十一 ; neko ni koban

gold coins to a cat
.......................................

Perkataan Yukino benar, rupanya, karena saat ini; Haruto sedang memojokkan Kano di halaman belakang kuil yang sepi. Membentaknya dan mengata-ngatainya bahwa ia berbohong. Membuat pernyataan bahwa Kano hanya berpura-pura amnesia (padahal Kano tidak).

Nyatanya, Tuhan baik kepadanya, hingga memberikan sekeping-sekeping ingatan tentang kekerasan yang Haruto lakukan padanya saat-saat yang lalu.

"Kau—kau selalu berlaku kasar kepadaku, 'kan?"

Haruto tersenyum sinis. "Kalau sudah tahu, kenapa bertanya?"

Kano menggelengkan kepalanya kuat-kuat, mencengkeram tangannya sendiri di dada; berusaha menetralkan rasa takut yang diberikan oleh tatapan mengintimidasi sahabat masa kecil-nya tersebut. "Aku benar-benar lupa, Haruto! Aku tidak ingat apa-apa!" Kano yang sekarang masih baru dalam menghadapi perlakuan kasar Haruto hampir menangis melihat lelaki itu berubah tiga-ratus enam-puluh derajat dari masa dahulu.

"Kau berbohong!"

Tangan Haruto bergerak menampar pipi tembam-nya. Hidup Kano memang seperti drama-drama roman picisan; tetapi, tidak ada yang menolongnya untuk menghindar dari tamparan itu. Alhasil, ia merasa pipinya memanas dan bekas tangan Haruto tercetak di sana.

Astaga, bagaimana pria ini bisa menjadi begitu kejam?

Kano terduduk dan menangis; meraung-raung, tidak mempedulikan Haruto yang berkali-kali menyuruhnya diam. Sewaktu Haruto menunjukkan tanda-tanda akan menamparnya lagi, penyelamatnya datang—

Takahashi Akira.

"Apa yang kau lakukan kepadanya? Dasar brengsek!" Akira mencegah tangan Haruto dan meremasnya kuat, membuat Haruto mau tidak mau mengurungkan niatnya untuk menyiksa Kano lagi. Gadis itu masih terduduk dan tangisnya sudah menganak sungai. Akira berjongkok menghadap Kano—dalam posisi masih bisa melihat Haruto; supaya mengantisipasi kalau-kalau lelaki itu menyerangnya dari belakang. Tidak menutup kemungkinan, 'kan?

"Kau tidak apa-apa? Ah, tentu tidak. Apa yang aku katakan? Ayo pulang." Akira mencoba membujuk Kano yang masih menangis. Perempuan itu menunduk, bersikeras tidak ingin berdiri. Akira menghela napas.

"Di rumah ada Miyuki, kau tidak mau bertemu dengannya?"

Kano dan Haruto sama-sama terkejut; keduanya menganga tak percaya. Kano cepat-cepat berdiri dan membersihkan badannya dari pasir, kemudian menggoyang-goyangkan badan Akira.

"Miyuki adik tiri-mu yang ... itu?" Akira mengangguk ragu.

"Err ... iya?"

Akira masih tidak ingin mempercayai bahwa ibu-nya—Satou Asuka, sudah berselingkuh sejak dulu hingga menghasilkan anak berusia lima tahun—yang imut—bernama Miyuki. Pantas Asuka jarang pulang, ternyata, ia mengurusi 'anak' ketiganya. Selingkuhannya salah satu pria terkaya di Jepang, bagaimana Asuka menjerat pria itu? Akira menggeleng, mengenyahkan pikiran tidak senonoh itu dari pikirannya; berbalik memperhatikan Kano.

"Sudahlah. Ayo pulang." Kano manggut-manggut mendengar penuturan Akira, menghapus air mata-nya dan berjalan mendahuluinya. Lelaki itu terbingung; menoleh ke arah Haruto yang menatapnya tajam, mengangkat bahu.

"Eum, ano ... Bagaimana kau bisa tahu kami berada di kuil?"

