alisnya. Ia mengangsurkan selembar pecahan sebesar 10.000 yen dan berkata, "Akan saya tambah kalau kamu berhasil membuat Nakano lebih dekat lagi dengan saya. Saya tunggu."

Tatsuya tersenyum simpul dan mengangguk.

Ia menatap nanar pada Yukino, Kano, dan Haruto yang sedang tertawa.

Apa mereka bahagia?

🍂

Kano memperhatikan Yukino yang terus menatap cemas pada meja dibelakangnya, yang ditempati oleh Tatsuya. Kano menggembungkan pipinya sebal.

"Ibu tidak bermaksud berbicara dengannya tentang nilaiku yang nol besar selama bulan ini, 'kan?"

Yukino terkekeh canggung. "Tentu tidak. 'Kan, bukan salahmu juga."

Kano menyeruput cokelat hangatnya. "Kenapa Ibu bisa bersikap biasa saja setelah tidak bertemu aku selama sebulan?" tanya Kano, memakan choco bars-nya.

"Karena kami sudah biasa dalam menangani hal ini," ujar Haruto santai yang langsung mengundang sengitan panik dari Yukino yang tadinya diam. Kano tidak terkejut, mengingat keluarganya sudah terlalu banyak menyembunyikan sesuatu darinya. Memang kenapa, sih, kalau hal yang mereka sembunyikan itu Kano ketahui?

Apa perang dunia ketiga akan terjadi?

Tidak, 'kan. Memikirkannya saja membuat Kano kesal.

"Haruto hanya bercanda, kok. Iya, 'kan, Haruto?" sinis Yukino sambil tersenyum manis pada lelaki bermarga Takahashi tersebut.

Haruto tidak menjawab.

Yukino beralih ke Kano. "Ia hanya bercanda, Kano," ucapnya berusaha meyakinkan. Kano mengangguk ragu.

Kano mengalihkan atensinya pada Haruto yang sibuk mengecek ponselnya. Tiba-tiba saja lelaki itu berdiri dan membereskan barang-barangnya. Sama dengan Yukino yang sehabis menerima telepon, mereka terlihat terburu-buru sekali. Padahal choco bars-nya belum habis.

"Kalian mau ke mana?" tanya Kano.

Yukino membalas duluan. "Ah, Kano, maaf, atasan Ibu meminta Ibu untuk lembur, walau Ibu sudah mengajukan cuti. Tetapi, beliau bilang gaji Ibu akan dinaikkan sepuluh persen."

Kano memaklumi. Siapa pun tidak akan menolak kalau disuguhkan uang.

Haruto menyusul setelahnya. "Momiji meminta dijemput. Katanya orang tua-nya tidak bisa dihubungi dan ia masih ada di tempat les hingga kini."

Kano tersentak. Bukan-bukan kaget tentang Momiji yang mana yang meminta dijemput, ia tahu betul itu Hayashi Momiji, tapi, kaget dengan fakta bahwa Hayashi belum pulang dari tempat les-nya, sementara ini sudah jam sembilan malam!

"Kau bisa pulang sendiri?" tanya Haruto yang dibalas oleh anggukan cepat milik Kano. Yukino sedang membayar pesanan mereka di kasir.

"Jemput ia secepatnya, ya!" pesan Kano pada Haruto. Lelaki itu tersenyum.

Yukino memberikan uang sebanyak seribu yen dan ponsel milik anaknya itu pada Kano yang duduk termenung. "Benar tidak apa? Ibu bisa mengantarmu pulang dahulu, kok."

Kano menggeleng, melunturkan kecemasan Yukino. "Ibu, apa yang Ibu bilang soal uang adalah prioritas utama?"

Yukino terdiam. "Baik, kalau butuh lebih tinggal telepon Ibu, ya."

Kano mengangguk. Yukino menghilang dari pandangannya. Ia mulai memakan jajanannya satu persatu, mengunyahnya pelan, tenggelam dalam pikirannya. Jam menunjukkan pukul sepuluh ketika Kano menyelesaikan makanannya. Ia beranjak dari duduknya, mengucapkan terima kasih pada pelayan yang membukakan pintu, dan mematung di pinggir jalan raya.

Uh, apa ia naik taksi saja?

Stasiun juga jauh dari sini. Kano bahkan tidak tahu ia sedang berada di mana. Seperti komplek pertokoan, tapi, di pinggir jalan besar. Dan, toko-toko yang lain sudah tutup, namun, Snowy Cafe belum menunjukkan tanda-tanda mau menutup kafenya. Sepertinya kafe itu adalah jenis kafe yang buka sampai tengah malam.