Kano membuka suara setelah berjalan cukup lama, masih memegangi pipinya yang panas—dan memerah—bekas tamparan Haruto tadi. Akira menjawab, "Aku bertanya pada Fujii-san tadi." Kano mengangguk.

"Kenapa bertanya?"

Akira mengernyit. "Karena aku mencarimu."

"Kenapa mencariku?"

Akira kelabakan menanggapinya. "Aku ... aku mencemaskanmu."

"Kenapa mencemaskanku?"

Pepatah yang mengatakan kalau perempuan itu terlalu ingin tahu, ternyata, benar adanya, ya.

"Karena kau pacarku!"

Balasan Akira kali ini mampu membuat Kano teringat kembali akan status mereka—yang tadinya berada di zona kakak-adik, menjadi zona kekasih.

"Kenapa kita bisa berpacaran?"

"Karena aku menyatakan cinta."

Blak-blakan sekali. Kano tetap lanjut bertanya, seperti menginterogasi Akira.

"Kenapa menyatakan cinta?"

"Karena aku menyukaimu?"

Kano berjengit terkejut. "Kenapa kau mengatakannya dengan nada ragu?"

"Maumu apa, sih?"

Tampaknya dua insan yang tidak kalah keras kepala dari Haruto ini mulai berdebat; yang tentunya langsung diberhentikan oleh Kano karena masih ingin bertanya.

"Kenapa menyukaiku? Dan, kenapa aku bisa menerimamu?"

Akira berdecak cuek. "Boleh aku jujur?"

Kano mengangguk antusias. "Apa? Apa?"

"Kau terlalu banyak bertanya."

Kano mendelik. "Terserah, dong!"

Kano bersidekap; jalannya terhenti, yang otomatis ikut membuat Akira berhenti. Mereka sudah setengah perjalanan menuju rumah.

"Kau yang memulainya!" Kano mengotot.

"Terserah karena wanita selalu benar."

Kano melongo; tidak terima. "Frasa macam apa itu?!"

Akira mengangkat bahunya lagi, malas. "Yang pertama, itu rahasia. Kalau yang kedua, mungkin, karena suasananya mendukung?"

"Omong-omong, kau tidak sekolah?" lanjut Akira meletakkan kedua tangan di belakang kepalanya, berjalan santai; seolah jalanan tersebut adalah miliknya.

"Tidak, ibu bilang, aku harus istirahat dulu sampai ingatanku pulih."

Akira mendengkus remeh. "Ibu atau Haruto yang bilang?"

Kano melotot. "Kau tidak percaya denganku?"

"Kau pikir?"

Kano mencubit pinggang Akira keras, membuat lelaki itu mengaduh. "Kekasihnya sendiri, kok, tidak dipercaya!"

"Jadi, kau mengakui status baru-mu, nih?"

Kano memerah. Ia tidak sadar perkataan yang barusan ia ucapkan akan menjadi bumerang baginya. "Tabun!"

Akira tertawa lepas; lelaki itu sampai memegang lutut dan menghentikan langkahnya. "Tidak usah mengelak, deh."

"Jadi, bagaimana pernyataan cintamu?"

Akira terdiam. "Bagaimana apanya?"

"Kau bilang kau menyatakan cinta, bagaimana kau menyatakannya?"

Paham, Akira menaikkan sebelah alis-nya; menggoda Kano. "Kau ingin tahu situasinya juga, tidak, hingga kau terpikir untuk menerimaku?"

Kano melengkungkan bibirnya ke samping. "Karena aku habis putus?"

Akira berdecak. "Bukan itu. Kau berkata ingin mencoba hal baru."

"Kurasa itu sama saja." Kano kembali mengotot.

"Iya. Kalau kau berkata begitu, artinya, aku cuma pelampiasan." Akira mengucapkannya dengan enteng sekali seolah itu tidak menyakitinya.

Kano mematung. "Apakah aku masih mencintai Arata waktu itu?"

"Tidak, kau mencintai seseorang yang lain."

Kano menyatukan alisnya bingung. "Siapa?"

"Ingat, tidak, kala usiamu lima belas tahun, dan aku empat belas tahun; dua tahun lalu, saat kita sedang mengantri untuk membeli donat untuk Haruto, aku tiba-tiba mengatakan bahwa kau masokis?"

Kano mencoba mengingat-ingat peristiwa yang diceritakan oleh Akira. Menyerah karena tidak juga bisa mengingatnya, ia menuntut kelanjutan ceritanya. Lagipula, apa itu masokis? Kano tidak tahu. Semoga itu bukan hal yang buruk.

"Aku tidak ingat."

Kano dapat melihat senyum tipis terukir dari bibir Akira. Tersirat sekali sampai kalau Kano mengalihkan pandangannya barang sedetik saja, ia akan kehilangan senyumnya.

"Itu karena aku tidak bisa melupakan kejadian tujuh tahun sebelumnya; saat kau berusia delapan tahun, dan aku tujuh tahun. Aku melihat Haruto memukulmu yang terjatuh dari tangga rumah pohon. Tapi, kau malah menyengir dan menunjukkan gigimu, terlihat tidak masalah akan perlakuan Haruto padamu. Lalu, kejadian-kejadian itu berulang, dengan kau melakukan kesalahan yang berbeda, dengan Haruto yang tetap memukulmu."

Kano sedikit-sedikit berusaha mencerna kalimat Akira yang memusingkan.

"Aku ... aku ingat kalau ia pernah memukulku. Namun, ia bilang kepadaku, kalau itu untuk membuatku jera, supaya aku tidak melakukan kesalahan lagi."

Kano memilin bibirnya gugup. Menanti tanggapan Akira. Namun, lelaki itu melanjutkan ceritanya dan mengabaikan kalimat Kano yang baru saja diucapkannya.

"Aku menjadi takut juga setelah mengamati kelakuan Haruto bertahun-tahun yang sepertinya tidak pernah tidak dekat denganmu. Aku merasa itu wajar, sebab, kalian bersahabat, 'kan? Tapi, Haruto yang membanting barang-barang di kamarnya saat mengetahui kau mempunyai kekasih bukanlah hal yang normal. Kau yang baik-baik saja dengan perlakuan Haruto bukan hal yang normal."

Kano membuka bibirnya; hendak mengatakan sesuatu, tapi, urung. Akhirnya, ia menutupnya kembali. Menunggu Akira hingga benar-benar selesai. Sekarang, mereka memilih duduk di bangku taman yang jaraknya hanya seratus meter menuju rumah mereka.

"Kau tahu apa artinya?"

Kano membalas takut, "Ia ... menyukaiku?"

"Kau yang menyukainya."

Kano tersentak, mencoba membantah—yang sudah dipotong oleh Akira terlebih dahulu.

"Kau menyukainya, Kano. Kau yang mengelak dan memacari Arata untuk yakin bahwa kau tidak benar-benar mencintai Haruto; kau mengelak untuk mengakui bahwa kau sudah jatuh cinta pada monster yang menyiksamu. Karena, apabila itu benar, itu akan sangat menjatuhkan dirimu, 'kan? Kau tahu kenapa Arata meminta putus, padahal, hubungan kalian baik-baik saja? Karena aku memberitahunya; aku memberitahunya bahwa kau hanya menjadikan Arata bahan pembuktian, yang mana malah gagal dan—beralih frustasi karena menyadari perasaanmu kian hari kian tidak benar. Jatuh cinta pada orang yang telah menjahatimu sendiri, bukankah itu tidak masuk akal? Tetapi, orang sepertimu ada, Kano. Sangat banyak. Mereka menamainya Sindrom Stockholm. Ingin tahu satu fakta menarik lagi? Manusia di depanmu ini juga terkena sindrom memuakkan itu."