Kano mencoba bersabar dengan menunggu taksi lewat, tetapi, sampai lima belas menit kemudian tidak ada kendaraan yang lewat. Sepi sekali. Ia merinding, membayangkan kejadian-kejadian dalam film. Bertemu hantu, bertemu penculik-yang Kano harap tidak karena ia sudah puas dikurung selama satu bulan, bertemu setan, iblis, pokoknya hal-hal negatif itu Kano absen semua dalam pikirannya. Ia menenangkan dirinya, meski tak ayal tubuhnya tidak kunjung tenang.

Ia memejamkan matanya. Sekelebat bayangan membuatnya oleng sedikit.

Apa tadi?

Kano tetap memejamkan matanya, tidak berani melihat yang sebenarnya. Begitu ia mengintip sedikir, ia dikejutkan dengan sosok yang memakai selimut putih dengan dua sobekan di matanya.

"Boo!"

Kano terlonjak dan terjatuh kebelakang. Ia menggerutu, menyadari hantu yang dilihatnya adalah hantu jadi-jadian.

Sosok itu tertawa lepas dan membebaskan dirinya dari selimut itu. Muncullah Kitayama Tatsuya, yang adalah orang dibalik insiden jahil yang mampu mengundang sumpah serapah Kano tadi.

"Astaga, Kitayama!"

"Butuh bantuan?" Tatsuya mengulurkan tangannya, membantu Kano berdiri. Gadis itu menepuk-nepuk bagian tubuhnya yang terkena pasir, mulutnya masih mendumal tidak berhenti.

"Kenapa masih disini?"

Tanya Kano, mereka berdua berdiri di pinggir jalan. Entah kenapa.

"Kau juga kenapa?"

Kano menjawab polos, "Menunggu taksi."

"Kau tidak takut pulang dengan taksi jam segini?"

Kano menganga. Benar juga, bukankah biasanya supir taksi di Tokyo suka melakukan hal tidak wajar jika waktunya sudah hampir tengah malam?

Ia teringat Akira. "Aku akan menghubungi seseorang dulu," gumamnya lebih kepada dirinya sendiri. Tatsuya mengangguk.

Lima menit. Nada tunggu dari pihak Kano sedikit membuat Kano kesal. Akira tidak juga menjawab panggilannya. Apa yang terjadi?

"Butuh tumpangan?"

Kano menatap Kitayama tidak percaya. Ia menggaruk tengkuknya, "Kurasa begitu. Kau memakai sepeda?"

Tatsuya menggeleng. "Aku membawa mobil."

Tunggu. Kenapa orang-orang disekitar Kano mendadak kaya begini? Ada yang tidak beres. Setahunya, Kitayama masuk SMU Tatsuni dengan beasiswa-yang Kano pikir; mungkin karena biaya SMU itu agak sedikit tidak masuk akal. Ah, tapi, bukannya itu sama sekali bukan urusannya?

Iya. Kenapa pula ia repot memikirkan harta orang lain. Dapat warisannya saja tidak.

"Kau ... sudah dapat SIM?"

"Kenapa tidak?"

Mereka mengobrol tanpa berniat beranjak dari obrolan itu.

"Berapa usiamu?"

"Delapan belas."

Kano terdiam. "Bagaimana-,"

"Aku telat masuk sekolah dasar."

Kano tidak bisa berkata-kata.

"Jadi?"

"Aku menerima tawaranmu," ujar Kano datar. Tatsuya tersenyum.

Tinggal satu mobil yang ada di parkiran Snowy Cafe, Kano rasa itu milik Tatsuya. Benar, karena nyatanya lelaki itu membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Kano masuk. Kano duduk di kursi depan karena ia tidak ingin membuat Tatsuya merasa seperti supir. Tapi, suasananya jadi canggung sekali.

"Aku ... boleh menyetel musik?"

Kano membuka suara setelah memenangi peperangan batinnya yang mengajukan untuk tetap diam, sementara sisi dirinya yang lain sangat bosan sampai ingin tertidur saja-tapi, tidur di mobil orang lain? Tidak nyaman sekali.

"Tentu."

Kano menyetel musik miliknya dari ponselnya.

"Kau suka utaite juga?"

"Iya. Kau menyukainya?" Kano menyahut, me-lipsync lagu yang sedang diputarnya dengan bisikan.

"Iya. Aku suka kuroneko."

"Benarkah? Aku jarang mendengar suaranya, tapi, hanya tahu kepopulerannya saja."

"Kalau kau?"

"Aku suka semua utaite. Tapi, yang aku paling suka tetap Mafumafu dan Soraru."

"Mereka populer sekali, ya."

"Jatuhnya bukan seperti overrated, mereka memang layak diapresiasi karena suara mereka bagus, 'kan."

"Suara semua utaite bagus, kok."

"Tahu Majiko? Ia bukan utaite, sih, tapi, suaranya sangat bagus."

"Oh, the one that have angelic voice?"

"Kau tahu?"

"Aku penggemarnya, malah!"