Kano makin tidak bisa menahan rasa terkejutnya. Jadi, selama ini, suara hati yang mengatakan tidak ada yang aneh dari perlakuannya, 'itu hanya caranya melindungiku' merupakan kalimat pembelaan yang ia gunakan untuk membenarkan perlakuan lelaki itu kepadanya? Bagaimana ia bisa tidak menyadari perasaannya sendiri? Pantas; ia tidak pernah cemburu terhadap wanita yang mendekati Arata, melainkan buku dan permainan komputer miliknya. Ternyata, itu merepresentasikan perasaannya saat Haruto malah fokus belajar dan selalu mengabaikannya saat lelaki itu sedang serius?

Kano menyadari satu poin aneh dari paragraf Akira.

"Apa maksudmu kau terkena sindrom yang sama?"

Akira menyandarkan tubuhnya, menutup matanya dan melipat tangannya. "Karena aku mencintai seseorang yang sudah menyakitiku."

"Siapa?"

"Kau."

Kano terdiam. "Aku tidak merasa pernah menyakitimu."

"Kau menyakitiku dengan tidak peka terhadap perasaanku yang jelas-jelas terlihat, Nakano."

Kano tersenyum miring. "Bukan salahku, dong? Soalnya, kau tidak menyatakannya. Jadi, kupikir, kau adalah adik yang sangat perhatian dengan kakaknya."

Akira mendengkus; tidak habis pikir. "Terserah, lah."

"Kau juga bodoh sekali, sih, memilih tempat kencan pertama di Tokyo Disneyland."

Akira membuka matanya. "Kenapa begitu?"

Kano menusuk pipinya yang masih agak sakit dirasakannya. "Mitosnya, kalau kencan pertama di Tokyo Disneyland, hubungan kalian akan kandas."

Akira terkekeh. "Aku tidak percaya dengan mitos."

Kano memukul pelan lengan Akira, menggerutu, "Tapi, mitosnya jadi kenyataan. Mau diulang, tidak?"

"Apa? Kencannya?"

"Bukan, pernyataan cintanya."

Akira menggeleng cepat. "Aku tidak hafal puisinya."

"Kau menyatakan cinta dengan puisi, ya? Klasik sekali." Kano mengejek Akira yang membuat lelaki itu menutup telinganya. "Bukan kau, tapi, aku yang melakukannya."

Akira berjengit dan mengubah posisi duduknya menjadi tegap. "Apa? Katakan sekali lagi."

Kano berkata sombong, "Tidak ada pengulangan untuk kata yang telah Fujii Nakano ucapkan."

Kano terkikik melihat perubahan ekspresi Akira. Lelaki yang lebih muda darinya itu enak sekali dijahili.

"A-ku me-nyu-ka-i-mu."

Kano memiringkan kepalanya menghadap Akira. "Jadilah pacarku!"

"Gomen,"

Kano mengernyit. Apa lelaki ini akan menolaknya?

"Aku tidak ingin kau berpacaran dengan lelaki tidak waras."

Kano menutup mulutnya. "Jadi, Takahashi bersaudara sama-sama tidak waras, nih?"

Akira mengangguk mengiyakan. "Kecuali, Miyuki. Ia tidak salah apa-apa hanya karena yang melahirkannya adalah wanita yang paling kubenci. Toh, ia tidak bermarga Takahashi."

"Tapi, wanita yang kau benci itu juga melahirkanmu, loh."

"Apa peduliku?"

Kano tersenyum. "Kau mengingatkanku pada Arata." Ia mendongak, menatap cakrawala kelabu bersama mega; pandangannya menerawang. "Namun, alih-alih menegurnya untuk bicara sopan karena bagaimana pun itu adalah ibu-nya, aku malah mendukungnya. Sepertinya, hanya Arata yang waras, ya?"

"Kau akan mendukungku atau tidak?"

Kano membentuk bibirnya menjadi segaris. "Tergantung. Satou-sama dulu sangat baik kepadaku sampai aku tidak mengira kalau beliau menjahati kalian."