Kano terkikik. "Jadi begini rasanya berbicara nyambung dengan orang?" -tanpa merasa bodoh dan terintimidasi karena tidak tahu apa-apa?

"Kenapa tertawa?" tanya Tatsuya. Kano menggeleng.

"Tidak apa, kok," sangkal Kano, tersenyum. Ia melihat beberapa gerai kecil di pinggir jalan yang masih buka, melihat satu kedai taiyaki yang menggugah selera. Ia merogoh koceknya, menemukan uang seribu yen miliknya masih utuh.

"Kitayama, ingin mampir sebentar, tidak? Sebagai ganti sudah mengantarku, aku akan mentraktirmu makan," usul Kano. Tatsuya tampak menimbang sebentar, melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.

Pukul setengah sebelas.

Masih tidak terlalu malam, Tatsuya rasa. Ia menganggukkan kepalanya dan menghentikan mobilnya di dekat gerai yang lumayan ramai itu.

Mereka turun dari mobil dan memesan dua taiyaki ice cream yang berharga sekitar dua ratus lima puluh yen satu buahnya. Kano memesan rasa teh hijau, sementara pilihan Tatsuya adalah rasa cokelat.

Pesanan mereka sudah jadi, dan Kano membayar pesanannya duluan di paman yang berjaga. Ia hendak berbalik dan mematung mendengar frasa yang sepertinya tidak asing di masa lalunya-yang sepertinya selalu ia dengar.

"Taiyaki ini oishii sekali!"

Kano mendekati Tatsuya dan menatapnya horror.

"Kau ... kenapa bertingkah aneh begini?"

Tatsuya berhenti memakan es krimnya. Berpura-pura tidak tahu. "Apanya?"

"Kau jadi bertingkah seperti anak kecil," Kano memperagakan sikap yang menunjukkan kegeliannya. "Apaan kata oishii itu, pria yang punya SIM harusnya pakai kata umai, dong."

Tatsuya terkekeh. "Aku sudah biasa pakai kata itu," tolaknya. "Memang kenapa, sih, kalau lelaki pakai kata oishii?"

"Kesannya tidak gentle saja," ujar Kano mengejek Tatsuya. Lelaki itu membetulkan kacamatanya dan berdehem.

Sejak kapan mereka sedekat ini?

"Makan di mobil saja, ya. Aku takut dimarahi ibumu jika mengantarmu pulang terlalu malam."

Kano asal mengangguk. Ia memakan taiyaki-nya dengan nikmat tanpa mengatakan apa pun. Ia merasa mengantuk karena mobil ini seperti menempuh perjalanan yang panjang sekali-tapi, Kano juga tidak tahu kafe yang tadi ia kunjungi memang jauh dari rumahnya atau tidak. Maka ia tertidur dan baru dibangunkan ketika sampai.

"Fujii."

Kano menguap, merenggangkan badannya. Ia membelalak, menyadari di mana ia sekarang, lalu meminta maaf. "Eh, aku ketiduran, maaf," tuturnya dengan muka memerah karena malu.

"Santai saja." Meski Tatsuya berucap begitu, tapi, tetap saja harga diri Kano serasa oleng kebawah dan membuat Kano meminta maaf lagi. Ia turun dan berjanji mentraktir Tatsuya lain kali mereka bertemu lagi. Sesampainya di teras depan rumah, mereka saling bertukar salam dan mobil itu meninggalkan pekarangan rumahnya.

Kano berdecak dan merutuki diri sendiri, mengapa bisa ia memalukan dirinya seperti itu? Ia mengecek ponselnya sebelum membuka pintu, menemukan dua puluh panggilan tidak terjawab dari Akira, tiga puluh satu dari Haruto, dan sembilan dari Yukino, serta tiga dari Arata. Kano mengernyit, kenapa mereka menelponnya beruntun begini?

Kano mengetuk pintu saat menyadari pintu itu sudah terkunci. Tidak sampai semenit Kano menunggu, pintu rumah dibuka dengan cepat dengan ekspresi Yukino yang sangat khawatir dan hampir menangis, memeluknya.

Ia, 'kan, cuma mampir sebentar beli taiyaki?

Kano melihat ponselnya lagi, sebelas titik tiga puluh tiga. Oh, hari sudah larut, makanya Yukino mengkhawatirkannya.

"Ibu pikir kamu tidak akan pulang," ucap Yukino sambil masih memeluknya. Kano tertawa hambar. Mereka memasuki rumah dengan sesuatu yang mengganjal di pikirannya.

Ia bergerak mencuci tangan dan bergosok gigi, kemudian membaringkan tubuhnya di ranjang miliknya.

Kano membeku sesaat.

Loh.

Bukannya ia tidak pernah memberitahu alamat rumahnya pada Tatsuya?

...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top