Akira tertawa. "Sepertinya ia menginginkan anak perempuan, bukannya anak laki-laki. Maka dari itu, ia membenci kami."

"Aku tidak ingin tertawa, tetapi, kalian yang tampan-tampan ini, kok bisa, sih, ditelantarkan olehnya?"

"Aku tampan?"

"Kau berusaha merendah untuk meroket, ya? Cih, menyebalkan."

"Aku serius bertanya."

"Tidak tahu. Cari tahu saja sendiri." Kano beranjak berdiri, mengaitkan kedua tangan di belakang punggungnya. Bersikap seolah-olah ia merajuk.

"Berikutnya, ingin kencan di mana?"

"Jadi, kita resmi pacaran?"

"Bukannya tadi kau menyatakan cinta?"

Kano terkekeh. "Tapi, tadi kau bilang; tidak ingin aku berpacaran dengan orang tidak waras?"

"Mungkin, aku bisa berubah kalau bersamamu," gerutu Akira tidak terima. Ia mengikut Kano berdiri dan mengajaknya berjalan sampai ke rumah.

"Caramu berbicara seperti mengatakan ketidakwarasan itu hal yang biasa."

Yang tidak Kano duga, Akira malah menganggap perkataan sebelumnya serius dan membalasnya sarkas.

"Memang, di keluarga Takahashi, apalagi."

Kano menghela napas. "Oke, itu menakutkan."

"Bagaimana kalau di akuarium?"

Mata Kano berbinar. "Akuarium? Boleh juga! Di mana?"

"Tokyo Sea Life Park? Kudengar dari Inoe kalau di sana menakjubkan; dan murah, tentunya."

Candaan yang bagus. Kano hampir tertawa—kalau-kalau ia tidak mengingat tiga hari di Tokyo Disneyland yang menghabiskan seratus ribu yen lebih; kalau ia tidak mendengar nama asing tersebut. "Siapa Inoe?"

Akira menaikkan alis. "Teman dekatku."

"Maksudku, ia perempuan?"

Akira merangkul pundak Kano. "Bicara apa, kau? Tentu saja."

Kano memajukan bibirnya. "Kau tidak pernah cerita kalau punya teman dekat. Perempuan, lagi."

"Kau cemburu?"

Kano tersentak, ia menunduk dan tergagap menjawab. "Eung, tidak, tentu tidak! Untuk apa aku cemburu—kenapa pula aku cemburu ... dengan perempuan itu ...." Pipinya sudah memerah seperti tomat sekarang.

"Inoe akan terkejut jika tahu kau adalah pacarku."

"Berhenti memanggil nama depan-nya! Aku tidak suka." Kano merutuk; merasa sebal.

Menurutnya, apabila perempuan dan lelaki berteman; tidak ada yang tidak mempunyai perasaan lebih. Jika bukan lelakinya; maka, perempuannya. Siapa tahu, 'kan, Inoe merupakan bibit perebut sejak dini? Kano tidak ingin punya mantan banyak-banyak, pokoknya. Nanti, ia di-cap murahan, Kano tidak sudi.

"Iya, iya, Nakano."

Kano mencubit lengan Akira sampai gumpalan daging yang barusan dicubitnya itu membiru. Heran, kenapa Kano jadi posesif begini, sih? Padahal ia baru didiagnosis mencintai Haruto—namun, mendengar Akira menyebut nama depan perempuan lain saja ia tidak terima.

"Tidak sopan sekali memanggil Yang Mulia Nakano tanpa gelar."

Akira tersenyum miring.

"Kalau begitu aku adalah Pangeran Akira."

"Eh?" Kano menganga. Kenapa tidak Yang Mulia Akira?

"Sebab, gelar Yang Mulia sudah direbut oleh Haruto, 'kan?"

Sebenarnya, Tuhan baik karena menciptakan spesies laki-laki yang peka. Hanya saja, Kano menyayangkan kadar kepekaan yang diberikanNya terlalu banyak kepada Akira.

...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top